Headline Riau   2021/06/14 13:36 WIB

Petani Sawit Keluhkan Harga, Pada Tingkat 'Pedagang Pengumpul' Kembali Turun

Petani Sawit Keluhkan Harga, Pada Tingkat 'Pedagang Pengumpul' Kembali Turun
Petani meminta pemerintah menetapkan harga jual terendah untuk Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit guna menjaga ekonomi petani di tengah gejolak harga pasar.

Sejumlah petani kelapa sawit di Riau pekan ini mengeluhkan harga jual produksi mereka pada tingkat pedagang pengumpul kembali turun. 

PEKANBARU - Pekan sebelumnya pedagang pengumpul membeli buah kelapa sawit petani Rp 1.135 per kilogram [kg], sedangkan pekan ini turun di bawah Rp 1.000 per kg, kata Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit  (SPKS) Rokan Hulu [Rohul], Riau, Yusro Fadli pada wartawan belum lama ini.

Ia menjelaskan, harga beli pabrik untuk buah sawit petani pekan ini hanya Rp 1.090 per kg, padahal sebelumnya mencapai Rp 1.135 per kg. Harga cangkang kelapa sawit juga turun menjadi Rp 300 per kg dari sebelumnya Rp 310 per kg. 

Harga jual tandan buah segar kelapa sawit petani mestinya terus meningkat, karena pasokan produksi petani berkurang akibat pengaruh cuaca ekstrem belum lama ini. Ia mengatakan bahwa ada pabrik membeli buah kelapa sawit petani mencapai Rp 1.200 per kg. 

Namun, ada pula pabrik pengolahan membeli buah sawit petani di bawah itu. "Saya selalu didesak petani untuk ikut berperan dalam menentukan harga kelapa sawit. Namun, hal itu tidak mungkin bisa dilakukan karena kebijakan ada pada pemilik pabrik dan pemerintah daerah," sebut Yusro Fadli. 

Sebelumnya, sejumlah petani mengaku bahwa mereka bingung harga jual kelapa sawit tidak merata, sedangkan kualitas buah kelapa sawit petani rata-rata relatif cukup bagus.

Petani sawit keluhkan harga jual

Seperti yang disebutkan petani sawit di kawasan Air Molek, Kabupaten Inderagiri Hulu [Inhu], Surbakti membenarkan bahwa harga jual buah sawit pekan ini kembali turun yaitu rata-rata Rp 950 per kg dari sebelumnya mencapai Rp 1.100 per kg di lokasi kebun.

"Seharusnya saat buah sawit produksinya turun sekarang ini harga beli pedagang pengumpul atau pabrik terjadi kenaikan. Akan tetapi, pada kenyataannya justru ikut turun," kata Surbakti.

Tetapi kembali disebutkan Yusro Fadli, meminta pemerintah menetapkan harga jual terendah untuk Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari petani yang dibeli oleh pabrik sebesar Rp1.500 per kilogram (kg). Hal itu dilakukan untuk menjaga ekonomi petani kelapa sawit di tengah gejolak harga pasar.

Dia mencontohkan, pada periode Juli 2018 kemarin, rata-rata harga TBS tertekan ke kisaran Rp800 hingga Rp1.000 per kilogram (kg). Padahal, di awal tahun, harga TBS masih berkisar Rp1.800 hingga Rp1.900 per kg. "Tentunya, pemerintah perlu turun tangan untuk stabilisasi harga," ujarnya.

Menurut Yusro Fadli, level harga Rp1.500 dianggap mampu menjaga kesejahteraan petani kelapa sawit karena bisa menutup beban produksi dan menyisakan margin untuk biaya hidup sehari-hari. "Kalau di bawah Rp1.000 per kg, petani sudah agak susah," ujarnya.

Jika harga TBS sudah normal, menurut dia, harga yang berlaku bisa dikembalikan kepada harga pasar. Yusro Fadli juga meminta pemerintah memberikan insentif bagi petani yang menjalankan praktik kelapa sawit berkelanjutan. Misalnya, insentif berupa harga jual yang lebih tinggi dan akses untuk menjual langsung ke pabrik tanpa melalui perantara.

Harga sawit bikin petani bingung

Begitupun nasib yag dialami Petani kelapa sawit swadaya yang masih bingung melihat harga tandan buah segar (TBS) yang ditetapkan oleh Dinas Perkebunan Provinsi Riau sebesar Rp 2.527,97/Kg, periode 2-8 Juni 2021. Padahal, yang dirasakan petani hanya diangka Rp1.900/Kg. "Pemerintah yang menetapkan harga sawit, janganlah berpihak kepada kebun plasma saja.

Tapi seyogyanya memperjuangkan nasib harga sawit petani swadaya juga," keluh Pinten Sitorus (43), salah seorang petani sawit swadaya di Desa Kota Lama, Kecamatan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau.
 
Untuk menjawab kegelisahan petani tentang harga sawit tersebut, Pemprov Riau melalui Disbun telah merampungkan Pergub Nomor 77 Tahun 2020 tentang tata cara penetapan harga untuk pekebun swadaya.

Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Dinas Perkebunan Riau, Defris Hatmaja mengatakan, mulai pekan depan, sesuai aturan Gubernur Riau, yang dikeluhkan petani tersebut akan secara maraton disosialisasikan ke seluruh kabupaten/kota serta para pekebun dan asosiasi, pengusaha (PKS) serta stakeholder terkait. 

"Isi peraturan itu tidak hanya mengatur perkebunan plasma saja seperti yang diatur Permentan 01 Tahun 2018. Tapi, lebih dari mengatur perkebunan swadaya yang jumlahnya lebih dari 52 persen secara luasan di Provinsi Riau yang harus dilindungi," kata dia. 

Dengan pemberlakuan Pergub ini, petani dan pengusaha ada payung hukum dalam Tata Niaga TBS yang harus ditaati bersama. Khususnya terkait penetapan harga, penerapan harga serta kemitraan pekebun dengan pabrik kelapa sawit.

"Tahun depan, kita juga akan melakukan uji rendemen buah sawit pekebun se-Riau, baik plasma maupun swadaya melalui dana BPDPKS. Ini bentuk terobosan kita dalam menerapkan rasa keadilan harga TBS pekebun dengan kondisi riil rendemen aktual TBS sawit," kata dia.

Harga sawit Riau masih turun 

Merujuk hasil dari tim penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) Sawit Provinsi Riau merujuk surat Penetapan Harga TBS Kelapa Sawit Provinsi Riau No.23 periode  9 - 15 Juni 2021, telah menyepakati harga sawit umur 10 - 20 tahun turun Rp 96,46/Kg menjadi Rp 2.431,51/Kg.

Berikut harga sawit Riau diantaranya, sawit umur 3 tahun Rp 1.804,29/Kg; sawit umur 4 tahun Rp 1.950,00/Kg; sawit umur 5 tahun Rp 2.126,47/Kg; sawit umur 6 tahun Rp 2.176,94/Kg; sawit umur 7 tahun Rp 2.261,86/Kg; sawit umur 8 tahun Rp 2.323,80/Kg.

Sementara sawit umur 9 tahun Rp 2.377,00/Kg dan sawit umur 10-20 tahun Rp Rp 2.431,51/Kg, sawit umur 21 tahun Rp 2.330,81/Kg, dan sawit umur 22 tahun Rp 2.319,41/Kg, sawit umur 23 tahun Rp 2.309,91/Kg, sawit umur 24 tahun Rp 2.214,90/Kg dan sawit umur 25 tahun Rp 2.162,65/Kg. Dimana harga minyak sawit mentah (CPO) ditetapkan Rp 10.579,26/Kg dan harga Kernel Rp 7.282,36/Kg dengan indeks K 89,80%. 

SPKS minta revisi pungutan dana sawit

Sementara disebutkan Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, sudah meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani agar segera melakukan revisi Peraturan Menteri Keuangan PMK 191/PMK.05/2020 tentang tarif layanan badan layanan umum badan pengelola dana perkebunan kelapa sawit (BPDPKS) pada Kementerian Keuangan karena dianggap peraturan ini dibuat hanya untuk menyokong usaha perusahan biodiesel.

Sebelumnya pada tanggal 24 Mei 2021, Pelaku usaha industri hilir kelapa sawit meminta peraturan ini tetap di lanjutkan karena bisa mendorong industri hilir kelapa sawit dan menjaga stabilitas harga tanda buah segar (TBS) petani. Sekjen SPKS Mansuetus Darto menjelaskan, peraturan PMK 191/PMK.05/2020 terbaru ini sebenarnya hanya untuk menyokong kepentingan para pelaku industri hilir sawit melalui program besar biodiesel B30 dan untuk memuluskan ambisi untuk menaikan program biodiesel ke B40.

Hal ini terbukti dengan alokasi Rp 57,72 triliun yang sudah di terima oleh perusahan biodiesel dari tahun 2015-2020 dari dana pungutan CPO tersebut. Kemudian program biodiesel tersebut tidak ada keterkaitannya dengan kenaikan harga CPO ataupun harga TBS saat ini. "Kenaikan ini disebabkan oleh musim dan produksi yang menyusut sehingga kebutuhan sawit meningkat, ditambah dengan pemulihan ekonomi yang sudah membaik karena Covid-19, khususnya negara negara tujuan ekspor sawit," jelas Darto melalui rilis SPKS pada Selasa 25 Mei 2021 kemarin.

Bagi petani sawit, peraturan PMK 191/PMK.05/2020 ini sangat merugikan karena bisa mengurangi harga TBS petani. Harga CPO itu acuan penghitungan harga TBS yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan setiap provinsi jika ada pungutan CPO yang tinggi maka harga CPO yang menjadi acuan tadi akan rendah padahal harga CPO sebelum pungutan itu tinggi.

Contoh, harga CPO pada minggu ke pertama Mei 2021 sebesar US$ 1.100-1.200 per ton. Dengan harga CPO ini, jika di simulasikan dengan PMK 191/PMK.05/2020 terbaru maka Pungutan sebesar US$ 255/ton CPO. Kondisi ini secara langsung mengurangi harga CPO menjadi acuan harga TBS petani, serta dampaknya langsung pada penurunan harga TBS petani di lapangan.

“Dengan analisis SPKS pada pemberlakuan pungutan CPO pada harga US$ 1.100-1.200/ ton pada harga TBS petani kelapa sawit. Diperoleh, dengan pungutan sebesar US$ 255/ton CPO maka pengurangan harga TBS di tingkat petani kelapa sawit sebesar Rp600-800/kg TBS para petani sawit, baik petani plasma maupun swadaya," lanjut Darto.

Sekjen SPKS juga mengatakan, perusahaan-perusahaan industri hilir biodiesel B30 tidak memperhatikan petani sawit. Hal ini dapat dilihat dari belum ada koperasi atau kelembagaan petani kelapa sawit di Indonesia bermitra secara langsung dengan mereka sebagai pemasok bahan baku biodiesel. Pengecekan SPKS di lapangan di Riau misalnya di empat Kabupaten, yakni Siak, Pelalawan, Rokan Hulu, dan Kampar, petani sawit swadaya tetap saja menjual TBS kepada tengkulak dengan harga yang rendah walaupun di sekitar mereka ada perusahan yang terlibat dalam bisnis industri hilir biodiesel B30.

Akibatnya petani sawit swadaya mengalami kerugian sekitar 30% dari pendapatan yang seharusnya diterima. Mansuetus Darto juga mengatakan, di tingkat pengelolaan dana yang dilakukan oleh BPDP Sawit juga tidak ada trasparansi kepada publik. Bahkan di dalam kelembagaan BPDP Sawit ada kelompok pengusaha sawit dan biodiesel duduk sebagai komite pengarah tentunya ini sangat mempengaruhi alokasi pengunaan dana sawit tersebut selama ini.

Untuk itu SPKS, kata Darto, meminta kepada kemenkeu dan Kemenko Perekonomian untuk segera merevisi pungutan CPO melalui PMK 191/PMK.05/2020dan serta dana pungutan dialokasikan secara adil adil terutama untuk petani sawit. "SPKS juga minta transparansi penggunaan dana oleh industri sawit dan transparansi penggunaan dana di BPDPKS sebab hingga saat ini tidak ada laporan publik terkait penggunaan dana sawit tersebut," jelasnya.

Terkait penggunaan dana Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit, Darto mendorong alokasi dana kepada petani kelapa sawit lebih optimal, terutama untuk peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) petani. Selama ini, sebagian besar dana BPDP Kelapa Sawit masih dikembalikan kepada industri untuk menutup selisih harga biodiesel dengan solar. "Dana BPDP harus dapat diakses dengan mudah oleh petani dengan tidak menggunakan prosedur yang berbelit," ujarnya.

Solusi lainnya, lanjut Darto, dana BPDP untuk pembinaan petani bisa disalurkan langsung ke pemerintah daerah. Dengan demikian, kualitas SDM petani kelapa sawit Indonesia bisa meningkat.

SPKS sendiri telah berdiri sejak 2006 dan beranggotakan 52 ribu petani kelapa sawit di enam provinsi penghasil kelapa sawit di Indonesia di antaranya Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. (rp.sdp/*)

Tags : Petani Sawit, Harga Sawit, Pedagang Pengumpul Keluhkan harga sawit, Petani Sawit Riau Keluhkan Harga sawit,