Artikel   2021/10/31 21:42 WIB

Risiko Mengambil Pekerjaan 'Full Time' Jauh dari Jangkauan dan Pengawasan

Risiko Mengambil Pekerjaan 'Full Time' Jauh dari Jangkauan dan Pengawasan
Bekerja dengan komputer terpisah untuk pekerjaan berbeda.

JAUH dari jangkauan para manajer yang mengawasi langsung setiap hari, para pekerja mengambil pekerjaan tambahan secara sembunyi-sembunyi.

Banyak pekerja kantoran telah bekerja secara jarak jauh selama nyaris dua tahun ini. Ini berarti, jauh dari pengawasan langsung para manajer. Lebih banyak orang sembunyi-sembunyi mengambil pekerjaan kedua.

Bekerja dari rumah memungkinkan seseorang melakukan dua pekerjaan untuk kantor berbeda di waktu yang sama. Pekerjaan kedua bisa menjadi jaring penyelamat dan sumber pemasukan serta pengalaman — sesuatu yang sangat berguna di masa ketika perkantoran mem-PHK banyak karyawan, ketidakpastian ekonomi, dan kemunduran dalam kesejahteraan pekerja.

Tapi mengambil pekerjaan purnawaktu kedua adalah langkah berani yang penuh risiko. Beberapa orang memilih melakukannya untuk mendapatkan rasa memiliki kontrol yang hilang karena pandemi, atau mencari celah mencurangi sistem yang mereka yakini telah mengeksploitasi mereka sejak lama.
Mencurangi sistem

Seorang karyawan yang mencari pekerjaan sampingan sementara mereka telah memiliki pekerjaan purnawaktu, misalnya membuka toko online atau menjadi supir aplikasi daring, bukan hal baru.

Tapi 'overemployment' adalah hal yang berbeda. Seorang karyawan bisa memiliki dua pekerjaan full time yang sama sekali berbeda, dikerjakan dalam waktu bersamaan, tapi di komputer yang berbeda.

Overemployment sama sekali bukan fenomena baru. Di industri teknologi, ini telah menjadi "rahasia umum" selama bertahun-tahun. Isaac, bukan nama sebenarnya, adalah pekerja teknologi di Bay Area, AS, berusia akhir 30-an yang bekerja purnawaktu di dua tempat. Dia telah melakukannya selama dua tahun dan selama itu telah menghasilkan lebih dari US$600.000 (Rp8,5 miliar).

Pada April 2021, Isaac meluncurkan Overemployed, sebuah situs yang menulis berbagai artikel tentang cara melakukan dua pekerjaan purnawaktu secara remote dari rumah.

Peraturan pertama? Jangan pernah bicara tentang melakukan dua pekerjaan kepada siapapun. Dia berkata, selama 20 tahun terakhir, beberapa karyawan di industri teknologi telah mengeruk banyak uang dari metode ini, karena jauh sebelum pandemi, banyak kantor dalam industri ini telah menerapkan kerja jarak jauh.

Tapi sekarang, lebih banyak karyawan dari industri berbeda juga bekerja jarak jauh. Maka, bukan tidak mungkin lebih banyak orang ingin melakukan gaya hidup ini.

Isaac berkata, para pengunjung situsnya tinggal di seluruh penjuru dunia dan telah menjalankan praktik ini selama bertahun-tahun, dari karyawan yang telah berusia di atas 60 tahun hingga orang-orang usia 20-an yang baru masuk dunia kerja.

Mereka mungkin saja melakukan 'double-intern' atau menjadi karyawan magang di dua tempat sekaligus. Tapi, Isaac menambahkan, kebanyakan pengguna cenderung berusia 35-40 tahun, yang "telah memiliki banyak pengalaman kerja dan merasa letih dengan dunia korporasi".

Secara umum, baik sebelum atau selama pandemi, Isaac berkata mereka ini jarang ketahuan. Biasanya yang tertangkap basah adalah mereka yang ceroboh dalam memisahkan kedua pekerjaan.

Isaac pernah mendengar perangkat spyware mendapati seorang pemrogram menjalankan data yang seharusnya tidak dia lakukan, dengan menggunakan komputer pekerjaan utamanya. Orang itu kemudian dipecat.

Isaac berkata, memiliki dua pekerjaan bukan berarti karyawan harus bekerja ekstra panjang — mereka bisa menyisihkan 30 jam per minggu pada pekerjaan utama, misalnya.

Lalu, menggunakan waktu yang sedianya dipakai untuk mengikuti rapat yang tidak wajib atau cyberloafing, atau berselancar di internet untuk hal yang tak terkait pekerjaan, untuk pekerjaan kedua.

Tentu saja, secara legal, memiliki dua pekerjaan dalam waktu bersamaan cukup rumit. Tergantung dari jenis kontrak yang ditandatangani karyawan di pekerjaan pertama, dan apakah mereka melanggar aturan di sana?

Tidak mengejutkan, overemployment dianggap kontroversial, atau bahkan tidak etis. Bahkan, bila dipandang dari sisi non-kontrak, karyawan pada intinya telah berbohong kepada atasan 'utama' mereka.

Keadaan yang kerap disebut sebagai 'bigami' atau berdiri di dua kaki ini juga kerap dianggap sebagai ketidakjujuran dan salah. Tapi untuk mereka yang bisa melakukan dua pekerjaan dengan mulus — baik secara legal maupun logistik — Isaac mengatakan ada banyak keuntungan bagi mereka.

Isaac mengungkapkan, salah satu alasan mengapa para pekerja mengambil pekerjaan kedua dengan sembunyi-sembunyi adalah untuk mendiversifikasi pemasukan secara efisien. Tapi dia juga meyakini uang bukan satu-satunya alasan.

Catherine Chandler-Crichlow, direktur eksekutif untuk manajemen karir di Ivey Business School di Western University di Ontario, Kanada, sepakat dengan Isaac. Mengatakan bahwa pekerja "diam-diam ingin menghasilkan lebih banyak uang" tak sepenuhnya benar.

"Karena sekarang kita dipaksa untuk bekerja di rumah, orang-orang mungkin mulai merasa, 'di mana kemampuan saya benar-benar bisa dilihat? Apa hal-hal yang membuat saya tertarik dan bagaimana saya bisa menggunakan kemampuan itu secara berbeda?'," ujarnya.

Chandler-Crichlow yang mempelajari secara khusus tentang kapital manusia — keahlian, kemampuan, dan pengetahuan yang dibawa seorang karyawan dalam pekerjaannya — berkata, konsep ini umum menjadi bahan diskusi sekitar overemployment.

Sebagai contoh, mungkin ada seseorang yang memiliki pekerjaan utama sebagai analis finansial, tapi dia juga menikmati hal lain, seperti menulis. Bekerja secara remote membuat analis tersebut bisa mencari pekerjaan terkait menulis, dan menerapkan keahliannya. "Saya sekarang menjadi tuan atas apa yang saya ingin lakukan dan di mana saya bisa menghabiskan waktu saya," ujar Chandler-Crichlow.

Dia menambahkan, untuk para pekerja yang berada dalam kelompok sosial-ekonomi lebih rendah, memiliki lebih dari satu pekerjaan adalah cara bertahan hidup. Tapi yang berbeda di sini adalah "para profesional yang bisa dijabarkan sebagai seseorang dengan kemampuan tinggi dan mengambil kendali atas karir mereka".

Erin Hatton, profesor sosiologi yang mempelajari dunia kerja dan karyawan di University of Buffalo di New York, AS, setuju. "Mungkin [para pekerja] ingin mencoba hal baru. Saya rasa sekarang adalah saatnya perhitungan para karyawan dengan dunia kerja, dan mereka mulai berpikir tentang apa peranan yang bisa mereka ambil dalam kehidupan mereka," ujar Hatton.

Memiliki dua pekerjaan bisa "membebaskan seseorang untuk mencoba hal baru; mungkin mengambil pekerjaan ekstra yang gajinya tak seberapa besar, tapi lebih berarti bagi mereka."

Jadi, bukan sebuah kebetulan bila banyak orang mulai melakukannya selama pandemi ini. "Saya rasa pandemi membuat orang-orang berpikir lebih dalam tentang apa yang mereka lakukan dalam hidup," ujar Chandler-Crichlow seperti dirilis BBC.

"Saya ingin lebih memanfaatkan pengetahuan dan keahlian saya. Dan jika ada yang mau membayar saya untuk itu — saya akan melakukannya."
Perlawanan terhadap korporat

Fakta bahwa banyak orang memiliki dua pekerjaan juga merupakan sinyal adanya masalah sistemik di dunia kerja. Banyak pekerja yang telah lama merasa pekerjaan mereka tidak memuaskan atau tak berarti — yang menciptakan permasalah seperti burnout dan kebosanan — dan membuat mereka merasa mengejar kesuksesan di dalam sistem yang memberi manajer mereka kekuasaan lebih besar dalam hubungan kerja.

Ini mungkin menjadi alasan lain mengapa memiliki dua pekerjaan semakin populer, kata para ahli.

Jadi, jika para manajer tidak menyadari para karyawannya melakukan ini, apakah ini berarti mereka manajer yang buruk? "Firasat saya mengatakan mereka tidak punya sistem untuk mengawasi pekerja yang seperti ini," ujar Hatton.

"Untuk banyak pekerja dengan gaji rendah, baik remote maupun non-remote, ada banyak cara untuk mengawasi supaya ini tidak terjadi. Pekerja call center misalnya, yang bekerja jarak jauh tapi dimonitor berapa banyak telepon yang mereka lakukan.

"Tapi untuk para pekerja yang biasanya harus ke kantor dan perusahaan tidak siap dengan sistem pengawasan seperti ini, mereka lebih leluasa melakukan pekerjaan lain."

Dari perspektif Isaac yang seorang pekerja di dua tempat, dan berdasarkan aktivitas di situsnya, salah satu alasan karyawan memiliki dua pekerjaan adalah karena mereka merasa kecewa dengan realitas kehidupan korporat.

Beberapa karyawan merasa pekerjaan rahasia membantu mereka terbebas dari para atasan yang tidak juga memberi mereka promosi atau kenaikan gaji yang telah mereka usahakan selama bertahun-tahun. "Ada perasaan bahwa perusahaan menguasai hidup kita, dan saya melihat fenomena ini sebagai pukulan balik kepemilikan normatif itu," ujar Hatton.

"Seperti ada pendapat bahwa kita berutang pada mereka, bahwa kita adalah milik mereka, dan mereka bisa memecat kita sewaktu-waktu tanpa alasan sama sekali. Bekerja di dua tempat mengambil kembali sedikit dari rasa kekuatan itu."

Saat perusahaan Isaac melakukan pemutusan hubungan kerja pegawai selama pandemi, dia tidak termasuk yang dipecat. Tapi kemudian dia bertekad, dia tidak mau menjadi salah satu karyawan yang tak berwajah. "Anda memperlakukan saya seperti sebuah angka, maka saya akan memperlakukan Anda seperti angka juga," ujarnya.

Maka, bersenjatakan dua laptop, dia bekerja di dua kantor berbeda, ditambah satu pekerjaan paruh waktu. Dia mengaku belum pernah ketahuan. Jumlah mereka yang bekerja di dua tempat mungkin meningkat, tapi mereka tetaplah minoritas. Terlebih, ini adalah perbuatan yang berisiko tinggi.

Ditambah, karena fenomena overemployment ini relatif baru, banyak pekerja maupun perusahaan yang masih belum tahu tentangnya. Mungkin saja, para manajer akan mulai memonitor media sosial karyawan lebih dekat untuk menemukan hal-hal mencurigakan, atau menginstall perangkat lunak di laptop kantor untuk mendeteksi perilaku yang dirasa melanggar kontrak. Tapi untuk sekarang, beberapa karyawan masih akan bisa menikmati bekerja di dua tempat secara bersamaan — selama salah satu kantornya tak menangkap basah mereka. (*)

Tags : Pekerjaan, Karir,