Artikel   2023/03/21 14:42 WIB

Para Ilmuwan Anjurkan untuk Buang Bagian yang Gosong Saat Memanggang Makanan Dibakar, 'Bisa Menyebabkan Kanker'

Para Ilmuwan Anjurkan untuk Buang Bagian yang Gosong Saat Memanggang Makanan Dibakar, 'Bisa Menyebabkan Kanker'
Ilustrasi mengolah sate 

PENELITIAN terbaru menunjukkan bukan ide yang buruk untuk membuang bagian yang gosong saat memanggang makanan dibakar, para Ilmuwan memiliki alasan ini agar tidak terkena kanker.

Kemungkinan besar masih banyak orang punya beberapa kebiasaan seputar makan dan memasak yang Anda dapatkan dari orang dewasa saat Anda masih kanak-kanak, bahkan mungkin tanpa Anda sadari.

Barangkali Anda tidak pernah makan di depan pintu, atau selalu menghabiskan nasi di piring Anda supaya terhindar dari nasib sial.

Banyak dari kebiasaan unik ini, mungkin tak lebih dari takhayul, tetapi satu ada satu kebiasaan yang ternyata didukung oleh bukti ilmiah.

Pada 2002, para ilmuwan di University of Stockholm menemukan bahwa bisa jadi hal yang baik bila Anda membuang bagian yang gosong dari roti panggang Anda. 

Mereka menemukan bahwa zat kimia yang disebut akrilamida terbentuk ketika kita memanaskan makanan tertentu – termasuk kentang, roti, biskuit, sereal, dan kopi – sampai lebih dari 120C, dan kandungan gulanya bereaksi dengan asam amino asparagin.

Proses ini disebut reaksi Maillard, dan membuat makanan berubah warna menjadi kecokelatan serta memberikan rasa yang khas. 

Para ilmuwan telah menemukan bahwa akrilamida bersifat karsinogenik pada hewan, tetapi hanya dalam dosis yang jauh lebih tinggi daripada yang terkandung dalam makanan manusia.

Akrilamida juga dapat meningkatkan risiko kanker pada manusia, terutama anak-anak, menurut Otoritas Keamanan Pangan Eropa.

Namun para peneliti yang mempelajari efeknya pada manusia belum sampai pada kesimpulan yang pasti.

Setelah hampir 30 tahun klasifikasinya sebagai 'kemungkinan karsinogen pada manusia', belum ada bukti yang konsisten tentang kepastian karsinogenisitasnya pada manusia," kata Fatima Saleh, profesor ilmu laboratorium medis di Universitas Arab Beirut di Lebanon.

"Namun, kalau kita terus melakukan penelitian lebih lanjut pada manusia, kita akan punya data yang memadai untuk mengubah klasifikasi akrilamida menjadi karsinogen manusia."

Namun, para ilmuwan yakin bahwa akrilamida bersifat neurotoksik bagi manusia, yang artinya ia dapat memengaruhi sistem saraf.

Penyebab pasti untuk ini belum sepenuhnya dipahami; beberapa teori antara lain bahwa akrilamida menyerang protein struktural di dalam sel saraf atau dapat menghambat sistem anti-inflamasi yang melindungi sel saraf dari kerusakan.

Efek toksik akrilamida telah terbukti bersifat kumulatif, yang berarti bahwa mengonsumsi sedikit akrilamida dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan risikonya berdampak pada organ dalam jangka panjang.

Lebih spesifik, bukti dari penelitian pada hewan menunjukkan bahwa paparan jangka panjang terhadap akrilamida pada makanan juga dapat meningkatkan risiko penyakit neurodegeneratif, misalnya demensia, dan mungkin ada kaitannya dengan gangguan perkembangan saraf pada anak-anak, kata Federica Laguzzi, asisten profesor kardiovaskular dan epidemiologi gizi di Institute of Environmental Medicine di Karolinska Institutet di Swedia. 

"Akrilamida melewati semua jaringan, termasuk plasenta, karena memiliki berat molekul rendah dan larut dalam air," kata Laguzzi, yang telah menemukan kaitan antara asupan akrilamida yang lebih tinggi pada ibu hamil dengan berat badan, lingkar kepala, dan tinggi badan yang lebih rendah pada bayi.

Mekanisme potensial di balik peran akrilamida dalam meningkatkan risiko kanker pada manusia belum diketahui.

Leo Schouten, seorang profesor epidemiologi di Universitas Maastricht di Belanda, punya teori mengapa hal itu bisa terjadi.

Setelah penemuan keberadaan akrilamida dalam makanan pada tahun 2002 oleh para peneliti di Swedia, Otoritas Pangan Belanda menghubungi peneliti dari Studi Kohort Belanda tentang Diet dan Kanker, termasuk Schouten, untuk menginvestigasi apakah akrilamida makanan merupakan risiko bagi manusia.

Schouten dan rekan kemudian mencoba memperkirakan berapa banyak akrilamida yang dikonsumsi oleh orang-orang berdasarkan kuesioner. 

Mereka menemukan bahwa variasi antara orang dengan paparan rendah dan tinggi pada populasi lansia Belanda dapat dijelaskan terutama oleh satu produk populer di Belanda yang disebut ontbijtkoek, secara kasar diterjemahkan sebagai "kue sarapan", yang mengandung kadar akrilamida yang sangat tinggi karena penggunaan baking soda dalam produksinya.

Mereka menyelidiki hubungan antara asupan akrilamida pada non-perokok (karena merokok juga mengandung zat tersebut) dengan semua jenis kanker, dan menemukan risiko kanker endometrium dan ovarium yang lebih tinggi pada perempuan yang terpapar akrilamida dalam jumlah besar.

Mereka juga menemukan, dalam penelitian lebih lanjut, sedikit kaitan antara asupan akrilamida dan kanker ginjal.

Namun, temuan ini belum dikonfirmasi oleh peneliti lain. Yang paling dekat adalah sebuah studi populasi AS, yang pada tahun 2012 menemukan peningkatan risiko kanker ovarium dan endometrium di antara perempuan pascamenopause non-perokok yang mengonsumsi akrilamida dalam jumlah tinggi.

Tentu saja, bisa jadi ada alasan lain untuk ini – orang yang mengonsumsi akrilamida tingkat tinggi mungkin juga mengambil pilihan gaya hidup lain yang membuat mereka berisiko lebih tinggi.

Studi-studi lainnya belum menemukan kaitan, atau melihat kaitan yang lebih lemah. Tetapi belum jelas apakah kaitan yang ditemukan Schouten dan timnya tidak tepat, atau bila penelitian lain tidak dapat mengukur asupan akrilamida secara akurat.

Mekanisme di balik potensi efek penyebab kanker akrilamida dapat berhubungan dengan hormon, kata Schouten, karena hormon tertentu telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker, terutama kanker alat kelamin wanita seperti kanker endometrium dan kanker ovarium.

"Akrilamida dapat memengaruhi estrogen atau progesteron, yang menjelaskan kanker pada perempuan, tetapi hal ini belum terbukti," kata Schouten.

Studi laboratorium pada tikus juga menemukan kaitan antara asupan akrilamida dan kanker pada kelenjar susu, kelenjar tiroid, testis, dan rahim, yang juga menunjukkan adanya jalur hormonal, namun ini tidak secara otomatis berarti ada risiko yang sama pada manusia.

Pada tahun 2010, Komite Gabungan Pakar Organisasi Pangan dan Pertanian/Organisasi Kesehatan Dunia (FAO/WHO) untuk Aditif Pangan mengatakan bahwa lebih banyak studi jangka panjang diperlukan untuk memahami secara detail hubungan antara akrilamida dan kanker.

Namun, hal itu mendukung upaya untuk mengurangi kadar akrilamida dalam makanan.

Bagaimanapun, salah satu tantangan terbesar adalah mengukur secara akurat berapa banyak akrilamida yang kita konsumsi.

"Sudah diketahui bahwa akrilamida bersifat genotoksik dan dapat menyebabkan kanker pada hewan, namun hubungan antara akrilamida dan kanker pada manusia masih belum jelas," kata Laguzzi.

"Sebagian besar studi epidemiologi dilakukan dengan asupan akrilamida yang diukur melalui kuesioner diet yang bergantung pada laporan peserta, yang dapat membuat hasilnya bias."

Sementara Schouten yakin dia mampu mengukur akrilamida secara akurat dalam makanan orang, tidak semua peneliti setuju, termasuk banyak ahli toksikologi.

Cara lain untuk mengukur asupan akrilamida ialah dengan mengukur biomarker dalam urin dan darah, tetapi ini juga belum menemukan hasil yang konkret, kata Schouten.

Penting untuk melakukan lebih banyak penelitian di mana akrilamida diukur dengan biomarker, terutama melalui darah, karena ini menunjukkan asupan akrilamida dalam jangka waktu yang lebih lama daripada urin, kata Laguzzi.

Akrilamida telah diukur melalui biomarker dalam penelitian di AS, tetapi baru belakangan ini. Satu studi dari tahun 2022, menggunakan data selama satu dekade, menunjukkan hubungan antara asupan akrilamida dan kematian akibat kanker, tetapi tidak dapat menyimpulkan jenis kanker yang mana.

Salah satu alasan tidak banyak bukti konklusif bahwa kadar akrilamida dalam makanan dapat meningkatkan risiko kanker mungkin karena kita dapat memiliki kebiasaan yang membatasi peningkatan risiko terkait dengan makan berlebihan.

Laguzzi tidak menemukan hubungan antara risiko kanker non-ginekologi dan asupan akrilamida dalam studi telaahnya yang merangkum bukti populasi dari hubungan ini.

Dia mengatakan ini bisa jadi karena manusia pada dasarnya punya mekanisme reparatif yang baik untuk membantu mencegah potensi efek karsinogenik dan neurotoksik, atau karena penelitian-penelitian tentang akrilamida dilakukan dengan menggunakan ukuran paparan akrilamida yang tidak akurat.

"Selain itu, orang tidak hanya makan akrilamida saja. Ia terkandung dalam makanan, yang juga mungkin mengandung komponen lain, seperti antioksidan, yang dapat membantu mencegah mekanisme toksik," katanya.

Meskipun belum ada penelitian yang kuat yang menunjukkan risiko memakan akrilamida pada manusia, industri makanan telah mulai mengambil langkah-langkah untuk menguranginya dalam makanan kita.

"Uni Eropa sedang dalam proses menetapkan tingkat maksimum yang diperbolehkan untuk akrilamida dalam makanan, dan itu dapat berdampak serius bagi rantai pasokan makanan," kata Nigel Halford, yang penelitiannya membantu petani mengurangi potensi pembentukan akrilamida dalam produk yang terbuat dari gandum.

Meskipun akrilamida tidak ditemukan pada tanaman, namun ada asparagin, yang berubah menjadi akrilamida ketika dipanaskan.

"Akrilamida berdampak pada beragam makanan yang terbuat dari biji-bijian sereal, jadi ini masalah besar bagi industri makanan," katanya.

Gandum mengakumulasi lebih banyak asparagin daripada yang diperlukan, dan tampaknya menumpuk lebih banyak ketika tidak mendapatkan semua nutrisi yang dibutuhkannya, terutama sulfur, kata Halford.

Halford mencoba menghentikan proses ini secara genetik, dengan menggunakan teknik pengeditan gen Crispr.

Di ujung lain rantai pasokan, banyak produsen didesak untuk mengurangi kandungan akrilamida produk mereka jika memungkinkan, terutama pada makanan bayi.

Ini cukup berhasil, kata Schouten, yang senang karena kue sarapan Belanda ontbijtkoek berhasil mengurangi kandungan akrilamida hingga 80%, dengan mengubah cara pembuatannya.

Ada juga cara untuk mengurangi akrilamida di rumah saat memasak, kata Saleh.

Saat membuat keripik, misalnya, ia mengatakan bahwa merendam potongan kentang dalam air panas selama 10 menit dapat mengurangi pembentukan akrilamida hingga hampir 90%.

Ketertarikan para saintis terhadap risiko kesehatan akrilamida telah tumbuh kembali dalam beberapa tahun terakhir, kata Laguzzi.

Ini akan menjadi proses yang panjang, tetapi dalam beberapa tahun, kaitan antara asupan akrilamida dan risiko kanker diharapkan akan menjadi lebih jelas.

Sementara itu, kebiasaan membuang bagian yang gosong dari roti panggang Anda mungkin bukan ide yang buruk.

    Pangan,Kanker

Tags : makanan gosong, bagian yang gosong saat memanggang, ilmuwan anjurkan buang bagian yang gosong saat memanggang, makanan dibakar bisa menyebabkan kanker,