Headline Sorotan   2020/09/18 04:15:00 PM WIB

Masker- Sabuk Pengaman 'Bisa Menyelamatkan Nyawa', Tapi Diabaikan

Masker- Sabuk Pengaman 'Bisa Menyelamatkan Nyawa', Tapi Diabaikan

"Masker Satu Lapis 'Tidak Efektif' mengurangi penyebaran virus corona, 'panduan pemakaian masker harus jelas'. Bahkan sebagian orang masih mengabaikan pemakaian masker dan sabuk pengamanan yang sudah jelas bisa menyelamatkan nyawa"

height=78asker kain yang hanya memiliki satu lapis, seperti buff atau masker scuba yang banyak dijual di pinggir jalan, dipandang 'tidak efektif' dalam mengurangi penyebaran virus corona. Pengamat kebijakan publik dan ahli kesehatan masyarakat menilai bahwa kini saatnya pemerintah menggalakkan sosialisasi penggunaan masker yang lebih berkualitas.

Meski demikian, Deni Kurniadi Sanjaya, pakar kesehatan masyarakat dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran di Bandung, Jawa Barat, mengatakan bahwa memakai kedua jenis masker tersebut lebih baik daripada tidak memakai masker sama sekali. "Buff itu kain biasa saja, untuk menahan angin, menahan debu, bakteri pun bisa masuk. Tidak efektif, tidak ada yang menganjurkan pakai buff. Yang dianjurkan adalah memakai masker dan masker yang dianjurkan dipakai adalah masker bedah. Karena ketidakmampuan kita semua setiap hari harus ganti masker bedah dan produksinya juga tidak ada waktu [awal pandemi], dibuatlah [anjuran] untuk pakai masker kain itu, dan itu efektifitasnya juga rendah."

"Tapi karena dari dua tempat [sumber penyebaran droplet] itu ditutup, setiap orang pakai masker, tentu saja akan terjadi pengurangan resiko," jelasnya saat dihubungi BBC Indonesia (16/09). 

Pemakaian masker scuba dan buff, yang biasanya hanya memiliki satu lapis kain, menjadi sorotan publik baru-baru ini setelah PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) menganjurkan penumpang untuk "menghindari penggunaan jenis [masker] scuba maupun hanya menggunakan buff atau kain untuk menutupi mulut dan hidung". "Gunakan setidaknya masker kain yang terdiri dari minimal dua lapisan," kata wakil presiden komunikasi korporasi PT KCI, Anne Purba, dalam pernyataannya yang dirilis BBC News, Selasa (15/09).

Elina Ciptadi, salah satu pendiri Kawal Covid-19, organisasi masyarakat pemerhati pandemi Covid-19 di Indonesia, mengatakan pemerintah seharusnya memperjelas panduan pemakaian masker agar masyarakat lebih paham. "Pertama [panduannya] harus jelas, masker apa yang memang di-endorse oleh pemerintah, tidak usah membuat peraturan yang terlalu kreatif, ikuti saja WHO, yaitu masker tiga lapis yang ada kawat di hidungnya atau surgical mask[masker bedah], dan proteksi supaya harganya tidak melonjak di masyarakat," kata Elina. 

Sosialisasi masker oleh PKK

Dalam rapat terbatas mengenai Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional 3 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo meminta kader-kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) untuk menjadi garda terdepan kampanye penggunaan masker. 

Kampanye yang dinamakan 'Gebrak Masker Tim Penggerak (TP) PKK' tersebut dipimpin oleh istri Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Tri Suswati, yang adalah ketua umum TP PKK 2019-2024. Kampanye ini tengah berjalan dan menjadi 'lebih intens' setelah mendapat arahan Presiden Jokowi, kata Andi Yuli, Kasubdit PKK di Kementerian Dalam Negeri. "Sejak Presiden memberikan arahan, semua langsung bergerak, lebih intens. Untuk keterlibatan PKK itu sudah lama, tanpa arahan Pak Presiden itu sudah jalan, kalau kita cek sampai ke desa, itu PKK sudah bergerak. Tapi dengan arahan Presiden tanggal 3 Agustus kemarin ya jadi semuanya lebih intens," ujar Andi.

Menurutnya, saat ini kader PKK berjumlah 8,8 juta orang, dan masing-masing kader ditugasi sosialisasi di minimal 10 rumah di sekitar rumahnya. "Kader PKK, menurut data yang kami punya, ada 8,8 juta kader, kalau semua bergerak pasti lebih efektif. Di PKK ada 'dasawisma', setiap kader bertanggung jawab terhadap 10-20 rumah yang ada di sekitar kader, itu tanggung jawab mereka untuk mengingatkan, mengedukasi warga yang ada di lingkup kader itu," jelasnya. 

Dalam sosialisasinya, kader PKK memberikan penjelasan soal pemakaian masker yang baik dan benar, kata Andi. Mereka juga membagikan masker gratis kepada warga, termasuk masker scuba di awal-awal program. "Macam-macam [masker yang diberikan), ada yang kain, ada yang medis, ada yang scuba...cuma memang scuba ini baru belakangan ini terinfokan lagi bahwa ternyata itu kurang efektif."

"Jadi ketika awal kemarin itu belum terinfokan, namun pada Agustus akhir dan September ini sudah tersampaikan," katanya.

Andi mengakui masih dibutuhkan kerja keras untuk meyakinkan masyarakat tentang pentingnya menerapkan protokol kesehatan. Kini, Andi berharap kader PKK dapat diberikan peran sebagai pengawas disiplin, bukan hanya sekedar sosialisasi. "Kalau kami lihat, memang pemahaman masyarakat tentang pentingnya menggunakan masker dengan benar itu belum semuanya mau melaksanakan, tapi memang itu tugas PKK. "Malah kami berharap PKK itu sebagai pengawas disiplin protokol kesehatan, atau waslin, kita berharap seperti itu. Kalau perlu dimarahin yang tidak pakai masker, perlu ditegur keras, dinaikan intensitasnya, karena memang sepertinya harus seperti itu masyarakat, kalau kita melihat secara umum," pungkas Andi.

Pejabat perlu memberi contoh

Lina Miftahul Jannah, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, menilai bahwa sosialisasi pemakaian masker sekarang harus mencakup cara memilih masker yang baik dan cara pemakaiannya yang benar. "Awal [pandemi] disebut kalau bisa pakai masker yang tiga lapis, lalu masker seperti ini susah di pasaran.

"Kemudian banyak orang yang membuat masker bervariasi, akhirnya kampanyenya [sekarang] hanya pakai masker, tidak ada sebutan masker 3 lapis. Jadi kesalahan pada saat itu hanya disebutkan yang penting pakai masker, jadi ketika sekarang baru disebut [masker scuba] tidak efektif, yang salah siapa?

"Bukan masyarakat yang salah, karena mungkin sosialisasi atau informasi yang diberikan tentang masker itu yang tidak terlalu lengkap," jelas Lina. 

Sementara itu, Elina Ciptadi dari Kawal Covid-19 menyoroti masih adanya foto-foto atau video pejabat yang beredar di media massa yang menunjukkan masker mereka melorot di dagu. "Pejabat pemerintah seharusnya menjadi role model untuk penggunaan masker yang benar. Selama itu belum jadi [kebiasaan] dan keharusan di level orang-orang yang sering muncul di TV dan di media itu, kami merasa itu [angan-angan] untuk meminta masyarakat luas untuk melakukan hal yang berlawanan dari apa yang mereka contohkan."

"Tapi setidaknya Jokowi, Pak Ganjar [Pranowo], Ridwan Kamil, itu sudah ada contoh-contohnya. Mereka beberapa kepala daerah dan kepala negara yang memberikan contoh yang baik," ujar Elina.

Buat masker scuba jadi tiga lapis

Deni Kurniadi Sanjaya, pakar kesehatan masyarakat dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, menganjurkan KRL memberikan masker gratis untuk menggantikan masker scuba para penumpang. "Menurut saya pakai masker scuba atau pakai masker kain itu adalah pendidikan tahap pertama, tahap berikutnya perlu ditingkatkan kualitasnya. Jadi ketika sudah terbiasa dan mau pakai masker, tinggal ditingkatkan, jangan diancam-ancam, jangan dijelek-jelekkan.

"Kalau begitu, nanti dia tidak pakai masker sekalian. Ketika ada orang pakai masker scuba, yang hanya satu [lapis] kain, yang dibilang oleh mereka tidak efektif, [sebaiknya] disediakan di KRL yang bagusnya seperti apa," ujar Deni. 

Dalam penelitian yang ia lakukan April lalu, Deni mendapati sekitar "60-80 persen" masyarakat, dari berbagai kalangan, telah memakai masker. "Waktu itu masker kain belum di-endorse [oleh pemerintah], jadi banyak di antara mereka pakai masker bedah. Sepertinya [angka pemakai masker] akan lebih tinggi lagi kalau sekarang, karena mereka memakai masker kain," ujarnya.

Sementara itu Lina Miftahul Jannah dari Universitas Indonesia menganjurkan masyarakat untuk "memaksimalkan" masker kain yang telah mereka punya agar menjadi masker yang efektif. "[Masker bedah] tiga lapis itu buatan pabrikan, dan itu akan menjadi sampah. Jadi kalau buat saya tetap saja masker yang kita punya, kita maksimalkan.

"Jadi menambahkan satu lagi lapisan. Atau masker scuba ditambahkan dengan masker kain, cuma yang penting tadi cara memakainya, tidak cuma sekedar 'nyantol'," ujar Lina. 

Masker atau sabuk pengaman 'bisa menyelamatkan nyawa'

Mengenakan sabuk pengaman atau masker dapat membantu menyelamatkan nyawa, tapi mengapa beberapa orang masih menolak untuk mengenakannya dan bahkan memprotes peraturan yang mewajibkannya? Kini, banyak yang membandingkan protes pemakaian masker dan sabuk pengaman. "Saya hanya membenci mereka," kata seorang perempuan ketika ditanya mengapa dia menolak memakai sabuk pengaman. Saya rasa saya membenci mereka karena Anda diminta harus memakainya, dan saya pikir itu lebih merupakan perintah 'Anda wajib memakainya', jadi saya tidak menginginkannya."

"Menurut saya, apakah kamu laki-laki atau perempuan, itu adalah bentuk dominasi," jawab pria di sebelahnya. Saya yang bertanggung jawab dengan hidup saya, Anda tidak bisa memberi tahu saya apa yang harus saya lakukan.

Dua orang yang diwawancarai di atas adalah pengemudi Inggris yang mengaku tidak memakai sabuk pengaman di mobil pada 2008, meskipun di Inggris warga diwajibkan mengenakan sabuk pengaman di kursi depan sejak 1983 dan di kursi belakang sejak 1991. Alasan seperti itu mungkin Anda dengarkan dari para pengunjuk rasa yang menolak untuk memakai masker saat berada di depan umum selama pandemi.

Keberatan mereka bukan hanya tentang kenyamanan, atau bahkan keraguan bahwa masker bisa menyelamatkan nyawa. Selain itu, ada juga alasan kebencian karena diberitahu apa yang harus diperbuat oleh pihak berwenang. Selebriti telah menggunakannya untuk menunjukkan bahwa selalu ada orang-orang yang tak mau taat aturan. Media telah menunjukkannya dalam upaya menjelaskan asal mula protes terhadap aturan-aturan yang dapat membantu mengendalikan penyebaran pandemi. Pengenalan undang-undang pemakaian sabuk pengaman tidak sekuat aturan untuk memakai masker wajah. Penerapan peraturan itu berantakan dan lambat.

Awal yang tidak pasti

Meskipun bukti bahwa sabuk pengaman menyelamatkan nyawa tidak dapat disangkal, ada kalanya aturan yang mewajibkan penggunaannya tampak tidak pasti. Produsen mobil, perusahaan asuransi, penegak hukum, politisi, dan pengemudi memiliki masing-masing dalam undang-undang sabuk pengaman.

Bagi pabrik mobil, masalahnya adalah biaya.

Pada saat itu mereka berharap sabuk pengaman diwajibkan karena harganya jauh lebih murah daripada kantong udara - teknologi lain yang dikampanyekan pelobi. "[Jika sabuk pengaman diwajibkan], penganjur kantung udara, yang mengembang saat tabrakan untuk melindungi pengendara, khawatir perangkat itu tidak akan pernah digunakan secara luas," tulis New York Times pada 28 Februari 1985.

Sebanyak 65% orang Amerika menentang sabuk pengaman yang diwajibkan karena alasan kenyamanan. Satu kantung udara di pertengahan tahun 80-an harganya mencapai $ 800, dibandingkan dengan beberapa dolar untuk sabuk pengaman. Seandainya undang-undang mewajibkan semua mobil untuk memasang kantung udara, harga mobil baru akan meningkat sehingga menciptakan kejutan kecil di pasar.

Pengemudi paling menginginkan kenyamanan.

Satu survei menemukan bahwa 86% orang Amerika mengakui bahwa sabuk pengaman menyelamatkan nyawa, sementara hanya 41% dari orang-orang itu yang benar-benar menggunakannya (survei lain menunjukkan jumlahnya bahkan lebih rendah di negara lain). Sementara sebanyak 65% orang Amerika menentang pemakaian sabuk pengaman secara wajib karena alasan kenyamanan.

Perusahaan asuransi lebih menyukai kantung udara daripada sabuk pengaman. Manfaat dari kantung udara adalah "pasif" - ia siap untuk menyelamatkan hidup Anda. Jika kantung udara dipasang, pengemudi tidak punya pilihan apakah akan menggunakannya atau tidak, dan alat itu bisa mengurangi cedera dan kematian akibat kecelakaan juga ganti rugi perusahaan asuransi.

Polisi juga enggan menghentikan pengendara 

Jadi mereka yang mendukung sabuk pengaman berhadapan dengan mereka yang pro kantung pengaman. Tapi perdebatan biasanya tidak berpusat pada penyelamatan lebih banyak nyawa. New York adalah negara bagian AS pertama yang memperkenalkan undang-undang yang mewajibkan penggunaan sabuk pengaman di kursi depan mobil pada 1 Januari 1985, beberapa tahun setelah Inggris, Kanada, Prancis, dan Jerman.

Tapi undang-undang yang mewajibkan sabuk pengaman butuh waktu bertahun-tahun untuk diperkenalkan sepenuhnya. Di beberapa negara, pengenalan aturan sabuk pengaman untuk pengemudi kursi depan dan penumpang kursi belakang berjarak puluhan tahun. Jepang, misalnya, pertama kali membuat sabuk pengaman wajib digunakan pengemudi dan penumpang di kursi depan pada tahun 1971, tetapi untuk penumpang kursi baru diwajibkan tahun 2008.

Undang-undang diterapkan 

Misalnya di sebuah negara bagian AS, Anda diwajibkan mengenakan sabuk pengaman, tapi ketika melintasi negara bagian lain, Anda bisa melepasnya. New Hampshire masih belum memiliki undang-undang yang mewajibkan orang dewasa untuk memakai sabuk pengaman.

Pendekatan membingungkan yang sama berlaku untuk intervensi kesehatan masyarakat lainnya, seperti pengenalan undang-undang helm sepeda motor. Di AS, ada tiga negara bagian (Illinois, Iowa, dan New Hampshire) yang tidak mewajibkan helm pengendara sepeda motor untuk segala usia, tetapi wilayah itu berbatasan dengan negara bagian yang mewajibkan semua pengendara mengenakan helm.
Konteks budaya

Illinois adalah negara bagian lain yang memperkenalkan undang-undang sabuk pengaman pada tahun 1985. Jika seseorang tak mengenakan sabuk pengaman, itu dianggap sebagai pelanggaran kecil ketika aturan itu pertama kali diperkenalkan, dan dapat dihukum dengan denda hingga $ 25 saat itu.

Denda yang ringan  

Petugas polisi juga mengumumkan secara terbuka bahwa mereka akan mengeluarkan denda hanya jika ada pelanggaran lain yang dilakukan pengendara mobil itu. Undang-undang tersebut bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa melanggar undang-undang sabuk pengaman tidak dapat dianggap sebagai kelalaian, yang berarti perusahaan asuransi masih harus membayar jika seorang pengemudi mengalami kecelakaan dan terluka saat tidak mengenakannya.

Namun, empat pengendara yang didenda berdasarkan undang-undang itu mencoba untuk menguji aturan itu di pengadilan. Ada preseden: ketika Illinois memberlakukan undang-undang yang mewajibkan pengendara sepeda motor memakai helm pada tahun 1969, Mahkamah Agung Illinois memutuskan aturan itu sebagai pembatasan kebebasan pribadi yang tidak konstitusional - sebuah keputusan yang masih berlaku sampai sekarang.

Namun pada kesempatan ini, pengadilan menjatuhkan putusan terhadap pengendara yang menguji undang-undang tersebut. Protes terhadap undang-undang sabuk pengaman tidak berarti bahwa orang Amerika secara keseluruhan mengabaikannya, meskipun mereka pada prinsipnya menolaknya.

Data yang dikumpulkan oleh pejabat federal di New York menunjukkan bahwa 70% pengendara kursi depan mematuhi undang-undang itu dua bulan kemudian. Di Inggris, sekitar 90% pengendara dan penumpang di kursi depan mengikuti aturan setelah jangka waktu yang sama.

Ketika undang-undang di kedua negara diperbarui pada awal 1990-an untuk mewajibkan penumpang di kursi belakang memakai sabuk pengaman, efeknya kurang terlihat. Di Inggris, sekitar 10% penumpang kursi belakang memakai sabuk pengaman sebelum perubahan undang-undang, kemudian angkanya meningkat menjadi 40% setelah pemberlakuan aturan baru.

Kepatuhan lebih rendah

Pada akhir 1980-an, Serbia (dulu Yugoslavia) adalah salah satu negara dengan tingkat kematian di jalan raya tertinggi di Eropa. Seperti AS, undang-undang yang mewajibkan penggunaan sabuk pengaman di Yugoslavia diberlakukan pada tahun 1985, dan pelanggar dikenakan denda sebesar $ 75 dan aturan ini diberlakukan secara ketat.

Tapi, orang Yugoslavia masih jarang memakai sabuk pengaman. Praktik umum bagi pengemudi dan penumpang di Yugoslavia, menurut penelitian pada saat itu, adalah menggantungkan ikat pinggang mereka di atas bahu tanpa memasang sabuk pengaman di tempatnya. Meskipun itu berarti mereka sering menghindari denda, mereka tidak mengenakan sabuk untuk tujuan yang dimaksudkan.

Jika pengemudi tidak berniat memakai sabuk dengan benar, mengapa harus ke pengadilan? Tidak ada batasan pada kebebasan pribadi mereka jika sabuk bisa dipakai secara tidak benar. Meskipun mekanisme pengadilan banyak digunakan di Yugoslavia, pengadilan digunakan demi keuntungan pribadi dan bukan untuk mengejar skor politik atau simbolik.

Di AS, yang terjadi justru sebaliknya. Menantang denda di pengadilan akan jauh lebih mahal daripada membayar biaya yang wajar, dan toh hanya sedikit orang yang didenda. Ini mungkin pelajaran paling berguna ketika membandingkan undang-undang sabuk pengaman dan pemakaian masker: jumlah protes tidak signifikan dan mungkin dipengaruhi oleh seberapa banyak orang di suatu negara yang menghormati otoritas dan proses hukum.

Yang lebih penting adalah apakah orang mengikuti pedoman tersebut dan seberapa efektif mereka melakukannya. Tampaknya, banyak orang mengikuti aturan penggunaan masker. Di AS, sekitar 77% orang memakainya, dengan sedikit lebih banyak di Prancis dan sedikit lebih sedikit di Jerman (Inggris tertinggal di belakang negara-negara ini untuk waktu yang lama, sebelum menyusul pada akhir Juli dan sekarang 74% orang Inggris memakai masker di tempat umum).

Tidak semua orang memakai masker dengan benar

Satu studi observasi terhadap 12.000 orang di wilayah Sao Paulo, Brazil, menemukan bahwa sekitar 30% orang yang memakai masker tidak memakai masker dengan benar sehingga hidung atau mulut mereka tak terlindung, meskipun makalah tersebut masih akan diterbitkan dalam jurnal akademis. Intervensi kesehatan masyarakat, seperti pengenalan aturan yang mewajibkan masker membutuhkan waktu.

height=700

Kerangka hukum yang memungkinkan pengawasan aturan harus benar. Tetapi waktu akan memaksa orang untuk menyesuaikan diri. Sekitar tiga perempat pengemudi dan pengendara kursi depan mengenakan sabuk pengaman di Serbia sekarang - jauh lebih banyak dibandingkan 35 tahun yang lalu. Seperti halnya masker, beberapa orang masih belum melakukannya dengan benar - hanya 10% penumpang kursi belakang yang mengenakan sabuk pengaman dengan benar - tetapi pemerintah Serbia terus mengkampanyekan penggunannya yang tepat.

Meskipun ada protes dari minoritas yang vokal, sikap terhadap masker berubah karena bukti menunjukkan bahwa intervensi akan membuat perbedaan dan seiring waktu orang yang taat aturan itu akan terus meningkat, seperti yang terjadi dalam kasus sabuk pengaman. (*)

Tags : Masker dan Sabuk Pengaman, Masker dan Sabuk Pengaman Diabaikan, Masker dan Sabuk Pengaman Bisa Menyelamatkan Nyawa,