"Pemerintah menjalankan skema Gross Split di perusahaan Migas untuk mewujudkan bagi hasil kontrak yang berkeadilan"
esakan untuk Pemerintah agar dapat evaluasi kebijakan Dana Bagi Hasil (DBH) pada daerah penghasil minyak dan gas (Migas) mengemuka. Presiden harus memperhatikan aspirasi daerah secara sungguh-sungguh. Sebab isu terkait bagi hasil migas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sangat sensitif.
"Jika Migas tidak dikelola dengan baik bisa berdampak luas hingga kemasalah kedaulatan negara."
“Sudah saatnya Presiden memperhatikan kembali aturan dana bagi hasil migas ini. Jangan sampai daerah penghasil migas kecewa lantaran tidak dapat menikmati hasil eksploitasi sumber daya alam (SDA) mereka secara wajar,” kata H. Darmawi Wardhana Zalik Aris SE, Koordinator Indonesian Corruption Investigation (ICI), Minggu (18/12/2022).
Menurutnya, demi mewujudkan energi yang berkeadilan, skema gross split untuk perhitungan bagi hasil kontrak pengelolaan wilayah kerja Migas bisa ditinjau ulang.
"Skema gross split adalah skema dimana perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara Pemerintah dan Kontraktor Migas di perhitungkan dimuka," katanya.
Melalui skema gross split, negara akan mendapatkan bagi hasil migas dan pajak dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sehingga penerimaan negara menjadi lebih pasti.
"Negara tidak akan kehilangan kendali, karena penentuan wilayah kerja, kapasitas produksi dan lifting, serta pembagian hasil masih ditangan negara. Oleh karenanya, penerapan skema ini diyakini akan lebih baik dari skema bagi hasil sebelumnya," kata dia.
Bagaimana perhitungan Skema Gross Split?
Perhitungan gross split akan berbeda-beda setiap wilayah kerja. Perhitungan yang pasti, terdapat pada presentase base split.
"Untuk base split minyak, sebesar 57% diatur menjadi bagian Negara dan 43% menjadi bagian kontraktor. Sementara untuk gas bumi, bagian negara sebesar 52% dan bagian kontraktor sebesar 48%," jelasnya.
Disamping presentase base split, baik negara dan kontraktor dimungkinkan mendapatkan bagian lebih besar dengan penambahan perhitungan dari 10 Komponen variabel dan 2 komponen progresif lainnya. Hal ini membuat skema gross split menarik bagi para investor untuk mengelola wilayah kerja migas, termasuk wilayah kerja non-konvensional yang memiliki tantangan lebih besar.
Lalu apa yang membedakan skema gross split dengan skema cost recovery yang selama ini berlaku?
Darmawi menilai tren cost recovery relatif meningkat tiap tahun. Cost recovery pada tahun 2010 sekitar US$ 11,7 miliar dan meningkat menjadi US$ 16,2 miliar pada tahun 2014.
Tetapi menurutnya lagi dengan skema gross split, biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor. Tidak seperti kontrak bagi hasil skema cost recovery, dimana biaya operasi (cost) pada akhirnya menjadi tanggungan pemerintah.
"Kontraktor akan terdorong untuk lebih efisien karena biaya operasi merupakan tanggung jawab kontraktor. Semakin efisien kontraktor maka keuntungannya semakin baik," ujarnya.
Seperti diketahui, untuk mendukung penerapan sistem bagi hasil ini, Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 08 Tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil gross split.
Jadi kontrak wilayah kerja yang menerapkan skema gross split ini diantaranya, Kontrak Wilayah Kerja (WK) Offhore North West Java (ONWJ) yang dikelola oleh Pertamina Hulu Energi (PHE).
Penerapan skema gross split menurut Darmawi akan difokuskan kepada Kontrak WK perpanjangan dan Kontrak WK baru, sehingga kontrak WK yang masih berjalan tetap dihormati hingga waktu kontrak berakhir.
Gross Split atau Cost Recovery
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan keleluasaan bagi investor terkait bentuk kontrak kerja sama minyak dan gas bumi (Migas).
"Investor boleh memilih boleh memakai skema gross split atau cost recovery," kata Darmawi lagi menggambarkan perkembangan terkini.
Tetapi seperti dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, yang diteken Menteri ESDM Arifin Tasrif tanggal 15 Juli 2020 lalu.
Permen ini berlaku mulai tanggal diundangkan. Perubahan ini untuk memberikan kepastian hukum dan meningkatkan investasi di bidang kegiatan usaha hulu migas.
Beberapa pasal yang diubah adalah Pasal 2 dan 4 yang mengatur mengenai bentuk dan ketentuan-ketentuan pokok Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Pemerintah juga menghapus ketentuan Pasal 24 yang mengatur mengenai pemberlakuan Kontrak Bagi Hasil gross split bagi pengelolaan terhadap wilayah kerja yang akan berakhir jangka waktu kontraknya dan tidak diperpanjang, serta wilayah kerja yang akan berakhir dan diperpanjang.
Selain itu, Permen ini menghapus Pasal 25 huruf b, mengubah huruf d dan menambahkan satu huruf yaitu e.
Ketentuan Pasal 2 mengalami perubahan, sehingga Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa Menteri (ESDM) menetapkan bentuk dan ketentuan pokok kontrak kerja sama yang akan diberlakukan untuk suatu wilayah kerja dengan mempertimbangkan tingkat resiko, iklim investasi dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara.
Pasal 2 ayat 2 menyatakan, penetapan bentuk dan ketentuan pokok kontrak kerja sama dapat menggunakan bentuk:
a. Kontrak Bagi Hasil Gross Split
b. Kontrak Bagi Hasil dengan mekanisme pengembalian biaya operasi, atau
c. Kontrak kerja sama lainnya.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat 3, dalam hal Menteri (ESDM) menetapkan bentuk dan ketentuan pokok kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat 2, paling sedikit memuat persyaratan yaitu kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan, pengendalian manajemen operasi berada pada SKK Migas dan modal dan resiko seluruhnya ditanggung Kontraktor.
Kontrak Bagi Hasil gross split sebagaimana dalam Pasal 2 ayat 2 huruf a, menggunakan mekanisme bagi hasil awal (base split) yang dapat disesuaikan berdasarkan komponen variabel dan komponen progresif, demikian bunyi Pasal 4 dikutip Minggu, 2 Agustus.
Pasal 25 juga diubah sehingga menjadi:
Aturan ini menghapus Pasal 25A.
Sebelumnya Gubernur Riau Syamsuar juga menyetujui Pemerintah agar dapat evaluasi kebijakan Dana Bagi Hasil (DBH) pada daerah penghasil Migas sebagaimana juga diminta Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil. Keduanya sepaham soal DBH Migas untuk dapat ditinjau ulang.
Syamsuar dan Muhammad Adil sama-sama menilai pembagian DBH migas masih kurang merata dan tidak adil bagi daerah penghasil migas.
"Bukan hanya belum merata saja, tapi kalau menurut saya belum secara adil sesuai dengan potensi wilayah masing-masing," kata Syamsuar, Rabu (14/12/2022) kemarin.
Syamsuar menuturkan, potensi yang berkaitan dengan pendapatan negara berasal dari masing-masing daerah penghasil.
"Harusnya pembagian DBH itu sesuai dengan porsinya. Kalau malacca strait (ladang minyak di kabupaten meranti) tidak juga, karena ada yang besar dan ada yang tidak," sebutnya.
"Seperti bengkalis, kalau sama dibagi merata marah lah dia, karena di sana (bengkalis) besar. Makanya harus sesuai porsi," katanya.
Syamsuar mengungkapkan, pendapatan negara ini tidak hanya untuk daerah penghasil. Namun daerah penghasil harus membantu daerah-daerah bukan penghasil.
"Karena kita ini negara kesetuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi tidak mungkin daerah tak berhasil kita biarkan. Jadi harus ada subsidi silang," sebutnya.
Gubernur Riau mengaku, pihaknya dari asosiasi pemerintah provinsi akan membahas persoalan pembagian DBH ini dengan Presiden.
"Kebetulan saya juga pengurus asosiasi pemerintah provinsi. Kemarin di Solo bertemu dengan teman-teman gubernur, dan sudah sepakat nanti kami pada Januari rapat. Karena persoalan ini tidak bisa putus dengan menteri, tapi harus presiden," terangnya.
"Namun kami bicarakan dulu bersama gubernur se-Indonesia. Sebab aspirasi provinsi sama juga aspirasi kabupaten/kota," ujarnya.
Desakan evaluasi persentase DBH
Pemerintah di desak segera mengevaluasi persentase bagi hasil atau Dana Bagi Hasil (DBH) untuk daerah penghasil migas.
“Sudah saatnya Presiden memperhatikan kembali aturan dana bagi hasil migas ini. Buatlah besaran persentase bagi hasil yang adil dan masuk akal. Jangan sampai daerah penghasil migas kecewa lantaran tidak dapat menikmati hasil eksploitasi SDA mereka secara wajar,” kata Mulyanto, Komisi VII DPR RI, Senin (12/12/2022) kemarin.
Mulyanto meminta presiden meninjau ulang semua aturan terkait dana bagi hasil tersebut. Termasuk meninjau ulang besaran bagi hasil dan komponen perhitungannya.
Presiden harus melibatkan semua pemangku kepentingan agar tidak ada daerah penghasil migas yang merasa dieksploitasi tapi tidak dapat menikmati hasilnya.
“Pemerintah harus adil terhadap daerah penghasil migas yang miskin. Jangan hanya menyedot SDA dari tanah leluhur mereka lalu setelah itu meninggalkan penderitaan bagi masyarakat. Presiden harus belajar dari sejarah yang ada. Bahwa hampir semua gejolak atau perlawanan di daerah kepada Pemerintah pusat dipicu oleh urusan bagi hasil ini,” jelas Mulyanto.
Dia menambahkan aturan terkait dana bagi hasil ini sudah lama berlaku sehingga beberapa poin dalam aturan tersebut sudah tidak relevan. Terutama kalau dikaitkan dengan semangat otonomi daerah dan upaya percepatan peningkatan kesejahteraan daerah-daerah terpencil.
Karena itu Mulyanto menilai apa yang disampaikan Bupati Meranti, Muhammad Adil, sebagai permintaan yang wajar. Ia yakin selain Muhammad Adil masih ada pejabat daerah lain yang mempunyai aspirasi serupa.
“Presiden harus berani membuat terobosan yang menguntungkan masyarakat daerah penghasil migas dan minerba. Jangan sampai mereka terus dieksploitasi tapi tidak sejahtera. Ini kan tidak adil dan juga bertentangan dengan ruh konstitusi bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara dan sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat,” ujar Mulyanto.
Seelumnya Muhammad Adil, Bupati Meranti, mengungkapkan protes ke Kementerian Keuangan terkait DBH daerah penghasil migas yang justru menyusut disaat harga minyak maupun nilai tukar dolar sedang tinggi.
“Dulu dapatnya perhitungan Rp114 miliar tahun 2022, sekarang harga minyak naik lifting minyak naik, nilai tukar dollar naik dapatnya kok tambahannya Rp700 juta, kenapa?,” kata M Adil.
Pentingnya transparansi DBH untuk daerah
Tetapi seperti disebutkan Darmawi Wardhana lagi, pembahasan isu Dana Bagi Hasil (DBH) walaupun sudah sering dilakukan, tetap menarik karena menyangkut “hajat hidup” daerah.
"Transparansi DBH diperlukan untuk menghindari rasa curiga dari pihak-pihak yang terkait dalam pembagian DBH," kata Darmawi.
Menurutnya, ini sangat terkait dengan prinsip transparansi yang selama ini digaungkan oleh EITI sebagai standar global transparansi industri ekstraktif yang saat ini telah dilaksanakan di 52 negara.
EITI terus mendorong agar penyaluran dan pemanfaatan DBH dapat dilakukan secara transparan agar dapat meningkatkan pembangunan daerah, khususnya pada daerah-daerah kaya sumber daya alam yang selama ini belum dapat secara maksimal memanfaatkan kekayaan alam bagi kesejahteraan masyarakat.
“Bagi banyak daerah, penerimaan dari DBH migas dan minerba merupakan kontributor terbesar pendapatan asli daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahunnya. Pembahasan isu DBH ini sangat terkait dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang menjadi inti dari pelaksanaan EITI,“ kata dia.
Darmawi kembali menilai, penyaluran DBH pada dasarnya bertujuan untuk menyeimbangkan antara pembangunan nasional dengan pembangunan daerah yang dalam pelaksanaanya sekaligus untuk mengurangi ketimpangan antara daerah penghasil dan daerah bukan penghasil sumber daya alam.
"Walaupun memiliki prinsip “by origin” dimana daerah penghasil memperoleh porsi yang lebih besar dibandingkan dengan daerah-daerah bukan penghasil, namun banyak daerah penghasil yang masih tidak puas dengan pembagian DBH," katanya.
"Salah satu hal yang menyebabkan ketidakpuasan tersebut karena masih banyaknya masyarakat miskin di daerah kaya sumber daya alam dan kadang kekurangan pasokan energi seperti listrik dan BBM," sambungnya.
"Walaupun telah ditentukan persentasenya, pembagian DBH dari sumber daya alam memiliki kelemahan karena tidak stabil."
"Ketidakpastian ini kerap membuat daerah salah menentukan perkiraan berapa DBH yang diterima, sehingga banyak pertanyaan muncul ketika DBH yang diterima tak sesuai dengan yang diharapkan," ungkapnya.
"Yang terjadi selama ini ketidakpastian DBH menjadi salah satu hal yang dikeluhkan pemerintah daerah karena dianggap menghambat perencanaan anggaran di daerah."
"Akhirnya kan terjadi juga sjumlah perwakilan pemerintah daerah menyampaikan keluhannya tentang dampak dari ketidakpastian DBH ini," sebutnya.
Seperti diungkapkan Bupati Meranti Muhammad Adil tuntutan oleh pemerintah daerah adalah transparansi data-data yang menjadi faktor pengurang DBH.
"Walaupun sudah ada rumus untuk penghitungan DBH, namun pemerintah daerah merasa belum mendapatkan cukup data untuk faktor pengurang DBH," kata Darmawi menambahkan pernyataan M Adil.
"Pemerintah daerah juga mengharapkan tambahan penerimaan daerah karena penerimaan DBH dirasa masih kurang."
Darmawi menilai, persoalan lainya yang mengemuka dan menjadi keluhan bagi daerah yakni tentang pendapatan pajak (Pph 21) yang disetorkan ke pusat. Ada keinginan daerah bagi perusahaan-perusahaan memiliki NPWP daerah agar penerimaan pajak dapat masuk ke daerah.
"Ini menyangkut peraturan Pph 21 adalah di mana wajib pajak itu berasal. Maka ada usulan agar tiap perusahaan juga memiliki NPWP lokal agar dapat berkontribusi ke daerah," ungkapnya.
Bagaimana Perhitungan DBH untuk Migas?
Sebelum dilakukan pembagian penghitungan bagi hasil, hal pertama yang harus diketahui adalah definisi daerah penghasil.
Hal ini penting karena akan mempengaruhi prosentase perhitungan bagi hasil. Apabila suatu lokasi pertambangan berada di darat (onshore), mudah bagi kita untuk menentukan lokasi wilayah dari pertambangan tersebut.
Namun yang menjadi masalah, bagaimana menentukan kriteria daerah penghasil bagi lokasi yang terletak di laut (off shore)? Daerah penghasil untuk wilayah offshore ditentukan sbb:
Bagaimana dengan prosentase bagi hasilnya?
Dana Bagi Hasil untuk minyak dan gas berbeda dalam prosentase. Untuk minyak bumi, pemerintah pusat mendapatkan 85% sedangkan 15% nya dibagi ke daerah penghasil.
Untuk gas bumi, pemerintah pusat mendapatkan 70% sedangkan 30% nya dibagi ke daerah penghasil. Prosentase tersebut sama dengan prosentase bagi hasil yang diatur dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC).
Namun Pemerintah Pusat menambah 0,5% dari bagian bagi hasilnya kepada daerah untuk dana pendidikan. Sehingga share pemerintah berkurang 0.5% sedangkan daerah bertambah 0.5%
Prosentase tersebut merupakan prosentase yang akan dikalikan dengan bagian yang menjadi hak pemerintah sesuai dengan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)
Berapa persen yang didapat pemerintah provinsi/kabupaten/kota?
Bagian yang diterima oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota tergantung dari definisi daerah penghasil. Jika daerah penghasil merupakan pemerintah pusat (> 12 mil), maka hasil dari lapangan migas tersebut 100% menjadi milik pemerintah pusat
Jika daerah penghasil termasuk wilayah provinsi ( 4-12 mil), maka dari 15% share daerah, 5% merupakan bagian pemerintah provinsi sedangkan 10% sisanya menjadi hak seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut (dibagi rata).
Jika daerah penghasil termasuk wilayah kabupaten/kota (<4 mil), maka dari 15% share daerah, pemerintah provinsi mendapatkan 3%, kabupaten/kota penghasil mendapatkan 6% dan kabupaten/kota lainnya mendapatkan 6% (dibagi rata).
Secara umum, Dana Bagi Hasil Minyak Bumi memiliki prosentase dua kali lipat dari gas bumi. Sehingga jika daerah penghasil termasuk wilayah provinsi ( 4-12 mil), maka dari 30% share daerah, 10% merupakan bagian pemerintah provinsi sedangkan 20% sisanya menjadi hak seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut (dibagi rata).
Jika daerah penghasil termasuk wilayah kabupaten/kota (<4 mil), maka dari 30% share daerah, pemerintah provinsi mendapatkan 6%, kabupaten/kota penghasil mendapatkan 12% dan kabupaten/kota lainnya mendapatkan 12% (dibagi rata).
Untuk wilayah yang termasuk pemerintah pusat, maka 100% dari hasil tersebut masuk ke pemerintah pusat.
Jika lokasi masuk pemerintahan provinsi, maka dari 0.5% tersebut, 0.17% nya masuk ke provinsi sedangkan sisanya (0.33%) dibagi rata ke seluruh kabupaten/kota
Tetapi keinginan pusat pada daerah penghasil migas telah menegaskan, penerimaan negara dari sektor minyak bumi dan gas (migas) dapat dirasakan manfaatnya secara maksimal oleh daerah-daerah penghasil migas.
"Penerimaan negara dari sektor minyak bumi dan gas (migas) diharapkan pemerintah dapat dirasakan manfaatnya secara maksimal oleh daerah-daerah penghasil migas," jelas Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Montty Girianna di Jakarta, Kamis (15/8) lalu.
"Salah satu isu strategis bagi daerah di sektor migas ini adalah isu mengenai Participating Interest (PI)."
“PI harus dapat dikelola dengan baik agar memberikan keuntungan dan manfaat bagi pemerintah daerah yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tegas Montty dalam keterangannya.
Sektor migas memang masih menjadi salah satu sektor yang berkontribusi besar bagi penerimaan negara. Di tahun 2018, penerimaan negara dari sektor ini mencapai Rp 228 triliun atau 182% dari target APBN 2018 sebesar Rp 125 triliun.
Kondisi tersebut tidak terlepas dari usaha serius pemerintah dalam upaya menciptakan iklim investasi industri migas yang lebih baik. Salah satunya dengan transformasi kontrak Production Sharing Contract (PSC) ke Gross Split dan penyederhanaan perizinan.
Skema PI sendiri sudah diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 37 Tahun 2016.
Permen ESDM tersebut mengatur soal ketentuan penawaran PI sebesar 10% pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi dan Pemerintah Daerah akan mendapatkan pembagian saham sebanyak 10%.
Menariknya, ada kemudahan bagi daerah penghasil migas untuk mendapatkan PI 10% karena investasi 10% partisipasi daerah tersebut dapat ditanggung oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Diterbitkannya Permen ESDM 37/2016 ini, lanjut Montty, merupakan langkah maju bagi pelaksanaan PI. Daerah dapat ikut perpartisipasi secara langsung dalam pengelolaan migas, termasuk dalam transparansi, tata kelola, dan pengawasan kinerja industri migas di wilayahnya.
Ia pun menerangkan, dalam pelaksanaan PI selama ini, beberapa daerah telah berhasil memanfaatkannya dengan baik, melalui pembentukan BUMD untuk pengelolaan PI. Namun memang masih ada berbagai tantangan yang dihadapi pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam pelaksanaannya.
Selain itu, Kemenko Perekonomian yang juga mendapat mandat sebagai penanggung jawab pelaksanaan EITI akan terus berupaya mendorong transparansi penerimaan negara dan daerah dari sektor migas.
Dan, salah satu isu strategis bagi daerah di sektor migas ini adalah isu mengenai Participating Interest (PI).
“Untuk itu, PI harus dapat dikelola dengan baik agar memberikan keuntungan dan manfaat bagi pemerintah daerah yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tegas Montty dalam keterangannya.
Sektor migas memang masih menjadi salah satu sektor yang berkontribusi besar bagi penerimaan negara. Di tahun 2018, penerimaan negara dari sektor ini mencapai Rp 228 triliun atau 182% dari target APBN 2018 sebesar Rp 125 triliun.
Kondisi tersebut tidak terlepas dari usaha serius pemerintah dalam upaya menciptakan iklim investasi industri migas yang lebih baik. Salah satunya dengan transformasi kontrak Production Sharing Contract (PSC) ke gross split dan penyederhanaan perizinan. (*)
Tags : Dana Bagi Hasil, DBH Migas, Pemerintah Diminta Evaluasi DBH Migas, Penghasil Migas Daerah, DBH Migas Berkeadilan,