Headline Sorotan   2021/09/24 16:12 WIB

Muncul Klaster Covid-19 Diberbagai Sekolah, Perlukah Pembelajaran Tatap Muka Terbatas Dipertahankan?

Muncul Klaster Covid-19 Diberbagai Sekolah, Perlukah Pembelajaran Tatap Muka Terbatas Dipertahankan?
Muncul klaster Covid-19 di berbagai sekolah semestinya tidak menghentikan pembukaan sekolah secara terbatas, kata pengamat pendidikan.

"Muncul klaster Covid-19 diberbagai sekolah, setidaknya 15.000 murid sekolah di berbagai daerah terpapar Covid-19 sejak Maret 2020"

ata dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), setidaknya sudah 15.000 murid sekolah di berbagai daerah terpapar Covid-19 sejak Maret 2020. Data ini muncul saat PTM secara terbatas sudah digelar di hampir setengah sekolah yang ada di Indonesia. Klaster terbaru di sekolah, antara lain terjadi di tiga kota di Jawa Tengah, yaitu Purbalingga, Blora, dan Jepara. Awal pekan ini 90 murid di satu SMP di Purbalingga dinyatakan positif Covid.

Meski begitu, pemerintah pusat terus mendorong kepala daerah segera membuka kembali sekolah, terutama jika wilayah mereka masuk kategori PPKM level satu hingga tiga. Namun pakar pendidikan mendorong pemerintah tidak mengejar target jumlah sekolah yang dibuka, melainkan mengutamakan aspek kesehatan. Selama pandemi, Jawa Barat berada di urutan pertama dalam daftar provinsi dengan jumlah murid terpapar Covid di sekolah, yaitu 2.529 orang. Data itu merujuk survei terbaru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Eli, orang tua murid di Kabupaten Subang, Jawa Barat, mengaku kini tidak memiliki opsi untuk selalu menyekolahkan dua anaknya secara daring dari rumah.

Jika memaksakan anaknya belajar secara daring ketika PTM sudah bergulir, Eli menilai kemampuan akademis anaknya akan tertinggal dari teman-teman seangkatannya. "Sempat ada orang tua murid yang menolak PTM, tapi nanti anak yang rugi. Belajar dari rumah dan PTM sangat berbeda, terutama untuk anak SD. Daring seperti tidak sekolah," ucapnya seperti dirilis BBC News Indonesia, Rabu (22/09). 

Untuk memastikan anaknya tidak terpapar Covid di sekolah, Eli meminta mereka untuk selalu menaati protokol kesehatan. Eli berkata, anaknya perlu menjaga diri sendiri dan tidak bergantung pada sistem maupun kepatuhan orang lain terhadap protokol kesehatan (prokes). "Saya mewanti-wanti agar anak saya tidak memegang barang sembarangan dan sering cuci tangan," ujarnya.

"Mau tidak mau mereka harus ke sekolah karena sudah ada ketetapan pemda bahwa sekolah wajib melakukan PTM terbatas. Sebelumnya kan murid dipersilakan untuk mengikuti PTM atau belajar secara daring dari rumah. Tapi karena sudah menjadi aturan pemerintah, mau tidak mau ikut kami patuhi," kata Eli.

Sementara itu, Siti, orang tua murid di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, justru bersyukur anaknya bisa kembali belajar di sekolah. Dia yakin anaknya tidak akan terpapar Covid jika selalu menerapkan protokol kesehatan. "Pendidikan dari dulu dilakukan tatap muka. Kalau memang kondisinya sudah baik dan normal, ya kembali saja ke awal, kecuali ada aturan bahwa sekolah harus daring. Mungkin banyak yang menilai pembelajaran secara daring itu positif, tapi buat saya, ternyata menemani anak-anak belajar di rumah itu sulit sekali," kata Siti.

Selama September 2021, berdasarkan data Kemendikbud Ristek, 42% sekolah di berbagai jenjang pendidikan sudah menggelar PTM terbatas. Ini adalah persentase tertinggi sejak Agustus tahun lalu. Merujuk Surat Keputusan Bersama (SKB) yang diteken menteri urusan pendidikan, kesehatan, agama, dan dalam negeri, sekolah wajib menggelar PTM terbatas jika para tenaga pengajarnya sudah divaksin.

Ketentuan itu diutamakan pada daerah yang masuk kategori PPKM level satu sampai tiga. Meski begitu, orang tua murid dibebaskan untuk memberangkatkan anak mereka ke sekolah atau belajar dari rumah. Pelaksanaan PTM terbatas di setiap sekolah berbeda. Sekolah boleh menggelar PTM selama tujuh hari, tapi tetap menyediakan opsi pembelajaran daring. Dalam setiap sesi PTM, jumlah maksimal murid di kelas adalah 18 orang atau 50% dari kapasitas. Aturan ini berlaku untuk sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas.

Sementara untuk jenjang pendidikan usia dini dan sekolah luar biasa, jumlah maskimal murid di kelas adalah lima orang atau 62% dari kapasitas. Dalam kasus 90 murid tertular Covid di Purbalingga, pejabat setempat membantah kejadian itu terjadi akibat pelanggaran terhadap batas-batas pelaksanaan PTM. "Sekolah itu belum melaksanakan PTM. Anak-anak datang ke sekolah hanya untuk mengambil soal penilaian tengah semester," kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Purbalingga, Tri Gunawan Setiyadi.

"Itu pun dilaksanakan secara bergilir, mereka tidak datang secara bersamaan. Sekolah juga sudah menerapkan prokes, menyediakan sarana cuci tangan, hand sanitizer, dan melarang anak untuk berkerumun," ujarnya.

Tri berkata, pihaknya masih menyelidiki penyebab tertularnya puluhan murid tersebut. Pemda berupaya mengisolasi mereka di tempat karantina yang terpusat, tapi Tri menyebut banyak orang tua murid yang menolak cara itu. Pernyataan serupa juga dinyatakan pejabat Jawa Tengah terkait sekitar 40 murid yang positif di delapan sekolah di Kabupaten Blora. Kepada pers, Kepala Dinas Kesehatan Jawa Tengah, Yulianto Prabowo, menyebut puluhan murid itu dinyatakan positif Covid sebelum mengikuti PTM di sekolah.

Bagaimanapun, munculnya kasus Covid ini semestinya tidak menghentikan upaya memulai kembali pembelajaran di sekolah, menurut Totok Amin, pakar pendidikan dari Universitas Paramadina. Totok berkata, setiap klaster harus ditangani masing-masing. Dari situ, kata dia, pemerintah harus mendapatkan solusi agar klaster yang sama tidak terjadi di sekolah dan daerah lain. "Jangan diperlakukan secara umum, tapi kasus per kasus. Dimitigasi dan dipelajari mengapa terjadi. Itu bisa jadi pembelajaran bagi yang lain. "Tapi tidak bisa karena ada klaster Covid lalu seluruh PTM dihentikan," kata Totok.

Walau menganggap PTM penting dilakukan untuk mengatasi konsekuensi negatif pembelajaran jarak jauh selama pandemi, Totok menyebut pemerintah harus tetap mengutamakan aspek kesehatan. Menurut Totok, pemerintah perlu mempertimbangkan vaksinasi orang tua murid dalam menggelar PTM. Selama ini, upaya membuka kembali sekolah hanya dipatok pada tingkat vaksinasi tenaga pengajar. "Hukum pertama harus aspek kesehatan, kalau sudah aman baru dibuka. Targetnya adalah kesiapan dari segi infrastruktur, termasuk guru. Tapi idealnya bukan hanya guru yang divaksin, tapi juga orang tua. Itu lebih aman," ujar Totok.

Pada sesi diskusi online, Selasa lalu, Dirjen PAUD dan Pendidikan Dasar Menengah, Jumeri, menyebut bahwa proses pembelajaran yang hilang selama sekolah daring mesti ditangani lebih cepat. Menurutnya mayoritas sekolah sudah siap menjalankan PTM, antara lain karena sudah menyiapkan sarana cuci tangan. Jumeri berkata, pemerintah juga menargetkan seluruh guru di Indonesia selesai tuntas menerima dosis kedua vaksin Covid pada akhir September ini. "Kami butuh dukungan daerah, agar level 1-3 segera membuka PTM terbatas. Sebagian besar (64%) sekolah belum bisa PTM karena belum diizinkan oleh pemda," kata Jumeri dalam webinar tersebut.

Salah satu pemda yang masih melarang PTM adalah Purbalingga. Padahal selama 21 September hingga pekan pertama Oktober, kabupaten ini masuk PPKM level tiga. Kepala Dinas Pendidikan Purbalingga, Tri Gunawan, menyebut semua sekolah harus membuktikan kesiapan sarana-prasarana yang memungkinkan penularan Covid. Itu pun, kata Tri, belum cukup karena pembukaan sekolah harus menunggu kajian satgas Covid terhadap pandemi di Purbalingga.

Pekan lalu badan PBB di bidang kesejahteraan anak UNICEF, untuk unit di negara berkembang,, mendorong agar pemerintah Indonesia kembali membuka sekolah di berbagai wilayah. Penutupan sekolah, menurut UNICEF, tidak hanya berdampak pada aspek pendidikan, tapi juga kesehatan dan keamanan anak. Salah satu konsekuensinya, merujuk survei yang mereka lalukan dengan Kementerian Kesehatan, UNICEF menyebut terjadi peningkatan pernikahan dini selama pandemi. Permohonan dispensasi pernikahan untuk anak naik tiga kali lipat selama setahun terakhir.

Kemendikbud Ristek juga menggunakan data-data itu sebagai pertimbangan kebijakan pembukaan sekolah. Meski begitu, pro-kontra terkait kebijakan ini masih terus terjadi, baik di kalangan orang tua murid maupun pakar kesehatan. Sejak pembelajaran tatap muka dibuka oleh pemerintah pusat, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Timur, dan Bali adalah provinsi yang paling sedikit membuka kembali sekolah. Sementara itu, PTM terbanyak berlangsung di Aceh, Maluku Utara, Sumatera Barat, dan Jambi. (*)

Tags : Virus Corona, Sorotan, Muncul Klaster Covid-19 Diberbagai Sekolah, Pembelajaran Tatap Muka Terbatas ,