Artikel   2021/04/28 15:41 WIB

Nadyne Parr: 'Saya Bukan Muslim, Tapi Ikut Puasa di Bulan Suci Ramadhan'

Nadyne Parr: 'Saya Bukan Muslim, Tapi Ikut Puasa di Bulan Suci Ramadhan'
Nadyne Parr (kanan) bersama sahabatnya, Soraya Deen, yang mengundang dia untuk berpuasa bersama selama bulan Ramadan.

"Ramadan 1442 Hijriyah Tahun 2021 kali ini banyak ditemukan partisipasi umat lainnya yang bukan Muslim yang mengejutkan ikut berpuasa bersama saudara dan saudari Muslim"

SEORANG politisi muda Rehan Jayawickreme, yang mewakili oposisi utama di Sri Lanka, membuat pengumuman yang mengejutkan pada 13 April lalu. "Saya umat Buddha dan mencoba sebaik mungkin mengikuti falsafah hidup Buddha," cuitnya di Twitter.

"Karena itu saya sangat menanti untuk berpuasa bersama saudara dan saudari Muslim saya selama bulan suci Ramadan. Ini akan menjadi kali pertama saya [berpuasa], semoga berhasil."

Dia merupakan ketua Dewan Kota Weligama di selatan Sri Lanka dan sejak dimulainya Ramada pada 14 April di negara itu dia telah berpantang makan dan minum seharian. Kebetulan pada tahun ini umat Muslim di Sri Lanka, yang mayoritas beragama Buddha, memulai ibadah puasa bersamaan dengan perayaan hari tahun baru yang dirayakan komunitas Sinhala dan Tamil.

Namun keberagaman masyarakat di Sri Lanka mengalami guncangan dua tahun lalu saat sekelompok militan Islamis menjalankan serangan bunuh diri atas tiga gereja selama perayaan Paskah, yang menewaskan hampir 270 jiwa. Politisi Buddha itu mengaku keputusannya ikut berpuasa Ramadan dalam rangka mengatasi sentimen-sentimen anti-Muslim yang muncul pasca-serangan itu.

Akun Rehan Jayawickreme di Twitter pun langsung menerima banyak komentar yang mendukung inisiatifnya, walau turut merayakan Ramadan sebagai non-Muslim bukan sesuatu yang asing baginya. Marianne David, seorang jurnalis yang bekerja di ibu kota Sri Lanka, Colombo, langsung cepat mengungkapkan bahwa dia pun melakukan hal serupa. "Saya Katolik dan saya pun berpuasa selama Ramadan, karena membawa kejelasan, kesadaran, empati, dan disiplin. Semoga lancar!" ujarnya seperti dirilis BBC.

Anuradha K Herath, Direktur Jenderal (Hubungan Internasional) di Kantor Perdana Menteri Sri Lanka, mengaku pernah sekali ikut puasa Ramadan, "Saya ingat melakukan hal yang sama saat dulu kuliah di Universitas Moratuwa," cuitnya di Twitter.

"Teman saya @sifaan membangunkan saya pagi-pagi sekali untuk sahur dan berbagi takjil selama kuliah saat sore hari untuk berbuka puasa. Bagi saya itu pengalaman yang sangat baik."

Menentang rasisme

"Menurut saya ikut berpuasa ini merupakan tanda protes atas rasisme yang disebarluaskan pimpinan tertentu di negeri kami," kata Rehan Jayawickreme. "Bukan berarti saya pindah masuk Islam, namun sebagai protes menentang rasisme."

Dia mengatakan sebagai komunitas Muslim yang minoritas di Sri Lanka banyak dicela sejak serangan Minggu Paskah pada 2019. Hampir 70% penduduk di Sri Lanka beragama Buddha. Sisanya ada yang beragama Hindu, Islam dan Katolik. "Ketika saya menunjukkan kepada masyarakat Muslim bahwa, sebagai mayoritas, kami peduli dengan mereka. Saya menawarkan kepada mereka rasa aman dan tentram."

Sedangkan para pengritiknya menuduh Rehan sekadar ingin meraih dukungan suara dari umat Muslim. Sebagai tanggapannya, politisi itu mengangkat satu komentar dari salah satu pendukungnya di Twitter. "Jauh lebih baik mendapat suara dengan mempromosikan keharmonisan dalam beragama ketimbang menciptakan kebencian."

Ikut Ramadan selama lebih 15 tahun

Seorang jurnalis beragama Katolik, Marianne David, sudah lebih dari 15 tahun ikut puasa Ramadan. Dia mengaku dengan berpuasa akan memusatkan kembali dirinya dan merefleksikan hal-hal yang benar-benar penting. "Berpuasa sebagian besar menghilangkan proses berpikir yang berlebihan atas apa yang mau dimakan, terganggu oleh makanan, maupun makan tanpa tujuan dari waktu ke waktu hanya karena malas atau tergoda. Berpuasa membawa lebih banyak kedisiplinan dan keteraturan sepanjang hari."

Dia yakin bahwa ritual itu mempertajam konsentrasinya dan membuat merasa lebih sehat. "Ini bukan suatu pengorbanan besar untuk berpuasa seharian bagi mereka yang sudah menikmati keistimewaan tertentu dalam hal standar hidup dan pekerjaan yang dilakukan," katanya.

"Ini menjadi cobaan paling besar bagi mereka yang bekerja keras atau kerja di luar bangunan dengan suhu yang panas dan bagi mereka yang tidak punya cukup uang untuk makan makanan yang baik dan menyehatkan di waktu ini."

Bagi dia, aspek penting Ramadan adalah memikirkan mereka yang tidak bisa dengan mudahnya mendapat makanan di Sri Lanka. Mengingat petingnya hal ini, "Bagi saya yang tidak kalah pentingnya selama berpuasa adalah menyumbang sebanyak mungkin, memberi makan kepada orang-orang yang berkekurangan dan memungkinkan mereka untuk ikut berpuasa dengan memenuhi kebutuhan mereka."

Di belahan lain dunia, Nadyne Parr dari AS, juga seorang non-Muslim yang ikut puasa selama Ramadan. Seorang Kristiani yang taat, dia diperkenalkan berpuasa oleh sahabatnya, seorang Muslimah. "Ini merupakan aksi solidaritas dengan teman-teman Muslim saya tercinta selain juga mempraktikkan secara rutin dalam mengekspresikan kepercayaan yang saya anut, sebagai seorang pengikut Yesus, saat memilih ikut berpuasa selama Ramadan."

Nadyne adalah seorang penulis, pelatih bisnis, dan guru sekolah dari kota Grand Rapids di negara bagian Michigan. "Sudah cukup lama, namun selama tujuh tahun, saya mengikuti secara dekat panduan berpuasa Ramadan secara tradisional, ikut sahur sebelum matahari terbit, dan berpantang semua makanan hingga matahari terbenam," ujarnya.

"Bertenggang rasa bersama teman-teman dari budaya dan agama yang berbeda telah menjadi perjalanan hidup yang saya sukai. Pada akhirnya, semua manusia itu sama. Menahan diri untuk makan sekian lama, bahwa kebenaran spiritual mungkin akan terungkap dengan tindakan menahan diri, yang mengingatkan betapa kita semua saling terhubung. Saya merayakan hal ini."

Kembali di Sri Lanka, Marianne David suka untuk menekankan bahwa berpuasa "bukan sekadar soal pengorbanan dan disiplin, namun juga waktu untuk kebersamaan dan merayakan dengan orang-orang tercinta". "Saat kita pergi keluar atau menjamu teman-teman atau keluarga untuk buka puasa, maka selalu mirip dengan pesta makan malam, namun tanpa alkohol," ujarnya.

"Kami mencoba makanan-makanan baru dan benar-benar menikmati walaupun banyaknya yang bisa kita makan turun signifikan setelah beberapa hari. Apa yang benar-benar bikin tak tahan adalah air, terutama saat cuaca seperti ini, namun manfaatnya jauh melampaui pengorbanannya. Sedari awal berpuasa, saya hanya benar-benar ingin minum air - yang lainnya gampang dilakukan begitu kita memantapkan niat untuk melakukannya dan punya tujuan."

Bagi Nadyne, berpuasa telah menjadi bagian yang penting bagi kehidupan spiritualnya. "Saya ingin ini bagi semua orang yang lelah dan membutuhkan jawaban," ujarnya.

"Saat kita ingin memuaskan nafsu setiap saat, kita bisa kehilangan momen-momen yang suci, ruang-ruang yang sakral. Akan lebih mudah untuk dijalani secara otomatis dan melupakan nafsu kita dan bergantung sepenuhnya pada Tuhan."

Dia yakin tanpa makanan dan air memberi dia perspektif keimanan yang baru. "Kita melihat melampui kebutuhan kita. Kita meredefinisikan kebutuhan kita, kita mengalami Keilahian."

Namun bagi Rehan Jayawickreme, eksperimen baru itu tidak semudah yang dibayangkan. "Saya bangun pukul 04:00 dan makan kurma, yogurt dan buah-buahan untuk sahur. Lalu tidak makan apa-apa sampai jam setengah tujuh malam," ujarnya.

Dia mengaku pengalaman baru itu membuatnya merasa segar di penghujung hari, namun dia tidak yakin apakah bisa menjalaninya selama sebulan penuh. "Saya terus puasa sebisa saya," kata politisi beragama Buddha itu. Namun dia mengaku, "Sangat sulit untuk tidak minum apapun". (*)

Tags : Ramadhan 1442 Hijriyah, Solidaritas Non Muslim, Puasa di Bulan Suci Ramadhan Tahun 2021 ,