Nusantara   2024/04/01 12:4 WIB

Masyarakat Lokal 'Merasa Terusir' dari Tanah Mereka Sendiri, 'Saat IKN Digadang jadi Magnet Ekonomi Baru'

Masyarakat Lokal 'Merasa Terusir' dari Tanah Mereka Sendiri, 'Saat IKN Digadang jadi Magnet Ekonomi Baru'
Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) di IKN

KALIMANTAN TIMUR - Gencarnya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) , yang diklaim sebagai kota “inklusif”, justru membuat masyarakat asli “merasa diusir dan disingkirkan” dari tanah mereka.

Meskipun di sisi lain, IKN juga menjadi "magnet ekonomi baru" bagi mereka yang ingin mengadu nasib.

Pada pertengahan Februari lalu dan berbincang dengan warga sekitar soal bagaimana megaproyek ambisi Presiden Joko Widodo ini telah berdampak bagi kehidupan mereka.

“Di sini mau jadi kota, kalau kami mau diusir sama saja. Ndak melihat kami kota itu,” kata Sukini, salah satu warga Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara.

Perempuan berusia 50 tahun itu mengaku tidak turut merasakan suka cita atas pembangunan IKN.

Desa tempat dia tinggal berhimpitan dengan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP). Selama ini, Desa Bumi Harapan dihuni oleh masyarakat keturunan Suku Balik, Suku Paser, serta transmigran.

Suara senada diutarakan oleh Syarariyah, 48, warga keturunan Suku Paser yang keluarganya telah tinggal turun temurun di wilayah itu.

Ketika kabar bahwa ibu kota negara akan pindah ke Penajam Paser Utara, Syarariyah dan suaminya termasuk yang turut menyambutnya. Namun perasaan itu telah berganti menjadi kekhawatiran karena disingkirkan.

“Katanya nanti di IKN ini ada teknologi canggihnya, pakai motor listrik, kami ingin lihatlah itu IKN bagaimana nantinya,” kata Syarariyah, Februari silam.

Satu per satu warga di Desa Bumi Harapan sudah digusur untuk pembangunan infrastruktur IKN, termasuk sejumlah kerabat Syarariyah. Dia dan Sukini tinggal menunggu waktu.

Persoalannya, kata Syarariyah, proses penawaran ganti rugi disampaikan kepada warga satu per satu sehingga mereka kesulitan menggalang kekuatan untuk memperjuangkan hak-haknya.

Terkadang, dia bahkan tidak tahu kapan tetangganya pindah.

Ada yang terpaksa menjauh dari IKN karena uang ganti rugi yang mereka terima tidak sebanding dengan kenaikan harga tanah yang drastis.

“Sedih lah, dijauhkan dari keluarga kita yang tadinya dekat bisa ngumpul, bisa tahu kabar, dan lagi orang tua juga jauh. Sedikit-sedikit masyarakat di sini sudah tersingkir dengan IKN ini,” ujar Syarariyah.

Hal serupa terjadi pada Rini dan Hamidah.

Rini, perempuan keturunan Suku Paser berusia 26 tahun, kini hidup terpisah dengan keluarganya setelah pindah ke Batu Engau yang jaraknya sekitar sembilan jam perjalanan dari IKN.

Sedangkan Hamidah kini tinggal di wilayah Waru yang berjarak dua jam perjalanan dari IKN.

Dia membeli rumah baru dari uang ganti rugi, lalu membuka warung untuk bertahan hidup.

Kehidupan Hamidah memang relatif membaik secara ekonomi setelah berbulan-bulan meninggalkan IKN. Itu dia upayakan sendiri tanpa pendampingan pemerintah.

“Saya diusir suruh pindah, dipindah itu ke mana? Ndak ditunjukkan,” kata Hamidah.

“Kalau memang disuruh, ‘Kamu bangun di situ lagi, ndak usah jauh-jauh’. Ya, aku bikinkan di situ kan. Itu ndak banyak ngomong, diam. Yang penting disuruh pindah, sudah.”

Pasalnya, janji-janji Otorita IKN untuk membangunkan kampung adat atau memberikan lahan untuk relokasi warga yang tergusur sampai ini belum tampak wujudnya.

Apa yang terjadi pada warga Desa Bumi Harapan menguak masalah sosial yang begitu kompleks dan belum selesai di balik pembangunan IKN.

Sosiolog dari Universitas Mulawarman, Sri Murlianti mengatakan bahwa hal-hal yang sejak awal dikhawatirkan mengenai nasib masyarakat lokal sudah mulai menjadi kenyataan.

Masyarakat Suku Balik dan Suku Paser – sebagai dua suku adat yang menempati wilayah IKN – menjadi yang paling terdampak oleh megaproyek ini.

Mereka "disingkirkan" dan dibiarkan menata kembali kehidupannya dari nol, sementara kampung halaman mereka menjelma menjadi “kota modern” yang tak bisa mereka nikmati.

Padahal Sri sempat berharap pembangunan IKN dapat menjadi proyek pionir yang memperbaiki kebijakan terhadap masyarakat adat setelah selama ini mereka dipinggirkan dalam pembangunan.

“Sebenarnya ini kan cuma pengulangan saja dari modus operandi tentang bagaimana masyarakat sengaja disingkirkan di dalam pembangunan itu,” kata Sri.

Namun di sisi lain, pembangunan IKN juga mulai memicu geliat ekonomi di kawasan sekitarnya.

Presiden Joko Widodo juga menggadang-gadang bahwa IKN akan menciptakan "magnet ekonomi baru".

Beragam bisnis dan usaha baru ikut muncul di sekitarnya, mulai dari rumah makan, minimarket, hotel, rumah kontrakan, bank, toko bahan bangunan, laundry, dan lain-lain.

Kami juga bertemu dengan Musmulyadi, 55, dan istrinya, Nurmis, 50, yang merantau ribuan kilometer dari Sumatra Barat untuk mengadu nasib di IKN.

Kehadiran megaproyek ini menjadi magnet bagi mereka untuk mengais rejeki.

Musmulyadi adalah seorang kuli bangunan yang berharap suatu hari nanti bisa menjadi pemborong di dalam proyek IKN.

Sementara itu, Nurmis ingin membuka usaha catering untuk para pekerja di IKN.

Nurmis bahkan rela meninggalkan pekerjaannya di sebuah rumah sakit di Painan, Sumatra Barat demi mengejar mimpi itu.

"Karena ada IKN ini rasanya ada peluang kehidupan. Perusahaan sudah banyak berdiri, orang sudah banyak mengontrak. Itu peluangnya ada di sini. Makanya saya berani nekat ke sini untuk merantau, untuk mandiri," kata Nurmis.

Cerita warga yang terpaksa menjauh dari IKN

Ketika pertama kali rencana pembangunan IKN diumumkan, Hamidah belum membayangkan bahwa suatu waktu rumahnya di Desa Bumi Harapan akan digusur.

“Pas turun lapangan kedua [pengukuran oleh petugas], baru di situ kami tahu. Di situ diberi tahu, ‘bahwa rumah ibu diambil dengan sekian harga’,” kata Hamidah (60).

Rumahnya digusur untuk pembangunan infrastruktur pengolahan air limbah dan sampah terpadu IKN. Saat itu, dia merasa tidak punya pilihan untuk menolak.

“Kalau saya ndak mau ngikut, yang sebelah-sebelah kan ikut semua. Kalau saya bertahan, otomatis saya sendirian. Kalau kompak bertahan, otomatis saya bertahan juga,” kata Hamidah ketika ditemui di rumahnya.

Pada Juli 2023, dia ditawarkan ganti rugi sebesar Rp56 juta untuk rumah kayunya.

Untungnya, dia masih memiliki ladang warisan turun temurun dari orang tuanya sehingga total ganti rugi yang dia terima mencapai Rp500 juta.

Setelah menerima pembayaran, Hamidah mengaku hanya diberi waktu tiga hari untuk mengosongkan rumahnya.

Dia mulai mencari-cari rumah baru, namun enggan di sekitar kawasan IKN.

“Ndak nyaman lah saya. Nanti saya diangkat [digusur] lagi. Sudah digitukan rumah saya kan, ngapain saya tinggal di situ lagi,” ujarnya.

Pilihannya jatuh pada rumah tipe 45 di sebuah komplek kecil di Waru, Kabupaten Penajam Paser Utara seharga Rp240 juta.

Sejak hari itu, kehidupan Hamidah bersama anak dan cucunya pun berubah.

Kalau dulunya Hamidah terbiasa berladang dan memancing, kini dia membuka warung untuk bertahan hidup.

Secara ekonomi, Hamidah merasa kehidupannya memang membaik dan menjadi lebih nyaman.

Rumahnya sudah tidak lagi bocor saat hujan. Suasana di rumahnya saat ini juga lebih nyaman dibanding di Desa Bumi Harapan, di mana debu proyek bertebaran dan truk tak berhenti lalu lalang.

Namun sebagai harga yang harus dibayar, dia harus rela berjauhan dari keluarga-keluarganya dan meninggalkan kenangan akan kampung halamannya.

Sesekali dia masih kembali ke Sepaku untuk bertemu dengan keluarganya yang masih bertahan di sana.

Dia juga harus merelakan kampungnya dibangun menjadi kota yang tidak dia nikmati.

“Malah orang yang jauh datang, malah kami diusir,” kata dia.

“Apa ndak merasa diusir. Kalau ndak diusir, ‘Oh kamu bangun [rumah] di situ. Pindah di situ saja rumahmu ke sebelah’. Itu tandanya ndak diusir, tapi kalau begini ini kan tandanya diusir,” tutur Hamidah.

Warga Desa Bumi Harapan lainnya, Rini, terpaksa pindah begitu jauh dari IKN ke Batu Engau, Kabupaten Paser, yang berbatasan dengan Kalimantan Selatan.

Padahal sebelumnya, rumah Rini berlokasi di sekitar kawasan inti IKN.

Lahannya seluas 1.500 meter persegi diganti rugi sebesar Rp300.000 per meter.

Ketika diberi tahu sudah harus pindah, Rini sempat mencoba mencari-cari lahan baru di sekitar IKN. Akan tetapi harganya jauh lebih tinggi.

“Waktu itu kisarannya Rp1 juta per meter kalau tidak salah, bahkan ada yang menawarkan Rp1,5 juta per meter. Jadi bagaimana saya mau menetap di Sepaku. Jangankan untuk buka usaha, untuk beli tanah saja saya mikir-mikir,” ujar Rini.

Rini sempat tidak tahu mau pindah ke mana, sehingga dia menumpang di rumah adiknya selama beberapa bulan. Baru pada Oktober lalu, dia menemukan lahan yang lebih terjangkau di Batu Engau.

Selain membangun rumah, dia juga membeli dua hektare kebun sawit untuk sumber penghasilannya.

Sama seperti Hamidah, Rini kini tinggal berjauhan dengan keluarganya.

“Kami harus rela jauh-jauhan,” tuturnya.

“Dibilang kecewa ya pasti iya. Di sana ada keluarga, adik, dan sebagainya. Di sini saya kayak orang asing lagi. Beradaptasi di tempat yang baru,” kata Rini.

Perkara ganti rugi di IKN ini telah memicu ketidakpuasan oleh sebagian warga yang terdampak.

Ada yang mengaku diganti rugi sebesar Rp300.000 per meter, bahkan ada pula yang Rp95.000 per meter.

Bahkan ada salah satu warga yang menerima ganti rugi sebesar Rp14.000 per meter.

Itu pula yang dikhawatirkan Syarariyah, warga Desa Bumi Harapan, akan menimpa dirinya. Syarariyah tidak memiliki sertifikat atas tanah yang ditinggali keluarganya turun temurun.

Dia ingin menjadi bagian dari IKN, tapi jika pemerintah hanya mengganti tanam tumbuh di atas lahannya saja, dia tidak yakin bisa mendapat tanah yang sepadan dengan yang dia tinggali saat ini.

Sebelum ada IKN, kata Syarariyah, harga tanah di wilayah ini dibandrol sekitar Rp20 juta hingga Rp30 juta per hektare.

Sementara sekarang, harga tanah di sekitar wilayah IKN sudah melambung menjadi jutaan rupiah per meter.

“Kalau dihargai segitu kan kami tidak bisa beli lagi di luar. Mau ditempatkan di mana kami kalau lahan kami diambil dan harganya murah? Mungkin kami dapat [tanah seluas] 10x15 meter saja," tutur Syarariyah.

"Sedangkan kami banyak anak, banyak keluarga. Sedangkan kami punya lahan yang begitu luas, yang kami bisa hidup bercocok tanam, bisa beternak."

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan ganti rugi yang tidak sepadan itu secara tidak langsung adalah bentuk penyingkiran bagi masyarakat. Apalagi tanpa dibarengi kebijakan yang memberi tempat bagi mereka di IKN.

"Otomatis mereka terpaksa membeli tanah yang jauh-jauh dari lokasi IKN. Otomatis itu kan penyingkiran. Makanya kami tidak mau masyarakat adat yang sudah turun temurun di sana tersingkir dari IKN karena mereka punya tempat di situ," kata Ketua AMAN Kalimantan Timur, Saiduani Nyuk.

AMAN juga menyoroti bahwa proses ganti rugi ini seakan tidak memberi ruang penolakan bagi masyarakat. Kalau masyarakat menolak, maka otoritas mengarahkan penyelesaiannya pada jalur pengadilan.

Padahal rata-rata masyarakat tidak melek hukum. Pada akhirnya, ada yang memilih pasrah menerima penawaran itu.

Dikutip dari Kompas.com, belasan warga sempat menggugat keberatan atas nilai ganti rugi yang diberikan tim apraisal dari Badan Pertanahan. Mereka merasa penilaian harga itu tidak adil.

Tetapi gugatan itu pada akhirnya ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Penajam Paser Utara.

Pada pertengahan Februari lalu, Sekretaris Otorita IKN Achmad Jaka Santos mengeklaim proses ganti rugi itu telah sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

"Pemerintah itu hanya melaksanakan, kalau tidak sepakat antara angka yang disiapkan oleh negara, rakyat boleh melakukan ke pengadilan. Makanya uangnya ditaruh dikonsignasi," jelas Jaka.

"Jadi kalau bicara harga berbeda bukan berarti tidak adil. Itu semua ada aturannya. Sejauh ini, sepanjang itu sesuai aturan, itulah yang disebut kepastian hukum. Kalau sesuai kemauan masing-masing, ya tidak akan ketemu," sambungnya.

Jaka juga mengeklaim akan ada wilayah-wilayah yang diperuntukkan untuk "pengakuan eksistensi masyarakat adat, serta tempat pembuktian pemberdayaan masyarakat adat".

Hanya saja, kewenangan Otorita sampai saat ini masih terbatas.

"Ada, nanti Insya Allah ada," kata Jaka, sambil menyinggung bahwa komitmen itu juga tertuang dalam Undang-Undang IKN.

Potret kemiskinan struktural di balik ‘kemegahan’ IKN

Bagi yang masih tinggal di kawasan sekitar IKN pun, hidup pun sudah tidak lagi nyaman.

Jarak rumah Sukini hanya terpaut sekitar empat kilometer dari Istana Negara.

Sejak pembangunan gedung-gedung pemerintahan dimulai, Desa Bumi Harapan yang dulunya sepi dan dikelilingi tanaman hijau, kini berubah drastis.

Proyek pembangunan ini berkejaran dengan waktu karena Presiden Joko Widodo menargetkan akan mulai berkantor di IKN pada Juli 2024.

Setelah itu, upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2024 juga akan digelar di sana untuk pertama kalinya.

Truk-truk pengangkut material bangunan tidak pernah berhenti lalu lalang di jalan raya tepat di depan rumah Sukini. Akibatnya, kawasan itu menjadi berselimut debu.

“Setiap hari seperti ini. Capek saya melihat debu. Air minum pun ndak ada di sini bantuan. Saya sampai pakai air hujan itu, ndak ada bantuan dari IKN,” ujar Sukini.

Realita yang dihadapi Sukini sehari-hari begitu kontras dengan kemegahan IKN yang kerap ditampilkan di media sosial.

Bagi warga Desa Bumi Harapan, tidak ada lagi “udara segar” seperti yang dihirup Menteri Agraria dan Tata Ruang Agus Yudhoyono ketika bermalam di IKN bersama presiden dan pejabat lainnya pada akhir Februari lalu.

Di rumah Sukini, tidak ada dinding marmer, lampu hias, atau perangkat ‘smart home’ seperti yang terlihat di rumah menteri di IKN dalam video yang viral beberapa waktu lalu.

Rumah kayu seluas 20 meter persegi itu adalah peninggalan mendiang suaminya yang merupakan keturunan Suku Paser.

Di situ lah Sukini berbagi ruang dengan anak-anaknya. Mereka cuma memiliki satu kasur, sehingga Sukini biasanya tidur di lantai beralas tikar. Di salah satu sudut, terdapat kulkas tua yang sudah usang dan tak lagi berfungsi.

Sukini memiliki empat orang anak. Anak pertamanya sudah menikah dan tinggal terpisah.

Anak keduanya bekerja sebagai wakar (petugas penjaga keamanan area proyek saat malam hari) di IKN dengan upah Rp130.000 per hari. Upah inilah satu-satunya sumber yang menghidupi mereka sekeluarga sehari-hari.

Anak ketiganya, perempuan, sudah berhenti sekolah setelah lulus SD dua tahun yang lalu, sedangkan anak keempatnya masih duduk di bangku SD.

Sukini memiliki ladang di belakang rumahnya, namun dia tidak lagi sanggup berladang sejak menderita asam urat.

Dia juga ragu kehadiran proyek IKN dapat memberi peluang yang lebih baik untuk keluarganya yang berlatar pendidikan rendah.

“Anak saya yang bujang itu kan enggak sekolah, jadi ya enggak bisa kerja yang lain kan. Cuma buruh-buruh gitu saja,” tutur Sukini.

Kalau suatu waktu mereka harus pindah dari IKN, Sukini mengaku belum tahu nasibnya akan seperti apa.

“Saya sih sebetulnya ndak mau pindah, mau pindah ke mana kan? Rumah cuma di sini, tanah. Kita mau pindah, pindah ke mana? Kan rumah ndak punya. Cuma satu-satunya ini peninggalan bapaknya,” kata Sukini.

“Jangan sampai lah kita hidup di jalanan, anak saya minta-minta di jalanan jangan sampai lah. Susah-susah kita kayak apa caranya, jangan sampai.”

Akan tetapi, dia juga merasa tidak berdaya untuk bisa melawan.

“Kita mau bertahan satu saja di sini kan ndak bisa kalau ndak ada yang bertahan. Namanya pemerintah sudah. Kalau perusahaan kita bisa berkeras. Kalau pemerintah itu kita ndak bisa berkeras. Yang kuminta sesuai, itu saja, anggarannya,” ujar Sukini.

Magnet bagi mereka yang ingin mengadu nasib

Ketika orang-orang yang mendekati usia pensiun memilih untuk menikmati masa tuanya, Musmulyadi dan Nurmis justru memulai babak baru di IKN.

Semua berawal ketika Nurmis mendengar kabar bahwa pemerintah akan membangun IKN di Kalimantan Timur. Kebetulan, lokasinya berdekatan dengan tempat tinggal keluarga Musmulyadi.

“Saya tanya, ‘Mas, kalau kita merantau ke Kalimantan gimana? Coba dulu di sana, kan kata orang sudah berdiri IKN, siapa tahu nanti ada kemajuan, perubahan hidup kita. Walaupun anak-anak kita sudah tamat [sekolah], kan kita butuh biaya untuk tua nanti. Enggak mungkin mengeluh ke keluarga’,” kata Nurmis mengenang pembicaraan dengan suaminya.

Di Sumatra Barat, Musmulyadi adalah seorang kuli bangunan dengan upah Rp200.000 per hari. Sementara Nurmis bekerja di sebuah rumah sakit.

“Di sana, kalau [penghasilan] cukup sih mencukupi. Tapi rasanya enggak ada bayangan untuk ke depannya itu hidup aku indah. Makanya aku keluar dari situ, mana tahu nanti dapat rasa nyamannya,” ujar Nurmis.

Pada Januari 2024, mereka pun berangkat ke IKN dengan harapan untuk mengubah nasib. Awalnya mereka menumpang di rumah keluarga Musmulyadi.

Baru dua hari, Musmulyadi bertemu dengan warga setempat yang membutuhkan tukang untuk membangun rumah kontrakan. Musmulyadi pun menyanggupinya dengan upah Rp250.000 per hari.

Ketika ditemui di tengah teriknya matahari di Kelurahan Sepaku, Musmulyadi dan istrinya berbagi tugas. Nurmis sibuk mengaduk semen, sedangkan Musmulyadi memasang keramik.

Ada tujuh petak kontrakan yang dibangun. Sepengetahuan Musmulyadi, masing-masing kontrakan itu akan disewakan kepada pekerja dari Pulau Jawa dengan harga sewa Rp4,5 juta per bulan.

Kehadiran proyek IKN memang telah menambah subur pembangunan kontrakan semacam ini. Persis seperti yang dibayangkan Musmulyadi sebelum datang.

Walau upah yang dia terima hanya selisih Rp50.000 dibandingkan di Sumatra Barat, Musmulyadi mengatakan mereka berupaya berhemat demi mengumpulkan modal.

Baginya, pekerjaan kali ini adalah permulaan. Ke depannya, dia ingin menjadi pemborong di dalam proyek IKN. Sementara Nurmis punya harapan untuk membuka usaha catering.

“Namanya kami baru datang, pasti kami dari nol dulu. Kami harus mempelajari bagaimana cara-cara di sini. Kami pelajari berapa [upah] harian di sini, berapa pekerja, berapa upah tukang, berapa upah kepala tukang, itu kita harus pelajari dulu,” kata Musmulyadi.

“Kalau ibu nanti ya istilahnya dia mau kerja-kerja dulu bulanan, di kedai-kedai ikut catering, enggak masalah. Nanti setelah punya modal, kalau bisa kami buka catering sendiri,” ujarnya.

Sebagai yang turut merasakan dampak ekonomi dari IKN, setidaknya untuk saat ini, Musmulyadi berharap megaproyek ini terus berlanjut.

“Kalau kami sebagai masyarakat kecil, mudah-mudahan proyek IKN ini terus berlanjut. Setidaknya kan untuk bisa mengurangi tingkat pengangguran, contohnya kami juga merantau di sini tidak sampai terlantar lah,” tutur Musmulyadi.

Sosiolog: 'Masyarakat sekitar akan menjadi asing'

Sosiolog dari Universitas Mulawarman, Sri Murlianti, mengatakan situasi yang dihadapi masyarakat adat juga berbeda dengan para transmigran yang cenderung memiliki latar belakang pendidikan dan sumber daya lebih baik.

Kalaupun masyarakat adat tidak disingkirkan dari tanah mereka, pemerintah memiliki pekerjaan rumah besar untuk memberdayakan mereka.

Pemerintah tidak bisa hanya bertanggung jawab secara materi dengan membayarkan ganti rugi atas aset mereka, lalu membiarkan mereka meniti hidup kembali dari nol.

Pasalnya selama ini, mereka terbiasa menggantungkan hidup pada tanah dan ladang. Bukan bekerja pada sektor formal. Bahkan hanya segelintir yang menempuh pendidikan tinggi.

"[Tahun] 2019 itu saya catat, yang sampai di perguruan tinggi itu tidak sampai lima orang dan yang sarjana baru satu orang. Tetapi yang paling banyak itu SMP atau tidak lulus SMP sebenarnya," papar Sri.

Dengan realita seperti itu, masyarakat asli akhirnya dihadapkan pada situasi yang "serba salah".

"Walaupun setelah itu ada [kebijakan] afirmasi beasiswa untuk anak-anak asli, tapi kan baru mulai. Jadi kalau tiba-tiba di situ ada ibu kota, pendatang, kita bisa bayangkan," ujarnya.

Menurut Sri, realita itu bertentangan dengan beragam jargon yang digaungkan bahwa IKN akan menjadi “kota hijau, modern, dan inklusif”.

"Saya kira kota ini akan menjadi tempat yang sangat ekslusif untuk sebagian kalangan tertentu, yang bahkan masyarakat di sekitarnya pun akan menjadi asing," kata Sri.

'IKN hanya melanjutkan prosedur perampasan lama'

Menurut Sri, proses pembangunan IKN sudah tidak adil sejak awal terhadap hak-hak masyarakat sekitar, terutama masyarakat adat Suku Balik dan Suku Paser.

Mereka telah terdesak oleh kehadiran industri ekstraktif seperti kayu dan sawit yang berkembang pesat sejak tahun 1960-an.

Itulah mengapa mayoritas masyarakat adat tidak memiliki sertifikat. Mereka hanya memegang surat segel tanah.

Ketika hendak mengurus legalitas atas tanah itu, banyak yang lahannya ternyata tumpang tindih dengan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan.

Sri mengatakan persoalan itu berlangsung selama puluhan tahun tanpa pernah benar-benar diselesaikan.

“Jadi ketidakadilan itu bukan hanya pada saat IKN. IKN hanya melanjutkan prosedur perampasan yang sebenarnya sudah berlangsung berkali-kali sejak industri kayu marak, sebelum menjadi perkebunan eukaliptus,” tutur Sri.

Sejak gagasan IKN muncul hingga kini dibangun, pemerintah pun belum kunjung mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah dan ladang mereka.

Tanpa pengakuan atas tanah itu pun, Sri mengatakan sulit berharap hak-hak masyarakat dapat dipenuhi, meski pemerintah mengeklaim akan mengganti rugi secara layak.

"Layak itu dengan ukuran apa? Karena tanah mereka tidak pernah diakui sebagai hak milik yang legal. Jadi ganti rugi yang layak, kemudian kalau cuma dihargai sebagai segel kan cuma diganti tanam tumbuh," ujar Sri.

“Kalau kita cuma melihat IKN itu sebagai bangunan modern, orang-orang akan terpana, tapi kalau orang mengikuti prosesnya dari awal menangis lah."

“Tadinya saya punya harapan IKN itu akan jadi pilot project pertama pemerintah Indonesia untuk memperbaiki kebijakan terhadap suku-suku asli di Indonesia yang sudah lama terepresi oleh proses pembangunan sejak zaman Orde Baru, tapi kenyataannya ini lebih buruk dari zaman Orde Baru menurut saya,” paparnya.

Otorita: 'Mengukur keberhasilan IKN itu jangan sekarang, tapi 2045'

Sekretaris Otorita IKN Achmad Jaka Santos Adwijaya mengatakan bahwa pihaknya juga menyiapkan program-program pemberdayaan untuk masyarakat lokal. Salah satunya, "memajukan pendidikan setempat".

"Masyarakat adat yang lalu memang banyak yang tertinggal, tapi kalau dia punya anak keturunan, oke anaknya umur berapa dan sekolahnya di mana?"

"Nah kalau sekolah-sekolah di sekitar IKN ini ditingkatkan kualitasnya, diperbaiki kurikulumnya, diperbaiki kualitas guru-gurunya, diperbaiki infrastrukturnya, kita nanti akan melihat hasilnya lima, 10, hingga 20 tahun ke depan," ujar Jaka.

Sejauh ini, sebagian masyarakat lokal juga dipekerjakan di proyek IKN sesuai latar belakang pendidikan mereka.

"Kalau orang itu lulusan SD kan tidak mungkin jadi PNS, tapi dia bisa bekerja sebagai apa? Kita bikin pelatihan yang tadinya tidak bisa mengoperasikan eskavator, sekarang sudah banyak yang bisa," ujar Jaka.

Dia mengatakan butuh waktu yang panjang untuk bisa membangun dan memberdayakan masyarakat di IKN.

"Jadi kita tidak bicara ketika 2024 semua harus disulap, KIPP jadi bagus, orang-orangnya juga langsung pintar-pintar."

"Mengukur keberhasilan Otorita, keberhasilan pembangunan IKN itu jangan sekarang, tapi 2045," ujar Jaka. (*)

Tags : ibu kota nusantara, pembangunan ikn, kalimantan timur, masyarakat lokal merasa terusir, ikn digadang jadi magnet ekonomi,