"Tiga pahlawan asal Kepulauan Riau berjuang melawan belanda, seperti Sultan Mahmud Riayat Syah si hantu laut layak menyandang gelar Pahlawan Nasional"
epulauan Riau kini memiliki satu lagi Pahlawan Nasional. Dia adalah Sultan Mahmud Riayat Syah atau dikenal dengan nama Sultan Mahmud Syah III.
Sultan Mahmud Riayat Syah dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara pada Rabu, 9 November 2017.
Masyarakat Kepulauan Riau (Kepri), khususnya Kabupaten Lingga mengaku bersyukur atas penganugerahan Pahlawan Nasional kepada Raja Riau-Lingga itu.
"Sudah layak Sultan Mahmud Riayat Syah dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional, karena perjuangan yang cukup panjang," kata Darmawi Wardhana Bin Zalik Aris SE, Ketua Lembaga Melayu Riau (LMR) Pusat Jakarta ini dalam menyikapi pengangkatan gelar Pahlawan Nasional, Sabtu malam (9/12/2022).
Sebelumnya Balai Pelestarian Nilai-Nilai Budaya Tanjungpinang menggagas seminar tentang perjuangan Sultan Mahmud Riayat Syah melawan penjajah Belanda di wilayah Riau-Lingga termasuk Pahang hingga Johor (Malaysia).
Wilayah kekuasaan Kerajaan Riau-Lingga kala itu mencakup Pahang dan Johor.
"Pada 2013, Pemkab Lingga dan Pemprov Kepri mengajukan usulan penganugerahan Pahlawan Nasional kepada Sultan Mahmud Riayat Syah III ke pemerintah," kata dia.
Tetapi sebelumnya pengajuan tersebut ditolak karena data dan dokumen yang disertakan tak lengkap.
Pemkab Lingga mengumpulkan bahan, data, dan dokumen tentang Sultan Mahmud Riayat Syah. Salah satunya, menghimpun bahan dan data di beberapa acara seminar tentang Sultan Mahmud Riayat Syah yang menghadirkan sejarawan dan budayawan nasional.
Makam Sultan Mahmud Riayat Syah
Termasuk juga menghadirkan Guru Besar Universitas Indonesia (Ul) Prof Dr Susanto Zuhdi.
"Untuk melengkapi data dan dokumen tentang Sultan Mahmud Riayat Syah, Pemprov Kepri perlu mendapatkan dokumen ke Belanda."
"Dokumen yang dibutuhkan di antaranya; sejarah tentang pertempuran Kerajaan Riau-Lingga dengan VOC Belanda, siapa itu Sultan Mahmud Riayat Syah, dan wilayah kekuasaan Raja Riau-Lingga," kata Darmawi.
Tetapi buku sejarah Kerajaan Riau-Lingga berjudul Tuhfat A-Nafis karya Raja Ali Haji dan buku berjudul Salatussaladin menjadi referensi untuk mengantar Sultan Mahmud Syah III sebagai Pahlawan Nasional.
Data pendukung lainnnya yang berhasil didapatkan Pemkab Lingga yakni pengakuan VOC Belanda terhadap keberanian Sultan Mahmud Riayat Syah berperang di laut.
Data tersebut ditemukan dalam dokumen yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Sultan Mahmud Syah III ini dikenal sebagai pejuang yang pantang menyerah melawan penjajah Belanda.
Bahkan Ia satu-satunya pejuang yang punya kemampuan bertempur dan bergerilya di laut.
"Sosoknya sangat disegani dan ditakuti dalam pertempuran di laut," kata Darmawi yang pernah bersekolah di SMAN 1 Tanjung Pinang ini menceritakan.
Sejarah Sultan Mahmud Syah
Sultan Mahmud Syah III naik takhta pada usia sekitar 14 tahun menggantikan kakaknya, Ahmad Riayat Syah.
Pelantikan Mahmud Syah III sebagai sultan digambarkan dalam Tuhfat al-Nafis dengan suasana yang sangat meriah.
Ia digendong menuju kursi kebesaran Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga oleh seorang Bugis yang bernama To Kubu.
Pada saat pelantikan itu, pihak Bugis dan Melayu sepakat untuk mengakui Mahmud Syah III sebagai Raja Johor-Riau-Lingga yang harus disegani.
Awal masa pemerintahannya, jabatan Yang Dipertuan Muda dipegang oleh kepala suku Bugis yang kuat, Daeng Kemboja (menjabat 1745-1777).
Baru pada tahun 1777 jabatannya digantikan oleh Raja Haji Fisabilillah (menjabat 1777-1784).
Pada Agustus 1784, tentara Belanda mulai menyerang pusat pemerintahan Johor di Hulu Riau. Kemudian pada Oktober 1784, kapal Utrecht dan 6 buah kapal perang yang dipimpin oleh laksamana Jacob Pieter van Braam datang menyerang Riau.
Pertempuran meletus antara Johor dan Belanda di Hulu Riau yang berakhir dengan kemenangan Belanda atas Johor.
Yamtuan Muda Raja Ali (pengganti Raja Haji Fisabilillah yang syahid di Teluk Ketapang) kemudian meninggalkan Pulau Bintan ke Sukadana.
Sultan Mahmud yang berada di Riau kemudian menandatangani perjanjian dengan VOC di kapal Utrecht pada tanggal 10 November 1784.
Di antara isi perjanjian tersebut mencatatkan bahwa pelabuhan Riau menjadi milik Belanda, menyerukan berakhirnya monopoli Bugis di atas kantor Yamtuan Muda, hingga melarang orang Bugis lainnya untuk memegang jabatan di pemerintahan Johor.
Ada beberapa versi terkait tahun dia wafat, diantaranya adalah menurut catatan Christopher Buyers di halaman website RoyalArk-nya menuliskan Sultan Mahmud Syah III wafat pada tanggal 12 Januari 1811.
Sedangkan C.H. Wake dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society yang berjudul Raffles and the Rajas: The Founding of Singapore in Malaysian and British Colonial History menuliskan bahwa sultan Mahmud III mangkat pada tanggal 12 Januari 1812.
Pahlawan Nasional asal Kepri yang kedua yakni Raja Haji Fisabilillah. Raja Haji Fisabililah atau dikenal juga sebagai Raja Haji marhum Teluk Ketapang adalah (Raja) Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga-Johor-Pahang IV.
Dia terkenal dalam melawan pemerintahan Belanda dan berhasil membangun pulau Biram Dewa di sungai Riau Lama.
Raja Haji Fisabilillah ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 072/TK/1997 tanggal 11 Agustus 1997. Seperti dikutip dari wikipediaorg, Raja Haji Fisabilillah lahir di Kota Lama, Ulusungai, Riau, 1725.
Di antara isi perjanjian tersebut mencatatkan bahwa pelabuhan Riau menjadi milik Belanda, menyerukan berakhirnya monopoli Bugis di atas kantor Yamtuan Muda, hingga melarang orang Bugis lainnya untuk memegang jabatan di pemerintahan Johor.
Ada beberapa versi terkait tahun dia wafat, diantaranya adalah menurut catatan Christopher Buyers di halaman website RoyalArk-nya menuliskan Sultan Mahmud Syah III wafat pada tanggal 12 Januari 1811.
Sedangkan C.H. Wake dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society yang berjudul Raffles and the Rajas: The Founding of Singapore in Malaysian and British Colonial History menuliskan bahwa sultan Mahmud III mangkat pada tanggal 12 Januari 1812.
Pahlawan Nasional asal Kepri yang kedua yakni Raja Haji Fisabilillah. Raja Haji Fisabililah atau dikenal juga sebagai Raja Haji marhum Teluk Ketapang adalah (Raja) Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga-Johor-Pahang IV.
Dia terkenal dalam melawan pemerintahan Belanda dan berhasil membangun pulau Biram Dewa di sungai Riau Lama.
Raja Haji Fisabilillah ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 072/TK/1997 tanggal 11 Agustus 1997.
Raja Haji Fisabilillah lahir di Kota Lama, Ulusungai, Riau, 1725. Karena keberaniannya, Raja Haji Fisabililah juga dijuluki atau dipanggil sebagai Pangeran Sutawijaya (Panembahan Senopati) di Jambi. Dia gugur pada saat melakukan penyerangan pangkalan maritim Belanda di Teluk Ketapang (Melaka) pada tahun 1784.
Jenazahnya dipindahkan dari makam di Melaka (Malaysia) ke Pulau Penyengat oleh Raja Ja'afar yakni putra mahkotanya pada saat memerintah sebagai Yang Dipertuan Muda. Berikutnya adalah Raja Ali Haji (RAH).
Berkat jasanya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan gelar Pahlawan Nasional kepadanya pada 10 November 2004 melalui SK Presiden No.089/TK/Tahun 2004. Raja Ali Haji (RAH) dijuluki sebagai Bapak Bahasa Indonesia. Ia terkenal lewat karya sastranya Gurindam Dua Belas.
Selain itu, dia juga membuat sebuah pedoman yang menjadi standar bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal Bahasa Indonesia.
Ada dua versi mengenai kelahiran RAH, ada versi yang mengatakan dia lahir 1808 di Selanggor. Sementara ada juga versi Arya Ajisaka dalam bukunya Mengenal Pahlawan Indonesia mengatakan dia dilahirkan di Pulau Penyengat, Kepri.
RAH adalah putra dari Raja Ahmad dan cucu dari Raja Haji Fisabililah (saudara dari Raja Lumu, Sultan pertama dari Selangor). RAH juga merupakan keturunan dari prajurit Bugis yang datang di daerah Riau pada abad ke-16.
RAH mendapat ilmu bahasa pada tahun 1822 saat mengikuti ayahnya pergi ke Betawi. RAH juga menimba ilmu bahasa Arab dan ilmu agama di Mekkah sekaligus berhaji pada tahun 1828.
Pada tahun 1845, RAH menjadi penasehat agama di Kesultanan Riau-Lingga. Pada saat inilah RAH sangat produktif dalam menulis sastra, pendidikan dan kebudayaan. Karya terkenalnya, Gurindam Dua Belas lahir pada tahun 1846. Karya ini dipublikasikan oleh E. Netscher pada tahun 1854.
Selain itu, Bustan al-Kathibin ditulis pada tahun 1857 di Betawi. Karyanya yang menjadi acuan bahasa melayu adalah Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga. Buku ini merupakan kamus satu bahasa pertama yang ada di Indonesia saat itu.
Buku ini sendiri ditetapkan sebagai pedoman Bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928. Versi wafatnya RAH juga ada dua versi, yakni ada yang mengatakan RAH meninggal pada tahun 1872. Namun ada juga yang menyatakan RAH meninggal pada tahun 1873. Pujangga ini dikebumikan di Pemakaman Engku Putri Raja Hamidah di Penyengat.
Tetapi kembali diceritakan Darmawi Wardhana, Ketum LMR ini menambahkan, dalam sebuah pertempuran melawan Belanda pada tahun 1784, pada sejarhanya tempolalu menunjukkan, pasukan Kerajaan Riau-Lingga yang dipimpin panglimanya Raja Haji Fisabilillah berhasil menenggelamkan kapal perang Belanda.
"Dalam peristiwa itu, sekira 800 tentara VOC Belanda tewas. Ini merupakan pertempuran bersejarah Kerajaan Riau-Lingga. Peristiwa itu terjadi pada 6 Januari 1784," jelasnya.
"Tanggal itulah yang kemudian dijadikan sebagai Hari Jadi Kota Tanjungpinang karena pertempuran tersebut berada di wilayah sekitar perairan Tanjungpinang, Pulau Bintan," sebutnya.
Pertempuran dengan VOC Belanda terus berlanjut hingga tahun 1785 - 1787.
Semasa kepemimpinannya, sambungnya, Sultan Mahmud Riayat Syah tak mau sedikitpun memberikan sejengkal wilayah kepada VOC Belanda.
Meski VOC sempat membangun benteng di Tanjungpinang, namun berkat kemampuan pasukan Kerajaan Riau-Lingga dan dibantu pasukan Kerajaan Mempawah (Kalbar), benteng tersebut berhasil diledakkan.
Hingga akhirnya, setelah pertempuran itu, sambung Nyat, Sultan Mahmud Syah III memindahkan pusat kerajaannya dari Hulu Riau, Pulau Bintan, ke Kabupaten Lingga.
"Sultan Mahmud Riayat Syah punya alasan memindahkan pusat kerajaan di Lingga, karena wilayah tersebut tidak mudah dimasuki Belanda.
Terdapat ratusan pulau di sekeliling pusat kerajaan Riau-Lingga tersebut. Terlebih pulau-pulau tersebut telah dihuni oleh lanun (warga suku laut) yang sangat hormat dan setia kepada Sultan Mahmud Riayat Syah.
Pada masa pemerintahannya di Kerajaan Riau-Lingga, Lingga dirintis menjadi pusat tamaddun Melayu. Di antaranya menggalakan dunia tulis, seperti mengarang dalam kitab-kitab ajaran agama Islam dan bahasa (sastra) Melayu. Kelak, bahasa Melayu menjadi cikal bakal bahasa pemersatu nusantara, yakni bahasa Indonesia yang digunakan sekarang ini.
Mahmud Riayat Syah sudah diangkat sebagai sultan sejak usianya baru 2 tahun. Sepanjang hidupnya dicurahkan menimba ilmu, belajar dan berlatih strategi perang, dan mulai turun di medan perang saat usianya beranjak dewasa.
Hingga akhir hayatnya, Sultan Mahmud Riayat Syah banyak menghabiskan waktunya di Kerajaan Riau-Lingga yang dibangunnya.
"Sultan Mahmud Syah III atau juga dikenal Sultan Mahmud Riayat Syah wafat pada tahun 1812. Ia dimakamkan di Daik, Kabupaten Lingga, tepatnya di belakang Masjid Sultan Lingga," kata Darmawi.
Jadi, selain Sultan Mahmud Riayat Syah, Kepri juga telah memiliki dua nama besar pahlawan nasional, yakni Raja Ali Haji dan Raja Haji Fisabilillah.
Masjid Sultan Mahmud Syah di Batam
Sultan Mahmud Riayat Syah atau dikenal dengan nama Sultan Mahmud Syah III pantas bergelar Pahlawan Nasional. Bahkan untuk menghargai jasanya, Pemerintah telah membangun Masjid Sultan Mahmud Syah di Batam.
Masjid Sultan Mahmud Riayat Syah
Sultan Mahmud Riayat Syah dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional oleh Presiden Jokowi di Istana Negara, Rabu, 9 November 2017.
Masyarakat Kepulauan Riau (Kepri), khususnya Kabupaten Lingga mengaku bersyukur atas penganugerahan Pahlawan Nasional kepada Raja Riau-Lingga itu.
"Kami bersyukur karena perjuangan yang cukup panjang ini akhirnya membuahkan hasil. Kerja-kerja kita dirahmati Allah SWT dan doa masyarakat Kepri, khususnya Lingga dikabulkan Yang Maha Kuasa," kata Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga, Muh Ishak pada media kemarin.
Ide untuk mengantarkan Sultan Mahmud Riayat Syah sebagai Pahlawan Nasional muncul pada 2010. Kala itu, Ishak melontarkan ide tersebut dalam sebuah seminar lokal.
"Saya sampaikan bahwa, bagaimana mungkin Panglima Perang Kerajaan Riau-Lingga Raja Haji Fisabilillah sudah bergelar Pahlawan Nasional, sedangkan Rajanya belum? Dari situlah ide mengalir untuk mengantarkan Sultan Mahmud Syah sebagai pahlawan," ungkapnya.
Selain seminar, kata Ishak, diskusi dan tulisan-tulisan tentang Sultan Mahmud Riayat Syah juga mulai bermunculan pada 2012. Seminar tentang Raja pertama Riau-Lingga itu semakin intens dilakukan.
"Barulah pada 2013, Pemkab Lingga dan Pemprov Kepri mengajukan usulan penganugerahan Pahlawan Nasional kepada Sultan Mahmud Riayat Syah III ke pemerintah. Namun kala itu, pengajuan tersebut ditolak karena data dan dokumen yang disertakan belum lengkap," ungkap Ishak.
Pemkab Lingga sendiri mendukung dan terus berupaya untuk mengumpulkan bahan, data, dan dokumen tentang Sultan Mahmud Riayat Syah.
Salah satunya, menghimpun bahan dan data di beberapa acara seminar tentang Sultan Mahmud Riayat Syah yang menghadirkan sejarawan dan budayawan nasional.
Untuk melengkapi data dan dokumen tentang Sultan Mahmud Riayat Syah, Pemprov Kepri sampai berburu dokumen ke Belanda.
Dokumen yang dicari, kata dia, di antaranya; sejarah tentang pertempuran Kerajaan Riau-Lingga dengan VOC Belanda, siapa itu Sultan Mahmud Riayat Syah, dan wilayah kekuasaan Raja Riau-Lingga.
Data pendukung lainnnya yang berhasil didapatkan Pemkab Lingga yakni pengakuan VOC Belanda terhadap keberanian Sultan Mahmud Riayat Syah berperang di laut. "Data tersebut ditemukan dalam dokumen yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)," tambah Ishak, yang juga Ketua LAM Kabupaten Lingga.
Nyat menuturkan, Sultan Mahmud Syah III dikenal sebagai pejuang yang pantang menyerah melawan penjajah Belanda. Ia bahkan satu-satunya pejuang yang punya kemampuan bertempur dan bergerilya di laut.
"Sosoknya sangat disegani dan ditakuti dalam pertempuran di laut," ungkap Nyat.
Ia menambahkan, dalam sebuah pertempuran melawan Belanda pada tahun 1784, pasukan Kerajaan Riau-Lingga yang dipimpin panglimanya Raja Haji Fisabilillah berhasil menenggelamkan kapal perang Belanda.
"Dalam peristiwa itu, sekira 800 tentara VOC Belanda tewas. Ini merupakan pertempuran bersejarah Kerajaan Riau-Lingga. Peristiwa itu terjadi pada 6 Januari 1784," jelasnya.
"Tanggal itulah yang kemudian dijadikan sebagai Hari Jadi Kota Tanjungpinang karena pertempuran tersebut berada di wilayah sekitar perairan Tanjungpinang, Pulau Bintan," tambah Nyat. Pertempuran dengan VOC Belanda terus berlanjut hingga tahun 1785 - 1787.
Semasa kepemimpinannya, sambungnya, Sultan Mahmud Riayat Syah tak mau sedikitpun memberikan sejengkal wilayah kepada VOC Belanda.
Meski VOC sempat membangun benteng di Tanjungpinang, namun berkat kemampuan pasukan Kerajaan Riau-Lingga dan dibantu pasukan Kerajaan Mempawah (Kalbar), benteng tersebut berhasil diledakkan.
Hingga akhirnya, setelah pertempuran itu, sambung Nyat, Sultan Mahmud Syah III memindahkan pusat kerajaannya dari Hulu Riau, Pulau Bintan, ke Kabupaten Lingga.
"Sultan Mahmud Riayat Syah punya alasan memindahkan pusat kerajaan di Lingga, karena wilayah tersebut tidak mudah dimasuki Belanda. Terdapat ratusan pulau di sekeliling pusat kerajaan Riau-Lingga tersebut.
Terlebih pulau-pulau tersebut telah dihuni oleh lanun (warga suku laut) yang sangat hormat dan setia kepada Sultan Mahmud Riayat Syah.
Pada masa pemerintahannya di Kerajaan Riau-Lingga, Lingga dirintis menjadi pusat tamaddun Melayu. Di antaranya menggalakan dunia tulis, seperti mengarang dalam kitab-kitab ajaran agama Islam dan bahasa (sastra) Melayu. Kelak, bahasa Melayu menjadi cikal bakal bahasa pemersatu nusantara, yakni bahasa Indonesia yang digunakan sekarang ini.
Hingga akhir hayatnya, kata Ishak, Sultan Mahmud Riayat Syah banyak menghabiskan waktunya di Kerajaan Riau-Lingga yang dibangunnya. Dan wafat pada tahun 1812. Ia dimakamkan di Daik, Kabupaten Lingga, tepatnya di belakang Masjid Sultan Lingga. (*)
Tags : Pahlawan Nasional, Pahlawan Nasional Kepulauan Riau, Sultan Mahmud Riayat Syah, Raja Haji Fisabilillah, Raja Ali Haji, Tiga Tokoh Kepri jadi Pahlawan Nasional,