"Provinsi Riau merupakan provinsi dengan perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia, untuk itu Dana Bagi Hasil [DBH] komoditas minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) diperjuangkan"
rovinsi Riau, merupakan provinsi dengan perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia. Berdasarkan data Direktur Jenderal Perkebunan tahun 2017-2021, total luas perkebunan sawit di Riau mencapai 2,89 juta hektar. Masyarakat tempatan di Riau sebagian besarnya juga menggantungkan hidupnya dari hasil berkebun sawit, karena sejak lama sawit telah menjadi primadona.
Sayangnya Pemerintah Provinsi [Pemprov] Riau sama sekali belum kebagian dana bagi hasil (DBH) CPO. Sehingga apa yang didapat daerah hanyalah kerusakan lingkungan, mulai dari jalan rusak dan karhutla.
Untuk itu pula Gubernur Riau (Gubri), Syamsuar mengatakan masih terus memperjuangkan DBH CPO ini ke Pemerintah Pusat.
"Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau sampai saat ini masih terus memperjuangkan hak-haknya di bidang perkebunan sawit ini," kata Syamsuar dalam pernyataan persnya usai mengikuti peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-93 di Gedung Daerah Provinsi Riau, Kamis (28/10).
Perjuangan DBH CPO ini juga sudah disampaikan ke Komisi XI DPR RI. "Tetap, kami masih dalam perjuangan dan Komisi XI akan memperjuangkan CPO ini masuk bagi hasil," sebut Gubri.
Namun menyimak kembali seperti disebutkan Wiko Saputra, Peneliti Kebijakan Publik mengakui, hanya sebagian kecil hasil penerimaan negara dari sawit yang ditransfer ke daerah.
Misalnya, PBB perkebunan dan PPh pasal 21 (karyawan) dan pasal 25/29 (orang pribadi). PBB perkebunan 90% sudah ditransfer ke daerah, sedangkan PPh pasal 21 dan pasal 25/29 baru 20%. Keduanya pun bukan penerimaan utama dari sektor sawit karena penerimaan terbesar adalah PPh badan dan pungutan ekspor.
Merujuk pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah, kata Wiko lagi, sebagian besar kewenangan dalam tata kelolanya berada di tangan pemerintah daerah, misalnya, kewenangan dalam perizinan dan pengawasan.
"Secara prinsip dasar desentralisasi, kasus ini tidak lazim, karena tidak berfungsinya prinsip money follow function."
"Seharusnya, besarnya kewenangan yang dilimpahkan harus disertakan anggaran yang sesuai dengan kewenangan. Ada diskriminasi, karena sektor SDA lainnya seperti kehutanan, pertambangan, dan perikanan memiliki DBH. Kenapa sawit tidak?," tanya dia.
Menurutnya, kondisi seperti ini menimbulkan dampak terhadap tata kelola sektor perkebunan sawit.
Pemerintah daerah tidak optimal menjalankan kewenangannya. Misalnya, tidak menjalankan fungsi pengawasan dan pengendalian terhadap izin-izin perkebunan sawit yang mereka terbitkan.
Alhasil, banyak kasus pelanggaran yang terjadi, seperti kebakaran lahan, pencemaran lingkungan, menerabas kawasan hutan, dan eksploitasi tenaga kerja.
Parahnya, terjadi pembiaran oleh pemerintah daerah. Mestinya, sektor ini mendapatkan pengawasan yang ketat karena memiliki dampak yang besar terhadap lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi.
Tidak berjalannya fungsi pengawasan karena minimnya anggaran. Faktanya, banyak daerah penghasil sawit yang tidak memiliki kapasitas fiskal sehingga alokasi belanja pemerintah daerah hanya habis untuk belanja pegawai dan fungsi pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, kependudukan, dan sebagainya.
Meski ada pemerintah daerah yang mengajukan anggarannya, sering kali ditolak oleh DPRD. Alasannya, sektor ini tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan daerah.
"Sudah sepantasnyalah pemerintah daerah penghasil sawit menuntut adanya skema DBH Sawit, seperti yang mereka suarakan di forum koordinasi pemerintah daerah penghasil sawit di Pekanbaru, Riau."
Tuntutan para kepala daerah tersebut harus menjadi pertimbangan bagi pemerintah pusat.
Menurutnya, Wiko, tujuan DBH Sawit adalah memperkuat kapasitas fiskal pemerintah daerah penghasil untuk memperbaiki tata kelolanya.
"Ini bukan sekadar cara sederhana berupa penerapan fungsi penerimaan daerah, tetapi membangun sebuah sistem tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan," sebutnya.
Adanya DBH Sawit, pemerintah daerah harus melaksanakan fungsi pengawasan dan pengendalian yang akuntabel dan terukur. Misalnya, harus memiliki data periodik luas areal perkebunan sawit, produksi dan produktivitas lahan serta menggunakan data tersebut untuk mengendalikan dampak ekspansi perkebunan sawit terhadap lingkungan hidup dan sosial.
Menurut Wiko, perlunya kerangka formulasi DBH yang kuat dan kompatibel dengan upaya mewujudkan tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan.
Artinya, formulasi DBH tidak hanya berdasarkan realisasi produksi dan daerah penghasil, tetapi juga mengukur sejauh mana prinsip tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan diadopsi oleh pemerintah daerah.
"Itu bisa diukur dari luas lahan perkebunan yang sudah memiliki sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sehingga upaya pemerintah pusat untuk pengembangan ISPO pun bisa terealisasi dengan baik."
Pemerintah juga perlu mengatur mekanisme alokasi penggunaan DBH Sawit. Hal tersebut penting agar alokasi penggunaan DBH Sawit oleh pemerintah daerah tepat sasaran.
Mengingat politik penganggaran di daerah sangat dinamis dan sesuai kepentingan penguasa di daerah. Bila tidak diatur, berisiko tinggi disalahgunakan untuk kepentingan politik.
Dia mengusulkan agar alokasi penggunaannya hanya untuk pengembangan instrumen ISPO, perbaikan produktivitas sawit rakyat, pengendalian dampak lingkungan hidup dan sosial, pemberdayaan masyarakat di sekitar area perkebunan sawit, perbaikan infrastruktur di desa penghasil sawit, program industrialisasi sawit rakyat dan hal-hal lainnya yang terkait dengan perbaikan tata kelola perkebunan sawit.
"Untuk mencapai itu perlu perubahan kebijakan," kata Wiko Saputra.
Pertama, memperbaiki kerangka regulasi terutama menyangkut kebijakan DBH. Tanpa regulasi yang baik, DBH Sawit tidak bisa dilakukan. Hadirnya rancangan undang-undang tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi entry point dalam menyusun kerangka regulasi terkait DBH Sawit.
Kedua, perlu mengembangkan sumber penerimaan negara yang akan dijadikan objek DBH Sawit. Prioritasnya adalah PNBP dari pungutan ekspor.
Kenapa? Selain jumlahnya besar dibandingkan penerimaan lain dari sawit, prinsipnya juga sesuai dengan DBH, karena basisnya adalah jumlah realisasi produksi yang diekspor.
Meski pencatatan ekspornya ada di pelabuhan ekspor, itu bisa diproksi dengan jumlah produksi dan luas lahan perkebunan sawit yang terdapat di daerah penghasil. Oleh karena itu, perlu mereformasi tata kelola dana pungutan ekspor sawit dengan mengembangkan sistem DBH dalam instrumen fiskalnya.
Pada akhirnya, mewujudkan perbaikan tata kelola perkebunan sawit tanpa adanya penguatan kapasitas fiskal oleh pemerintah daerah sangat tidak efektif.
Apalagi, tujuan pemerintah adalah pengembangan industri sawit berkelanjutan dan peningkatan daya saing industri maka kapasitas birokrasinya harus diperkuat. Karena mereka aktor utama dalam tata kelola, selain pelaku usaha dan masyarakat sipil.
'DBH Sawit bisa menjadi instrumen penghubung dari semua tujuan perbaikan tata kelola industri sawit nasional."
DPRD ajak semua pihak berkolaborasi
Dana bagi hasil (DBH) dari produksi crude palm oil (CPO) sudah sejak lama diusulkan kepada pemerintah pusat.
Sampai saat ini belum ada kepastian apakah DBH tersebut masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas).
Bahkan, dari usulan revisi RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) yang akan dibahas DPR RI belum ada usulan mengenai DBH sawit ini. DPRD Riau pun mengajak semua pihak berkolaborasi untuk memperjuangkan dan menyuarakan ke tingkat pusat.
“Jadi, itu kan ada RUU yang masuk Prolegnas terakhir di draf RUU tidak ada pasal yang mengatur DBH sawit. Ini harus ada perjuangan cukup gesit dan keras," kata Wakil Ketua DPRD Hardianto didepan media, Jumat (12/11) kemarin.
Pada RUU yang telah masuk belum ada pasal yang menyinggung perihal DBH Sawit.
"Kalau RUU kan prosesnya di DPR RI. Kami DPRD siap bergandengan dengan gubernur dan pihak lain untuk meperjuangkan ini," ungkap Hardianto.
Menurutnya, potensi yang bisa menaikkan keuangan daerah saat ini adalah pada DBH sawit. Karena di samping jumlah produksi yang meningkat, harga sawit diperkirakan juga bakal naik dari waktu ke waktu.
Tentang besaran persentasi DBH sawit ini Hardianto berkeinginan pemerintah pusat bisa mengabulkan dalam angka yang maksimal.
"Tidak memberatkan, namun menguntungkan daerah. Tentu kita berharap bisa sebesar-besarnya pada angka maksimal," ujarnya.
Ketua Komisi III DPRD Riau Husaimi Hamidi justru tidak begitu tertarik soal DBH Sawit. Ia lebih mengejar pajak air permukaan perusahaan yang berada di Riau.
"Memang sejak awal saya menjabat disini ada beberapa item yang terus kami kejar. Seperti pajak air permukaan, kemudian pajak kendaraan juga," sebut Husaimi.
Tetapi belakangan pihaknya turut memperjuangkan DBH CPO agar bisa diwujudkan oleh pemerintah pusat.
Menurutnya, perjuangan itu telah dimulai DPRD sejak setahun belakangan. Pertemuan dengan 7 daerah penghasil sawit lainnya juga sudah dilakukan.
"Mayoritas daerah penghasil sawit setuju CPO dapat dijadikan item DBH bagi daerah penghasil," diakuinya.
"Memang sempat ada salah satu daerah yang pesimistis DBH CPO ini bisa terwujud. Alasannya, lokasi transpor tidak masuk ke dalam daerah mereka."
Namun Husaimi setuju DBH CPO diberikan kepada daerah penghasil. Bukan kepada daerah pengirim.
"Ketika saya jelaskan seperti itu akhirnya semua sepakat," paparnya.
DPR RI juga diminta turut menyampaikan usulan kepada pemerintah pusat. "Sudah saat itu. Kita telah membicarakan langsung kepada anggota DPR RI dapil Riau, Syamsurizal. Hasilnya dapat direspons sangat baik dan berjanji akan meneruskan usulan tersebut kepada komisi terkait di DPR RI," kata Husaimi.
Tetapi kembali disebutkan Wakil Ketua DPRD Riau, Hardianto lagi, tentang hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) sudah dibahas di RUU tingkat pusat, namun DBH sawit belum dimasukkan dalam RUU.
"Itu sebabnya kita semua ikut memperjuangkan DBH Sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) ke Pusat ini bersama Gubernur Riau maupun segenap elemen masyarakat Riau.
Menurutnya, peluang perjuangan untuk mendapatkan dana bagi hasil (DBH) kelapa sawit dari pusat masih terbuka.
"RUU itu masih dalam bentuk draft karena belum disahkan jadi UU, sehingga dalam proses pembahasan bisa ditambah dan dikurang kecuali sudah menjadi UU," sebutnya.
"Memang perlu perjuangan, namun bukan berarti beradu fisik memperjuangkan DBH kelapa sawit untuk Riau, tetapi harus ada usaha dan lobi yang kuat untuk memperjuangkan ke orang yang tepat," kata Hardianto.
Jadi saat ini Revisi UU perimbangan keuangan pusat dan daerah, sudah masuk Prolegnas tapi di draft RUU tidak ada yang mengatur DBH sawit.
"Ini perlu perjuangan yang keras. Karena prinsip-prinsip desentralisasi tata kelola sektor sumber daya alam (SDA) ini belum sepenuhnya berjalan," kata dia.
Hardianto mengaku, masih ada komoditas SDA [sawit] yang dihasilkan oleh daerah dan tanggung jawab tata kelolanya ke pemerintah daerah, namun sebagian besar hasil dari penerimaan negaranya masuk ke kas pemerintah pusat.
Yang menjadi persoalan mungkin penerimaan itu tidak diserahkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam bentuk dana bagi hasil (DBH), ini sepertinya masih terjadi sistem desentralisasi fiskal di sektor SDA contohnya kasus ini terjadi di sektor perkebunan sawit. (*)
Tags : Tuntutan Dana Bagi Hasil CPO, Riau, Sorotan, Sawit Primadona Ditanah Air,