"Sektor pertanian sebagai penopang pertumbuhan ekonomi di daerah semakin melemah dinilai 'agak misleading' bahkan kondisinya dilapangan semakin berat"
ertumbuhan sektor pertanian yang juga sebagai penopang pertumbuhan ekonomi disebut "agak misleading".
Di lapangan, selain kondisinya berat karena petani sulit mendistribusikan hasil produksinya juga banyak lahan yang sudah berubah fungsi jadi perkebunan sawit.
Seperti disebutkan seorang petani padi di Desa Redang, Kecamatan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Wiran (55) mengaku sudah pada tahap "hilang harapan" dan susahnya jadi petani, bahkan hasil panennya nyaris terbuang sebanyak 60%.
Di Desa Redang ada lahan seluas 65 hektar, petani masing-masingnya menanami dengan padi, tetapi kesulitan demi kesulitan terus dihadapi.
"Ini tanah desa yang dibagi untuk petani di bawah naungan Kelompok Tani Mekar Jaya dan Beringin Jaya. Masing-masing petani dapat seperempat hektar. Tapi nanamnya sama," kata Wiran belum lama ini.
"Faktor alam. Kadang banjir menyebabkan kita gagal panen. Harus ada pintu air di desa ini," kata Maslah, Ketua Kelompok Tani Mekar Jaya menimpalinya, dikontak ponselnya, Minggu (9/5/2022).
Kepemilikan lahan petani 25x100 meter untuk 80 Kepala Keluarga (KK) hingga kini memang tidak terimbas alih fungsi lahan.
"Tahun 2012 sudah ada kesepakatan bahwa tanah tak boleh dialih fungsikan, tetap harus jadi lahan pertanian," kata Maslah.
Wakil Ketua Komisi IV DPR yang menangani bidang pertanian telah menyampaikan pada pemerintah terkait keluhan para petani.
Presiden Jokowi menunjukkan angka pertumbuhan sektor pertanian hingga 16,24%. Angka pertumbuhan ini disebutnya sebagai "penyumbang tertinggi pertumbuhan ekonomi nasional kuartal kedua".
Unggahan ini kemudian mendapat respons Kepala Riset Center for Indonesian Policy Study (CIPS), Felippa Amanta, melalui utasan di Twitter.
Menurutnya, unggahan tersebut "misleading" karena Presiden Jokowi tak menjelaskan pertumbuhan yang dimaksud periode antarkuartal atau tahunan.
"Data Pak Jokowi itu tidak salah. Jadi memang, secara kuartal dari sektor pertanian memang tumbuh 16,24%. Cuma memang ini susahnya twit terbatas kata-katanya. Jadi memang tidak bisa memberikan konteks bagaimana pertumbuhan itu terjadi dan dampaknya ke petani," kata Felippa.
Felippa merujuk pada data BPS yang menjelaskan terjadi pergeseran musim tanam. Akibatnya, panen yang seharusnya terjadi di kuartal pertama, bergeser ke kuartal kedua. Ini yang menyebabkan angka pertumbuhan sektor pertanian menjadi 16,24%.
"Jadi biasanya, kalau panen sekitar Februari atau Maret yang terhitung di kuartal pertama, kemudian, dia agak mundur ke April, sehingga terhitungnya ke kuartal kedua," kata Felippa.
Ia menambahkan, pergerakan pertumbuhan sektor pertanian ini sebagai sesuatu yang "terjadi secara alami".
"Jadi pertumbuhan itu, mungkin bisa diatribusikan bukan dari intervensi-intervensi yang menggenjot pertanian, tapi memang terjadi secara alami, karena ada pergeseran musim tanam itu tadi," katanya.
Menurut Felippa, petani adalah aktor yang paling terdampak pandemi virus corona. Di satu sisi, harga produksi petani meningkat seperti pembelian pupuk, pestisida dan bibit, di sisi lain, harga jualnya ambruk karena pasarnya ikut terdampak pandemi.
"Karena ada PSBB, banyak hotel, restoran, katering tutup, jam operasi pasar juga terbatas, daya beli masyarakat juga berkurang, sehingga masyarakat cenderung mengalihkan konsumsi mereka ke makanan-makanan yang lebih murah. Mungkin makan beras saja, dan nggak makan buah dan sayuran," tambah Felippa.
Tetapi Wiran, Kakek dua cucu ini yang masih menjadi tulang punggung hampir seluruh anggota keluarganya mengaku, modal untuk bertanam sudah ludes.
Ia bertahan hidup sehari-hari dari apa yang ditanam, termasuk dua karung beras dan beberapa botol minyak goreng yang didapat dari bantuan pemerintah setempat selama sembilan bulan masa pandemi.
"Ya kalau soal sekedar makan, di pedesaan, itu kan sayur-sayur kan masih ada, tapi untuk kebutuhan yang lain, untuk usaha yang lain itu ya relatif tidak bisa," tambahnya.
Harga produksi pertanian, khususnya holtikultura atau sayur-sayuran, disebutnya babak belur di pasaran. Harganya tak sebanding dengan biaya produksi seperti membeli bibit, pupuk, pestisida, pengolahan lahan, perawatan dan panen. Itulah yang membuat Wiran tekor.
"Yang terbayang modal habis, kerugian, tidak bisa bercocok tanam lagi. Terbayangnya seperti itu. Hilang harapan rasanya. Benar-benar mengerikan sebetulnya," kata Wiran lagi dalam pembicaraannya itu.
Krisis yang dialami petani merupakan fenomena umum yang saat ini melanda di sentra penghasil padi dan sayur-sayuran, sambungnya.
Sulit cari pupuk subsidi
Hal serupa dikeluhkan Kusnan, 43 tahun, petani di desa yang sama (Desa Redang), yang juga menanam padi. Kata dia, saat ini para petani kesulitan untuk mendapatkan pupuk bersubsidi.
"Setiap kali panen, itu malah (harganya) menurun, tidak ada peningkatan," katanya.
Di musim kemarau, petani juga harus merogoh kocek lebih dalam lagi, karena perlu untuk menyewa mesin diesel untuk memompa air ke lahan. "Produksi per hektare lebih tinggi karena air, kita ambil dari sumur bor," jelasnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sejumlah subsektor pertanian disebagian wilayah mengalami peningkatan pertumbuhan seperti perkebunan kelapa sawit, Jagung dan kopi.
Hal ini diakui oleh Sekretaris Umum DPP Serikat Petani Indonesia, Agus Ruli Ardiansyah. "Mungkin yang relatif naik itu sektor perkebunan, (misalnya) harga karet dan sawit itu relatif lebih baik," katanya.
BLT diusulkan untuk beli produk petani
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi IV DPR yang menangani bidang pertanian, Hasan Aminuddin, menilai pemerintah perlu mengubah cara memberikan bantuan kepada masyarakat di tengah pandemi. Salah satunya, mengubah kebijakan bantuan langsung tunai, digantikan dengan membeli hasil pertanian.
"Cabut itu bantuan duitnya yang tidak mendidik kepada raykat. Beli lah hasil bumi itu dari rakyat, kembali kepada rakyat, toh akhirnya dibeli duit untuk konsumsi perut," kata Hasan.
Politikus dari Partai NasDem juga menepis terkait harga produk pertanian di pasaran, yang dikatakan bukan semata tanggung jawab kementerian pertanian. "Kementan itu tugasnya, tupoksinya adalah pada produksi. Persoalan harga itu adalah persoalan kementerian yang lain," katanya.
Tahun ini, Kementerian Pertanian menghabiskan anggaran untuk subsidi pupuk Rp29,76 triliun, yang menurut petani bisa dianggarkan untuk mensubsidi harga pasar. Menurut Hasan, hal ini "sering disampaikan kepada Kementerian Pertanian".
Petani Inhu lega produksi padi aman
Tetapi Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan (Distankan) Kabupatenlndragiri Hulu, Paino mengakui justru masyarakat petani di Indragiri Hulu masih bangga dan lega karena hasil produksi padi pada 2020 lalu aman, tidak terpengaruh dari pandemi COVID-19, sehingga kebutuhan pangan di daerah masih stabil.
"Dampak COVID-19 belum mempengaruhi hasil panen pertanian warga," kata Paino.
Menurutnya, kondisi produksi padi di wilayah Inhu masih normal, corona tidak mempengaruhi tanaman padi sehingga petani dalam keadaan aman, ada sejumlah wilayah kecamatan yang kehidupan masih berlandaskan padi sawah tidak perlu risau.
"Tahun 2020 lalu kegiatan ditiadakan, seperti acara panen raya, karena itu merupakan salah satu upaya pengumpulan orang ramai, sesuai arahan pemerintah agar meniadakan perkumpulan untuk memutuskan rantai pandemi covid-19. Petani harus tetap waspada corona, himbauan terus dilakukan oleh instansi terkait," sebut Paino.
Paino optimistis masyarakat Indragiri Hulu tidak kekurangan pangan, selain sudah dijamin dari Bulog akan ketersediaan bahan pokok untuk beberapa bulan ke depan, juga kondisi produksi padi meningkat.
Sejumlah warga masih ada kehidupan bergantung dari hasil pertanian padi di daerah Inhu, instansi pemerintah terus melakukan pemantauan, komunikasi terhadap petani agar kondisi tetap aman.
Paino menyatakan produksi gabah di desa Redang 6,2 ton/ha untuk padi basah dan 5,5 ton untuk padi kering.
"PPL dari Dinas Pertanian juga selalu di sini. Kami juga sudah membelikan mesin perontok padi. 4 pintu air juga sudah dibangun. Tapi memang masih kurang," diakuinya.
Jadi ketahanan pangan masih merupakan isu yang penting, namun ketahanan pangan masih menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak disubsitusi dengan bahan lain. Sementara, pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat memerlukan bahan pangan dalam jumlah sangat besar, kata Hasan Aminuddin.
Disisi lain kapasitas penyediaan pangan justru menghadapi sejumlah tantangan seperti perubahan iklim global, kompetisi pemanfaatan sumberdaya lahan dan air untuk kegiatan pertanian dan non pertanian, serta degradasi lingkungan yang menurunkan kapasitas produksi pangan, sebutnya.
Tetapi upaya peningkatan ketahanan pangan masyarakat, tidaklah semata-mata tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung seluruh rakyat, termasuk tanggung jawab dunia usaha.
"Karena itu pihak dunia usaha dapat berperan aktif mendukung terwujudnya ketahanan pangan daerah dengan membantu masyarakat disekitar wilayah usahanya mulai aspek ketersediaan, distribusi sampai pada konsumsi. Juga diminta kiranya dunia usaha membatu pada upaya pengkajian, survey, penelitian tentang peningkatan ketahanan pangan," sebutnya.
Jadi sudah seharusnya Kelompok Kerja Teknis (Pokja Tehnis) dan Kelompok Kerja Ahli (Pokja Ahli) sesuai harapan Kepres No. 83 Tahun 2006, yang merupakan motor penggerak dan tulang punggung Dewan Ketahanan Pangan agar semakin berperan aktif berpartisipasi dalam rapat/pertemuan dan kegiatan terpadu, untuk mempercepat terwujudnya tujuan Ketahanan Pangan di Provinsi Riau sendiri. (*)
Tags : Pertanian, Riau, Pertanian Penopang Pertumbuhan Ekonomi, Pertanian Semakin Lemah,