RIAUPAGI.COM, PEKANBARU - H Darmawi Werdana bin Zalik Aris SE, Ketua Lembaga Melayu Riau [LMR] menuliskan nasib Melayu pada 2021 [era globalisasi] sedang berada di puncak kekuasaannya dimana Gubernur Riau dipimpin oleh Datuk Syamsuar, tetapi sekarang dikritik terhadap Pemerintahan, walaupun saat ini ditengah pandemi corona bisa saja sebagai suatu “ancaman terhadap stabilitas daerah beserta ekonomi”.
Pada tahun 1980 era desentralisasi memasuki Riau sedang dipimpin oleh seorang gubernur dari kalangan masyarakat Jawa. Namun nasib warga Melayu sekarang ternyata tidak jauh berbeda dibanding 15 tahun sebelumnya. Ini membangkitkan kesadaran akan sumber-sumber persoalan sosial di Provinsi Riau.
Darmawi Werdana melontarkan suatu refleksi pribadinya sebagai seorang warga Melayu terhadap kondisi masyarakat dimana ia berada dalam rentang waktu berpuluh tahun. Sejumlah isu sosial-ekonomi yang perlu diangkat adalah ketahanan ekonomi masyarakat akan mempengaruhi daya beli masyarakat.
Selain itu Ia juga melontarkan isu-isu pengelolaan sumber daya alam, kesenjangan sosial, ataupun kualitas sumber daya manusia di Provinsi Riau, selain disebabkan oleh desain desentralisasi yang dibuat oleh Pemerintah Pusat, juga bersumber dari berbagai persoalan mendasar yang terdapat dalam diri warga Melayu Riau.
Namun Darmawi Werdana mengingatkan kembali sejak awal rezim Soeharto, Provinsi Riau telah menjadi salah satu penghasil utama minyak bumi dan gas alam Indonesia. Namun pemerintahan yang bersifat otoriter dan mengedepankan sentralisasi membuat warga Melayu di provinsi ini tidak menikmati kesejahteraan sebagaimana yang diharapkan. Apa yang dialami warga Melayu ini, tak luput dari perhatian para pemimpin daerah dan budayawan Melayu Riau.
Ia menuangkan keprihatinannya terhadap nasib warga Melayu bahkan akan melakukan diskusi membahas tentang 'Pemimpin Masa Depan Riau 2024'. Selain Darmawi juga menuturkan bahwa sesungguhnya pada 1990 merupakan puncak kejayaan Riau yang menyumbangkan APBN 65 persen dari Provinsi Riau. Begitu besarnya andil Provinsi Riau terhadapt Republik Indonesia dari sektor Minyak dan Gas [Migas] ini.
Pada tahun 1980 pula telah dimulai represi terhadap Petisi 50, yang berisikan tokoh-tokoh nasional yang menyatakan keprihatian terhadap sejumlah tindakan Soeharto. Saat Provinsi Riau dipimpin oleh Gubernur Rusli Zainal, gubernur pertama yang dipilih oleh DPRD hasil Pemilu di era reformasi. Saat itu kebijakan desentralisasi memasuki tahun kelima, dan Provinsi Riau telah ditempatkan sebagai salah satu kisah sukses karena menikmati banyak aliran dana dari Pusat, berupa Bagi Hasil Sumber Daya Alam.
Pemerintah Provinsi Riau pada Februari 2013, tak lama nasib Melayu memimpin untuk kedua kalinya, Gubernur Rusli Zainal masih terangkat marwah Melayu. Gubernur Annas Maamun yang memenangkan Pemilihan Gubernur Riau pada 2014 citera Melayu justru tidak terangkat karena sering 'maki-maki orang saja' dan terakhir menjadi tersangka korupsi dalam kasus izin alih fungsi hutan tanaman industri di Riau. Gubernur yang satu ini kasusnya dan sprindik dari penyidik KPK 2015 masih ada.
Nasib yang dialami oleh para putera Melayu Riau, Rusli Zainal dan Annas Maamun merupakan bagian dari berbagai ironi yang dialami oleh warga Melayu Riau hingga saat ini. Namun mengenai tiga isu terpenting bagi warga Melayu Riau, yaitu pengelolaan sumber daya alam, kesenjangan sosial, serta kualitas sumber daya manusia masih menghantui masyarkat Riau.
Persoalan persoalan penting yang dihadapi warga Melayu Riau dalam ketiga isu tersebut, sudah banyak tokoh Riau mencoba memberikan sejumlah alternatif penyelesaian masalah. Kondisi sosial warga Melayu yang terjadi saat ini secara statistik kependudukan, selalu menempati urutan teratas dibandingkan warga dari sukubangsa lainnya di Provinsi Riau.
Pada Sensus Penduduk 2010, tercatat 34% penduduk Riau adalah warga Melayu (BPS 2010). Publikasi yang sama menyebutkan bahwa warga Jawa di Riau adalah 30% populasi, sedangkan warga Batak dan Minangkabau masing-masing merupakan sekitar 13% dari penduduk Provinsi Riau. Sementara itu dari keseluruhan penduduk, warga Banjar adalah sekitar 4% dan warga Bugis sekitar 2%.
Warga Melayu dan sumber daya alam
Berbeda dengan rezim Soekarno, pemerintahan Soeharto menjalankan perekonomian yang mengandalkan modal asing. Tak heran jika pada tahun 1967, tak lama setelah Soeharto berkuasa, undang-undang yang pertama dibuat adalah Undang-undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing [PMA].
Undang-undang inilah yang kemudian menjadi legitimasi bagi kehadiran perusahaan-perusahaan asing di bidang eksploitasi sumber daya alam, termasuk PT Caltex Pacific Indonesia yang kala itu mendapat izin untuk mengelola lapangan minyak Duri di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
Lapangan minyak ini kemudian berkembang menjadi salah satu kawasan penghasil minyak bumi dan gas alam terbesar di Indonesia, kata Darmawi Werdana menceritakan dengan diresmikanya oleh Presiden Suharto dengan memakai steem pluod [air panas disemprotkan ke bumi] 1000 derejat celsius ke bumi Mandau [1974]. Hasil kegiatan pertambangan minyak bumi dan gas alam sepenuhnya dikendalikan oleh Pusat. Tidak ada ketentuan yang mengharuskan suatu alokasi dana bagi daerah-daerah dimana minyak bumi dan gas alam tersebut dihasilkan.
Dengan demikian tidak ada jaminan bahwa kehadiran pertambangan di suatu daerah akan memberikan dampak positif bagi kesejahteraan penduduk. Betapan pun juga, kegiatan pertambangan telah memutar roda perekonomian Riau. Berbagai industri bertumbuh di sekitar lokasi pertambangan, begitu pula dengan kegiatan di bidang perdagangan, perbankan, perumahan dan lain-lain.
Namun, rupanya kondisi ini lebih banyak dimanfaatkan oleh warga yang berdatangan dari luar Riau. Sementara warga Melayu Riau, karena berbagai faktor, menjadi tersingkir dalam persaingan memerebutkan sumber daya ekonomi ini.
Selain pertambangan minyak bumi dan gas alam, pembangunan juga menghadirkan transmigrasi, perkebunan serta industri yang mengeksploitasi hutan di Riau. Hutan dan tanah, sebagai sumber daya alam yang sesungguhnya menjadi bagian dari warisan adat bagi masyarakat Melayu Riau, dipandang sebagai milik negara dan kemudian didistribusikan oleh Pusat sesuai dengan kepentingan pembangunan.
Hutan berubah menjadi industri pulp and paper [IKPP dan RAPP], sementara warga dari luar Riau berdatangan secara besar-besaran sebagai migran, pekerja perkebunan, pengusaha hasil hutan, pedagang dan lain-lain sehingga perlahan-lahan secara jumlah penduduk, mereka melebihi warga Melayu Riau.
Nasib Melayu seiring waktu ada yang mengalami proses kehilangan tanah akibat kehadiran para pendatang ini dan dia pun menggaris bawahi sebagian nasib warga Melayu juga ada hidup menikmati sengsara ditanah leluhur sendiri, tetapi sebagian pula ada yang menyambut baik kedatangan para pendatang, sebagaimana yang menjadi keramahan budaya Melayu, dan tanpa berpikir panjang menjual tanah kepada mereka.
Adapula warga Melayu yang memang mengandalkan hidup dari warisan tanah, tanpa mau berusaha untuk mengelolanya dengan sungguh-sungguh namun ada pula kondisi keterpaksaan sehingga warga Melayu melepaskan sumber daya alam akibat tekanan penguasa Orde Baru yang tidak bisa mereka elakkan.
Kelemahan warga Melayu dalam menjaga warisan tanah dan tekanan penguasa ini kemudian menyebabkan rusaknya sumber daya alam dan penderitaan bagi masyarakat. Era desentralisasi yang dimulai setelah Soeharto lengser, ditandai dengan pembuatan dua undang-undang yang banyak mengubah kondisi sosial masyarakat, yaitu Undang undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Tentang Undang-undang Pemerintahan Daerah memberi banyak keleluasaan bagi warga Melayu untuk tampil sebagai pemimpin di Riau dengan memegang banyak kewenangan untuk mengatur daerahnya. Sedangkan UU No.25 Tahun 1999 memiliki ketentuan tentang persentase pendapatan dari sumber daya alam yang wajib diberikan kepada Daerah.
Ketentuan ini membuat Kabupaten Bengkalis, dimana ladang minyak Duri berada, dan juga Provinsi Riau mendapat alokasi dana bagi hasil sumber daya alam yang besarnya hingga ratusan milyar tiap tahunnya. Seketika Provinsi Riau menjadi salah satu dari lima provinsi dengan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita yang tertinggi di Indonesia.
Saat ini perekonomian Riau masih didominasi oleh pendapatan dari minyak bumi dan gas alam yang berkontribusi sekitar 45% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi ini sejak 2012. Desain desentralisasi memberikan sejumlah hak pengelolaan sumber daya alam kepada para penguasa di daerah yaitu Bupati/Walikota dan Gubernur yang praktis didominasi oleh putera-putera Melayu Riau. Merekalah yang kemudian berhadapan dengan Pusat (yang masih mengendalikan sejumlah kewenangan perizinan, termasuk untuk penanaman modal asing) serta para pengusaha yang mendapat untung dari eksploitasi sumber daya alam. Ternyata situasi ini tidak membawa banyak perubahan bagi nasib warga Melayu.
Eksploitasi dan kerusakan sumber daya alam terus berlanjut, dan warga Melayu terus menjadi penonton di rumahnya sendiri. Sementara Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Riau periode 2014-2019 (Provinsi Riau 2014: 201) menyebutkan sejumlah kondisi buruk yang dialami sumber daya alam di provinsi ini, yaitu: menurunnya kualitas sungai dan daerah aliran sungai, kerentanan risiko kebakaran lahan serta meningkatnya pencemaran udara dan peningkatan jumlah titik api sejak 2013 yang hampir mencapai 4 kali jumlah titik api di tahun 2012 dibawah kepemimpinan Gubernur Riau Andi Rachman.
Tingginya pencemaran lingkungan, belum tercapainya fungsi kawasan lindung secara optimal, belum optimalnya pengendalian emisi gas rumah kaca dan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup pada media air sungai dan pesisir/laut Provinsi Riau (2014: 205) juga menyebutkan adalah masalah di bidang kehutanan yaitu tingginy gangguan hutan dan perambahan hutan dimana kerusakan kawasan hutan pada 2013 adalah seluas 1,53 juta hektar, belum optimalnya pelaksanaan peraturan daerah tentang kawasan hutan lindung, belum optimalnya konservasi hutan dan lahan dimana rehabilitasi hutan pada 2013 yang mampu dilakukan baru mencakup 95 ribu hektar.
Darmawi menilai, betapa budaya Melayu tidak pernah memisahkan warga Melayu dari tanah, sungai, hutan dan sumber daya alam lainnya. Mereka menilai saat ini negara telah mengelola sumber daya alam sebatas mengikuti peraturan perundang-undangan yang seringkali dibuat tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat Riau, khususnya warga Melayu. Padahal kesatuan antara masyarakat dengan sumber daya alam merupakan kunci pelestarian lingkungan hidup.
Namun tak kalah pentingnya, kata Darmawi adalah kondisi di Riau dimana para penguasa lokal Melayu turut pula menentukan kondisi sosial masyarakat terkait isu sumber daya alam. Kasus perebutan wilayah antara Kabupaten Kampar dengan Kabupaten Rokan Hulu (terkenal dengan nama “Kasus 3 Desa” dan “Kasus 5 Desa”) yang terjadi di awal pelaksanaan desentralisasi dan hingga kini masih terasa dampaknya bagi kehidupan sosial masyarakat, merupakan salah satu contoh terpenting konflik sumber daya alam di Riau yang tak lepas dari peran para elit masyarakat Melayu.
Pemerintahan Orde Baru telah menjadikan Riau sebagai satu pusat dihasilkannya sumber daya ekonomi di Indonesia. Sesuai pepatah “ada gula ada semut”, berkembanglah pula penduduk baik dalam jumlah maupun keragaman suku bangsa. Sayangnya sebagian warga Melayu mengalami nasib yang kurang baik sebagaimana terlihat dalam dekade 12 tahun terakhir ini dengan hiruk pikuknya pertumbuhan ekonomi Riau saat ini.
Warga Melayu seringkali kalah dalam persaingan
Kesenjangan sosial saat ini masih dalam kondisi yang memprihatikan Provinsi Riau (2014: 205) ini terlihat rendahnya pendapatan masyarakat desa sekitar hutan. Selain itu Provinsi Riau (2014: 2011) menyatakan adanya permasalahan akibat alih fungsi lahan produktif pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit. Juga terdapat keterangan tentang kelemahan akses petani terhadap permodalan serta terbatasnya sarana dan prasarana produksi pertanian.
Tanah sebagai aset utama telah banyak beralih dari aset masyarakat tempatan (termasuk warga Melayu) berpindah tangan ke tangan para pemilik modal (termasuk di bidang perkebunan kelapa sawit) yang umumnya adalah warga luar Riau. Penghidupan petani kian sulit karena minimnya akses terhadap modal serta lemahnya dukungan negara bagi mereka dalam menjalankan kegiatan pertanian. Provinsi Riau (2014: 205) menyebutkan adanya kesenjangan dalam akses terhadap energi listrik. Hanya 65,16% rumah tangga di Riau yang dilayani oleh PLN dan yang lebih parah adalah kawasan desa hanya dilayani sebanyak 46, 08%. Hal ini tentu saja merupakan sebuh ironi karena Provinsi Riau merupakan salah satu penghasil energi berupa minyak bumi dan gas alam yang terbesar di Indonesia.
RPJMD Provinsi Riau 2014-2019 (Provinsi Riau 2014: 210) mencatat adanya rencana pengurangan kemiskinan, ketimpangan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja yang dirancang oleh Pusat melalui Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Namun rencana pembangunan yang dibuat oleh pemerintahan pusat tampaknya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan karena Presiden Jokowi memiliki visi tersendiri. Pemerintahan saat ini memiliki sejumlah program baru untuk mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan sosial, diantaranya perluasan Program Keluarga Harapan, yaitu suatu program pemberian bantuan tunai bersyarat yang berada di bawah kendali Kementerian Sosial.
Pembangunan yang digagas oleh Pusat memang memiliki peran dalam menciptakan kesenjangan sosial. Namun, di era desentralisasi ini pembangunan lokal Riau juga banyak dirancang oleh para pemimpin Melayu, sehingga mereka harus bertanggungjawab pula terhadap kondisi ini.
Dengan berakhirnya PT Chevron Pasifik Indonesia Agustus 2021 yang pengelola berikutnya adalah Pertamina, namun pengelolaannya diserahkan pada anak perusahaan pertamina seperti PT Pertamina Energi Siak dan Pertamina Hulu Rokan. Sedangkan BUMD yang sudah berpengalaman seperti PT Bumi Siak Pusako dan PT Riau Petrolium mempunyai ahli perminyakan dan ahli tekonologi perminyakan. Jadi nasihat buat Datuk Syamsuar sebagai Gubernur Riau tetap sesuaikan kondisi saat ini, yaitu perlunya warga Melayu (terutama yang memiliki kualitas dan SDM dibidang migas) untuk selalu dilibatkan dalam pembangunan, seperti mendapat akses terhadap kedudukan, jabatan dan peluang kerja serta penghidupan yang layak. Tetapi kata Darmawi lagi bagaimanapun juga, kualitas sumber daya manusia di kalangan warga Melayu Riau adalah penentu utama bagi keberhasilan upaya mengatasi kesenjangan sosial.
Warga Melayu dan kualitas sumber daya manusia
Nasib Melayu menguraikan karakteristik sebagian warga Melayu yang membuat mereka mengalami kesulitan dalam kehidupan sosial ekonomi sehari-hari, dihadapkan kurangnya mendapat akses dari pemangku kepentingan dan pelaku usaha. Pada hal jebolan-jebolan pendidikan putra-putri Melayu tak kalah bersaing {Fakultas perminyakan Universitas Islam Riau], bahkan mereka tak kalah bersaing dan mau bekerja keras serta pandai beradaptasi dengan perubahan zaman.
Di masa kini, akses warga Melayu terhadap pendidikan formal dapat dikatakan sangat baik, karena Provinsi Riau memiliki kemampuan keuangan yang memadai untuk memberikan beasiswa kepada mereka. Namun masih terdapat sejumlah kelemahan dalam hal kewirausahaan warga Melayu sehingga, sebagaimana yang ditemukan oleh selama ini, warga non Melayu (terutama Minangkabau) memiliki peran yang cenderung lebih dominan, terutama di wilayah perkotaan seperti di Pekanbaru ataupun Dumai dan Siak.
Berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia di bidang kebudayaan, Provinsi Riau memiliki Visi “Riau 2020” yang bercita-cita agar provinsi ini menjadi pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara pada 2020. Provinsi Riau (2014: 211) menjelaskan tentang “berbudaya Melayu” yaitu “merupakan upaya terus-menerus untuk menggali dan menerapkan nilai-nilai budaya Melayu sebagai jati diri dan menjadi roh bagi perilaku masyarakat dan pemerintahan dalam karsa dan karya pembangunan dalam menjadikan Provinsi Riau sebagai pusat budaya melayu.
Dengan lengsernya Rusli Zainal, Roh itu pudar bagaikan ditelan bumi. Sebaiknya Datuk Syamsuar sebagai orang Melayu harus dapat menyikapi apa dan tujuan visi Riau 2020 itu seharusnya dapat terwujud. Cita-cita ini telah menempatkan kemelayuan sebagai fokus utama pembangunan budaya di Riau. Darmawi Werdana melihat visi Riau 2020 tersebut amat sulit dicapai karena berbagai kendala yang terjadi di lapangan, termasuk kapasitas pemerintah daerah serta koordinasi antar sesama Kabupaten/Kota di Riau dan koordinasi antara tokoh Agama dan tokoh masyarakat.
Nasib Melayu adalah contoh bahwa suatu karya sastra memiliki kemampuan untuk merekam kondisi sosial suatu masyarakat, bahkan turut memberikan alternatif solusi bagi berbagai permasalahan yang timbul. Masih sesuainya kondisi warga Melayu yang digambarkan pada 15 tahun yang lalu dengan situasi sekarang menunjukkan bahwa nasib mereka memang tidak banyak berubah. Meskipun era desentralisasi telah berlalu dan menghadirkan demokrasi, sumber daya keuangan, serta berbagai kemudahan bagi warga Melayu. Namun Eskploitasi sumber daya alam terus berlangsung dengan menimbulkan sejumlah persoalan kesenjangan sosial. Sumber daya manusia masih menjadi persoalan krusial bagi warga Melayu, bukan dalam hal akses terhadap pendidikan formal tetapi, kata Darmawi, dalam hal pembentukan kewirausahaan serta integritas di kalangan para pemimpin masyarakat. Sudah sepatutnya kondisis warga Melayu Riau di masa depan jika berbagai permasalahan tidak dicernati sepenuhnya maka akan ketertinggalan terus menerus dan jangan bermimpi kalau Riau bangkit dari keterpurukan. (*)
Tags : Riau Dipimpin Putera Melayu, Nasib Warga Melayu, Nasib Warga Melayu Tak Jauh dari 20 Tahun Lalu,