MENERIMA pesan singkat atau bahkan menerima panggilan suara dari seseorang yang tidak dikenal, yang berisi kata-kata kasar dan mendiskreditkan seseorang sungguh tidak menyenangkan.
Patut dapat diduga bahwa nomor kontak selular dari seseorang [pinjaman online] terdapat pada database kontak selular orang dimaksud, dan data itu telah diakses serta digunakan tanpa seizin pemiliknya oleh seseorang atau sekelompok orang yang merupakan debt collector dari penyedia jasa pinjaman permodalan secara digital [online], yang memberikan layanan peer to peer [P2P] lending atau pinjaman online [pinjol].
"Di zaman teknologi seperti saat ini semua hal terasa serba mudah. Begitu pun dengan permodalan," kata Larshen Yunus, Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik Satya Wicaksana dalam bincang-bincangnya menyikapi 'kejahatan' yang terorganisir dari [pinjol].
"Jika dulu masyarakat Indonesia sangat sulit mendapatkan pinjaman kini untuk mendapatkan pinjaman uang begitu mudah. Salah satu yang memudahkan ialah adanya platform penyedia jasa pinjaman secara digital atau biasa disebut pinjaman online [pinjol]," sambungnya.
Menurutnya, dua tahun terakhir, banyak orang membicarakan fintech. Terlebih tahun ini, Otoritas Jasa Keuangan [OJK] menargetkan paling tidak 75 persen dari populasi orang dewasa di Indonesia bisa mengakses layanan institusi finansial, dan masyarakat pun semakin beramai-ramai memanfaatkan jasa fintech untuk mencapai tujuan finansialnya.
Otoritas Jasa Keuangan atau lebih dikenal dengan sebutan OJK merupakan salah satu lembaga pemerintah di Indonesia, yang dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat: terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel. Selain itu mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
OJK mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan.
OJK sendiri mempunyai tugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB.
Kembali lagi menyinggung soal fintech [financial technology] yang kini lebih dikenal dengan istilah fintech, adalah bentuk usaha yang bertujuan menyediakan layanan finansial dengan menggunakan perangkat lunak dan teknologi modern.
"Tujuannya jelas untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses produk-produk keuangan dan menyederhanakan proses transaksi."
"Namun, tak sedikit masyarakat yang menganggap fintech adalah saingan perbankan karena keseluruhan sektornya hampir mirip dengan bank," kata Larshen Yunus yang juga selaku Ketua Dewan Pengurus Daerah [DPD] Komite Nasional Pemuda Indonesia [KNPI] Provinsi Riau ini.
Menurutnya, bila ditelisik lebih jauh, platform fintech justru mampu menjadi strategi penting untuk meningkatkan dan mengakeselerasi perbankan melalui kolaborasi dan kemitraan.
"Fintech dan platform digital menawarkan model bisnis dan alternatif solusi yang dapat membantu pemerintah dan institusi finansial lainnya untuk memperluas jangkauan pemberian layanan finansial yang memadai."
"Kehadiran industri fintech dalam menawarkan produk keuangan berbasis digital seakan membuka pintu baru bagi masyarakat yang ingin mengajukan pinjaman," sebutnya.
Sedangkan layanan pinjaman konvensional yang ditawarkan bank atau koperasi, berbagai fintech menawarkan produk pinjaman peer to peer lending (P2P Lending) atau pinjaman online yang dapat diajukan dengan sangat mudah dan tanpa persyaratan yang rumit, "karena kemudahan dan kecepatannya itulah, fintech menjadi sangat populer di kalangan generasi milenial dan diprediksi akan terus berkembang," katanya.
Melalui fintech, cukup dengan menunjukkan dokumen pribadi, seperti, KTP, KK, NPWP, dan slip gaji, siapa saja dapat menjadi pengguna pinjaman online untuk tuntaskan berbagai problema keuangan. Bahkan, sejak awal diajukan hingga dana sampai ke tangan nasabah, fintech hanya memerlukan waktu tidak lebih dari 24 jam. Kelebihan inilah yang membuat produk keuangan begitu cepat meraih popularitas dan semakin gandrung dimanfaatkan oleh masyarakat berbagai kalangan.
"Sayangnya, di balik kemudahan dan kepraktisan yang ditawarkannya, tak sedikit orang yang memanfaatkan produk pinjaman online ini dengan tidak bijak," kata Larshen.
Jadi dibandingkan dengan pinjaman konvensional, pinjaman online memiliki tingkat suku bunga yang cenderung lebih tinggi dan tenor cicilan yang lebih ringkas. Pada pinjaman online, biaya administrasi tidak transparan. Alhasil para nasabah berisiko harus membayar hutang lebih besar dari kesepakatan diawal. Selain itu, nasabah juga harus membayar biaya denda keterlambatan dan denda lainnya yang notabene tidak masuk akal.
Keberadaan pinjaman online ini menjadi polemik karena rendahnya literasi keuangan pada masyarakat Indonesia. Hal ini tentu berisiko membuat debitur pinjaman online untuk terjebak jeratan utang yang terlalu berat hingga tak mampu membayar cicilannya.
"Banyak berita yang tersebar di media, yang menceritakan berbagai ancaman yang akan mengintai kalau sampai tidak mampu melunasi cicilan pinjaman online."
Menurutnya, karena pemberian data diri pada pinjaman online membuat nasabah mudah dikejar-kejar tentang utangnya. Debt collector menebar ancaman mulai dari masuk pengadilan, ke penjara, sampai siap dipecat dari pekerjaan. Tak hanya itu, beberapa warganet lain memang menyoroti Fintech pinjaman online yang bisa membaca data-data di ponsel nasabah.
"Jadi saya sarankan, lebih baik tidak melakukan pinjaman online. Pasalnya, pengajuan pinjaman belum tentu diterima, tetapi data-data nasabah sudah didapatkan.
Selain itu, pinjaman online juga dinilai sangat merugikan konsumen. Misalnya, pengajuan pinjaman cuma Rp1 juta sampai Rp2 juta, tetapi sang penyedia pinjaman online bisa mendapatkan seluruh data nasabah yang nilainya bisa lebih dari itu," sarannya.
Selain itu, sebutnya, fakta-fakta lainnya tentang pinjaman online adalah banyak orang yang dihubungi fintech sebagai kontak darurat nasabahnya. Padahal, orang itu tidak mengetahui kalau dirinya dijadikan kontak darurat. Belakangan, kontak darurat ini akan menjadi “repot” karena akan dihubungi secara terus menerus oleh petugas penagih utang dari fintech, dan hal ini tentunya dirasakan sangat mengganggu. (*)
Tags : Media sosial, Keuangan pribadi, Ekonomi, Kejahatan, Hukum, Indonesia, Perbankan,