KENAPA banyak Gen Z sering lembur dan berisiko 'burnout'. Di iklim ekonomi saat ini, banyak Gen-Z sengaja memperpanjang waktu kerja - dan memaksa diri mereka sendiri ke jurang kelelahan.
Jasmin Martin selalu menjadi pekerja keras. Saat berkuliah untuk meraih gelar sarjana dalam studi budaya dan media di University of Leeds, Inggris, dia bekerja paruh waktu hingga 30 jam per minggu untuk membayar sewa apartemen.
Kemudian dia mendapatkan pekerjaan penuh waktu di agen humas saat tengah menyelesaikan gelar masternya.
Sebagai pejabat hubungan media di perusahaan yang sama, saat ini Martin tidak lagi melakukan pekerjaan paruh waktu untuk mencari tambahan di luar pekerjaan tetapnya, tapi dia masih sering kerja lembur
"Biasanya saya memulai awal hari dengan membaca berita terkini di bidang pendidikan, teknologi, atau iklim, karena pekerjaan saya mengharuskan saya untuk mengetahui apa yang terjadi dalam berbagai topik yang sangat luas," kata Martin yang kini berusia 25 tahun.
"Seringkali di malam hari, saya menghabiskan beberapa jam untuk memastikan bahwa saya siap untuk hari berikutnya, dan pada hari Minggu, saya sering pergi ke Café Nero untuk minum kopi dan croissant untuk melakukan tugas admin dan memastikan saya siap untuk minggu depan."
Pasangan dan teman-temannya yang sebaya bekerja dengan cara yang hampir sama, katanya, berbisnis saat liburan; atau memadatkan jam tambahan di malam hari, pagi dan akhir pekan.
Beberapa statistik dan para pakar sama-sama mengatakan kaum muda merupakan kelompok yang paling mungkin melakukan kerja lembur tanpa dibayar.
Data bulan April dari laporan ADP Research Institute's People at Work 2023, yang menyurvei 32.000 pekerja di 17 negara, menunjukkan bahwa orang-orang yang berusia antara 18 hingga 24 tahun cenderung bekerja ekstra selama delapan jam dan 30 menit 'bebas kerja' per minggu dengan memulai lebih awal, lembur atau bekerja saat istirahat dan makan siang.
Itu sebanding dengan tujuh jam 28 menit untuk usia 45 hingga 54 tahun, dan hanya lima jam 14 menit untuk mereka yang berusia 55 tahun ke atas.
Para pekerja Gen Z harus menjalani lingkungan kerja yang sulit sejak awal karier mereka.
Banyak yang memulai pekerjaannya selama pandemi, sementara yang lain mengalami dirumahkan (furlough) atau PHK untuk pertama kalinya saat masih berusia awal 20-an.
Banyak dari pekerja ini juga menyaksikan perusahaan mereka mengurangi tenaga kerja, kenaikan gaji, dan promosi demi bertahan dari ketidakpastian ekonomi yang sedang berlangsung.
Para ahli mengatakan hal ini membuat banyak dari mereka merasa tidak aman tentang pekerjaan dan prospek karier jangka panjang mereka, sehingga mereka merasa perlu membuktikan nilai mereka kepada pemberi kerja dengan bekerja lembur.
Ini adalah efek yang membuat mereka bekerja berlebihan — dan membuat mereka stres juga kelelahan.
Permulaan karir yang tidak biasa
Menurut Nela Richardson, yang mengepalai divisi ekonomi di ADP Research Institute, ketidakamanan kerja tampaknya menjadi pendorong terbesar di balik ketekunan Gen Z.
Dalam penelitian People at Work-nya, setengah dari responden mengatakan bahwa mereka merasa tidak aman dalam mengerjakan tugas mereka, jumlah ini dua kali lipat dari mereka yang berusia di atas 55 tahun yang mengatakan hal yang sama.
Sementara Richardson mengatakan ini bisa jadi karena "mumpung masih muda", dia juga mencatat bahwa kaum muda adalah termasuk di antara pekerja yang paling merasakan dampak dirumahkan dan PHK, yang telah menimbulkan "bayang-bayang ketidakamanan pada awal karier mereka" .
Selain itu, dalam lingkungan ekonomi yang tidak stabil, di mana mereka sudah kesulitan untuk mengumpulkan kekayaan dan mencapai tonggak kesuksesan, rasanya pekerjaan bisa hilang kapan saja, dan kecemasan sangat tinggi.
"[Anak muda] tidak punya keamanan yang miliki ketika lulus dari universitas," kata pelatih karier eksekutif Lara Holliday, yang berusia 40-an akhir.
"Saya tidak tahu apakah saya akan mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan, tetapi saya tahu saya akan mendapatkan pekerjaan, dan saya tahu suatu hari nanti saya akan mendapatkannya. Bila saya bekerja keras, saya akan mampu membeli rumah sendiri. Mereka datang ke dunia yang sangat berbeda."
Supaya bisa bertahan, kata para pakar, anak-anak muda merasa harus menambah jam kerja mereka.
Sebagian besar penjelasan ini cocok dengan pengalaman Jasmin. "Saya ingin memastikan bahwa saya serius dengan pekerjaan ini, sehingga orang tahu bahwa mereka telah membuat pilihan yang tepat dalam mempekerjakan saya," ujarnya.
"Jelas, ini sangat kompetitif, dan saya merasa sangat bersyukur sekadar bisa punya pekerjaan dengan segala yang terjadi."
Dia menambahkan bahwa dirinya dan rekan-rekannya juga sangat menyadari stereotip negatif tentang pekerja Gen Z.
"Semua orang mengira kami malas, dan bahwa kami hanya ingin bekerja dari rumah, jadi kami juga bekerja keras untuk menentang anggapan itu."
Uniknya, mereka tidak selalu berharap kerja keras mereka membuahkan kenaikan gaji atau promosi, kata Richardson.
"Sementara sebagian besar tenaga kerja merasa bahwa mereka akan mendapatkan bonus atau kenaikan gaji, kaum muda tidak," katanya.
Riset ADP menunjukkan bahwa hanya 50% pekerja Gen Z yang mengharapkan kenaikan gaji di perusahaan mereka saat ini dalam 12 bulan ke depan, sedangkan sekitar dua pertiga dari sebagian besar kelompok usia lainnya sudah mengantisipasinya.
Hanya sepertiga yang berpikir mereka akan mendapatkan bonus.
'Dari jam 6 pagi sampai jam 9 malam'
Akan tetapi, rasa takut bukan satu-satunya motivator.
Bagi Jasmin, paparan konten-konten hustle-culture di media sosial telah memengaruhi pola pikirnya.
Di berbagai platform, misalnya TikTok, para pekerja muda berbicara tentang menyempatkan diri untuk bekerja '6-ke-9' sebelum memulai '9-ke-5', dan sering kali mereka mengerjakan usaha sampingan bersama pekerjaan penuh waktu.
Tren hiper-produktivitas ini berkontribusi pada motivasi Jasmin untuk sudah duduk di depan meja pada pukul 07:00.
"Jelas ada glamorisasi hiper-produktivitas, sebagian besar berasal dari fakta bahwa kaum muda mengenali potensi karier portofolio," kata Holliday.
"Anak-anak muda mengerjakan banyak usaha sampingan, yang semakin mendukung rasa kesibukan ini dan kerja terus-menerus pun menjadi suatu aspirasi."
Faktor lain yang menyebabkan jam kerja ekstra itu bisa jadi adalah hasrat mereka untuk bekerja untuk perusahaan yang etis atau punya tujuan, kata Richardson.
Banyak dari Gen-Z yang sangat peduli dengan topik-topik seperti keragaman dan inklusi, serta kesetaraan upah gender, dan mereka dengan senang hati bekerja keras untuk perusahaan yang memenuhi harapan ini.
"Banyak anak muda yang sangat optimis terhadap perbaikan dalam kesetaraan gaji serta keanekaragaman, kesetaraan dan inklusi (DEI) di perusahaan tempat mereka bekerja," tambahnya.
Jadi, sementara "mereka sangat siap untuk angkat kaki" jika perusahaan gagal memenuhi ekspektasi tersebut, mereka juga cukup bersemangat untuk bekerja keras bagi perusahaan yang tepat.
"Ada rasa optimisme dari kaum muda tentang kemajuan yang dicapai banyak perusahaan," tambah Richardson.
Risiko 'burnout'
Keinginan untuk bekerja lembur di kalangan Gen Z diperkirakan tidak akan berubah dalam waktu dekat, menurut Holliday.
"Dunia akan terus menjadi tempat yang dipenuhi kecemasan," ujarnya."Generasi ini, di samping menyadari manfaat dari keseimbangan kehidupan dan pekerjaan yang lebih baik, mereka juga dibesarkan di zaman kecemasan, yang berarti mereka bekerja lembur hanya dengan harapan untuk maju."
Masalahnya, kerja berjam-jam tanpa istirahat bukan strategi yang berkelanjutan, imbuhnya. Dan alih-alih karier yang cemerlang, Gen-Z malah bisa stres dan kelelahan kalau mereka tidak melambat.
Bagi beberapa pekerja muda, itu sudah terjadi. Penelitian menunjukkan banyak anak muda Gen Z mengalami kecemasan dan 'burnout' di tempat kerja, kesimpulan yang juga tercermin dalam penelitian ADP, yang menunjukkan bahwa pekerja muda lebih cenderung merasa stres daripada kelompok usia lainnya.
Data juga menunjukkan pekerja muda adalah kelompok yang paling mungkin merasa pekerjaan membuat mereka menderita karena tingkat stres yang tinggi dan kesehatan mental yang buruk.
"Rasa optimisme yang biasanya dimiliki kaum muda tentang pekerjaan juga disertai dengan kewaspadaan dan kehati-hatian," kata Richardson.
"Bagaimana nasib anak muda saat ekonomi melambat setelah krisis ekonomi yang besar ini akan mengganggu pikiran mereka juga."
Pada akhirnya, kata Holliday, para pekerja muda perlu menemukan cara untuk menahan diri jika mereka ingin menghindari dampak yang merugikan.
"Tapi butuh waktu dan banyak kesadaran diri … untuk bertanya, 'bagaimana saya akan mempertahankan etos kerja saya tetapi bekerja dengan cara yang lebih cerdas yang tidak menyebabkan burnout seiring waktu?'"
Bagi Jasmin, burnout adalah hal yang dikhawatirkannya, tetapi dia merasa dia menjadi lebih baik dalam menemukan keseimbangan kehidupan-pekerjaan yang lebih sehat.
Dia juga mengatakan tekanan yang pernah dia rasakan di masa lalu untuk melakukan begitu banyak pekerjaan membuatnya lelah.
"Tapi sekarang saya punya hubungan yang sangat baik dengan manajer saya yang mengatakan saya boleh meluangkan waktu, jika perlu.
Dan kalau saya mulai merasa burnout, saya juga tahu tanda-tandanya."
Namun sepenuhnya berhenti menghabiskan hari Minggu di Café Nero? Yah, itu masih terasa jauh, katanya. (*)
Tags : mahasiswa sambil bekerja, mahasiswa bekerja paroh waktu, mahasiswa bekerja memaksa diri ke Jurang kelelahan,