Linkungan   2024/01/08 21:10 WIB

Perubahan Iklim, Pentingnya Pendanaan Bagi 'Masyarakat Pedalaman' di Riau, SALAMBA: 'Ini Bentuk Kelemahan Pelestarian Keanekaragaman Hayati Hutan'

Perubahan Iklim, Pentingnya Pendanaan Bagi 'Masyarakat Pedalaman' di Riau, SALAMBA: 'Ini Bentuk Kelemahan Pelestarian Keanekaragaman Hayati Hutan'
Ir Marganda Simamora, Ketua Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba]

LINGKUNGAN - Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba] menilai pada perubahan iklim [ekstrem] pentingnya pemerintah memperhatikan masyarakat adat [pedalaman] agar pelestarian keanekaragaman hayati terus terjaga.

"Pentingnya pendanaan bagi masyarakat adat dan pedalaman di Riau."

"Pada COP28, konferensi perubahan iklim tahunan yang diadakan di Dubai pada awal Desember 2023 kemarin, masih menunjukkan kelemahan dalam upaya global untuk mendanai Masyarakat Adat/Lokal yang melestarikan keanekaragaman hayati hutan," kata Ir Marganda Simamaora M.Si dari Yayasan Salamba menilai.

"Meskipun melindungi 80% keanekaragaman hayati global, hanya 7% dana yang dialokasikan dalam proses COP diberikan kepada masyarakat adat."

"Hanya sedikit hal yang dapat disepakati semua orang adalah bahwa bekerja sama dengan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal adalah aspek penting dalam penyelesaian krisis iklim," sebutnya.

SALAMBA melihat hanya sedikit pemegang pengetahuan tradisional dan melestarikan praktik-praktik yang memungkinkan mereka hidup selaras dengan lingkungannya seperti pada masyarakat pedalaman atau suku pedalaman [Suku Sakai, Talang Mamak, Suku Laut dan Suku Bonai] yang ada di Riau.

Tetapi menurutnya, cara terbaik untuk menyalurkan dana dan bantuan secara langsung maupun tidak, atau melalui perantara seperti pemerintah atau aktivis masih 'tragis', "ini membuktikan dan menunjukkan bahwa dana tak tersalurkan [minim] bahkan sering kali hilang sebelum sampai ke masyarakat yang paling membutuhkan," sebutnya.

"Siapa pengusaha atau badan yang mengurusi soal ini, bahkan penguasaan Hutan Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal tak nampak, kita menyoroti bahwa sistem pendanaan selama ini yang ketinggalan jaman, dan seringkali dimediasi oleh pihak ketiga, mengakibatkan hanya sebagian kecil dari dana yang sampai ke masyarakat bersangkutan," ungkapnya.

“Kita terus bertanya kepada perantara yang mana, ini ke mana semua uang disalurkan, dan untuk apa uang itu diinvestasikan. Kami juga ingin mengetahuinya,” kata Marganda lagi.

Apakah diberikan pada pemimpin kelompok masyarakat adat [pedalaman]?

Tetapi beberapa pihak meragukan kemampuan Masyarakat Adat dalam mengelola dana tersebut.

Sementara Pemerintah beranggapan bahwa aktivis tidak memiliki kapasitas untuk mengelola uang.

"Kalau pun ada penyaluran uang tersebut malah tidak akan dibelanjakan untuk ‘hal-hal yang benar dan pelaporan pengeluaran seringkali rentan terhadap korupsi dan dikuasai oleh elit lokal."

Oleh karena itu, menurut Marganda, diperlukan perantara yang bertindak seperti ‘orang tua’ yang mengatur pengeluaran dan penggunaan dana tersebut. Dan perantara mengenakan biaya untuk itu harus jelas penggunaannya.

Bagaimana dengan model ‘transfer langsung’?

Marganda menilai, memberikan dana yang dibutuhkan Masyarakat pedalaman adalah menghormati hak serta kemampuan mereka untuk mengelola dan membelanjakannya sesuai keinginan mereka.

Tetapi perlu suatu badan tertentu untuk memberi tahu cara membelanjakan dana tersebut dan mengawasi saat melakukannya.

"Pertanyaannya sekarang apakah kita harus mendanai Masyarakat pedalaman dan bagaimana caranya," tanya Marganda.

Jika ini dilakukan, kata dia itu merupakan kemajuan.

"Hal ini berkat kampanye yang tak kenal lelah yang dilakukan oleh berbagai LSM dan organisasi masyarakat sipil yang ada di Nusantara ini," ujarnya.

Memang benar, sistem tata kelola keuangan bagi Masyarakat Pedalaman jika dikelola dengan benar bisa jadi transparan, representatif, dan tidak rentan terhadap kebocoran, karena LSM dan Pemerintah dilibatkan.

"Jadi, daripada berpikir hitam-putih, tentu ada kelebihan masing-masing pihak, dan bekerja sama untuk membantu mereka [Masyarakat Pedalaman] memanfaatkan bantuan," terangnya.

"Perjuangan upaya restorasi ekosistem mudah mudah sulit."

Tetapi mendukung masyarakat yang menghadapi dampak terburuk perubahan iklim untuk melindungi aset alam dan ekosistem yang mendukung mata pencaharian lokal dan sistem iklim global, penting, ungkap Marganda.

Tentu berbagai pendekatan terhadap aksi iklim termasuk mobilisasi pemuda, pembangunan koalisi, pengembangan solusi lokal, dan penelitian ilmiah perlu dilakukan.

"Mereka perlu diberi cerita sebuah kisah tentang berbagai kemungkinan yang menunjukkan kepada kita bahwa masih ada harapan dan, jika kita bertindak sekarang, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan soal ekosistim hayati ini," kata dia.

Jadi Marganda melihat pentingnya peran masyarakat adat dan komunitas lokal, serta perlunya solusi berbasis alam untuk mengatasi perubahan iklim secara berkelanjutan.

Seperti Bandi, seorang pemimpin masyarakat Dayak Iban Sungai Utik di Kalimantan Barat, Indonesia, adalah salah satu penerima penghargaan yang diakui keteladanan kepemimpinannya. Lahir sekitar 90 tahun lalu, Bandi yang lebih dikenal sebagai Apay Janggu dalam masyarakat lokalnya telah menyaksikan deforestasi besar-besaran di Kalimantan, cerita Marganda mengkisahkan pada sebuah daerah tetangga.

Marganda pun tak menampik selama lebih dari setengah abad, komunitas terus-menerus melindungi hutan, menghadapi tantangan dari pembalakan liar dan industri pertanian.

"Jadi kita harus berterima kasih kepada orang-orang seperti Bandi dan masyarakat lokalnya karena tindakan mereka di lapangan, ekosistem pemberi kehidupan kita terlindungi," sebutnya.

Bahwa apakah ada kompensasi bayaran karena melestarikan hutan?

Frustrasi Masyarakat Pedalaman meningkat karena penghargaan uang tunai untuk diberikan langsung kepada masing-masing rumah tangga suku pedalaman untuk membantu membangun kepercayaan dengan cara ini belum pernah terjadi.

"Penting untuk memahami kenyataan saat ini. Komunitas pedesaan bukan lagi komunitas yang terisolasi, dan umumnya mereka tidak ingin menjadi komunitas yang terisolasi. Ketika kita bertanya apa yang penting dalam masyarakat suku pedalaman [Suku Sakai, Talang Mamak, Suku Laut dan Suku Bonai] yang ada di Riau, kita tak pernah mendapatkan jawaban," kata dia.

Tetapi tentunya bagi mereka, yang terpenting adalah hutan. Generasi muda mementingkan pendidikan, sinyal WiFi , telepon seluler, laptop, sepeda motor, dan pekerjaan dengan penghasilan tunai. Para ibu memprioritaskan panen yang baik, makanan, pendidikan, dan kesehatan. Sementara itu, para ayah mencari penghasilan yang stabil dan mencari nafkah. Kalau Masyarakat Pedalaman apa, tanya Marganda.

Untuk mengelola beragam prioritas ini dan membantu mengambil keputusan, serta menghindari beberapa masalah [yang dianggap] disebutkan di atas, agaknya masyarakat pedalaman perlu membentuk Komite Pengarah.

"Pemerintah juga perlu memperhatikan, memberdayakan dan memperkuat lembaga masyarakat sebagai badan pelaksana untuk menerima, mengalokasikan dan mengelola dana, dengan pedoman operasional yang disepakati oleh komunitas.

Jadi Marganda menilai perlu untuk meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas masyarakat pedalaman mengatasi tantangan, dan membangun ketahanan terhadap perubahan iklim, yang fokus pada solusi, upaya kolaboratif, dan inisiatif yang bermanfaat bagi alam serta kemanusiaan dan menetapkan prioritas untuk meningkatkan kualitas pendidikan, layanan kesehatan.

"Pada hal mereka juga menghargai uang muka yang tidak terbatas untuk mendukung kebutuhan dasar mereka, serta kesempatan untuk memilih prioritas mereka sendiri dan dukungan untuk melaksanakannya". (*)
 

Tags : marganda simamora ketua yayasan sahabat alam rimba, salamba, riau, perubahan iklim, pendanaan bagi masyarakat pedalaman, pelestarian keanekaragaman hayati hutan, masyarakat pedalaman di riau,