PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Seiring dengan kenaikan harga-harga bahan pokok sejak saat Ramadan dan Idulfitri, banyak warga masyarakat mengaku pendapatan mereka sulit mengimbangi harga-harga yang menjulang.
Sedangkan sejumlah pedagang di beberapa daerah mengeluh karena dagangannya sepi pembeli. Kondisi tersebut berbeda dengan Lebaran pada tahun-tahun sebelumnya yang disebut mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Mamah Tety, 47, warga Pekanbaru mengaku tahun ini memutuskan tidak mudik untuk bertemu keluarganya di Sumatera Barat karena tabungannya tidak cukup untuk pulang ke kampung halaman.
Pada saat libur Lebaran, perempuan ibu ruah tangga itu pergi ke Pasar dibilangan Jalan Tuanku Tambusai.
Namun, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya ketika ia membeli banyak baju dan oleh-oleh untuk keluarganya, kini ia hanya membeli satu baju dan topi untuk dirinya sendiri.
“Semua barang sekarang mahal dan pemasukan saya malah menurun. Jadi bagaimana mau belanja?” keluh Tety.
Ia merasa sedih karena tidak bisa berkumpul bersama keluarganya pendapatan suaminya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang melonjak naik bahkan sejak Februari awal.
Pemerhati Sosial, Drs Lelo Ali Ritonga, mengatakan konsumsi masyarakat pada periode pasca-Lebaran biasanya mendatangkan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dibandingkan periode sebelumnya.
Namun pada Lebaran kali ini, Ia memperkirakan konsumsi masyarakat menurun sehingga pertumbuhan ekonomi akan lebih kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Ritonga mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi pasca-Lebaran tahun ini boleh jadi merupakan yang paling rendah dalam lima tahun terakhir - jika tidak memperhitungkan periode Covid-19, ketika pertumbuhan ekonomi berada di angka minus.
“Kalau [pertumbuhan ekonomi] hanya 5% atau lebih rendah, bisa disebut lebih buruk daripada masa sebelum Covid,” kata dia.
Meski Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Ahmed Zaki Iskandar, memproyeksikan pergerakan ekonomi selama periode mudik Lebaran dapat mencapai Rp386 triliun, Ritonga merasa target itu tidak akan tercapai.
Sebab, saat masyarakat melakukan mudik ke daerah asal, tabungan mereka tidak cukup untuk belanja Lebaran.
“Karena sudah tertekan daya belinya, ini yang menurut saya mereka akan mengerem [untuk berbelanja], karena uangnya sudah habis duluan di awal,” ujar Ritonga pada Kamis (12/04).
Menurut data dari Badan Pusat Statistik, inflasi pada Maret 2024 mencapai 3,05%.
Meskipun masih lebih rendah dibandingkan dari periode yang sama tahun lalu, yakni 4%, namun kenaikan harga terbesar terjadi pada sektor makanan dan minuman.
“Makanan itu sudah di 8% sekarang. Dan ini juga trennya sudah naik sejak Februari, trennya untuk makanan, minuman dan tembakau itu di 7,2%. Tahun lalu itu di 6%, ini salah satu indikasinya,” jelas dia.
“Jadi uang masyarakat ini justru "makan tabungan". Mereka THR-nya banyak, bukannya dibawa ke daerah tapi malah dihabiskan misalnya untuk makanan, minuman karena harganya terlampau tinggi,” tambahnya.
Pedagang: ‘Harusnya omzet tinggi, tapi duit susah‘
Sehari setelah Lebaran, banyak toko pada tutup. Deretan yang biasa dipenuhi penjual makanan seperti es cendol, bakso, gorengan, dan nasi goreng kini tinggal terpal yang menutupi gerobak-gerobak.
Berjalan lebih jauh ke dalam, terdapat tenda berisi pendagang-pedagang baju yang berpindah dari gedung utama ke lokasi parkir untuk mencoba memikat para pengunjung membelanjakan uang THR mereka.
Meski ada beberapa pengunjung, tidak banyak yang membeli lebih dari satu atau dua barang. Sebagian besar hanya melihat-lihat saja.
“Hei belanjaaa!!“ teriak seorang pedagang baju kepada para pengunjung yang hanya lewat dan melirik barang dagangan mereka. Suaranya terdengar nyaring di tengah suara penjual-penjual lain yang berusaha menarik pembeli ke kios mereka.
Mamah Tety menghampiri sebuah toko baju dan memilih satu baju bercorak bunga-bunga. Sang penjual mencoba menawarkan dua atau tiga potong lagi tapi ia hanya membeli satu yang dipilihnya.
“Saya hanya beli satu baju dan satu topi. Iseng saja lihat-lihat sini,“ kata dia, seraya mengaku tidak banyak belanja pada Lebaran kali ini karena barang-barang serba mahal.
Beni, 41, pemilik toko baju tempat Tety belanja, menghela napas sambil melihat para pengunjung yang hanya melewati tokonya.
Ia mengatakan pada Lebaran kali ini, tokonya sepi pengunjung. Hal ini terlihat jelas dari omzetnya yang jatuh drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
”Tahun lalu lebih tinggi, bisa sampai Rp15 juta [per hari],” tutur Beni.
Kini, omzetnya saat Lebaran hanya berada di kisaran Rp2 juta sampai Rp5 juta. Ia mengaku kaget karena biasanya musim Lebaran mendatangkan banyak pengunjung.
”Perasaan kami akan tinggi [pendapatan] seharusnya Lebaran tahun ini. Tapi memang keadaannya begini. Memang lagi susah duit,” ungkap Beni.
‘Harga-harga bahan pokok naik terus’
Iis, 50, seorang pegawai perusahaan swasta, pergi ke Pasar Kodim bersama putranya yang baru akan mulai bersekolah di pesantren.
Ia datang ke salah satu kios penjual celana bahan dan membiarkan putranya melihat-lihat.
Sama seperti Mamah Tety, ia tidak mudik untuk Lebaran tahun ini. Namun, alasan Iis adalah karena ia kehabisan tiket pulang ke Tanjung Pinang, daerah asalnya.
Meskipun tidakpulag kampung, ia tetap rela. Bersama anaknya pergi ke pasar mencari peralatan bagi anaknya yang akan memulai jenjang SMP.
Ia mengaku hanya datang ke pasar untuk membeli celana. Ini jarang sekali ia lakukan karena biasanya ia lebih memfokuskan anggarannya untuk membeli kebutuhan pokok.
”Karena keperluan kami banyak, jadi kami lebih mementingkan keperluan daripada baju.
”Semua harga naik, apalagi beras dan minyak. Ya biasa lah, apa-apa naik. Biarpun naik, kebutuhan pokok harus dibeli,” ujar Iis.
Setelah selesai membeli celana, Iis dan anaknya pergi ke gerobak mie ayam bakso yang dimiliki oleh Suwati, 47, yang sedang melakukan panggilan video bersama ibunya untuk mengucapkan selamat Idulfitri.
Suwati mengatakan bahwa baru ada sedikit pengunjung yang datang membeli mie ayamnya. Bahkan pada hari Lebaran, ia hanya mendapatkan setengah dari omzet yang biasa ia dapat.
“Dibandingkan tahun lalu sama sekarang lebih ramai tahun lalu. Omzet tahun ini sehari paling Rp500.000 sampai Rp1 juta. Dua tahun lalu lebih ramai, bisa dapat Rp1,5 juta sampai Rp2 juta,” ujar Suwati.
Setelah menyiapkan mie ayam bakso kepada Iis, kedua perempuan itu mulai membicarakan kenaikan harga-harga bahan pokok rumah tangga.
"Ini belanjaan pada naik, ayam, bawang, cabe naik. Cabe kemarin Rp60 [ribu], padahal sehari besoknya naik lagi. Bawang putih mahal. Bumbu lain naik, ayam juga naik," keluhnya.
Pedagang Pasar Kodim: ‘Tidak ada perbedaan signifikan’
Ketua DPD Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia [APPSI] Kota Pekanbaru Ida Yulita Susanti, SH., MH, mengatakan Pasar ramai pengunjung seminggu menjelang Lebaran.
“Iya, macet menjelang Lebaran, banyak pengunjung yang datang ke pasar ini. Jalan utama menuju pasar dimanfaatkan oleh parkir. Jadi tinggal satu lajur menuju Pasar,” kata Yulita Susanti.
Namun, saat ditanya mengenai omzet tahun ini dibandingkan Lebaran tahun-tahun sebelumnya, Yulita Susanti mengatakan bahwa ia dan kebanyakan rekan-rekan pedagangnya tidak melihat ada perbedaan jauh.
“Tidak ada perbedaan signifikan. Mungkin hampir sama [dengan tahun-tahun lalu], kemarin sempat ada geliatnya menjelang Ramadan atau sebelum Ramadan. Lumayan buat nutup biaya operasional dan belanja Lebaran,” ungkapnya.
Pedagang pasar umumnya khawatir dagangan busuk karena tidak dibeli.
Beberapa pedagang yang tetap memilih berjualan saat Lebaran mengaku stok dagangan mereka masih banyak.
"Kalau tidak dijual hari ini nanti bisa busuk dan tidak bisa dijual lagi," kata Yanti, pedagang pasar Kodim.
Menurutnya, Lebaran tahun ini jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal itu karena minat beli masyarakat yang jauh berkurang dibandingkan tahun lalu.
"Tahun lalu, jam 10.00 atau 11.00-an semua dagangan saya sudah habis. Saat ini saya baru satu orang yang membeli buah alpukat ini," katanya.
Ia mengatakan kurangnya minat masyarakat untuk membeli buah menurun akibat mahalnya harga bahan pokok yang harus dipenuhi masyarakat terlebih dahulu.
Menurut Yanti, berkurangnya minat beli masyarakat tidak hanya terjadi saat Lebaran saja, tapi sejak awal Ramadan.
"Saat bulan puasa juga keadaannya sudah seperti ini. Pendapatan saya sangat jauh berkurang. Bahkan, untuk pulang modal saja susah," lanjutnya.
Hal serupa dialami oleh Mayang, 34, seorang pedagang sayur. Ia menyatakan bahwa minat beli masyarakat jauh berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya karena harga bahan pangan yang semakin melonjak naik.
"Tomat saja harganya saat ini Rp24.000 per kilogramnya. Biasanya hanya Rp12.000," ungkapnya.
Karena kenaikan harga yang cukup tinggi tersebut, Mayang merasa masyarakat tidak mau membeli dengan jumlah yang banyak dan ada kemungkinan mengurangi jumlah konsumsi.
Ia mengatakan bahwa kenaikan harga bahan pokok seperti cabai hingga beras sangat menyulitkan masyarakat, terlebih saat Idulfitri saat ini.
"Biasanya membuat lontong dengan beras [membutuhkan] empat sampai lima kilogram, saat ini hanya bikin tiga kilogram saja. Untuk gulainya juga dikurangi seperti cabainya," katanya.
THR tidak cukup untuk menutup kebutuhan Lebaran
Ita, 31, ibu rumah tangga, warga Marpoyan Damai, menuturkan bahwa belanja untuk Lebaran tahun ini terpaksa harus dia tekan, karena pendapatan menurun.
Ita, yang dua tahun lalu sempat bekerja sebagai pekerja migran di Taiwan, saat itu masih sanggup belanja Lebaran bagi keluarganya.
Namun, usai kembali dari Taiwan dan tidak bekerja lagi, kondisi keuangannya membuatnya harus menyesuaikan anggarannya.
"Sekarang saya sudah kembali ke Indonesia, pendapatan keluarga enggak sebesar saya masih di sana. Otomatis belanja untuk Lebaran ini disesuaikan sesuai kebutuhan utama saja," ucap Ita.
Untuk acara Lebaran keluarganya, Ita mengatakan ia membutuhkan setidaknya sekitar Rp3 juta. Uang itu sudah mencakup bahan masakan meriah, kue Lebaran, baju Lebaran untuk anak-anak dan keponakan serta pemberian kepada orang tua.
"Suami saya kerja di bengkel motor dengan upah di bawah Rp3 juta. Plus THR yang didapat sebenarnya mepet dengan kebutuhan Lebaran sampai sebulan. Tapi alhamdulillah tergolong masih cukup," katanya.
Sementara, Sutrisno, 48, seorang pedagang bakso di Kelurahan Sidomulio Timur juga mengeluhkan omzet jatuh hingga 50% lebih dalam dua tahun terakhir.
"Saya rasa sehabis Covid normal sampai sekarang. Artinya, menurunnya luar biasa, separuh lebih. Omzet dibanding tahun-tahun sebelumnya, saya rasa jauh. Tapi kayaknya [yang mengalami kondisi ini] bukan saya sendiri," kata Sutrisno.
Bagi pedagang bakso di daerah ini, apalagi pada momen Lebaran biasanya menjadi kesempatan emas untuk mendapatkan penghasilan lebih dibandingkan hari-hari biasa.
Namun sayangnya, setelah pandemi Covid-19 sampai sekarang, kondisinya belum pulih juga.
"Lebaran rata-rata omzet bisa mencapai sekitar Rp5 juta per hari. Pada 2022 dan 2023 kemarin dapatnya Rp2 juta saja. Pernah sehari dapatnya hanya tiga porsi-lima porsi saja sehari," kata Sutrisno.
'Daya beli masyarakat tertekan inflasi'
Tetapi kembali seperti disebutkan Lelo Ali Ritonga, bahwa pada Lebaran tahun ini daya beli masyarakat tertekan oleh kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, khususnya makanan, minuman, dan transportasi.
Sehingga, saat masyarakat melakukan mudik ke daerah asal pun, tabungan mereka tidak cukup untuk belanja Lebaran.
“Karena sudah tertekan daya belinya, ini yang menurut saya mereka akan mengerem [untuk berbelanja], karena uangnya sudah habis duluan di awal,” ujar Ritonga.
Ritonga menjelaskan meskipun mayoritas masyarakat sudah menerima tunjangan hari raya (THR) sepenuhnya, uang yang biasanya mereka gunakan untuk berbelanja ria selama libur Lebaran, kini uang itu digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Meskipun tahun ini Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan memperkirakan sekitar 71,7% penduduk Indonesia akan melakukan mobilitas selama Lebaran 2024, meningkat dari tahun 2023 sebesar 45,%, Ritonga mengatakan hal itu tidak bisa menjamin kenaikan dalam konsumsi masyarakat.
“Kalau kami melihat mengapa saat mudik tinggi, kalau dari kacamata ekonomi, mereka bisa jadi tidak memiliki uang tapi yang penting pulang kampung, kalau mereka bisa berutang mereka akan berutang,” kata Ritonga. (*)
Tags : Muslim, Keuangan pribadi, Ekonomi, Inflasi, Masyarakat, Gaya hidup, Ramadan, Biaya hidup,