Headline Sorotan   2022/11/28 14:38 WIB

Perambah Hutan Berlindung di Balik UU Cipta Kerja, Ahli Hukum: 'Pembuataan UU Baru atau Melakukan Revisi?'

Perambah Hutan Berlindung di Balik UU Cipta Kerja, Ahli Hukum: 'Pembuataan UU Baru atau Melakukan Revisi?'

"Hutan Kawasan Taman Nasional Teso Nilo (TNTN) terus terusik, perambah dan pemilik modal dinilai berlindung pada UU Cipta Kerja"

awasan TNTN menjadi salah satu hutan lindung yang kini nasibnya memprihatikan. Dari 83 ribu hektare total luasannya, hutan yang tersisa hanya sekitar 16 persen, yakni sekitar 13 ribu hektare saja.

"Kita tidak bisa bilang ini punya perusahaan atau seperti apa. Yang jelas itu punya si A, si B, si C, yang luasannya ada yang 1.000 hektare lebih. Tapi ada juga milik masyarakat yang luasnya di bawah 5 hektare," kata Kepala Balai TNTN, Heru Sutmantoro membeberkan fakta mengejutkan perkembangan terakhir hutan TNTN di Pelalawa, Riau ini.

Menurutnya, sekitar 40 ribu hektare dari kawasan TNTN saat ini sudah berubah menjadi perkebunan sawit.

Dia mengaku tidak bisa langsung melakukan tindakan untuk mengeksekusi kebun-kebun sawit itu. Lantaran saat ini terdapat Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) yang menjadi pelindung bagi perambah hutan itu.

Untuk pemilik perkebunan yang luasnya lebih dari 5 hektare, menurutnya akan tetap dieksekusi.

Pemiliknya akan dikenakan denda administrasi dan sawitnya akan diganti dengan tanaman hutan kembali.

"Yang di bawah 5 hektare akan kita akomodir dengan undang-undang CK," tambahnya.

Akan tetapi dia mengakui bahwa untuk mengeksekusi lahan yang luasnya lebih dari 5 hektar itu tidak mudah dan akan memerlukan waktu yang cukup panjang.

"Saat ini memang banyak pelaku-pelaku perambahan hutan yang berlindung di balik Undang-undang CK," kata Heru.

"Saya akan terus melakukan penjagaan, rehabilitasi, dan juga akan melakukan pendataan sampai nanti sawit itu tidak ada lagi di dalam kawasan TNTN. Ini butuh proses lama," sambungnya.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menghapus dan mengubah sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pasal 35 UU Cipta Kerja menyebutkan bahwa penghapusan dan perubahan tersebut untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan berusaha serta kemudahan persyaratan investasi dari sektor kehutanan.

Salah satu ketentuan yang dihapus yakni terkait kewajiban pemerintah menetapkan dan mempertahankan luas kawasan hutan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Salah satu ketentuan yang dihapus yakni terkait kewajiban pemerintah menetapkan dan mempertahankan luas kawasan hutan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

“Batas minimum kawasan hutan Jawa, misalnya minimal 30 persen, termasuk juga batas minimum untuk DAS di masing-masing provinsi itu akan hilang,” kata Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Wahyu Perdana pada media yang sempat mengkritik perubahan UU Cipta Kerja ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo ini.

Menurutnya, penghapusan batas minimum 30 persen kawasan hutan yang harus dipertahankan akan mengancam kelestarian hutan.

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengklaim bahwa aturan terbaru justru memperkuat kewajiban pemerintah dalam mempertahankan kawasan hutan.

Menurut Siti, dalam peraturan pemerintah, kewajiban pemerintah dalam menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan bisa lebih ketat. "Justru dalam Omnibus Law, ini bisa lebih ketat daripada hanya angka 30 persen," kata Siti dikutip dari akun Twitter-nya @SitiNurbayaLHK, Minggu (11/10).

Lain lagi disebutkan Anggota Badan Legislasi (Banleg) DPR RI, H Abdul Wahid, yang ikut membahas dan mengesahkan UU Cipta Kerja sebagai perwakilan dari Fraksi PKB.

Menurut Abdul Wahid, UU ini mengakomodir kepentingan petani kelapa sawit.

Dalam klaster sumber daya UU Ciptaker, keterlanjuran kebun kelapa sawit yang berada dalam klaim kawasan hutan akan dibebaskan dari klaim kawasan hutan. 

"Karena sudah terlanjur digarap ya harus ada solusi, jika petani yang menggarap maksimal 5 hektar, ya tinggal dilaporkan, bisa disertifikatkan tetapi tidak boleh dijual," kata Abdul Wahid kepada media.

"Jika kebun kelapa sawit itu berada di kawasan hutan lindung dan konservasi, pemerintah akan memberikan toleransi selama satu daur."

"Untuk yang terlanjur menggarap dikawasan Hutan lindung dan konservasi, ditoleransi selama satu daur masa tanam," ujar lelaki asal Indragiri Hilir (Inhil) ini.

Menurut Wahid, bagi kebun perorangan yang tumpang tindih dengan konsesi atau Hak Guna Usaha (HGU), maka luas HGU atau konsesinya dikurangi. Bukan petani kelapa sawitnya yang diusir.

"Bagi lahan HGU yang tumpang tindih, maka konsesi HGU yang dikurangi. Sebab enggak mungkin kelapa sawit itu ditebangi, Semuanya harus saling azas manfaat," katanya.

Selama ini kata Wahid, yang diuntungkan oleh klaim kawasan hutan itu justru hanya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan sisi abu-abu ketidakpastian hukum. 

UU Cipta Kerja berdampak pada sejumlah undang-undang lain

Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja berdampak pada sejumlah undang-undang lain yang masih berlaku, termasuk beleid yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam.

Sejumlah pasal dan ketentuan dalam undang-undang yang selama ini jadi tumpuan untuk kelestarian alam, diubah bahkan dihapus dalam Omnibus Law.

Analisis yang dilakukan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) misalnya mengungkapkan ada setidaknya 6 undang-undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan sumber daya alam terdampak UU Cipta Kerja.

Keenam beleid itu adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Perusakan Hutan, UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

Bila dibedah, terdapat cukup banyak pasal penting dan ketentuan dalam 6 UU tersebut yang diubah dan dihilangkan, sehingga cenderung berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, sumber daya alam dan masyarakat.

Hal yang menjadi permasalahan utama pengesahan UU Cipta Kerja adalah hak masyarakat dalam mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, baik itu hak atas informasi, partisipasi, serta keadilan, mengalami pereduksian signifikan bahkan sampai penghapusan.

Salah satu contohnya, adalah hilangnya kesempatan berpartisipasi dalam mengajukan keberatan dan penilaian AMDAL.

Selain itu, terdapat kesalahan konsep dalam perumusan strict liability yang dapat berakibat pada sulitnya menjalankan konsep tersebut.

Dihapusnya izin lingkungan juga berdampak terhadap potensi hilangnya akses masyarakat untuk menggugat.

Yang lebih mengkhawatirkan, menurut ICEL, adalah pengecualian atas larangan membakar bagi masyarakat peladang tradisional juga dihapus.

Penghapusan pengecualian larangan membakar bagi masyarakat peladang tradisional berpotensi terjadinya kriminalisasi dan pemindahan beban pertanggungjawaban.

Di sisi lain, masalah-masalah yang dihadapi selama ini seperti konsep uang paksa dalam Pasal 81 justru tidak diselesaikan.

"Tetap ada ketentuan yang baik, tetapi jumlahnya minoritas dibandingkan yang bermasalah atau potensi bermasalah," kata ICEL dalam siaran persnya.

Menurut ICEL, terdapat beberapa perubahan yang substansial dalam UU Kehutanan akibat pengesahan UU Cipta Kerja ini. Misalnya ketentuan untuk mempertahankan minimal 30 persen kawasan hutan berdasarkan daerah aliran sungai dan/atau pulau dihapus.

Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan juga tidak lagi "didasarkan", melainkan hanya "mempertimbangkan" penelitian terpadu.

Selain itu terdapat pengecualian bagi masyarakat adat yang memanfaatkan hutan, asalkan telah 5 tahun berturut-turut melakukannya dan terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan.

Pertanggungjawaban mutlak untuk pelaku usaha yang arealnya terbakar kembali dihidupkan. Adanya perubahan beberapa larangan dan tindak pidana yang dianggap tumpang tindih dengan UU Nomor 18 Tahun 2013.

Terkait Undang-Undang 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, permasalahan utama yang muncul adalah terdapat pada perumusan sanksi adminsitrasi dan pidana. Itu menyangkut ketentuan pengurus perusahaan atau korporasi yang dapat dikenakan pidana badan, apabila korporasi tidak menjalankan pidana.

Secara teoritis, ketentuan ini kurang tepat karena berpotensi melanggar HAM pengurus dengan memidanakannya tanpa melalui proses peradilan yang tepat.

Kemudian adanya pemberian sanksi administratif dan pengecualiannya bagi masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan, yang berpotensi mengkriminalisasikan masyarakat adat apabila tidak dibarengi dengan pendataan dan pengakuan hak masyarakat adat beserta hutannya yang tepat sasaran.

Permasalahan yang menjadi sorotan utama dalam analisis ini adalah adanya penghapusan berbagai ketentuan dasar yang sebelumnya didetailkan dalam Undang-Undang Perkebunan, seperti kewajiban memiliki Amdal, analisis risiko, dan sarana prasarana penanggulangan karhutla, dan diamanatkan dalam PP.

Di satu sisi kekuatan PP tentu lebih lemah dari UU. Karena tidak dapat memberikan sanksi pidana apabila kewajiban yang diatur tidak dipenuhi. Di sisi lain, penilaian atas perubahan tersebut juga tidak dapat dilakukan sekarang. Karena masih harus menunggu PP tersebut terbit.

Analisis terhadap perubahan Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang menemukan permasalahan utama berupa dilemahkannya posisi tata ruang sebagai salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Dalam UU Cipta Kerja, berbagai ketentuan dalam penataan ruang dilonggarkan. Relaksasi ini terutama untuk mengakomodasi kebijakan nasional yang bersifat strategis.

Sayangnya, UU Cipta Kerja tidak menjelaskan apa yang dimaksud atau bagaimana lingkup kebijakan nasional yang bersifat strategis yang dapat mempengaruhi penyelenggaraan penataan ruang tersebut.

Hal ini dikhawatirkan akan mereduksi peran instrumen tata ruang sebagai instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, serta instrumen untuk memastikan terselenggaranya pembangunan berkelanjutan.

Dalam hal menyangkut Undang-Undang 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, UU Cipta Kerja mengembalikan ketentuan terkait dengan otonomi daerah dan memberikan kewenangan secara atribusi kepada Pemerintah Daerah. Sekalipun begitu, ketentuan terkait ketenagalistrikan dalam UU Cipta Kerja juga masih memiliki beberapa masalah.

Permasalahan utama terdapat pada ketentuan terkait partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan. Selain itu, pereduksian beberapa kewenangan DPR dan Pemerintah Daerah juga masih ditemukan. Dikhawatirkan hal ini akan berpengaruh kepada semangat transisi energi yang tengah digagas saat ini.

'Permasalahan bermunculan'

Sementara itu, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menilai setidaknya ada 6 poin masalah yang akan muncul apabila UU Cipta Kerja disahkan.

Pertama, akan menguntungkan korporasi untuk membakar hutan dan lahan seluas-luasnya. Kedua makin garangnya kriminalisasi petani, masyarakat adat dan pejuang lingkungan hidup.

Kemudian ketiga, UU ini akan menjadi jalan tol mempercepat penebangan hutan alam, perusakan gambut dan penggundulan hutan alam tersisa. Keempat, korporasi akan menjadi kebal hukum, karena hukuman bisa selesai hanya dengan membayar denda, kejahatannya akan hilang.

"Makin mudah menyuap pemerintah dan pemerintah makin mudah korupsi. Korporasi kian mudah merampok hutan dan lahan di Indonesia, tidak bayar pajak lalu uangnya disimpan di negeri surga pajak di luar negeri," kata Okto Yugo, Wakil Koordinator Jikalahari.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menganggap UU Cipta Kerja ini akan membuat tanah petani dirampas, mendiskriminasi hak-hak dasar rakyat kecil, termasuk memutus konstitusionalitas masyarakat miskin tak bertanah (landless/tunakisma) di desa dan kota.

KPA juga menyebut gerbang kapitalisme agraria telah resmi dibuka lebih lebar oleh Pemerintah setelah mengantongi ijin formil dari DPR RI.

"Kedaulatan agraria rakyat (ke dalam) dan kedaulatan agraria bangsa ini (ke luar) resmi dipangkas. Badan-badan usaha, pemilik modal, dalam dan luar negeri, telah dibangunkan jalannya untuk berbisnis semakin mudah dan cepat, melegitimasi mereka untuk melakukan perampasan tanah rakyat, mendorong terjadinya ploletarisasi petani, merusak lingkungan dan pelanggaran-pelanggaran pengusaha berbasis agraria dilindungi Negara," kata Sekjen KPA Dewi Kartika dalam siaran pers tersebut.

Bagi kaum tani dan elemen gerakan reforma agraria lainnya, hari pengesahan UU Cipta Kerja merupakan Hari Kejahatan Terhadap Konstitusi oleh DPR RI, yang seharusnya menjadi Penjaga Utama Konstitusi. Meski mulusnya proses di DPR juga sudah dapat diprediksi.

"Sebab mayoritas Anggota DPR adalah pengusaha, pemilik modal atau pejabat teras atau komisariat dari badan-badan usaha negara atau swasta. Mereka bagian dari lingkaran kapitalisme yang selama menggerogoti kedaulatan tanah air."

"Atas masalah-masalah fundamental UU Cilaka di atas, Konsorsium Pembaruan Agraria mengecam keras kelahiran UU Cipta Kerja dengan segala substansi dan manipulasi prosesnya, dan menyatakan menolak UU Cipta Kerja."

Cukong dijerat pasal berlapis

Tim gabungan Gakkum KLHK dan Ditreskrimum Polda Riau menangkap belum lama ini mengamankan seorang pria inisial S (40) yang merupakan pemodal pengrusakan TNTN, Kabupaten Pelalawan, Riau.

Plt Direktur Pencegahan dan Pengamanan LHK, Sustyo Iriyono mengatakan, penangkapan S, merupakan salah satu upaya penegakan hukum atas bentuk gangguan kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan di TNTN.

"Tersangka ini merupakan pemodal terhadap kegiatan pengrusakan TNTN," terang Sustyo dalam keterangan persnya, Selasa (22/11) kemarin.

Sustyo mengungkapkan, saat ini TNTN sedang mengalami ancaman yang cukup serius dari aktivitas perambahan.

"Penangkapan pemodal ini merupakan suatu upaya penyelamatan taman nasional tersebut," ucap Sustyo Iriyono.

Dia memaparkan, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, pihaknya juga telah mengungkap 12 kasus tindak pidana kehutanan di TNTN.

"Totalnya enam kasus merupakan illegal logging dan sisanya merupakan kasus perambahan hutan bersama tiga alat berat eksavator," terang Sustyo.

Setelah proses penyidikan sampai pada tahap persidangan, para pelaku divonis di PN Pelalawan, selama 1 tahun sampai dengan 4 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar.

Melihat kondisi terkini di TNTN, Sustyo menjelaskan, permasalahan yang terjadi begitu kompleks. Sehingga penanganan perambahan di kawasan taman nasional ini tidak mudah.

"Kami tidak bisa mengatasi perambahan di TNTN sendirian dan kami sangat membutuhkan dukungan semua pihak," ungkap Sustyo.

"Dengan bersinergi untuk mengembalikan fungsi TNTN untuk menjaga dan mempertahankan keberadaan kawasan ini. Karena merupakan salah satu habitat dari satwa liar gajah sumatera," sebutnya.

Tetapi Kepala Balai Gakkum KLHK wilayah Sumatera, Subhan mengapresiasi kerjasama berbagai pihak untuk mengungkap kasus ini.

"Kami berharap adanya efek jera dan adanya dampak luas dalam upaya penyelamatan dan pelestarian kawasan TNTN," sebut Subhan.

"Tentunya, kami akan terus berkomitmen untuk mengungka. aktor-aktor intelektual lainnya yang ada kaitan dengan kasus ini atau kasus-kasus lainnya," kata Subhan lagi.

Kembali seperti disebutkan Heru Sutmantoro, mengungkapkan, tersangka S diamankan setelah tim gabungan terdiri Gakkum KLHK, Balai TNTN dan Korwas PPNS serta Polda Riau melakukan penangkapan terhadap empat pelaku perambahan pada tanggal 31 Maret 2022 lalu.

Dari keterangan yang diberikan saat di Pengadilan Negeri (PN) Pelalawan, mereka mengaku diperintah S untuk melakukan perambahan hutan TNTN.

Hasil sidang ucap Heru, para pelaku di vonis hukuman penjara selama satu tahun 6 bulan dan denda 500 juta subsider 3 bulan penjara.

"Saat diamankan selain ke empat pelaku, turut diamankan satu unit alat berat eksavator," ucap Heru.

Selanjutnya bekerjasama dengan Polda Riau, pihaknya kemudian berupaya memanggil S, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

"Yang bersangkutan tidak mengindahkan panggilan itu hingga ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO)," ujar Heru.

Persisnya pada tanggal 10 November 2022 kemarin, pihaknya mendapat informasi bahwa S diinformasikan terdeteksi masih melakukan perambahan di TNTN.

"Nah saat akan diamankan dia menghasut warga menyerang petugas. Sehingga ada dua anggota yang dianiya, satu dihajar di bagian perut dan punggung, satunya lagi di bagian kepala belakang," terang Heru.

Heru menjelaskan, meskipun berhasil menangkap S, pihaknya menduga masih ada pemodal besar yang ada dibelakang tersangka tersebut.

"Sebagai informasi, S ini sebelumnya sudah pernah diproses dengan kasus serupa, namun tidak jera," ungkap Heru.

Terkait pelanggaran yang dilakukannya, S dijerat Pasal 82 ayat (1) huruf c UU Nomor 18 tahun 2013, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Pasal 37 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP jo Pasal 94 ayat (1) huruf a UU Nomor 18 Tahun 2013.

"Pasal ini mengatur tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun serta pidana denda paling banyak Rp100 miliar rupiah," tegas Heru.

Selain diproses terkait perambahan TNTN, tersangka S juga dijerat pasal penganiayaan dan UU darurat.

Hal ini dibenarkan Kasubdit Jatanras Polda Riau AKBP Asep Sujarwadi, saat memberikan keterangannya.

"Tersangka kami jerat UU darurat nomor 12 tahun 1951 dan pasal 170 KUHPidana. Atas penganiayaan yang dilakukannya," pungkas Asep.

Penyidik Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera berhasil meringkus aktor intelektual perambah hutan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Didukung Korwas PPNS Polda Riau, pemodal perambahan berinisial S (40) ditangkap setelah sempat buron.

S merupakan salah satu pemodal perambah Kawasan TNTN Kabupaten Pelelawan, Provinsi Riau. Penyidik Gakkum KLHK telah menetapkan S sebagai tersangka dan saat ini telah ditahan di Rumah Tahanan Polda Riau.

Pelaku dijerat dengan Pasal 82 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Pasal 37 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo. Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP jo. Pasal 94 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun serta pidana denda paling banyak Rp100 miliar.

Pengungkapan kasus ini berawal dari kegiatan Operasi Gabungan Pengamanan Hutan TNTN yang dilaksanakan Gakkum KLHK, Balai TN Tesso Nilo dan Korwas PPNS Polda Riau pada 31 Maret 2022.

Dalam operasi tersebut, tim menangkap empat orang yang merupakan pelaku perambah dan penebang pohon.

Penangkapan itu petugas juga mengamankan satu unit alat berat excavator di kawasan TN Tesso Nilo.

Penyidik Gakkum KLHK selanjutnya melakukan penyidikan terhadap para pelaku dan membawa pelaku ke proses persidangan di Pengadilan Negeri Pelalawan.

Para pelaku telah divonis berupa hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan, dengan denda 500 juta subsider 3 bulan penjara.

Berdasarkan keterangan para pelaku, alat bukti dan fakta persidangan, disebutkan bahwa perbuatan ilegal tersebut diperintah oleh S.

Selanjutnya Penyidik KLHK memanggil S untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun yang bersangkutan tidak memenuhi panggilan penyidik, sehingga diterbitkan Daftar Pencarian Orang (DPO).

Selama hampir 6 bulan, S melarikan diri dengan berpindah-pindah tempat. Pada 10 November 2022, personel Balai TN Tesso Nilo mendeteksi keberadaan S yang saat itu sedang melakukan perambahan di lokasi lain dalam Kawasan TNTN.

Namun ketika akan diamankan, S melakukan perlawanan dan kekerasan. Menyikapi hal tersebut, Gakkum KLHK menbentuk Tim Gabungan didukung Korwas PPNS Polda Riau, berhasil menangkap S di Pekanbaru hari Senin 14 November 2022 lalu.

Plt Direktur Pencegahan dan Pengamanan LHK, Sustyo Iriyono menyatakan bahwa operasi gabungan ini merupakan, salah satu upaya penegakan hukum atas bentuk gangguan kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan.

"Saat ini TNTN mengalami ancaman yang cukup serius dari aktivitas perambahan. Dalam rangka pemulihan dan pengamanan TN Tesso Nilo, KLHK telah melakukan kegiatan revitalisasi ekosistem Tesso Nilo, rehabilitasi lahan kritis. Penanggulangan kebakaran hutan, patroli dan operasi pengamanan hutan," ungkapnya.

"Dalam lima tahun terakhir, Gakkum KLHK telah mengungkap 12 kasus tindak pidana kehutanan di TN Tesso Nilo berupa enam kasus illegal logging. Serta enam kasus perambahan hutan dengan barang bukti tiga alat berat excavator," jelas Sustyo.

"Seluruh kasus telah mendapat putusan dari PN Pelalawan, dengan vonis hakim selama 11 sampai 4 tahun penjara dan denda 1,5 miliar rupiah," katanya.

Sustyo juga menambahkan penanganan perambahan di Kawasan TN Tesso Nilo merupakan hal tidak mudah dan sangat kompleks.

Dirjen Gakkum LHK, Rasio Ridho Sani menegaskan bahwa upaya pengamanan dan pemulihan kawasan konservasi merupakan komitmen KLHK.

Dalam beberapa tahun ini, Gakkum KLHK telah membawa 1.334 perkara pidana dan perdata ke pengadilan. Baik terkait pelaku kejahatan korporasi maupun perorangan.

KLHK juga telah menerbitkan 2.549 sanksi administratif dan melakukan 1.884 operasi pencegahan dan pengamanan hutan. 720 di antaranya operasi pemulihan keamanan kawasan hutan.

"Kami tidak akan berhenti menindak pelaku kejahatan yang sudah merusak lingkungan, menyengsarakan masyarakat, dan merugikan negara," pungkas Rasio Ridho Sani.

Revisi UU PPP yang belum jelas

Tetapi  Ahli hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU PPP) berlawanan dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai UU Cipta Kerja.

Feri mengungkapkan, putusan mengenai UU Cipta Kerja yang tertuang di dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tidak ada yang memerintahkan perbaikan UU PPP.

"Jadi aneh langkah-langkah pemerintah ini kalau dilihat dari putusan MK 91, poin amar putusan MK ini sama sekali tidak ada yang memerintahkan perbaikan UU PPP. Yang ada perbaikan UU Cipta Kerja," ujar Feri dalam diskusi virtual yang diadakan LP3ES, seperti dikutip dari Kompas.com, Jumat (15/4) lalu.

Pada proses pembahasan, pemerintah mengeklaim revisi UU PPP merupakan tindak lanjut dari putusan MK mengenai UU Cipta Kerja lantaran UU PPP akan menjadi dasar perbaikan UU Cipta Kerja.

Namun demikian, Feri menilai, di dalam amar putusan MK, UU PPP termuat di dalam disenting opinion hakim konstitusi.

"Kalau pemerintah dan DPR mengikuti disenting opinion artinya melawan amar, karena disenting opinion tidak dianggap sebagai bagian dari amar. Artinya ini tidak sah kalau kemudian UU PPP dibentuk dengan mempertimbangkan disenting opinion," ujar Feri.

Adapun berdasarkan putusan MK, UU Cipta Kerja dinilai inkonstitusional secara bersyarat.

MK dalam pertimbangannya menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuataan UU baru atau melakukan revisi.

Mahkamah juga menilai, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak.

Namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap substansi UU.

Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja juga dinilai Mahkamah tidak mudah diakses oleh publik.

Untuk diketahui, saat ini revisi UU PPP telah disetujui oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk dibawa ke pengambilan keputusan tingkat dua atau rapat paripurna.

Ketua Baleg Supratman Andi Atgas mengatakan, ada delapan fraksi yang menyetujui RUU PPP dibawa ke rapat paripurna. Sementara, satu fraksi menolak yaitu Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

"Baleg telah membentuk panja bersama pemerintah dan kita telah menyelesaikan tugasnya pak, secara maraton dari jam 10 pagi tadi. Dan Alhamdulillah tugas ini telah diselesaikan dengan baik oleh panja dan juga oleh tim perumus," ujar Supratman. (*)

Tags : Perambah Hutan, Berlindung di Balik UU Cipta Kerja, Kerusakan Hutan di Riau,