"Masih ditemukannya sejumlah perusahaan produk konsumsi besar - dan sebuah perusahaan milik negara - mendapatkan minyak sawit dari perusahaan-perusahaan perkebunan yang dituduh mengingkari janji dan gagal memenuhi aturan plasma"
ebagian besar produk konsumsi yang berjajar di gerai supermarket dan minimarket tempat masyarakat berbelanja setiap hari, mengandung minyak sawit - mulai dari penganan ringan, es krim, coklat, sabun mandi, hingga kosmetik.
Hasil investigasi media ini menemukan seperti di pulau sumatera ada belasan perusahaan raksasa multinasional yang mendapatkan sawitnya dari perusahaan sawit yang dituduh telah mengeksploitasi lahan plasma.
Jadi dipresentasikan kesimpulan temuan ada 14 perusahaan konsumsi besar, enam di antaranya berkata akan mengambil langkah untuk mencari tahu apakah pemasok sawit mereka telah memenuhi kewajiban plasma.
Aroma wewangian menguar dari lorong sabun dan sampo di sebuah supermarket yang terletak di Jakarta Timur.
Di rak sebelah, adalah tempat berbagai produk kosmetik. Saat ditinjau pada akhir Maret lalu sedang ada promo menarik, beli satu dapat dua.
Sejengkal dari situ, berbagai penganan ringan, camilan, coklat, dan es krim aneka rasa dipajang dengan mengundang.
Sebagian besar produk yang berakhir masuk ke keranjang belanjaan ini punya satu persamaan: minyak sawit ada di daftar bahan bakunya.
Di Indonesia, minyak sawit konsumsi berasal dari perkebunan milik swasta, negara, maupun masyarakat banyak ditemukan. Termasuk di antaranya yang ditanam di atas lahan plasma, yang hasil panennya, sedianya dibagi bersama perusahaan dengan warga.
Namun banyak dari warga yang menjadi petani plasma mengatakan mereka tak pernah merasakan keuntungan dari sawit, selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun setelah menandatangani kontrak kerja sama dengan perusahaan.
Konsumen berhak tahu dari mana sawit dalam produk yang mereka beli berasal, kata YLKI.
Setidaknya 14 perusahaan penyedia produk konsumen multinasional mendapatkan minyak sawit dari produsen yang dituduh tidak memberikan plasma, atau keuntungan dari plasma, kepada masyarakat dalam delapan tahun terakhir.
Dari tanah Suku Anak Dalam
Ketika waktu panen tiba, buah sawit dari tanah yang diakui dahulu milik Suku Anak Dalam di Tebing Tinggi, Sumatra Selatan, diangkut PT PP London Sumatra Tbk (Lonsum) ke pabrik-pabrik pengolahan minyak.
Induk perusahaan PT Lonsum, Indofood Agri Resources, memiliki 250.000 hektare perkebunan sawit di seluruh Indonesia.
Minyak sawit dari perkebunan mereka telah masuk ke rantai pasok perusahaan-perusahaan produk konsumsi dunia, seperti Kellogg's, Johnson & Johnson, Avon, PZ Cussons, dan Mondelez.
Sementara itu, Suku Anak Dalam sudah seperempat abad mengaku tak mendapatkan apa-apa, meskipun telah menyerahkan lahan kepada PT Lonsum - yang kini ditanami sawit - seluas 2.500 hektare.
"Tapi ternyata ndak ada," kata sesepuh Orang Rimba Tebing Tinggi, Rebani, yang sempat dipenjara setelah turut melakukan protes terhadap PT Lonsum atas hak plasma.
Kami mengestimasi, dari lahan seluas itu PT Lonsum dapat menghasilkan USD$1,2 juta per tahun atau sekitar Rp17,2 miliar.
Kepada publik, perusahaan-perusahaan yang mendominasi industri sawit di Indonesia menampilkan kesan bahwa mereka telah melakukan hal mulia dengan skema plasma.
Dalam laporan tahunan 14 konglomerasi sawit yang kami peroleh, perusahaan menampilkan angka yang menunjukkan bahwa rata-rata, 20% atau lebih area perkebunan mereka merupakan plasma.
Namun untuk mengetahui apakah setiap anak perusahaan telah benar-benar mematuhi aturan plasma sebesar 20% untuk warga dari laporan tahunan perusahaan saja, adalah hal yang sulit.
Konglomerasi yang berlaku sebagai induk perusahaan kerap kali memiliki belasan anak perusahaan yang beroperasi di wilayah berbeda. Setiap anak perusahaan memiliki areal perkebunan, perizinan, dan bentuk kerja sama berbeda dengan warga lokal.
Tergantung dari kapan perizinan perkebunan diperoleh, aturan pemerintah tentang proporsi kewajiban plasma juga bisa berbeda.
Ini menunjukkan, laporan dari perusahaan saja, dapat menciptakan titik buta dalam hal evaluasi plasma.
'Persoalan sangat serius'
Beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan konsumsi yang mengambil ribuan ton minyak sawit per tahun untuk produk-produk mereka telah berjanji untuk memberantas "eksploitasi" manusia dari rantai pasok mereka.
Komitmen ini dibuat setelah tekanan bertahun-tahun dari aktivis dan media yang memberikan bukti bahwa perkebunan sawit telah merambah tanah warga dan melakukan pelanggaran hak-hak buruh.
Kami membandingkan daftar rantai pasok dari belasan perusahaan konsumsi yang mengambil bahan bakunya dari Indonesia dengan tuduhan ingkar janji plasma oleh masyarakat.
Dari data itu, kami menemukan 14 perusahaan besar telah atau masih memasok sawitnya dari produsen yang dituduh tak menyediakan plasma untuk komunitas, atau memberikan bagi hasil rendah dari plasma, selama enam tahun terakhir.
Kellogg's, Johnson & Johnson, dan PZ Cussons kami temukan secara langsung membeli minyak sawit dari perusahaan pemilik perkebunan di Tebing Tinggi.
Sementara produsen kosmetik Avon, hingga pertengahan 2018, kami dapati membeli minyak sawitnya dari pabrik yang mengolah buah sawit dari perkebunan di lahan Suku Anak Dalam.
"Menanggapi informasi yang disampaikan, kami telah memulai proses pengaduan untuk menginvestigasi lebih lanjut persoalan di dalam rantai pasok hulu kami, dan berkoordinasi dengan pemasok kami untuk menentukan langkah selanjutnya," kata Kris Bahner, juru bicara Kellogg's, dalam keterangan tertulis kepada kami.
Sementara itu, Clare Boyle, Hubungan Media Global Korporat Johnson & Johnson menyebut, "Kami menanggapi tuduhan ini dengan sangat serius, dan telah memulai proses pengaduan untuk lebih memahami praktik perusahaan yang disebutkan dalam laporan."
PZ Cussons mengatakan akan mengajak perusahaan penyedia sawitnya "berdiskusi".
"Kami akan terlibat dengan pemasok utama untuk mendiskusikan, dan memahami pendekatan mereka untuk memastikan tanda buah segar (TBS) mereka mematuhi kewajiban plasma," kata Joanna Gluzman, Kepala Kantor Sustainability PZ Cussons dalam jawaban surelnya.
Avon, di sisi lain, mengatakan sudah tidak lagi mengambil sawit dari perusahaan yang beroperasi di Tebing Tinggi.
"Kami sedang menyelidiki lebih lanjut, dan membawa persoalan ini dengan sangat serius," kata Kepala urusan Perusahaan dan Keberlanjutan Avon, Natalie Deacon.
Djayu Sukma Ifantara, dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) kepada wartawan mengatakan perusahaan konsumsi kerap tak mengetahui keadaan secara langsung di lapangan.
"Jadi, selama ini yang mereka tahu, mereka membeli CPO [crude palm oil] yang tidak bermasalah, yang bersih… Tapi faktanya di lapangan adalah, CPO yang mereka beli adalah CPO-CPO bermasalah," kata Djayu.
Ia juga mendorong perusahaan konsumsi untuk "mengevaluasi lagi kebijakan mereka" dan melihat sendiri "permasalahan di akar rumput" untuk memberikan tekanan pada perusahaan sawit supaya memberikan kewajibannya.
Produk sawit jadi sabun mandi, minyakgoreng hingga kosmetik.
Dalam pelbagai kesempatan, kami telah meminta konfirmasi dari PT Lonsum, termasuk induk perusahaan ini, Indofood Agri Resources, namun mereka tak merespon temuan kami.
Minyak sawit hasil 'membodohkan' petani
Minyak sawit yang berasal dari lahan petani di Teluk Bakung, Kalimantan Barat, juga pernah ada di rantai pasok perusahaan Reckitt Benckiser, produsen merek Dettol, dan Mondelez yang produknya antara lain Cadbury dan Oreo.
Petani di Teluk Bakung melakukan serangkaian aksi demonstrasi dan mediasi dalam sepuluh tahun terakhir untuk menuntut keuntungan mereka dari lahan plasma yang dijanjikan PT Palmdale Agroasia Lestari.
Setelah masyarakat menyerahkan lahan ribuan hektare kepada PT Palmdale lebih dari satu dekade lalu, bukan keuntungan yang didapat melainkan beban utang hampir Rp100 juta per hektare. Utang yang disebut digunakan untuk membangun lahan plasma.
"Kami sudah berupaya untuk meminta transparansi dari pihak manajemen. Sayangnya, sampai hari ini pihak manajemen tidak transparan terkait dengan hasil TBS [Tandan Buah Segar] kita," kata Natasius, mantan ketua Koperasi Petani di Teluk Bakung yang menjalin kerjasama dengan pola satu atap dengan PT Palmdale.
"Mereka tidak transparan, sehingga kami sebagai masyarakat merasa dibodoh-bodohkan oleh pihak perusahaan," tambah Natasius.
Tahun lalu, pengadilan di tingkat peninjauan kembali menyatakan PT Palmdale terbukti melakukan ingkar janji terkait pembagian hasil sawit plasma. Putusan pengadilan ini setelah lima petani, termasuk Rita Dihales, menggugat perusahaan tersebut.
"Kami mulai merasa perjanjian itu tidak dipakai sama sekali lagi, atau tidak diindahkan sama sekali itu tahun 2014 ke atas," kata Rita yang sempat merasakan dinginnya jeruji besi karena menghentikan truk Palmdale sebagai bentuk protes.
Namun, sejauh ini masih ada lebih dari 900 petani yang terikat perjanjian plasma dengan PT Palmdale.
Berdasarkan catatan pengadilan dan keterangan dari warga, PT Palmdale menjual sawit mereka ke PT Pundi Lahan Khatulistiwa.
Kami telah mengirim surat permintaan wawancara ke PT Lonsum dan PT Pundi Lahan Khatulistiwa, namun sampai berita ini ditulis, tak ada jawaban.
Buah sawit ini, melalui PT Pundi Lahan Khatulistiwa juga dibeli produsen raksasa produk konsumsi Unilever dan Danone.
Kami membagikan hasil temuan kami kepada perusahaan-perusahaan konsumsi terkait.
Unilever, melalui keterangan tertulis menyebut "akan mengambil tindakan sesuai dengan kebijakan terkait dan dalam beberapa kasus, kami akan melakukan penangguhan pemasok tersebut dari rantai pasokan".
Sementara, Danone menyebut persoalan ini akan "ditangani dengan serius" dan bila pelanggaran ditemukan, mereka "akan memasukkan pemasok yang ditemukan melanggar komitmen plasma mereka ke dalam daftar Tidak-Dibeli Danone".
Direktur Hubungan Media Reckitt Benckiser, Martinne Geller, mengatakan pihaknya menyadari "masalah yang kompleks termasuk penyediaan plasma di Indonesia".
Induk perusahaan dari brand Dettol ini, mengatakan akan "meninjau dan mengkonfirmasi status dari penyediaan plasma" dari perusahaan pemasok mereka.
"Dalam kasus di mana kepatuhan terhadap standar kami terbukti tak dapat dicapai dalam rentang waktu yang dapat diterima, kami akan akan berupaya untuk mencabut perusahaan itu dari rantai pasok kami," tulis Martinne Geller.
Sementara Mondelez mengatakan akan "menghubungi mitra/pakar kami untuk lebih memahami masalah ini, dan cara kami dapat mengatasinya di masa mendatang, dengan komitmen publik lebih lanjut".
Djayu Sukma Ifantara menyebut, pemutusan rantai pasok dari perusahaan sawit yang ditemukan bermasalah oleh pemilik merek-merek besar sudah pernah terjadi.
Akan tetapi, kata dia, aksi ini tidak menyelesaikan masalah. Kata dia, "Ini tidak menjamin perusahaan akan sepenuhnya mengambil tanggung jawabnya."
Tekanan dari perusahaan-perusahaan konsumsi, menurutnya, penting untuk memaksa perusahaan sawit dan pemerintah bertindak. Para pembeli sawit ini, lanjut dia, "harus membuka mata tentang konflik yang terjadi dan menemukan solusi terbaik."
Walaupun, menanti penyelesaian melalui perusahaan pembeli internasional butuh waktu lama. Jika masyarakat menuntut tanahnya kembali, sebut dia, pemerintah lah yang seharusnya melakukan intervensi.
"Solusi harus datang dari pemerintah. Ini tanggung jawab mereka, kewajiban mereka, yang dimandatkan oleh hukum di Indonesia."
Perusahaan negara Pertamina juga kami temukan mendapatkan bahan baku sawit untuk biodiesel dari perusahaan yang terlibat persoalan plasma.
Vice President Communication Pertamina, Fajriyah Usman mengatakan melalui pesan tertulis, perusahaan pemasok sawit ke Pertamina itu, "telah ditentukan oleh Kementerian melalui Kepmen ESDM".
Kementerian ESDM, ketika kami hubungi untuk menanyakan kriteria perusahaan sawit yang memasok bahan baku biodiesel, tak memberikan respon.
Alasan perusahaan tak bangun plasma
Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang kepatuhan menyediakan plasma di tiap-tiap anak perusahaan, kami telah menghubungi 18 konglomerasi sawit terbesar di Indonesia untuk data yang lebih detail.
Hanya dua perusahaan yang membagikan data untuk membuktikan mereka mematuhi aturan hukum. Selebihnya menolak permintaan kami, dengan alasan data tersebut "rahasia perusahaan", mengandung informasi "sensitif", membutuhkan izin dari pihak lain yang terlibat dalam skema plasma, atau tak memberi alasan sama sekali.
Dua konglomerasi menyebutkan telah mendapat audit dari badan sertifikasi sawit Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), namun lagi-lagi, data ini tak menyediakan detail untuk tiap-tiap anak perusahaan.
Riset kami menemukan, audit dari RSPO juga dapat mengabaikan konflik terkait plasma.
Audit RSPO pada 2017 terhadap perusahaan London Sumatra yang beroperasi di Tebing Tinggi, misalnya, terjadi enam bulan setelah Suku Anak Dalam membakar kantor perusahaan dalam protes soal plasma. Namun hasil audit tak menyebut peristiwa itu, dan menuliskan "tidak ada masalah negatif" dalam hasil penilaiannya.
London Sumatra tak menjawab pertanyaan terkait hasil audit tersebut.
Guna mencari tahu apakah perusahaan-perusahaan sawit menyediakan gambaran akurat dalam laporan tahunan mereka, kami memutuskan untuk mendalami laporan plasma dari satu konglomerasi sawit terbesar di Indonesia, Golden Agri-Resources (GAR).
Perusahaan yang dimiliki oleh keluarga miliarder Widjaya ini menguasai lebih dari setengah juta hektare perkebunan sawit di seluruh Indonesia. Dalam laporannya, GAR mengatakan nyaris 21% dari total area tanam mereka merupakan plasma.
Namun setelah menelisik laporan audit di tingkat perkebunan, data pemerintah, laporan yang terbuka untuk publik, dan mewawancarai warga di area perkebunan, kami menemukan sejumlah kecil anak perusahaan menyediakan plasma dalam jumlah sangat besar - sementara sebagian lainnya tidak menyediakan plasma sama sekali.
GAR mengakui belum menyediakan 20% plasma di seluruh perkebunan sawit dengan kewajiban ini, dan "masih dalam proses" untuk memenuhinya.
Di beberapa tempat, warga telah menunggu proses ini selama lebih dari satu dekade lamanya.
Februari lalu, Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Jaya S Monong menghentikan operasional PT Agro Lestari Sentosa (PT ALS), anak perusahaan GAR di Kecamatan Manuhing.
Penghentian ini dilakukan, setelah penanaman pertama 13 tahun lalu, PT ALS belum juga membangun kebun plasma untuk masyarakat.
"Jangankan satu hektare, satu pohon pun tidak ada," kata Bupati Gunung Mas, Jaya S. Monong, yang menyebut PT ALS memanen "60 ton per jam" dari lahan konsesi mereka.
Minyak sawit dari perkebunan ini telah dibeli oleh sejumlah perusahaan besar, termasuk Johnson & Johnson, Kellogg's, dan Mondelez.
Di lokasi lain, anak perusahaan GAR lainnya, Bumi Sawit Permai di Sumatra Selatan diwajibkan membangun 1.500 hektare lahan plasma sebagai syarat izin usaha pada 1998.
Tapi dua puluh tahun kemudian, audit RSPO menunjukkan perusahaan ini telah membangun lebih dari 5000 hektare perkebunan sawit, tapi tak memberikan sejengkal pun pada masyarakat sebagai plasma.
Dalam keterangan kepada kami, pihak GAR mengatakan telah membangun 700 hektare lahan plasma, kurang dari setengah dari kewajiban mereka untuk mengantongi izin - sementara sisanya "masih berlangsung".
Di tempat lain, di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, GAR telah mendaftarkan petani ke skema plasma pada 2007. Perusahaan menanam di lahan inti, tapi gagal menanam di semua area plasma yang telah mereka janjikan selama beberapa tahun.
Golden Agri-Resources kemudian mengatakan kepada RSPO bahwa pada 2018, mereka telah membangun lebih dari 1000 hektare plasma di lahan konsesinya di Kapuas Hulu. Pembangunan ini dilakukan lebih dari satu dekade setelah pertama kali mereka mensosialisasikan pada masyarakat.
Menurut Marcus Colchester dari Forest Peoples Programme, keterlambatan penyediaan plasma berarti "sejumlah orang yang telah menyerahkan lahannya pada 2007 tidak akan mendapatkan hasilnya selama hampir satu generasi."
Kepala Komunikasi Perusahaan GAR, Wulan Suling mengatakan dalam surat elektronik, "GAR berkomitmen penuh untuk memenuhi persyaratan 20 persen untuk setiap perkebunan yang dikembangkan setelah 2007, di mana persyaratan itu ada, kami mengakui bahwa kami belum mencapai target itu."
"[Penyediaan plasma] ini tetap merupakan pekerjaan yang sedang berlangsung untuk sejumlah anak perusahaan dan merupakan area kerja aktif untuk bisnis kami," kata Wulan.
Beberapa faktor yang menjadikan pembangunan plasma "menjadi kompleks" karena dapat dibangun dengan cepat di wilayah tertentu, tapi di wilayah lain "bisa memakan waktu bertahun-tahun".
"Banyak faktor yang mempengaruhi situasi ini; sejumlah persoalan penting adalah ketersediaan lahan untuk membangun area plasma, kesediaan masyarakat berpartisipasi dalam program, kesesuaian area untuk perkebunan - dari segi operasional dan keberlanjutan," tambah Wulan.
"Perusahaan berkata, 'Kami tidak bisa memberikan 20 persen plasma karena tidak ada lahan lagi'," kata Tania Li, profesor antropologi dari Universitas Toronto yang melakukan riset tentang pedesaan di Indonesia.
"Terang saja, karena perusahaan sawit sudah mengambil semua lahan yang ada. Mereka memiliki perkebunan sawit yang saling berdempetan."
Alasan lain yang sering dikemukakan industri adalah, karena perusahaan harus patuh dengan kebijakan untuk tidak melakukan perambahan hutan dan lahan gambut.
Sejumlah kalangan mengusulkan solusi: perusahaan bisa memberikan area plasma dari lahan konsesi yang mereka miliki. Tapi perusahaan sawit seperti emoh melirik penyelesaian ini.
Saat Golden Agri mengatakan kepada RSPO bahwa mereka tak punya lahan lagi untuk plasma di dalam konsesinya di Kapuas Hulu, Forest Peoples Programme berkali-kali memberikan anjuran bahwa plasma tersebut bisa dibangun di dalam konsesi mereka.
Tapi Golden Agri menolaknya, dengan alasan bahwa pinjaman dari bank dan izin yang sudah dibuat berarti "hampir tidak mungkin" untuk melakukan hal itu.
Namun, mungkin salah satu alasan mengapa perusahaan sawit menghindari opsi tersebut adalah: ini akan merugikan mereka.
Dalam sebuah memo yang dibuat pada 2018 kepada Bursa Efek Singapura, perusahaan raksasa Sawit Sumbermas Sarana mengakui mereka tidak mematuhi peraturan plasma di Indonesia, dan kemungkinan harus menyerahkan lahan konsesinya kepada masyarakat.
Namun, membuka plasma dari area konsesi perusahaan, antara lain "akan memberikan dampak material yang merugikan bisnis kami, kondisi keuangan kami, juga berdampak pada hasil operasi dan prospek kami."
Tekanan publik menjadi komponen penting
Di sisi lain, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan pihak konsumen juga ingin adanya distribusi keuntungan "secara adil di seluruh rantai pasok, khususnya bagi petani".
"Konsumen berhak mendapat informasi. Ketika produk itu mengandung bahan dari sawit, itu juga konsumen itu memastikan bahwa sawit itu dihasilkan dari perkebunan yang ramah lingkungan dan ramah sosial," kata Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo kepada wartawan.
(Ki-ka) Katap, Redi, dan Mat Yadi, dari Suku Anak Dalam atau Orang Rimba di Desa Tebing Tinggi berkata tak menikmati apapun dari perkebunan sawit yang telah menggusur tanah adat mereka.
Cara lain untuk menghentikan adanya eksploitasi terhadap lahan masyarakat, menurut Djayu, perlu adanya "tekanan publik" agar perusahaan produsen sawit memenuhi tanggung jawabnya.
"Tekanan publik itu menjadi satu komponen penting. Ketika dipublikasi, harapannya memang publik atau masyarakat luas, atau pasar dapat merespon.
"Merespon memberikan tekanan pada pihak perusahaan, bahwa kamu harus menyelesaikan [permasalahan plasma] dulu," kata Djayu.
Bagi Suku Anak Dalam, permasalahan plasma telah berlarut-larut hingga menyebabkan tiga generasi kehilangan tempat tinggal dan hidup tercerai-berai.
Mereka, sebut salah seorang sesepuhnya, hanya ingin tanah mereka dikembalikan.
"Itulah yang kami harap, minta dikembalikan [tanah kami]," kata Cilin. "Supaya kami bisa kumpul kembali bersama anak cucu kami". (*)
Tags : Ekonomi, Hukum, Indonesia, Sawit, Lingkungan,