Headline Linkungan   2021/01/19 14:40 WIB

Sawit Indonesia Ditengah Konservasi, Isu Mencuat 'Hutan Lindung Terancam'

Sawit Indonesia Ditengah Konservasi, Isu Mencuat 'Hutan Lindung Terancam'

LINGKUNGAN - Saat ini rasanya tidak ada komoditas pertanian Indonesia yang lebih populer melebihi sawit. Tingginya produksi dan ekspor komoditas sawit, berhasil menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor sawit terbesar di dunia.

Hal ini tentu tidak mengherankan, karena dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, luas kebun sawit Indonesia telah berkembang pesat dari 2.9 juta Ha pada tahun 1997 hingga 16,3 juta Ha pada 2020. Status ini bukannya tanpa rintangan. Angin kontroversi yang menyertai popularitas itu berhembus sangat kencang.

Selama bertahun-tahun, Indonesia disebut sebagai negara perusak hutan tropis primer dan memusnahkan banyak keanekaragaman hayati akibat pembukaan kebun sawit Tudingan ini sudah pasti menyulitkan posisi Indonesia. Bagaimana tidak, Indonesia sampai saat ini masih saja berjuang melawan kebijakan Renewable Energy Directive II yang diberlakukan di negara-negara Eropa.

Mereka menganggap sawit sebagai komoditas high risk (bahan yang tidak berkelanjutan), sehingga tidak dapat digunakan sebagai bahan baku biofuel. Penggunaan minyak sawit akan dikurangi secara bertahap hingga habis sama sekali pada tahun 2030. Sebagai tujuan utama pasar sawit Indonesia, dikeluarkannya minyak sawit dari daftar minyak nabati yang dapat diperdagangkan di Eropa, jelas sangat merugikan.

Kebun sawit selama ini lebih banyak dikenal sebagai perkebunan monokultur yang tidak ramah terhadap keanekaragaman hayati. Citranya sebagai kebun monokultur seringkali membuat kebun sawit dinilai tidak dapat menampung biota lain, termasuk satwa liar. Sebagian hasil-hasil penelitian menunjukkan indikasi seperti itu. Namun ini tidak dapat disamaratakan untuk semua spesies, karena setiap spesies memiliki karakter bioekologinya masing-masing.

Jika ditilik lebih dalam, saat ini penelitian yang mengungkap asal usul lahan dan dampak kebun sawit terhadap satwa liar di Indonesia sudah cukup banyak dilakukan. Contohnya beberapa hasil penelitian sepanjang tahun 2017 hingga 2020 yang diterbitkan di beberapa publikasi ilmiah. Di tahun 2020 ini, Santosa dan tim dalam bukunya yang berjudul Sawit dan Deforestasi Hutan Tropika Indonesia serta International Journal of Oil Palm menyebutkan, lebih kurang 98 persen dari 23 perkebunan skala besar di enam provinsi di Indonesia bukan berasal dari kawasan hutan.

Selain itu, hampir 67 persen kebun sawit tersebut juga bukan berasal dari hutan primer melainkan dari lahan semak belukar, ladang, dan bekas kebun karet. Kebun sawit juga tidak bisa diklaim memusnahkan semua keanekaragaman hayati. Walaupun dapat menimbulkan dampak secara ekologis, namun dampaknya tidak seragam pada semua satwa liar.

Pada sebagian spesies dampaknya bisa negatif, yaitu mengurangi jumlah spesies di suatu wilayah atau dikenal sebagai biodiversity loss. Namun, pada sebagian lainnya justru positif yang ditandai dengan penambahan jenis spesies (biodiversity gain). Apa artinya? Dampak kebun sawit terhadap keanekaragaman hayati tidaklah seragam, tapi tergantung pada kelompok taksa satwanya.

Ini terungkap dari beberapa publikasi dalam Biodiversitas/Journal of Biological Diversity dan JMHT/Journal of Tropical Forest Management tahun 2018. Mengapa ini bisa terjadi? Sederhananya, ini ibarat sebuah mal dengan banyak pilihan outlet, dan setiap outlet punya segmennya masing-masing. Lansekap perkebunan sawit juga begitu. Heterogenitas habitat dalam satu hamparan ternyata punya fungsi uniknya masing-masing, namun saling melengkapi sebagai sebuah ekosistem. Walaupun penelitian-penelitian tersebut masih terus berkembang, namun hasilnya cukup memberikan jawaban awal atas kontroversi yang berkembang selama ini.

Jadi, apa yang perlu dilakukan selanjutnya?

Langkah Indonesia untuk mempertahankan komoditas sawit untuk mendukung program bioenergi B30, B100, bahkan greenfuel, perlu didukung. Apalagi, di tengah kompetisi global, upaya ini menunjukkan kuatnya keinginan Indonesia untuk mandiri di bidang energi. Selain juga mampu membuka kesempatan ekonomi bagi jutaan tenaga kerja. Jangan lupa, kemandirian energi atau bioenergi, penciptaan lapangan kerja, serta pengelolaan lingkungan hidup adalah bagian dari tujuan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals).

Pada saat yang sama, upaya konservasi di perkebunan sawit juga harus terus dioptimalkan. Dan upaya ini sebenarnya telah ditunjukkan melalui berbagai kebijakan. Salah satunya, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Kebun Sawit Berkelanjutan pada akhir 2019 yang lalu. Salah satunya pointnya adalah meningkatkan upaya konservasi keanekaragaman hayati dan lanskap perkebunan kelapa sawit.

Namun upaya tersebut tidak cukup sampai di situ. Daya ungkit dalam inovasi konservasi keanekaragaman hayati di kebun sawit masih sangat diperlukan. Tantangan-tantangan seperti bagaimana mendesain kebun sawit yang ramah lingkungan, bagaimana mengelola lansekap perkebunan sebagai bagian habitat bagi tumbuhan, satwa, dan biota penting lainnya, perlu dicarikan solusi terbaiknya.

Dan yang tidak kalah penting, diskursus dan konsep perkebunan sawit sebagai lansekap mosaik yang ”ternyata” juga kaya keanekaragaman hayati, sudah saatnya kita diskusikan dan desain dengan matang. Mengapa? Karena kepentingan kita terhadap sawit tidak saja semata kepentingan ekonomi, tapi juga tanggung jawab moral terhadap kelestarian lingkungan. Sebagai negara megabiodiversity, Indonesia berkomitmen menjaga kelestarian alamnya.

Jika komitmen ini didukung oleh banyak pihak, maka konservasi keanekaragaman hayati sejatinya tidak saja menyelamatkan trilyunan rupiah devisa negara dari perdagangan sawit, namun juga menyelamatkan kekayaan hayati Indonesia untuk generasi berikutnya.

Bencana ekologi

Sementara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai perluasan kebun sawit rentan terhadap bencana ekologis, ini terjadi disebutkan karena pemerintah salah dalam tata kelola Sumber Daya Alam (SDA). Direktur Eksekutif Walhi Riau, Riko mengatakan kondisi ekosistem Riau memiliki kesamaan dengan Kalimantan. Pihaknya mencatat ada dua ekosistem di Riau yang harus dijaga, pertama adalah gambut dan kedua Bukit Barisan.

Menurutnya, kawasan ekosistem saat ini sudah banyak beralih fungsi, baik karena aktifitas yang legal maupun ilegal. Kawasan yang telah beralih fungsi ini tentu harus dipulihkan kembali untuk menjaga ekosistem alam Riau. "Walhi mencatat ada 2,7 juta lahan gambut yang harus dipulihkan. Di lapangan upaya pemulihan berjalan lambat, begitu juga kawasan yang ada di hulu. Itu sudah banyak beralih fungsi ke tambang dan juga sawit. Ini sudah menjadi alih fungsi lahan yang luar biasa di lahan gambut dan mineral," katanya pada media, Selasa (19/1).

Benteng untuk terhindar dari bencana ekologis Riau saat ini telah hancur. Kondisi ini diakibatkan oleh hamparan lahan sawit ilegal yang diperkirakan seluas 1,2 juta hektare berada di ekosistem bernilai lindung. Menurutnya, untuk meminimalisir potensi terjadinya bencana di Riau, pemerintah harus segera memperbaiki ekosistem itu, katanya menggambarkan kondisi Riau.

Dia mengatakan, kawasan gambut juga harus dipulihkan dengan cepat, dan kawasan mineral yang sudah rusak karena aktifitas ilegal Pemprov Riau harus melakukan audit dan review kembali aktifitas yang ada di hulu Riau. "Yang dibutuhkan Riau sekarang adalah pemulihan dengan tanaman hutan yang akan menjadi benteng untuk menyelamatkan Riau dari bencana ekologis," ungkapnya. (*)

Tags : Kebun sawit, hutan primer, dan keanekaragaman hayati,