JAKARTA - Kebijakan kendaraan dinas listrik bagi pejabat negara dipandang “tidak realistis dan “terburu-buru” oleh pengamat dan anggota parlemen.
Pemerintah Indonesia menegaskan hal itu dilakukan untuk “memberikan pesan kepada dunia” bahwa Indonesia serius dalam hal transisi energi.
Sedikitnya 1.000 unit kendaraan listrik akan digunakan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara yang tergabung dalam G20 di Bali pada 15-16 November mendatang. Kendaraan listrik didapuk menjadi sarana transportasi resmi dalam perhelatan tersebut.
Pemerintah mengeklaim KTT G20 sebagai momentum menunjukkan komitmen Indonesia dalam transisi energi menuju energi bersih, sekaligus mengurangi emisi karbon.
Tak hanya berhenti sampai di situ, untuk memastikan penggunaan mobil listrik berkelanjutan, Presiden Joko Widodo mengeluarkan instruksi presiden pada September silam yang mewajibkan pejabat pemerintah pusat dan daerah menggunakan kendaraan bermotor listrik.
Pengadaan kendaraan dinas listrik ini menggunakan anggaran dari APBN dan APBD, dengan opsi pembelian, sewa dan konversi kendaraan.
Merujuk data Kementerian Keuangan, sebanyak 189.803 unit mobil dinas akan diganti dengan mobil listrik secara bertahap.
Sejumlah pejabat merespons kebijakan ini dengan mengganti mobil dinas konvensional mereka dengan mobil listrik, seperti yang dilakukan bupati Sumenep di Jawa Timur dan bupati Gorontalo di Sulawesi Utara. Mereka beralasan, mobil listrik lebih “ramah lingkungan”.
Namun tak sedikit kepala daerah yang menyatakan ketidaksiapan mengganti mobil dinas dengan mobil listrik, dengan alasan minimnya anggaran dan belum mencukupinya sarana untuk kendaraan listrik di daerahnya.
Seperti yang diungkapkan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, yang mencoret anggaran pengadaan mobil dinas listrik dan memprioritaskan anggaran untuk fasilitas publik.
“Intinya kita lihat urgensi dan skala prioritas, kalau mau beli mobil saya kira timing-nya tidak pas, kan kita sedang berusaha untuk melakukan percepatan pemulihan ekonomi,” tegas Gibran pada awal November silam dilansir BBC News Indonesia.
Aksi Gibran dianggap sebagai aksi “membangkang” titah presiden, yang notabene adalah ayahnya tersebut.
Namun, pakar transportasi dan anggota DPR yang membidangi sektor energi mengkritik rencana pemerintah tersebut, seraya menegaskan kebijakan itu “tidak mendesak” untuk dilaksanakan.
Adapun pemerintah menargetkan nol emisi di tahun 2060, dengan menetapkan sebanyak 400.000 mobil listrik dan 1,7 juta motor listrik beroperasi selama 2021 - 2025.
Komitmen transisi energi
Sebelumnya, pada 13 September lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 tentang penggunaan kendaraan listrik menjadi kendaraan dinas instansi pemerintah pusat dan daerah.
Inpres tersebut merupakan wujud komitmen Presiden Jokowi dalam menerapkan transisi energi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan.
Instruksi presiden ini ditujukan ke seluruh menteri di Kabinet Indonesia Maju, sekretaris kabinet, dan kepala staf kepresidenan.
Selain itu, jaksa agung, panglima TNI, kepala kepolisian, para kepala lembaga pemerintah non-kementerian, para pimpinan kesekretariatan lembaga negara, para gubernur, serta para bupati/wali kota.
Khusus untuk kepala daerah akan diberikan insentif fiskal dan non-fiskal berupa kemudahan dan prioritas penggunaan kendaraan listrik.
Skema kendaraan dinas bisa dilakukan dengan pembelian, sewa atau konversi kendaraan konvensional ke kendaraan listrik.
Pada September silam, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, pengadaan mobil listrik untuk pejabat akan dianggarkan dari APBN, seraya menambahkan hal itu “sudah mendapat persetujuan” presiden.
“Jadi kita berharap sekarang lagi disusun semua perencanaannya,” kata Luhut pada media, Selasa (27/09).
Dia melanjutkan, setelah kebijakan ini makin banyak orang menggunakan mobil listrik sehingga pada 2035 diharapkan tak ada lagi mobil konvensional yang diproduksi di dalam negeri.
Dengan begitu, kata Luhut, impor minyak mentah bisa berkurang sejalan dengan penggunaan mobil berbahan bakar BBM yang makin sedikit.
Adapun, Kepala Staf Presiden Moeldoko mengungkapkan bahwa selain mewajibkan para pejabat untuk menggunakan mobil listrik, instruksi presiden ini sekaligus untuk mempercepat perkembangan industri kendaraan listrik di Indonesia, termasuk unsur pendukungnya.
Lebih jauh, dia mengatakan bahwa Inpres yang dikeluarkan menjelang perhelatan KTT G20 ini “memberikan pesan pada dunia” bahwa indonesia sudah bergerak dalam “perbaikan lingkungan dan menekan penggunaan bahan bakar fosil”.
Namun, Staf ahli bidang pengeluaran negara Kementerian Keuangan, Made Arya, menjelaskan saat ini anggaran kendaraan dinas listrik belum dialokasikan dalam APBN, sebab belum ada aturan baku terkait jenis dan standar kendaraan listrik yang akan digunakan, termasuk acuan harganya.
"Anggaran (pengadaan kendaraan listrik) tidak pernah alokasikan khusus. Tapi dari alokasi kementerian/lembaga memang didorong kalau ada pengadaan kendaraan agar mengadakan kendaraan listrik," katanya, seperti dirilis detik.com, Sabtu (05/11).
Berbeda dengan mobil konvensional yang memiliki kapasitas cc (cylinder capacity) yang menjadi acuan menetapkan alokasi kendaraan dinas, mobil listrik tidak memilikinya.
Meski demikian, pemerintah disebut menyiapkan skema intensif untuk konversi ke kendaraan listrik. Adapun, kendaraan dinas itu tak mesti baru, namun bisa dari hasil konversi kendaraan yang sudah ada.
‘Kita siap disanksi’
Namun kebijakan itu disambut dingin oleh Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming yang menyebut “waktunya tidak pas”.
Alih-alih mengalokasikan dana untuk kendaraan dinas listrik, Gibran mencoret alokasi anggaran mobil dinas listrik untuk walikota dan wakil walikota Solo dalam APBD 2023.
“Kalau yang namanya mobil bisa ditunda dulu lah ya, wong sekarang harga mobil listrik masih mahal-mahal, pilihannya masih sedikit dan saya masih menggunakan mobil yang lama ini,” jelas Gibran.
Dia menegaskan dirinya kini lebih memprioritaskan percepatan pemulihan ekonomi, sehingga alokasi anggaran untuk mobil dinas listrik dialihkan untuk fasilitas umum dan menggerakkan ekonomi warganya.
“Pembelian mobil ditunda dulu untuk bangun taman cerdas, bangun pasar, perbaikan jalan. Itu kan saya rasa lebih penting, atau untuk support UMKM. Ini masalah skala prioritas saja,” ujar Gibran.
“Saya rasa ini lebih prioritas daripada pembelian mobil. Pokoknya untuk warga dulu,” tegasnya kemudian.
Putra pertama Presiden Joko Widodo itu tak memungkiri bahwa meskipun kebijakan tersebut diinstruksikan oleh kepala negara, namun menurutnya, anggaran lebih tepat dialokasikan untuk fasilitas umum.
Dia menambahkan, dirinya tak khawatir bakal disanksi pemerintah pusat.
“Yo rapopo (tidak apa-apa), kita siap disanksi, sing penting warga sik (yang penting untuk warga dulu).”
“Nanti kalau sekiranya di tengah tahun ada kebutuhan untuk pengadaan [mobil dinas listrik] itu, yo diajukan ke anggaran perubahan.
“Tapi saya lihat sekarang belum prioritas, dialokasikan untuk yang lain, itu lumayan untuk pengaspalan jalan, untuk bikin event-event budaya,” kata dia.
'Tidak realistis' dan 'terburu-buru'
Kebijakan ini dipandang tidak realistis dan terburu-buru oleh Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.
Apalagi saat ini, Indonesia dalam kondisi tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-sembilan belas, dan ancaman resesi global.
“Nanti sisi negatifnya adalah beban terhadap APBD yang akan cukup berat,” kata dia.
Ditambah lagi, saat ini produsen kendaraan listrik masih didominasi pemain asing, sehingga kendaraan itu perlu diimpor.
Imbas, barang impor ini justru akan memperlebar defisit transaksi berjalan, sehingga bisa mempersempit surplus neraca perdagangan.
“Inpres ini muncul sebenarnya untuk membuktikan kepada negara G20 bahwa Indonesia mengusung transisi energi dan Indonesia berkomitmen dalam transisi energi itu.
"Tujuannya agar pemerintah Indonesia mendapatkan pendanaan yang besar dari negara-negara maju. Jadi salah satu pembuktiannya adalah udah ada lho inpres soal mobil listrik,” ujar Bhima.
“Padahal, secara realisasi akan sangat sulit. Kemudian juga, kondisi sekarang ini Pemda terfokus untuk melakukan stimulus dan anggaran perlindungan sosial yang lebih besar lagi, mengantisipasi kalau ada resesi biar enggak jatuh miskin orang-orang yang ada di daerah ,” lanjutnya.
Anggaran kendaraan listrik yang bisa mencapai dua kali lipat dari mobil konvensional, belum lagi suku cadang masih impor, dikhawatirkan oleh Bhima justru akan menjadi kebijakan yang tidak populis di daerah.
Sehingga, kata Bhima, akan memicu pertanyaan dari masyarakat, “Daripada buat mobil listrik lebih baik untuk anggaran yang lebih bermanfaat langsung pada daya beli”.
Rencana Pemerintah mengganti semua kendaraan dinas pejabat dengan mobil listrik juga mendapat kritik dari Mulyanto, anggota Komisi VII yang membidangi sektor energi. Menurut Mulyanto, rencana tersebut "terlalu mengada-ada, tidak penting dan tidak mendesak untuk dilaksanakan", mengingat keuangan negara saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Ia menyarankan pemerintah menghemat anggaran negara untuk mengantisipasi kemungkinan resesi global di tahun-tahun mendatang.
Sarana belum mencukupi dan insentif
Sejumlah kepala daerah juga menyampaikan bahwa infrastruktur kendaraan listrik di daerahnya belum mencukupi.
Adapun, di Solo Raya kini baru ada tiga stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKU), yakni di kantor PT PLN UP3 Surakarta dan dua di rest area untuk pengguna lintas provinsi.
Stasiun pengisian kendaraan listrik itu adalah fast charging, dengan masa waktu pengisian selama 1 - 1,5 jam.
Manager PLN UP3 Surakarta, Joko Hadi, mengakui bahwa saat ini sarana pengisian daya kendaraan listrik di Solo belum memadai, oleh karena itu pihaknya berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan untuk memetakan penempatan SPKLU.
“Sebenarnya kalau yang kita siapkan infrastruktur di beberapa titik, itu untuk kendaraan yang sifatnya mobile, jadi untuk Solo mungkin tambah dua atau tiga (SPKLU) menurut saya cukup,” ungkapnya.
“Dengan asumsi yang sekarang existing tiga, ini kan sudah ada, tinggal tambah tiga titik mungkin sudah cukup,” jelasnya.
Gareng Haryanto, pemilik mobil listrik Hyundai Ioniq 4, beralasan memilih menggunakan mobil listrik dengan pertimbangan efisiensi.
“Nyatanya ya efiensi bener, ibaratnya Rp60.000 dapat 300 km. Kita charge dengan biaya Rp60.000 dapat 300 km, berarti kan sangat murah,” katanya.
Mobil itu dia beli tahun lalu dengan harga sekitar Rp600 juta.
Dia menjelaskan untuk pengisian daya di malam hari, dirinya mendapat insentif berupa korting dari PLN sebesar 30%.
“Itu kurang lebih 2200 watt. Mulai jam 6 sore ke atas, diskon 30%.”
Adapun, Kepala Staf Presiden Moeldoko menyebut pemerintah sudah menyiapkan intensif khusus untuk masyarakat yang akan menggunakan kendaraan listrik.
Intensif diberikan untuk mempercepat pengembangan kendaraan listrik di Indonesia.
“Agar kita (Indonesia) nanti jangan menjadi market di kawasan Asia, karena Thailand dan Vietnam bagus itu insentifnya. Kita menuju kepada penyesuaian lingkungan itu,” kata Moeldoko melalui keterangan tertulis, Rabu (09/10).
Moeldoko menyebut insentif bakal diberikan agar transisi dan konversi baik untuk sepeda motor, mobil, ataupun angkutan umum dapat segera berjalan.
Mengenai besaran intensifnya, Moeldoko mengklaim pihaknya sudah mengantongi angkanya, namun dia enggan mengungkapnya.
“Angkanya sudah ketemu tapi belum bisa diumumkan karena harus melalui Menteri Keuangan,” kata Moeldoko.
Adapun, pakar transportasi yang juga wakil sekjen Masyarakat Transportasi Indonesia, Deddy Herlambang, khawatir beragam insentif yang diberikan untuk kendaraan listrik, akan membuat kemacetan semakin parah.
“Patokannya kalau orang semakin sering beli mobil, berarti perekonomian bagus. Saya pikir salah kalau PDB kita hanya ditinjau dari industri otomotif. Katanya orang kita juga semakin macet, ekonomi semakin berhasil,” jelasnya.
“Kita dipaksa untuk membeli mobil dan motor setiap hari, sementara tidak ada penyediaan transportasi umum,” imbuhnya kemudian.
Benarkah ramah lingkungan?
Terlepas upaya pemerintah dalam hal transisi energi ke kendaraan listrik yang diklaim ramah lingkungan, jika ditelisik dari rantai pasok kendaraan listrik, sebanyak 60% sumber energi primer listrik masih mengandalkan batubara, kata ekonom dari Celios, Bhima Yudhistira.
“Jadi misalkan kalau mau bersih di hilir, seharusnya pemerintah bersihkan dulu di hulu. Tapi sekarang ini kebijakan di hulu untuk melakukan transisi ke energi terbarukan belum konkret,” ujarnya.
“Jadi akan terjadi dilema, ketika Pemda disuruh untuk membeli mobil listrik, agar Indonesia terkesan memiliki komitmen kepada net zero emission, padahal di sisi hulunya masih menggunakan energi yang sangat kotor,” tambah Bhima.
Sementara itu, meski Indonesia merupakan salah satu produsen nikel - bahan baku baterai kendaraan listrik - namun nikel dipandang sebagai industri ekstraktif yang kotor yang terlalu liberal dalam hal perlindungan lingkungan hidup.
“Kita lihat apa yang terjadi di Morowali dan Konawe, itu menjadi salah satu bukti bahwa kendaraan listrik mencoba mengatasi di hilir, tapi dari sisi pertambangan, smelter, aturan tenaga kerja asing, menjadi polemik,” tegasnya.
Pakar transportasi, Deddy Herlambang, mengatakan penggunaan kendaraan listrik yang berdampak positif pada kualitas udara, namun tak serta merta mengurangi kemacetan.
“Kalau udaranya bersih tapi tetap macet, kita mau ngapain? Yang seharusnya di jalan bisa satu jam, bisa tiga jam total karena macet,” cetusnya. (*)
Tags : Kendaraan Dinas Listrik Pejabat, Penerapan Kendaraan Listrik, Energi terbarukan, Industri otomotif, G 20 ,