Sorotan   2021/06/16 21:38 WIB

Lonjakan Covid-19 di Indonesia Diprediksi Awal Juli, Daerah Seperti Fenomena 'Gunung Es'

Lonjakan Covid-19 di Indonesia Diprediksi Awal Juli, Daerah Seperti Fenomena 'Gunung Es'

"Mobilitas masyarakat yang meningkat, euforia vaksinasi, dan minimnya penerapan protokol kesehatan menyebabkan lonjakan kasus Covid-19 pun diperkirakan akan melonjak"

enyebab lonjakan kasus Covid-19 ini dilihat usai libur lebaran, lantas Menteri Kesehatan Budi Sadikin memperkirakan lonjakan diprediksi sampai awal Juli 2021. "Kondisi beberapa provinsi di Indonesia dan daerah di Jawa Tengah mengalami peningkatan kasus Covid-19 yang signifikan sehingga mencapai titik cukup mengkhawatirkan," kata Budi dalam diskusi daring dengan Ikatan Dokter Indonesia Jawa Tengah pada Minggu (13/6) kemarin.

"Kudus sendiri sudah mulai flattening (menurun dan stabil), mulai bergeser ke Jepara, Pati, Grobogan, dan beberapa lokasi di luar Jateng, seperti Madura, Bandung Selatan, dan sekarang masuk ke Jakarta."

Kementerian Kesehatan memprediksi lonjakan belum mereda hingga lima hingga tujuh minggu usai liburan. Data kenaikan mingguan kasus Covid-19 menunjukkan, tren lonjakan paling tinggi bermula dari Kudus, yakni mencapai 929 kasus dalam sepekan atau meningkat 30 kali lipat tiga minggu setelah lebaran. Saat Kudus mulai mereda, kenaikan mingguan kasus Covid-19 wilayah di sekitar Kabupaten Kudus mulai meningkat. Sebulan setelah lebaran, Kabupaten Grobogan mencatat kenaikan tertinggi yakni 28 kali lipat dalam sepekan, Demak melonjak hampir lima kali lipat, dan Jepara lebih dari dua kali lipat. 

Kini, sejumlah wilayah lain di DKI Jakarta dan Jawa Barat turut menjadi sorotan nasional. Jakarta Barat, dengan kenaikan 167 persen, menjadi yang paling rawan di daerah ibu kota. Kota Bandung dan Kabupaten Bandung Barat juga menunjukkan tren peningkatan, masing-masing 65 persen dan 56 persen.

Aktivitas tinggi, lengah protokol kesehatan

Aktivitas di luar rumah yang intens dan lengah terhadap protokol kesehatan membuat masyarakat lebih rentan terpapar. Rantai penyebaran juga telah masuk ke level terkecil: keluarga. Yusup Niko (25), seorang warga Desa Barongan, Kabupaten Kudus, menjadi bagian dari kenaikan kasus Covid-19 di Kota Kretek ini setelah dinyatakan positif Covid-19 seminggu usai Lebaran.

Niko mulai merasakan gejala pada Jumat, 21 Mei 2021 lalu. Perutnya mendadak sakit setelah menyantap hidangan pindang daging—masakan khas Kudus—yang disajikan tuan rumah hajatan pernikahan di Desa Cranggan, Kecamatan Dawe, Kab. Kudus. Sebelumnya, pria yang berprofesi sebagai penabuh drum itu tengah bekerja menghibur para tamu undangan. Malam harinya, sakit makin tak tertahankan dan tubuhnya sedikit lemas saat ia keluar makan bersama teman-teman di Pasar Kliwon, Kudus. "Waktu saya sudah tidak kuat lagi, saya minta teman saya yang lain untuk jemput dan mengantar pulang ke rumah. Kondisi saya drop," ujar Niko dirilis BBC, Sabtu (12/06).

Pada saat perjalanan pulang menggunakan sepeda motor, Niko sempat mengobrol tanpa menggunakan masker dengan temannya. Keesokan harinya, Niko mendapat kabar bahwa sang kawan positif Covid-19 dan dirawat di rumah sakit. Dengan aktivitas di luar yang intens, pun dengan pekerjaannya yang mengharuskan ia berinteraksi dengan banyak orang, Niko rentan terpapar Covid-19. "Saya sering dapat job setelah lebaran. Setelah lebaran pasti ramai (hajatan). Hari Sabtu saya mengisi acara di Pati dan hari Minggu ada dua acara di Kudus," ujarnya.

Gejala yang Niko rasakan memburuk. Minggu pagi, badannya makin tak karuan. "Tapi saya masih kerja," katanya.

Malam hari, tubuhnya menggigil. Badan terasa berat dan pegal. Sakit perut belum juga hilang. Tenggorokan menjadi kering dan sesak nafas. Ia pun dinyatakan positif Covid-19 setelah tes usap Antigen. Rantai Covid-19 tak terputus karena kakak, ibu, dan dua orang adik Niko yang ikut merawat dirinya ikut tertular Covid-19. Pun, juga dengan dua temannya di Pati dan Kudus yang sempat bertemu dengannya. 

Deretan penyebab dan virus varian baru

Selain cerita Niko, menurut Bupati Kudus Hartopo, banyak masyarakat Kudus cenderung nekad untuk mengunjungi keluarga saat Lebaran dan tidak menaati protokol kesehatan. "Pertama, di Kudus kan ada tradisi Anjangsana dan berkunjung setelah lebaran. Kalau tidak mencium tangan itu tidak afdal. Ini kebobolan," kata Hartopo.

Selain itu, dua penyebab lainnya yakni merasa terbebas dari Covid-19 usai divaksin dan kerumunan di tempat makan. Hal serupa yang terjadi di Kudus juga dikemukakan Menteri Kesehatan Budi Sadikin di kesempatan berbeda. "Saat liburan, rakyat sudah euforia karena sudah mulai vaksinasi. Jangan lengah dan jalankan protokol kesehatan. Vaksinasi itu mengurangi severity (buruknya) dampak penyakit tapi tidak membuat kebal terhadap virus," ujar Budi.

Budi menambahkan, masuknya varian baru dari India yang biasa disebut dengan Delta atau varian B1617.2 juga memicu transmisi virus yang lebih cepat. Dari 34 sampel pasien Covid-19 di Kudus yang diambil pada pertengahan pertengahan Mei 2021 lalu dan diteliti di Laboratorium UGM, sebanyak 28 di antaranya adalah varian India. "Sampai sekarang kami belum bisa melacak karena (sampel) by name dan by address belum dikasih tahu (oleh UGM). Kalau sudah dikasih tahu, kami bisa melacak mereka ke mana, ketemu siapa," ucap Hartopo.

Minim dokter dan pasien rumah sakit membludak

Belajar dari Kudus, dengan jumlah kasus yang melambung, pemerintah Kabupaten Kudus kewalahan dan tidak siap. Fasilitas kesehatan hampir penuh. Terlebih, lebih dari 300 tenaga kesehatan di kota kretek ini juga terpapar Covid-19. "Ini dari SDM (Sumber Daya Manusia) perlu harus dibantu dari pusat maupun provinsi, tapi sampai sekarang belum terealisasi, belum sesuai harapan yang diminta. Ada bantuan, 48 dokter, ada yang pulang 8 orang," kata Hartopo.

Dokter bantuan didatangkan dari Semarang dan Solo. Mereka adalah dokter umum dan dokter spesialis. "Tenaga medis belum kuat, mau arrangement sendiri, anggaran sudah tidak ada," ujarnya.

Menurut data Sistem Informasi Rawat Inap Kementerian Kesehatan per 13 Juni 2021, ketersediaan kasur di sembilan rumah sakit rujukan Covid-19 di Kudus hanya 14,6 persen dari total 576 kasur. Angka ini tak mampu menampung seluruh pasien positif di Kudus. Pemerintah daerah melarikan 500 orang ke Asrama Haji di Surakarta, Jawa Tengah. "Dari 500 sudah ada yang sembuh 98 orang, jadi sekarang ada 411 pasien. Tapi untuk saat ini stop dulu [mengirimkan pasien ke sana]. Kami sedang minta bantuan untuk membangun rumah sakit dari tenda darurat milik TNI yang akan diletakkan di stadion. Itu mampu menampung 80 orang," katanya.

Selain itu, pemerintah juga akan memusatkan rumah sakit umum daerah untuk menangani pasien dengan gejala ringan dan sedang. Merujuk data nasional, Budi menjelaskan, total kasur isolasi di Indonesia ada 75 ribu. Sebelum lebaran, tingkat keterisian hanya 27 persen. Namun, usai lebaran lonjakan keterisian kasur mencapai 100 persen dalam waktu satu bulan.

Di sejumlah kabupaten dan kota, ketersediaan tempat tidur berada di level kritis. Kabupaten Grobogan dan Semarang, mencatat keterisian rumah sakit dan tempat isolasi yang paling tinggi, yakni 93,65 persen dan 93,38 persen. Di Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bangkalan, dan Jakarta Pusat, hanya satu dari 10 kasur yang kosong. 

Fenomena 'gunung es'

Menurut epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, angka kenaikan kasus dan rasio positif pasien Covid-19 yang dilaporkan pemerintah saat ini tidak menunjukkan angka asli yang terjadi di lapangan. Pasalnya, angka temuan kasus yang dikumpulkan pemerintah hanya berdasarkan penelusuran dan pengujian pasien bergejala. Minimnya penelusuran dan pengujian juga menjadi musabab.

Riset yang tengah digarap oleh Pandu bersama dengan Kementerian Kesehatan, bekerja sama dengan Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, dan Universitas Hasanuddin dengan dukungan WHO Jakarta, menunjukkan sekitar 15 persen dari penduduk Indonesia sudah terpapar virus ini. "Riset ini mengukur riwayat infeksi dan yang diperiksa antibody jadi angkanya akan selalu lebih besar dari angka di lapangan yang menelusuri dari pasien bergejala," ujar Pandu.

Survei ini mengambil sampel masyarakat yang dapat mewakili angka populasi nasional. "Kalau populasi, itu semua responden yang terpilih akan diperiksa jadi akan mendapatkan gambaran berapa sesungguhnya yang terinfeksi," ucapnya.

Riset ini mengambil data dari Desember 2020 hingga Januari 2021. Kondisi per Juni 2021, bisa jadi berubah. Kondisi demikian, terlebih dengan lonjakan kasus yang terjadi usai liburan, menuntut orang untuk tidak lengah. Jika masyarakat tidak sadar, maka konsekuensi yang lebih besar akan terjadi: pandemi tidak berakhir dalam waktu dekat, pun Indonesia akan susah mencapai herd immunity atau imunitas kelompok. "Dengan kecepatan vaksinasi yang sekarang, jumlah penduduk yang banyak, akan sulit mencapai herd immunity. Saya tidak tahu berapa persen penduduk yang sudah divaksinasi bisa melindungi penduduk yang belum divaksinasi," katanya.

Imunitas yang dihasilkan dari vaksin pun, belum bisa ditentukan seberapa lama dapat melindungi diri. "Selain itu, ada lonjakan kasus karena mutasi virus. Mutasi lebih cepat berkembang daripada vaksinnya," ujarnya. 

Perketat aktivitas sosial

Kenaikan diprediksi masih terus terjadi dan Budi meminta mobilitas diperketat untuk menekan angka kasus. Jika tidak, maka tenaga medis dan fasilitas kesehatan akan membludak. "Itu yang saya butuh bantuan agar membantu menyebarkan pesan agar hati-hati. Ini masih sampai awal Juli. Jangan overconfidence [terlalu percaya diri], mobilitas jangan terlalu tinggi. Saya sangat khawatir karena terjadi lonjakan berikutnya karena akan sangat besar."

Selain itu, menurut Pandu, pemerintah juga perlu secara serius memberlakukan karantina kota sehingga virus tidak mudah menular. "Ketika ada lonjakan, langsung karantina wilayah. Misal seminggu atau dua minggu, masyarakat tidak boleh keluar masuk kota tersebut. Kemudian, didukung testing dan tracing, isolasi dan prioritas vaksinasi untuk kelompok risiko tinggi," ujarnya.

Mulai hari Senin (14/06), Kudus menerapkan pembatasan sosial selama tujuh hari. Masyarakat diminta untuk tidak keluar rumah. Warung makan tidak boleh menerima pengunjung yang makan di tempat. "Pasar sementara belum ditutup, kapasitas kami batasi, setiap pintu di luar pasar ada Satgas yang mengawasi dan [petugas] yang di dalam memonitor kerumunan kunjungan pasar. Kalau [protokol kesehatan] tidak dijalankan, pasar bisa ditutup," kata Hartopo.

Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Bandung Barat dan wilayah lain di Bandung Raya. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menerapkan kebijakan pembatasan aktivitas di luar rumah seperti di kantor dan restoran atau warung makan. "Di kawasan zona merah segera menerapkan Work From Home kembali yaitu sebesar 75 persen kerja dari rumah. Di Kawasan Bandung Raya, Resto/Cafe harus membatasi jumlah pengunjung 30-50 persen. Warga yang merasa banyak wara-wiri dalam kesehariannya mohon segera berinisiatif mengetes diri dengan tes antigen atau swab PCR. Mari perketat 5M, sebagai benteng pertahanan diri kepada covid," ujar Ridwan Kamil melalui akun Instagram @ridwankamil. 

'Tak ada pilihan lain selain rem darurat'

Pemerintah Indonesia diminta segera menarik rem darurat, menyusul melonjaknya jumlah kasus covid-19 pasca periode libur lebaran, yang berkisar dari 100% hingga 2000% di sejumlah daerah. Namun, pemerintah belum memutuskan untuk melaksanakan pembatasan lebih ketat, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sebagaimana yang dilaksanakan di sejumlah daerah tahun 2020 lalu.

Pemerintah masih memprioritaskan pembatasan skala mikro, kebijakan yang mengahapi sejumlah hambatan di lapangan. Zainul Muttaqin, warga Tangerang Selatan, 42, menyaksikan bagaimana tempat isolasi dan perawatan pasien covid19, Wisma Atlet Jakarta semakin penuh.  Zainul baru kembali ke rumah setelah diisolasi di Wisma Atlet, Jakarta, dua pekan lalu. "Contohnya saya datang tanggal 29 Juni jam 11.00 saya datang. Proses registrasi, tes kesehatan, sampai dapat kamar, makan waktu lima jam.

"Sangat kewalahan memang temen-teman medis, mereka bekerja keras 24 jam, saya salut," ujar Zainal, menambahkan ia merasa miris dengan beban kerja yang diemban para relawan di tempat itu.

Pada awal pekan ini, antrean panjang pasien Covid-19 di UGD Wisma Atlet ug terlihat dalam video yang viral di media sosial. Tingkat keterisian tempat tidur Wisma Atlet dilaporkan sudah melampaui 80%, melewati standar Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, yakni sebesar 60%. Di hampir seluruh wilayah Jakarta, jumlah kasus sudah meningkat di atas 100 persen, menurut data Satgas Covid-19.

Namun, tak hanya di ibukota, di Bangkalan Jawa Timur, misalnya, kasus Covid-19 bahkan meningkat lebih dari 700 persen. Peningkatan tertinggi tercatat di Grobogan, Jawa Tengah, yakni sebesar lebih dari 2.800%, dengan kapasitas rumah sakit yang hampir penuh. Secara nasional angka kasus Covid-19 di Indonesia sudah melonjak hampir dua kali lipat, menjadi sekitar 8.000 kasus dibandingkan periode sebelum mudik lebaran.

Melihat peningkatan kasus itu, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof Budi Haryanto mengatakan pemerintah tak memiliki pilihan selain menarik rem darurat, di tengah situasi yang disebutnya "genting". "Kalau kita tetap seperti sekarang, tanpa ada upaya komprehensif, tegas, dan tanpa tindakan-tindakan yang revolusioner, kita tinggal melihat angka-angkanya setiap hari naik terus," ujarnya.

Ia berpendapat Indonesia perlu mencotoh Malaysia yang menerapkan lockdown total hampir satu bulan ketika kasus di negara itu mencapai lebih dari 8.000. Selain itu, Budi Haryanto meminta pemerintah kembali tegas menerapkan protokol kesehatan, misalnya dengan menerapkan sanksi bagi mereka yang melanggar. Namun, di sisi lain, pemerintah belum memutuskan melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sebagaimana yang dilakukan sejumlah daerah di awal masa pandemi di tahun 2020. "Saat kita membuat kebijakan kesehatan, banyak hal yang harus dipertimbangkan karena pada prinsipnya, keberlangsungan sektor kesehatan tidak bisa terpisahkan dengan sektor sosial ke masyarakat lainnya...

"Lonjakan kasus di beberapa daerah sudah sepatutnya dijadikan pembelajaran bagi daerah itu dan daerah lain untuk evaluasi pengendalian di level komunitas, agar kenaikan kasus dapat dicegah menjadi lebih besar," ujar Wiku dalam konferensi pers Selasa (15/06).

Yang dimaksudnya dengan pengendalian di level komunitas adalah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), yakni pengawasan protokol kesehatan di tingkat RT/RW melalui pembentukan posko Covid-19 di kelurahan.

'Kendala PPKM'

Namun, mengandalkan pengendalian covid-19 dalam skala kecil, bukan tanpa kendala. Sofyan Mustafha, salah satu anggota Posko Siaga Covid Kota Bandung, mengungkapkan salah satu hambatan yang dihadapinya. "Sebetulnya untuk saat ini memang terjadi satu kendala karena untuk isolasinya itu rata-rata rumahnya kecil tidak memadai. Jadi kalau satu keluarga ada empat anggota keluarga, yang terkena dua, itu yang dua orangnya kita ungsikan ke rumah saudaranya," kata Sofyan. 

Di Jakarta, Hartono, anggota posko Covid-19 di Cipinang Melayu, Jakarta Timur, juga menceritakan kendala yang dihadapinya. Selain menemukan warga yang disebutnya enggan melaporkan kasus Covid-19, Hartono beberapa kali kesulitan mendapatkan data pasien dari fasilitas kesehatan karena birokrasi di lapangan. "Kami juga harus memantau sekitar 300 RT dan kadang-kadang ketuanya tidak merespons," kata Hartono.

Terkait dengan manajemen kasus corona skala kecil, Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan kolaborasi di lapangan diperlukan. "Bila satgas di tingkat kelurahan tidak mampu menangani masalah di tingkatnya, maka bisa minta bantuan di tingkat atasnya. Tiap satgas terdiri dari aparat pemerintah daerah, yakni kepala desa/lurah untuk level desa dan kelurahan, TNI dan Polri. Seharusnya bisa menyelesaikan secara kolaboratif di situ," ujar Wiku. (*)

Tags : Lonjakan Covid-19 di Indonesia, Covid-19, Wabah Corona Melonjak, Diprediksi Awal Juli Cona Membengkak,