JAKARTA - Kasus penipuan dengan modus tawaran kerja di Kamboja yang marak terjadi disebabkan kurangnya edukasi publik dari pemerintah, menurut organisasi perlindungan buruh migran.
Ketua Pusat Studi Migrasi LSM Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan sindikat perdagangan manusia itu biasanya menyasar daerah yang tingkat penganggurannya tinggi, banyak pekerja migran, dan berusia produktif.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri dan KBRI masih berupaya membebaskan 53 WNI yang menjadi korban penipuan perusahaan investasi palsu di Sihanoukville, Kamboja.
Kasus penipuan dengan modus tawaran kerja seperti yang menimpa 53 WNI baru-baru ini, bukanlah yang pertama terjadi.
Pada 2021, KBRI Phnom Penh pernah menangani dan berhasil memulangkan 119 WNI korban penipuan tawaran kerja di perusahaan investasi bodong.
Di tahun 2022, kasus serupa semakin meningkat. Hingga Juli, tercatat ada 291 WNI menjadi korban penipuan dan 133 di antaranya dipulangkan ke Indonesia.
Ketua Pusat Studi Migrasi LSM Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan kejahatan itu termasuk tindak pidana perdagangan manusia.
Para sindikatnya, kata Anis, ada di banyak negara termasuk di Indonesia. Mereka memanfaatkan situasi pandemi Covid-19 yang membuat banyak orang kehilangan pekerjaan dan menawarkan kerja lewat media sosial, utamanya Facebook.
"Sindikat perdagangan manusia ini terorganisir dan calonya pasti ada juga di Indonesia," ujar Anis Hidayah seperti dirilis BBC News Indonesia, Jumat (29/7).
Pantauan Migrant Care, tawaran pekerjaan bodong itu berhamburan di Facebook. Jenis pekerjaan yang biasanya ditawarkan para sindikat itu antara lain di sektor informal seperti perhotelan.
Tapi kenyataannya, mereka bekerja di perusahaan investasi abal-abal atau judi online.
"Tawaran kerja di Facebook itu luar biasa banyak ada mungkin ratusan ribu. Dan betapa canggihnya jaringan ini membujuk rayu para korban dengan bahasa yang sangat meyakinkan," ujarnya.
Anis juga mengatakan, sindikat perdagangan manusia ini kerap menyasar daerah yang tingkat penganggurannya tinggi, banyak pekerja migran dan berusia produktif, serta minim akses informasi.
Seperti apa kerja sindikat penipuan ini?
Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) sesungguhnya pernah menggagalkan pengiriman enam calon pekerja migran ilegal ke Kamboja pada tahun 2020.
Berdasarkan pemeriksaan, mereka mengaku mendapat tawaran bekerja di Kamboja melalui kerabat dan dijanjikan gaji Rp4 juta dan uang makan US$250 dollar (Rp3,7 juta) setiap bulannya.
Media di Kamboja Khmer Times pada Maret 2022 melaporkan pihak berwenang di negara itu berhasil menyelamatkan 44 WNI setelah "diperdagangan layaknya ternak" oleh sindikat perjudian online China yang beroperasi di Sihanoukville dan Chrey Thum.
Untuk diketahui Sihanoukville adalah kota pelabuhan di selatan Kamboja dan menjadi lokasi favorit investor dari China. Tempat itu dikenal sebagai sarang perjudian -baik legal ataupun tidak- yang terorganisir.
Para WNI itu, menurut laporan tersebut, bekerja setidaknya 12 jam sehari dan sering menerima ancaman jika tidak mencapai target harian korban penipuan.
"Jika mereka gagal mencapai target minimum, hidup mereka serasa di neraka. Untuk keluar dari perusahaan, operator sindikat memaksa mereka atau keluarganya membayar US$3.000-5.000 (Rp44-74 juta) sebagai kompensasi membebaskan mereka."
Investigasi yang dilakukan Thomson Reuters Foundation pada September tahun 2021 menemukan pekerja asing dan turis yang terdampar di Kamboja akibat pandemi Covid-19 dipekerjakan oleh sindikat penipuan online yang dikelola orang China.
Para korban sebagian besar berasal dari Afrika dan Asia.
Cara kerja sindikat itu yakni para korban diperintahkan membuat akun profil palsu di Tinder, WhatsApp, dan Facebook. Tujuannya untuk mengajak bergabung dalam skema investasi bodong yang menggunakan mata uang kripto, valuta asing, dan saham.
Mengapa terjadi berulang kali?
Untuk memberangus kasus penipuan ini, Kemenlu dan Bareskrim Polri telah melakukan penyelidikan di Kamboja guna menindak para perekrut.
Tapi menurut Ketua Pusat Studi Migrasi LSM Migrant Care, Anis Hidayah, itu saja tidak cukup.
Pemerintah, katanya, perlu menggencarkan kembali upaya edukasi tentang migrasi yang aman dan ciri-ciri kejahatan perdagangan manusia yang selama ini terhenti akibat pandemi Covid-19.
"Karena berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran pasal 41 memandatkan desa harus memiliki upaya-upaya pemberian informasi kepada masyarakat. Nah ini belum optimal," tukasnya.
Selain itu, pemerintah atau tim siber di Kominfo dan Polri harus gencar menangkis bahkan kalau perlu menutup akun-akun lowongan kerja yang tak resmi di media sosial seperti Facebook.
"Akun-akun ini kan bisa dilihat dan dipantau karena orangnya bisa diidentifikasi. Yang saya perhatikan upaya meng-counter akun-akun itu masih minim dilakukan."
Persoalan lain, menurut Anis, pihak Ditjen Imigrasi harus mengontrol anak buahnya di lapangan. Sebab ia menduga, lolosnya para korban sindikat ini tak lepas dari adanya keterlibatan oknum petugas imigrasi.
"Petugas imigrasi ini mestinya pengontrol terakhir, tapi selama ini mereka hampir diam. Dugaan kuat mereka jadi bagian. Nah bagaimana diusut oknum-oknum ini. Hal itu hampir enggak pernah dilakukan di Indonesia". (*)
Tags : WNI Terjebak di Kamboja, Ulah Sindikat Terorganisir, Hukum, Hukrim,