Pemerintah sangat agresif mengembangkan program biodiesel melalui program B30 dari sawit, program ini diklaim menguntungkan negara melalui penambahan devisa sebesar Rp 48 triliun.
LINGKUNGAN - Sejak tahun 2016, Pemerintah sangat agresif mengembangkan program biodiesel melalui program B30 dari sawit. Program ini diklaim menguntungkan negara melalui penambahan devisa sebesar Rp 48 triliun sebab 30 persen bahan baku untuk pembuatan solar diperoleh dari komoditas kelapa sawit Indonesia.
Menurut penilaian Indonesian Coruption Investigation (ICI), sektor swasta telah mengambil bagian dalam mendukung program yang dicetus oleh Bapak Presiden Joko Widodo ini, sementara petani belum merasakan langsung manfaatnya. Tapi untuk melihat kekuatan pengembangan EBTKE (Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi) ini perlu melihat posisi BUMN sawit seperti PT Perkebunan Nusantara alias PTPN. "BUMN sawit ini mati ditelan perkembangan zaman. Di saat sektor swasta bergeser ke sektor hilir, perusahaan negara ini masih betah dan tidak bergerak ke hilir. Dari puluhan industri biodiesel, tidak ada satu pun PTPN memiliki industri biodiesel. Akibatnya, BUMN ini terkucilkan bersama petani kelapa sawit dalam program B30," ungkap H Darmawi Aris SE, Direktur ICI menilai.
Lalu mengapa program pemerintah untuk hilirisasi sawit menimbulkan banyak masalah di sektor hulu dan bagaimana kepentingan nasional di dalam proyek ambisius itu? Menurut Darmawi, monopoli bos besar Perkebunan sawit tidak hanya dikuasai oleh petani akan tetapi dikelola juga oleh perusahaan perkebunan swasta yang menguasai sekitar 9,7 juta ha dan perusahaan negara (PTPN) seluas 6 ratus ribu hektare. Luas tersebut hanya dikuasai oleh sekitar 2.494 perusahaan yang mengelola IUP (Ijin Usaha Perkebunan). "Monopoli perkebunan besar telah dimulai sejak orde baru dan makin menggurita di era reformasi sebab penguasa lahan itu berjejaring dalam rantai politik yang sangat kuat di Jakarta hingga daerah. Kemudahan akses perusahaan swasta ke berbagai Lembaga keuangan menjamin mereka terus perluas lahan sawit," ujarnya.
Bermodalkan IUP, mereka (perusahaan) mampu membarternya dengan kredit investasi dan didukung pemerintah melalui kemudahan berinvestasi. Sementara di sisi lain perusahaan negara secara perlahan tersingkirkan. Semestinya pemerintah harus memiliki roadmap agar pengembangan EBTKE ini dipegang oleh perusahaan negara. Sebab industri energi adalah untuk hajat hidup orang banyak sehingga harus menjadi industri strategis negara. Dikuasai oleh swasta apalagi asing akan berujung hilangnya daulat negara pada aset-aset strategis. Dukungan modal terbatas dan konglomerasi birokrasi membuat BUMN makin terkucilkan ditambah perusahaan negara ini kebanyakan menjadi sapi perah para elit. Rantai bisnis sawit sangat berpaku pada perusahaan raksasa yang memiliki jejaring dengan para pembeli turunan minyak sawit di dunia. Mereka adalah Wilmar, Musim Mas, Sinar Mas, Cargill dan Salim Group. Mereka adalah kelompok empat serangkai (produsen, pengolah, pembeli, penjual).
Perusahaan kecil dan BUMN termasuk petani kelapa sawit, sangat tergantung pada bos-bos besar ini, kata dia. Sudah sejak lama, pembeli minyak sawit dari berbagai belahan dunia seperti Unilever, Kelogs, P&G, Neste, Pepsico serta banyak lainnya memperoleh dari para pemain besar empat serangkai. Model ini diterapkan kembali dalam dalam rantai bisnis energi terbarukan. Perusahaan dengan identitas penguasa hulu-hilir adalah penerima manfaat paling besar.
Menurutnya, hasil olahan minyak sawit mereka ditampung oleh pertamina, PT AKR Coorporindo dan PT Exxonmobil Lubricans untuk kemudian disalurkan ke semua pom bensin di tanah air. Pemerintah sebagai pengatur bisnis ini sejatinya berkesempatan untuk memperkuat PTPN sawit dan petani dalam tiga tahun mendatang. Sayangnya, negara mati kutu terhadap industri dan bersikap pragmatis dengan hadirnya devisa negara yang menggiurkan dari para konglomerat. UU Komisi Persaingan Usaha tidak cukup kuat untuk mengatur monopoli para rentenir minyak sawit.
Mayoritas perusahaan biodiesel berjejaring yang memiliki hubungan patron client sejak lama termasuk perusahaan asing yang beroperasi dan berlahan besar di Indonesia. Beberapa perusahaan asing tersebut adalah Simedarby, Kuala Kepong Berhard, Genting Plantation Berhard, Goodhope Asia Holding dan banyak lagi. Beberapa perusahaan asing ini menjadi penyuplai bahan baku untuk pengembangan EBTKE di tanah air ke industri-industri biodiesel. Dikuasai oleh swasta apalagi asing akan berujung hilangnya daulat negara pada aset-aset strategis. Dukungan modal terbatas dan konglomerasi birokrasi membuat BUMN makin terkucilkan ditambah perusahaan negara ini kebanyakan menjadi sapi perah para elit. Rantai bisnis sawit sangat berpaku pada perusahaan raksasa yang memiliki jejaring dengan para pembeli turunan minyak sawit di dunia.
Mereka adalah Wilmar, Musim Mas, Sinar Mas, Cargill dan Salim Group. Mereka adalah kelompok empat serangkai (produsen, pengolah, pembeli, penjual). Perusahaan kecil dan BUMN termasuk petani kelapa sawit, sangat tergantung pada bos-bos besar ini. Sudah sejak lama, pembeli minyak sawit dari berbagai belahan dunia seperti Unilever, Kelogs, P&G, Neste, Pepsico serta banyak lainnya memperoleh dari para pemain besar empat serangkai. Model ini diterapkan kembali dalam dalam rantai bisnis energi terbarukan. Perusahaan dengan identitas penguasa hulu-hilir adalah penerima manfaat paling besar. Hasil olahan minyak sawit mereka ditampung oleh pertamina, PT AKR Coorporindo dan PT Exxonmobil Lubricans untuk kemudian disalurkan ke semua pom bensin di tanah air.
Pemerintah sebagai pengatur bisnis ini sejatinya berkesempatan untuk memperkuat PTPN sawit dan petani dalam tiga tahun mendatang. Sayangnya, negara mati kutu terhadap industri dan bersikap pragmatis dengan hadirnya devisa negara yang menggiurkan dari para konglomerat. UU Komisi Persaingan Usaha tidak cukup kuat untuk mengatur monopoli para rentenir minyak sawit. Mayoritas perusahaan biodiesel berjejaring yang memiliki hubungan patron client sejak lama termasuk perusahaan asing yang beroperasi dan berlahan besar di Indonesia. Beberapa perusahaan asing tersebut adalah Simedarby, Kuala Kepong Berhard, Genting Plantation Berhard, Goodhope Asia Holding dan banyak lagi. Beberapa perusahaan asing ini menjadi penyuplai bahan baku untuk pengembangan EBTKE di tanah air ke industri-industri biodiesel.
Menaikkan menjadi B40 atauB50 tidak akan menghadirkan solusi bagi sawit Indonesia. Sebab di hulu telah terjadi over produksi karena stok tersisa 2019 sebesar 4,5 juta ton. Akibat covid19 di berbagai belahan dunia, stok ini diperkirakan tidak akan berkurang hingga perdagangan akhir tahun 2020. Di sisi lain, masih terdapat land bank seluas 4 juta hektar dan program peremajaan sawit rakyat. Jika izin tersebut dibuka sawit dan kemudian produktivitas sawit rakyat meningkat maka akan terjadi over produksi yang lebih besar lagi. Strategi pemerintah untuk menyediakan pasar penampungnya melalui program B30 ini, tentu tetap tidak akan cukup dan kemungkinan pemerintah akan menolong industri ini dengan menggunakan uang negara. Sementara pemerintah tidak memiliki strategi intervensi di hulu untuk menghentikan ekspansi.
Di sisi lain, menurutnya, keran investasi melalui pemberian izin baru masih terus berlangsung. Untuk pengembangan hingga B40 maka setidaknya membutuhkan dana yang besar. Sebab biodiesel harganya tingggi. Cara yang paling mudah untuk mendukungnya adalah dengan menaikkan pungutan hingga 70 dolar AS/ton CPO dari 55 dolar AS saat ini. Risikonya akan ke petani. Harga akan makin turun karena negara memotong harga CPO yang merupakan dasar dari penilaian harga TBS petani. Jika tidak maka, negara akan di bajak oleh industri dengan menjustifikasi devisa negara yang sudah dihasilkan oleh konglomerat.
Langkah pemerintah pasti akan menaikkan biodiesel hingga B50. Sebab para konglomerat sawit ini sudah masuk dalam ranah birokrasi dan hampir menguasai politik dan ekonomi di Indonesia. Tentunya tidak ada pilihan lain, sebab telah menjadi bisnis para elit juga. Bisnis biodiesel harus dibingkai dalam kepentingan nasional. Terlepas dari bisnis ini telah menyumbang devisa negara yang diklaim para cukong namun sewajarnya perlu memperkuat aktor-aktor negara seperti BUMN. Sayangnya, Pertamina, Kemenko Perekonomian, dan kementerian ESDM tidak memiliki strategi untuk memperkuat PTPN agar di tangan mereka industri biodiesel dapat diolah. Ini justru sebaliknya, perusahaan negara sebagai pengemis jatah ke perusahaan swasta.
Kedepan, ujar Darmawi, pemerintah harus merancang kepentingan nasional dalam memperkuat BUMN sawit memiliki industri hilir sendiri dan dapat bekerjasama dengan petani kelapa sawit. Ini harus dilakukan oleh pemerintah, untuk mengamankan keuangan negara dari pemburu rente swasta. Perluasan lahan sawit tidak akan menyelesaikan masalah tata kelola sawit di Indonesia. Karena itu, perlu langkah cepat sebelum ketelanjuran makin besar. Caranya, intervensi di sektor hulu dengan menghentikan ekspansi sawit skala besar dan melakukan reforma agraria pada lahan sawit yang bermasalah. Dengan cara ini, akan terjadi keseimbangan antara hulu dan hilir. Sehingga pada akhirnya memberi dampak positif bagi petani kelapa sawit. (*)
Tags : kelapa sawit, industri sawit B30, petani sawit B40,