"Pemerintah sedang memperoses pemutihan kebun sawit dalam kawasan hutan seluas sekitar 3,3 juta hektar karena negara sudah alami risiko kerugian capai triliunan rupiah"
ebun sawit ilegal mulai diproses. Untuk membahas antara lain soal dasar perhitungan denda administrasi pada perusahaan yang mengikuti skema pemutihan dalam SK Menteri LHK Nomor SK.661 ini.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, datangi Ombudsman pada 31 Oktober lalu dalam penjelasan aturan perhitungan denda administrasi dinilai berisiko besar merugikan negara.
“Nanti luasan (perusahaan dalam kawasan hutan) dikali 25,7 dikali PSDH, 48.000 terus DR per dolar ditetapkan 13, lalu kalau dikali Rp15.000 bisa kehitung per hektarnya,” kata Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal KLHK yang datang ke Ombudsman.
Setelah pertemuan sekitar dua jam, berdiri di samping anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika , dia menyebut telah menceritakan detail kepada Ombudsman soal penyelesaian sawit dalam kawasan hutan yang tengat pendaftaran 2 November lalu.
SK Menteri LHK Nomor SK.661 ini, merupakan penyederhanaan formula perhitungan kewajiban penerimaan negara bukan pajak (PNBP) provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi (PSDH-DR) yang harus dibayarkan perusahaan dalam pemutihan ini.
Kali ini, PSDH-DR tidak memerhatikan jenis kayu dari kawasan hutan yang diputihkan. Rumus yang dipakai ialah taksiran volume kayu dikali potensi kayu dan luas areal terbangun.
Taksiran volume kayu ditetapkan jadi 25,7 m3 per hektar dan potensi kayu jadi kayu rimba campuran, sortimen kayu bulat dengan tarif PSDH tertinggi Rp48.000 per meter kubik, dan tarif dana reboisasi US$13 permeter kubik.
Perhitungan masih berproses dan belum rampung. Tetapi, kata Bambang, ada potensi PNBP hingga Rp6 triliun jika ada 1 juta hektar lahan berhasil diselesaikan dalam skema 110A. Dengan perhitungan itu berarti, denda administrasi sawit dalam kawasan hutan hanya Rp6 juta per hektar.
Perhitungan PSDH berdasarkan potensi tegakan yang mengacu pada neraca sumber daya hutan tahun 2022 terhadap jenis tutupan dan status kawasan hutan yang dilihat berdasarkan data tutupan tahun 2000.
Dengan dua pendekatan hitungan, volume tegakan pohon diameter lebih 20cm dan 50cm, selisih antara perhitungan PSDH-DR-nya bisa puluhan hingga ratusan miliar rupiah per perusahaan.
Itu pun belum menghitung jenis kayu sebagaimana yang jadi rujukan penghitungan PSDH sesuai Permen LHK 64/2017.
Salah satu, PT Bumitama Gunajaya Abadi di Kalimantan Tengah, jadi sampel perhitungan. Penghitungan denda dengan SK 661 hanya Rp57 miliar, sedang skenario penghitungan potensi tegakan pohon lebih 20 cm dari status kelas tutupan lahan hutan produksi rawa sekunder mencapai Rp258 miliar. Lalu, Rp74 miliar untuk potensi tegakan pohon dengan diameter lebih 50 cm.
Penanaman kebun ilegal sawit di kawasan hutan yang sudah menahun.
Demikian juga terhadap PT Palma Satu, di Riau, yang kelas tutupan hutan pada 2020 berupa hutan produksi rawa sekunder. Kalau gunakan SK 661, maka PSDH-DR sekitar Rp85 miliar.
Kalau merujuk neraca sumber daya hutan untuk potensi tegakan dengan diameter pohon lebih 20 cm, maka PSDH-DR mencapai Rp499 miliar dan Rp149 miliar untuk tegakan pohon dengan diameter lebih 50 cm.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional 1 November lalu menyebut, ada potensi kerugian negara dari perbedaan penghitungan itu.
Penyederhanaan penghitungan oleh pemerintah, katanya, menunjukkan kemalasan dan keberpihakan pada korporasi.
“Kalau pemerintah malas, karena perhitungan ribe, kenapa tidak pakai kekuatan mereka untuk minta ahli kehutanan dan ekonom menghitung denda-denda ini?” katanya.
Perhitungan yang disimplifikasi, kata Uli, membuat negara menerapkan denda kecil yang sebenarnya tidak signifikan dengan kerusakan dampak dari perusahaan sawit ini. Pemulihan lingkungan, katanya, akan sulit dilakukan.
“Belum lagi kalau ternyata perusahaan mengalami kebakaran atau ada konflik dengan masyarakat. Itu kerugian yang tidak bisa ditafsir dengan angka.”
Bambang tidak khawatir terhadap kerugian negara dengan memberlakukan single tarif. Kesepakatan dalam SK dia sebut untuk memastikan ada meter kubik kayu yang terhitung.
“SK itu memang kesepakatan kita, karena sudah tidak ada lagi pohon di lapangan. Tapi waktu itu pasti ada pohon, maka hitungannya segitu supaya didapat meter per kubiknya.”
Dia bilang, sanksi administratif lebih fokus pada pembenahan tata kelola sawit.
Dengan membayar PSDH-DR, katanya, perusahaan akan mendapatkan legalitas dan diakui tidak lagi di kawasan hutan.
“Hingga mereka berada pada ruang yang sesuai yang diminta untuk tanam sawit. Tidak di kawasan hutan lagi, hak dan kewajiban,” kata Bambang.
Perlunya perhitungan yang transparan
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch 1 November lalu menyebut, melakukan perhitungan tarif PSDH-DR secara internal dan menemukan angka Rp50 juta-Rp60 juta per hektar.
“Menurut teman-teman (di Sawit Watch) itu kecil banget,” katanya.
Tetapi, kata Rambo, hitungan besar atau kecil tarif PSDH0-DR bukan masalah yang disoroti masyarakat sipil.
Keterbukaan pemerintah untuk menyebut siapa saja subyek hukum dan kawasan yang dihitung menjadi hal penting.
“Karena hutan yang dihitung ini hutan negara, bukan hutan KLHK. Jadi, publik berhak tahu bagaimana prosesnya. Kami bisa bantu untuk mengawasi,” kata Rambo.
Walhi juga mengkritik ketidaktransparan pemerintah. Menurut Uli, pemerintah justru menggunakan diskresi besar untuk menutup sumber informasi, bukan hanya kepada masyarakat sipil, juga lembaga lain seperti DPR dan KPK yang bisa lakukan pengawasan.
“DPR, KPK dan masyarakat sipil ini kan penting mengawasi proses yang berpotensi menyebabkan kerugian negara ini,” kata Uli.
Dominan kebun sawit perusahaan
Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, akhir Juni lalu menyebut, ada 3,3 juta hektar sawit dalam kawasan hutan.
Kebun-kebun inilah yang akan diputihkan lewat skema Pasal 110A dan 110B dalam Peraturan Pemerintah No 24/ 2O2I sebagai aturan turunan dari Undang-undang Cipta Kerja.
KLHK jadi pihak yang menginventarisasi subyek hukum yang akan mendapat pemutihan ini.
Berdasarkan data KLHK yang diperoleh Mongabay, ada 1.679 kebun berhasil diinventarisasi.
Berdasarkan luasan indikatif, ada 1.679.797 hektar perkebunan sawit terbangun dalam kawasan hutan tanpa perizinan bidang kehutanan per 4 Oktober 2023.
Pembukaan kebun sawit di lahan gambut.
Angka ini merupakan hasil akumulasi inventarisasi data sawit dalam kawasan hutan yang tercantum dalam SK Datin tahap I-XV yang ditetapkan KLHK.
Dilihat dari subjek hukum, 1.679 kebun sawit itu terdiri dari 1.263 kebun terindikasi punya perusahaan atau korporasi seluas 1.473.946,08 hektar. Kemudian, 119 kebun koperasi seluas 99.654,47 hektar, dan 297 kebun masyarakat atau kelompok tani seluas 106.196,90 hektar.
Data sama menyebut ada 1.131 kebun seluas 1.374.332,8 hektar yang dinyatakan sudah melengkapi persyaratan untuk permohonan penyelesaian.
Dari unit yang sudah dinyatakan melengkapi persyaratan, 969 dengan luas indikatif 867.313,22 hektar akan ditetapkan dengan mekanisme Pasal 110A/Pasal 110B. Sementara yang sudah pasti pakai Pasal 110A ada 162 kebun luas indikatif 507.009,58 hektar.
Kalau dirinci lagi, 78 kebun dari 162 unit yang menggunakan mekanisme Pasal 110A sudah mendapatkan SK penetapan batas pelepasan kawasan hutan atau penetapan areal kerja.
Sebanyak 29 kebun sudah mendapatkan SK persetujuan pelepasan kawasan hutan dan 55 dalam proses tim terpadu.
Bambang menyebut, sudah 90% pemutihan sawit dalam kawasan hutan rampung menggunakan Pasal 110A. Capaian ini tidak lepas dari kerjasama dengan grup-grup korporasi sawit.
“Jadi ketika kita pegang grup itu anggotanya jadi cepat prosesnya, ya,” katanya.
Berdasarkan hasil penelusuran, terdapat nama grup besar perusahaan sawit dalam negeri sebagai pemilik 162 kebun sawit yang gunakan mekanisme Pasal 110A, antara lain Sinarmas, Wilmar, Bumitama Gunajaya Agro, hingga Salim.
Ada juga perusahaan asing seperti Genting Plantation dan Kuala Lumpur Kepong asal Malaysia.
Setop keberpihakan pada korporasi
Pendaftaran penyelesaian sawit dalam kawasan hutan sampai 2 November lalu dengan pembayaran denda bisa sampai akhir Desember 2023.
Achmad Surambo menyebut, pemerintah seharusnya memberikan pidana kepada perusahaan sawit sejak awal.“Karena banyak kasus yang bisa diselesaikan dengan penegakan hukum,” katanya.
Satu contoh, kasus Register 40, Mahkamah Agung sudah vonis atas pembukaan 47.000 hektar kebun sawit di kawasan hutan di Padang Lawas Utara, Sumatera Utara ini. Kasus ini, kata Rambo, sudah berkekuatan hukum tetap.
Linda Rosalinda, Direktur Eksekutif TuK Indonesia dalam diskusi daring menyebut, pemutihan sawit bukan untuk penerimaan negara, melainkan untuk perbesar land bank.
Dari identifikasi mereka, grup-grup besar penerima pengampunan ini akan memakai lahan-lahan yang mereka dapat dari pemutihan untuk menambah dana dari perbankan.
“Mereka bisa memainkan bisnis lain, capital pasif bisa diaktifkan, dengan bermain carbon trading, misal,” katanya.
Untuk di Provinsi Riau terdata sebanyak 378 perusahaan sawit tak memiliki izin.
“Dari 513 perusahaan, 378 tidak punya izin,” kata Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari), Made Ali dalam konferensi pers nya belum lama ini..
Made merasaheran hingga sekarang tak kelihatan penindakan, apakah mereka itu akan mendapat pemutihan, tetapi mereka tidak memiliki izin pelepasan kawasan.
Menurut perhitungannya, perusahaan yang tak memiliki izin tersebut mengelola perkebunan sawit dalam kawasan hutan, atau berstatus ilegal. Luas perkebunan sawit yang berstatus ilegal mencapai 2.494.484 hektar.
Made menyoroti salah satu perusahaan dari 378 perusahaan yang bermasalah dalam perizinan, yaitu PT. Setia Agrindo Lestari (SAL). Dari PT. SAL saja, kerugian negara akibat penerbitan izin yang bermasalah berjumlah besar. “Mencapai 71 Milyar lebih,” jelasnya.
Jumlah tersebut didapat dari penerbitan dan pemanfaatan izin lokasi dan izin usaha perkebunan (IUP). Sedangkan dari dana reboisasi (DR) kerugian mencapai 1.075,8 dollar.
Made menambahkan, PT. SAL dinilai bermasalah disebabkan beberapa hal. Diantaranya menebang di dalam kawasan hutan tanpa izin pelepasan hutan dari Menteri Kehutanan.
Hal tersebut melanggar Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Kehutanan No. P.33/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi.
Selain itu, IUP yang didapat PT SAL pada November 2013 juga dianggap bermasalah karena Bupati Indragiri Hilir ketika itu, Indra Mukhlis Adnan, mengeluarkan IUP tanpa menyebutkan pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari instansi kehutanan serta rekomendasi dari Dinas Kehutanan Indragiri Hilir.
Atas hal tersebut, Jikalahari, ICW, dan beberapa lembaga di Jambi, Riau, dan Kalimantan Tengah telah melaporkan temuan tersebut beserta temuan lainnya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 11 Agustus 2016 lalu.
'Hampir separuh dari perkebunan sawit ilegal'
Laporan yang diterbitkan oleh koalisi LSM, Eyes on the Forest (EoF) menyebutkan bahwa hampir separuh perkebunan sawit (47%) yang ada di Riau ilegal.
Temuan yang didasarkan pada analisis spasial peta pemerintah tahun 2020 yang disusun oleh WWF, menjumpai 2,52 juta hektar lahan sawit (dari total 5,41 juta hektar) berada di kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan.
Hutan berubah jadi perkebunan sawit.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 seharustnya dilarang untuk kegiatan budidaya sawit dan pertambangan.
Mayoritas perkebunan ilegal tersebut, yaitu 91,3%, didirikan di kawasan hutan yang dikategorikan sebagai hutan produksi, sedangkan sisanya berada di kawasan konservasi dan lindung.
Sebelumnya, Pemerintah telah mengidentifikasi 3,37 juta hektar, -atau seperempat pulau Jawa, total perkebunan sawit ilegal di Indonesia.
Temuan baru ini menjadikan Riau sebagai rumah bagi perkebunan sawit ilegal terbesar di Indonesia. Upaya penyelesaian di Riau dengan demikian, bisa jadi prioritas.
“Kalau di Riau bisa diselesaikan, maka permasalahan yang sama di provinsi lain bisa dengan mudah diselesaikan,” jelas Koordinator EoF, Nursamsu dalam keterangan persnya.
Pemerintah berencana untuk melegalkan perkebunan ilegal di bawah program amnesti menyeluruh yang diperkenalkan melalui Undang-Undang Cipta Kerja (omnibus law).
Dalam skema ini diberikan masa tenggang tiga tahun kepada para operator perkebunan ilegal untuk memperoleh izin yang sesuai, menata ulang zona operasional, serta membayar denda yang diperlukan.
Sebaliknya, EoF dan para aktivis menyerukan transparansi dan pelibatan masyarakat dalam proses perkebunan ilegal, guna mencegah korupsi mengingat waktu tiga tahun bagi perusahaan untuk mendapatkan amnesti bukanlah waktu yang panjang.
Laporan ini menyebut bahwa terdapat 46 perkebunan sawit ilegal yang ada di dalam kawasan hutan di Riau. Setengahnya sudah berusia antara 10-35 tahun.
Beberapa diantaranya terafiliasi dengan perusahaan besar seperti Sinarmas, Darmex, Surya Dumai, dan First Resources.
Jika pada akhirnya perkebunan ini mendapatkan amnesti dari pemerintah, pemiliknya harus melakukan rehabilitasi bagian-bagian konsesi mereka yang terdegradasi, sebut EoF.
“Pemulihan ekosistem di lanskap sawit di dalam kawasan hutan akan membantu Indonesia mencapai target pengurangan emisi,” sebut Boy Even Sembiring, Direktur WALHI Riau.
Dalam program ini, ada dua jenis perkebunan yang memenuhi syarat untuk dikecualikan: perkebunan yang memiliki izin terkait dari otoritas lokal namun tidak dari pemerintah pusat, yang dikenal dalam program ini sebagai pemohon 110a; dan mereka yang tidak memiliki izin baik dari pemerintah daerah maupun nasional, yang dikenal sebagai 110b.
Perkebunan 110a dapat memperoleh legalisasi permanen dengan membayar denda dan mengajukan permohonan serta mendapatkan izin rezonasi, yang juga dikenal sebagai surat keputusan pelepasan kawasan hutan, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pembukaan hutan ilegal
Untuk dapat dikategorikan sebagai pemohon 110a, perusahaan harus memiliki konsesi yang berlokasi di wilayah yang dikategorikan sebagai perkebunan dalam rencana tata ruang setempat, serta memiliki izin yang diperlukan dari pemerintah daerah.
Jenis perusahaan 110a juga harus membayar denda dan hanya dapat terus beroperasi untuk satu siklus panen lagi, atau maksimum 15 tahun.
Sedangkan perkebunan yang berada di kawasan hutan lindung atau konservasi tidak dapat diberikan amnesti dan lahannya akan segera diambil alih oleh kementerian.
Nursamsu dari EoF mengatakan kemungkinan besar perusahaan akan lebih memilih untuk dikategorikan sebagai 110a, dibandingkan 110b, karena ini berarti legalisasi permanen.
Persoalannya adalah di identifikasinya. Kurangnya transparasi membuka peluang publik tidak mengetahui apakah suatu perusahaan yang seharusnya masuk sebagai kategori 110b dilegalkan berdasarkan peraturan 110a.
Laporan EoF menemukan 32.138 hektar dari 46 perkebunan yang diselidiki berlokasi di wilayah yang tidak dikategorikan untuk perkebunan berdasarkan rencana tata ruang provinsi Riau.
“Perkebunan itu tidak boleh diproses sebagai pemohon 110a,” kata Nursamsu. “Seharusnya publik diberi akses [terhadap informasi] sehingga kami tahu perusahaan mana saja yang berada di kawasan hutan."
"Dengan begitu, masyarakat bisa menilai perusahaan mana yang harus diproses menjadi pelamar 110a, dan mana yang menjadi pelamar 110b.”
Untuk memastikan pemilik perkebunan ilegal diproses sebagaimana mestinya, pemerintah perlu mengungkapkan informasi rinci tentang perkebunan ilegal dan pemiliknya kepada publik, tambahnya.
Batas waktu bagi operator perkebunan untuk mengajukan program amnesti adalah tanggal 2 November 2023 lalu.
Pada awal tahun 2023, total 237.511 hektar perkebunan telah efektif dilegalkan melalui program ini.
Pada akhir tahun 2022, pemerintah juga telah mengidentifikasi pemilik perkebunan ilegal seluas 543.411 hektar, termasuk 616 perusahaan kelapa sawit.
Meskipun program amnesti memberikan peluang pelegalan perkebunan mereka, tidak banyak perusahaan yang terburu-buru untuk mendapatkan pengampunan, jelas Hariadi. Kartodihardjo , Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University.
“Kami pikir [akan ada permintaan yang lebih besar untuk] program amnesti, namun mereka bahkan tidak mau mendapatkan pengampunan,” katanya.
Ini seperti mengulang program serupa yang pernah diluncurkan di tahun-tahun sebelumnya, diantara tahun 2012-2020.
Hariadi mengatakan, meski diberi peluang di masa lalu, perusahaan tidak memanfaatkannya.
Hal ini mungkin terjadi karena perusahaan pemilik perkebunan ilegal percaya bahwa tidak akan penegakan hukum dan dampak buruk jika mereka terus beroperasi ilegal.
“[Sudah rahasia umum] perkebunan besar mana yang tidak didukung oleh militer dan pejabat tinggi,” kata Hariadi.
“Jadi, banyak perusahaan yang mengandalkan dukungan ini dibandingkan mengikuti aturan.”
Sementara Anggota DPRD Riau Marwan Yohanis menyebut perkebunan sawit dan pembangunan secara masif di daerah resapan air punya andil sebabkan bencana banjir yang terjadi di beberapa kabupaten/kota di Riau belakangan ini.
Ia juga menepis pendapat yang mengatakan bahwa curah hujan yang tinggi selama sepekan terakhir di Riau membuat debit air menjadi terlalu banyak hingga tak tertampung lagi oleh sungai.
"Memang hujan itu ada dan sekarang ini juga musim hujan. Tapi kenapa dulu tidak banjir? Kenapa semakin ke sini semakin sering banjir dan daerah yang mengalaminya semakin banyak?
"Ini karena sekarang ini kalau turun hujan air langsung ke aspal, dari aspal langsung kesungai. Tidak ada lagi tempat untuk air itu meresap, tidak ada lagi tanah yang bisa menahan air itu terlebih dahulu," kata legislator daerah pemilihan Kuansing-Inhu itu.
"Bahkan drainase-drainase di perkotaan tidak dirancang saling terhubung sehingga air terjebak, itulah yang membuat banjir," sambungnya.
Banyaknya perkebunan sawit juga dinilai Marwan punya andil terhadap banjir. Sebab dengan jutaan hektar perkebunan sawit yang ada di Riau, sebagian besar dibangun di atas rawa dan daerah resapan air lainnya serta tak dibentuk embung sebagai gantinya.
Diketahui, embung adalah sebuah waduk buatan yang biasanya dibuat untuk menyimpan air hujan atau air sungai.
"Tidak ada embung, tidak ada lagi resapan yang bisa menampung air tersebut. Kalau di desa tempat resapan jadi kebun, kalau di kota resapan jadi perumahan," ujar Marwan.
Mantan Ketua DPRD Kabupaten Kuansing itu meminta Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk segera mencari solusi jangka panjang.
"Penanganan banjir tidak dengan mie instan, kita butuh solusi jangka panjang agar tahun-tahun berikutnya ketika hujan ada penampungan-penampungan air," tegasnya.
Pemutihan sawit di kawasan hutan capai triliunan
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono memperkirakan potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari denda administratif kebun sawit dalam kawasan hutan bisa mencapai triliunan rupiah.
Adapun penyelesaian sawit dalam kawasan hutan terbagi dalam dua tipologi yang diatur dalam pasal 110 A dan Pasal 110 B Undang-undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dengan luasan mencapai 3,37 juta hektare.
Pasal 110 A mengatur kebun kelapa sawit yang telah beroperasi dan mempunyai izinnusaha perkebunan (IUP) dan sesuai tatar ruang pada izin diterbitkan, namun statusnya berada dalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi.
Sedangkan pasal 110 B mengatur penyelesaian kebun kelapa sawit yang telah beroperasi dalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi namun tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan alias ilegal.
"Ya kalau kita hitung sekitar, misalnya dapat 1 juta hektare [denda kebun sawit dalam tipologi pasal 110 A], kalikan saja Rp6 juta per hektare, dapat Rp6 triliun," ujar Bambang saat di Kantor Ombudsman, Selasa (31/10).
Namun, Bambang menegaskan, realisasi PNBP nantinya akan tergantung luasan tanaman sawit yang masuk dalam kawasan hutan.
Dia menyebut, 90% lahan sawit di kawasan hutan telah mengurus izinnya untuk pelapasan status kawasan hutan.
Adapun pengajuan izin dari kebun sawit swasta, kata Bambang, tercatat sebanyak 1,67 juta hekatare untuk tipologi pasal 110 A dan pasal 110 B.
Bambang mengatakan, untuk kebun sawit tak berizin yang masuk dalam pasal 110 B dan berada dalam kawasan hutan lindung dan hutan konservasi diwajibkan membayar denda administratif dan biaya pemulihan lahan.
Biaya pemulihan untuk mengembalikan ekosistem lahan menjadi hutan lindung dan konservasi nantinya diberikan pelaku usaha kepada pemerintah baik daerah maupun pusat untuk pelaksanaan konservasinya.
"Ketika dia bayar denda dia juga harus membayar pemulihan ekosistem, teknisnya yang kerjakan di mana kewenangan di situ, kalau hutan konservasi ya kementerian. Pemerintah yang mengelola, mereka setor, lalu penanganan keuangan negara nantinya untuk APBD atau APBN bisa diatur," bebernya.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun, Walhi Nasional, Uli Artha Siagian menegaskan, pemerintah perlu memastikan pengenaan denda bisa dipenuhi oleh seluruh perusahaan. Pemerintah harus tegas ihwal sanksi denda administratif tersebut.
Kebun sawit ilegal ditertibkan.
"Harus dipastikan juga denda itu bisa digunakan untuk pemulihan hutan akibat aktivitas kebun sawit ilegal," ujar Uli.
Uli memandang, pengenaan sanksi denda tidak cukup untuk membenahi perkebunan sawit di dalam kawasan hutan. Perlu diikuti penegakan hukum lainnya seperti sanksi pidana.
"Kalau denda ini juga tidak tertagih dengan baik dan juga tidak diarahkan pada pemulihan lingkungan maka dia [denda] tidak akan bermanfaat sama sekali," tuturnya. (*)
Tags : sawit ilegal, kebun sawit di kawasan hutan, pemerintah proses pemutihan kebun sawit ilegal, negara merugi triliunan rupiah dengan kebun sawit ilegal, kebun sawit ilegal di riau, sorotan, riapagi,