"Kredit macet melilit ditubuh Bank Riau-Kepri [BRK], semua dilandasi karena bagi sejumlah orang yang sedang membutuhkan uang, tetapi saat pengembalian tersendat"
eperti disebutkan H Darmawi Werdana Zalik Aris, Ketua Lembaga Melayu Riau [LMR], mengabarkan BRK sedang 'dirundung' masalah. Permasalahan yang dialami salah satu Badan Usaha Milik Daerah itu belum bisa keluar dari orang yang menggunakan kredit dengan jumlah besar lalu mengalami kendala saat pelunasan.
"Bank Riau Kepri yang melibatkan dua provinsi [Riau dan Kepri] masih tertimpa 'musibah' kredit macet. Tidak tanggung tanggung jumlah nya yakni Rp265 Miliyar," kata Darmawi yang juga dari Badan Pekerja Nasional [Bakernas] Investigation Corruption Indonesian [ICI] mengkhabarkan Minggu (7/11) melalui sarana elektronik Whats APP [WA] kemarin.
Dia menyikapi kredit macet tidak sampai 10 persen debiturnya orang Riau. "Setelah ditelisik debitur yang terlibat kredit macet di BRK banyak orang luar Riau," katanya.
"Kredit macet di BRK sudah berjalan 10 tahun terakhir, tapi antisipasi belum juga dilakukan."
"Bank daerah itu sepertinya terlena secara terus menerus, kalau seperti ini bisa-bisa yang rugi masyarakat Riau keseluruhannya," katanya.
Dia melihat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Riau juga belum tampak menyiapkan antisipasi atas risiko ledakan kredit macet ini.
"OJK seharusnya meminta pemerintah setempat agar perbankan itu untuk mulai menambah pencadangan secara gradual," terang Darmawi.
"Kita tidak tahu apa yang terjadi sehingga apabila ada nasabah yang tidak bisa recover."
"Selain itu juga tak kelihatan pemerintah setempat apakah sudah punya cadangan yang cukup," kata Darmawi.
"Seharusnya perbankan dan lembaga keuangan agar secara gradual membuat cadangan lebih preemptive."
LMR mencatat nasabah yang melakukan restrukturisasi kredit hingga saat ini mencapai Rp 265 miliar.
"Kita dapat informasi dari pihak BRK sendiri adanya kredit macet," diakuinya.
Dalam analisa sementara, tidak semua nasabah bisa kembali pulih seperti sebelum pandemi Covid. Tetapi ada juga nasabah terekam pinjam uang tanpa anggunan.
"BRK sepertinya alami beberapa sektor yang masih tertekan sangat dalam," ujar Darmawi.
Dia hanya bisa memberikan perhatian, kalau perbankan harus lebih berhati-hati melakukan kredit.
"Di sisi lain regulator semestinya mempersiapkan program untuk menormalkan kembali."
Dia berharap bila kondisi BRK ini bisa dalam waktu dekat mencapai stabil, seharusnya tetap waspada akan risiko-risiko kedepan.
"Mungkin juga di antaranya restructuring yakni perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut tindakan untuk penambahan dana bank dan/atau, konversi bisa dilakukan," dalam pengamatannya.
Antisipasi kredit macet
Bank Riau Kepri kembali alami kredit macet sudah berada di posisi kolektibilitas 5. Kolektibilitas 5 merupakan klasifikasi status macet paling parah dimana ketidakmampuan membayar angsuran pokok maupun bunga.
Selain itu dampak kolektibilitas 5 ini tentu akan menggerus potensi laba atau pendapatan Bank Riau kepri yang pada akhirnya berimbas pada deviden para pemegang saham.
Bagaimana mengatasi kerugian negara ini? Tengku Irawan sebagai Direktur Kredit dan Syariah BRK saat dikonfirmasi melalui telepon dan Whats App [WA], malam Minggu (13/11) belum bisa menjawab.
"Sedang di Masjid Pak. Apa Cerita?" tanya dia melalui WA nya.
"Maaf Dinde, Tadi acara di Masjid."
"Dinde ke sekper komunikasi ye."
"Dah ada release nye sebelumnya," sebut Toengku menjawab balasan WA nya.
Tetapi seperti disebutkan H Damawi lagi, kredit macet BRK bermula sejak akhir tahun 2016 lalu dan terus berlangsung 2019 hingga sekarang.
Kabarnya, temuan tim audit Bank Riau Kepri sendiri menemukan kredit macet di duga disebabkan ulah pegawai Bank Riau Kepri, dan tidak di satu tempat.
Dari berkas hasil audit diketahui pokok permasalahan sangat mengejutkan, jauh dari prinsip perbankan yakni kehati-hatian.
"Penyebab macetnya kredit karena penilaian tidak wajar terhadap agunan dan bahkan jauh dari batas yang ditetapkan."
"Kemudian tidak melalui persetujuan kantor cabang dan tidak melakukan verifikasi atas agunan baru meski sudah dilakukan beberapa kali."
Permasalahan yang menyebabkan potensi kerugian milyaran tersebut juga disebabkan hilangnya pendapatan Bank Riau Kepri.
"Pengikatan kredit maupun peningkatan plafond, tidak dikenakan biaya provisi dan administrasi kredit, kemudian atas agunan tersebut tidak dilakukan cover asuransi kebakaran," kata Darmawi menilai.
Dari catatan hasil tim audit juga dituliskan bahwa addendum sudah dilakukan sembilan kali, namun debitur tidak pernah dikenakan biaya administrasi dan provisi.
"Dasarnya pencegahan yang harus dilakukan BRK lambat hingga terjadi kemacetan hingga kolektibilitas 5," sebut Darmawi.
Tetapi Darmawi balik melihat, pola pemberian kredit yang akhirnya tersendat pengembalian pernah juga terjadi di beberapa tempat. Seperti di Batam, Bagan Batu, Duri, Dumai, Rokan Hulu, Sorek dan lain – lain.
Pertanyaanya bagaimana peran dan fungsi devisi manajemen resiko?
Sumber internal di Bank Riau Kepri menyebutkan, persoalan kredit ini sudah lama terjadi dan sudah terendus.
“Saya kurang tahu pasti, kenapa pimpinan terkesan lambat bertindak ya," sebut sumber itu yang namanya enggan disebutkan.
"Oknumnya pun sudah dipindah ke tempat lain, tetapi tetap saja melakukan hal yang sama,” katanya lagi.
Sayangnya Direktur Kepatuhan dan Manajemen Resiko, Direktur Kredit, Pemimpin Devisi Hukum hingga Humas Bank Riau Kepri hingga ke komisaris Bank Riau Kepri sampai saat ini belum bersedia memberikan penjelasan.
Direktur Utama Bank Riau Kepri, Andi Buchari.
OJK ingatkan perbankan
Pihak Otoritas Jasa Keuangan [OJK] Riau bukannya tidak mengingatkan Bank Riau Kepri [BRK] soal kredit macet yang terjadi.
OJK terus mengingatkan agar perbankan terus mempertebal Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).
"Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi adanya kenaikan kredit tidak lancar atau kredit macet saat menerapkan kebijakan restrukturisasi," kata Kepala OJK Riau Yusri saat pemaparannya tentang pemegang saham Bank Riau Kepri pada media belum lama ini.
“Jadi Bank Riau Kepri Syariah ini diharapkan mampu berkompetisi tidak hanya dengan bank syariah lain, tetapi juga bank konvensional yang ada, sehingga diperlukan dukungan infrastuktur yang kuat, serta sumber daya manusia, jaringan layanan, produknya yang harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” ujarnya.
Tentang terjadi kredit macet di tubuh BRK, Yusri mengaku sudah mengingatkan agar perbankan terus mempertebal Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).
"Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi adanya kenaikan kredit tidak lancar atau kredit macet saat menerapkan kebijakan restrukturisasi," sebutnya.
POJK Nomor 11 Tahun 2020 sendiri memperbolehkan bank untuk tidak memiliki pencadangan selama melakukan restrukturisasi.
"Tapi antisipasi harus tetap dilakukan."
"OJK sebagai regulator menganggap pencadangan ini sebagai hal penting agar bisnis perbankan bisa tetap berjalan lancar."
"Kita juga kita minta untuk tidak lengah bahwa loan at risk-nya kalau nggak dihitung dengan risk pasti akan meningkat," katanya.
"Beban CKPN juga terkait ini kita ingin tingkatkan, walaupun di dalam restrukturisasi diperbolehkan tidak memiliki cadangan," jelas Yusri pada saat saat dalam webinar.
Implementasi restrukturisasi ini diakuinya memiliki beberapa tantangan. Misalnya saja, bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan debitur dengan kapasitas bank.
"Tetapi juga harus bisa memastikan kualitas governance dan integritas para pelaku perbankan serta debitur untuk kelancaran restrukturisasi."
Kepala Otoritas Jasa Keuangan Provinsi Riau, Yusri.
"Bank perlu memastikan tidak ada moral hazard atau free rider. Kalau terjadi moral hazard tentunya saat restrukturisasinya berakhir pasti banknya akan mengalami masalah," ujarnya.
Tantangan lainnya adalah bagaimana prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dapat diterapkan dengan baik. Perbedaan dan persepsi masyarakat juga harus diluruskan soal restrukturisasi ini.
"Jangan sampai mereka memandang bahwa kredit semuanya boleh direstrukturisasi, ini yang berkali-kali terjadi."
"Beberapa salah persepsi, mereka mengadu ke OJK, kita katakan semuanya ini tergantung bagaimana bank nilai debiturnya," jelas Yusri.
Restrukturisasi masih menjadi opsi utama perbankan dalam mengatasi kredit bermasalah lantaran kondisi perekonomian belum membaik, terang Yusri.
Kondisi ini mengakibatkan perlambatan pertumbuhan kredit hingga ancaman likuiditas terhadap penempatan dana korporasi di bank.
Kembali seperti diingatkan Darmawi dari Bakernas ICI ini bahwa masalah terbesar yang bisa muncul akibat sistem kredit adalah kredit macet.
Masalah ini seringkali dialami oleh seseorang yang melakukan kredit dengan jumlah besar kemudian mengalami kendala saat melunasinya, sebutnya.
"Seorang debitur (peminjam) tidak bisa membayar cicilan hutang atau kredit. Masalah ini bisa terjadi karena di tengah masa cicilan."
"Debitur tidak memiliki dana cukup untuk melunasinya. Hingga akhirnya mengalami pemangkiran, penundaan, permintaan perpanjangan dan sebagainya," kata dia.
Menurutnya, jika debitur telah lama menunda pembayaran, bunga pinjaman yang diterima juga akan semakin menumpuk.
Bank Indonesia (BI) sudah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia tentang kredit macet dalam PBI No. 14/2/PBI/2012 mengenai APMK (Alat pembayaran Menggunakan Kartu).
"Ini mungkin solusi mengatasi kredit macet," sebutnya.
"Setidaknya memang aturan tersebut bertujuan untuk menekan resiko penggunaan kartu kredit yang berlebihan."
Menyinggung soal penyebab terjadinya kredit macet di BRK ini bahkan disebutkan karena kurangnya perencanaan keuangan oleh debitur dan kreditur yang menawarkan pinjaman terlalu besar.
"Kredit macet tetap saja menimbulkan masalah tentunya dapat merugikan banyak pihak," sebut Darmawi menilai.
Tetapi sepertinya BRK memang harus kembali melakukan reconditioning, restructuring dan rescheduling. (*)
Tags : Perbankan, BRK, Kredit, Riau, Sorotan,