Pendidikan   2023/05/02 22:48 WIB

Sejumlah Akademisi Menggalang Kekuatan dan Menyerukan, 'dengan Protes Peraturan Menteri yang Sarat Beban Administrasi'

Sejumlah Akademisi Menggalang Kekuatan dan Menyerukan, 'dengan Protes Peraturan Menteri yang Sarat Beban Administrasi'
Sejumlah dosen melakukan unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Maret lalu menyatakan keprihatinan atas sikap pemerintah yang tidak serius dalam mengakomodir status kepegawaian para dosen dan tenaga kependidikan (tendik). 

JAKARTA - Para akademisi yang tergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyerukan agar dosen membentuk serikat. Mereka menekankan bahwa dosen juga adalah buruh.

Pembentukan serikat dianggap perlu untuk meningkatkan daya tawar dosen serta pekerja kampus lainnya dalam menghadapi berbagai masalah bersama, mulai dari persoalan kesejahteraan sampai kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan dosen.

Menurut Koordinator KIKA, Satria Unggul, daya tawar dan kesejahteraan dosen berkaitan dengan kualitas pendidikan tinggi.

"Sepanjang kesejahteraan, nasib, daya tawar dosen [dan] pekerja kampus itu tidak membaik. KIKA merasa, langsung maupun tidak langsung, efeknya ini sangat besar pada kualitas akademik perguruan tinggi kita," ujarnya.

Seruan untuk membentuk serikat dosen kian nyaring menyusul berlakunya Peraturan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Nomor. 1 Tahun 2023 tentang jabatan fungsional. 

Peraturan tersebut dianggap telah membebani dosen dengan banyak tugas administratif.

Menteri PANRB Abdullah Azwar Annas mengatakan ia tidak bermaksud merepotkan dosen dengan peraturan tersebut.

Ia telah mengundang sejumlah dosen dan pimpinan perguruan tinggi untuk meminta masukan soal tata kelola jabatan fungsional dosen.

'Dosen juga buruh'

Satria menegaskan bahwa dosen bisa disebut sebagai buruh. Menurut UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

“Sepanjang bukan pemilik kampus, secara definisi di UU Ketenagakerjaan, kita juga buruh, kita juga pekerja,” ujar dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya itu.

Satria menjelaskan tujuan dibentuknya serikat antara lain memperjuangkan kesejahteraan dosen.

Menurutnya, posisi dosen dan tenaga kependidikan (TKP) menjadi rentan ketika perguruan tinggi menganggap pekerjaan mereka dilakukan atas dasar pengabdian sehingga daya tawar mereka di dalam kontrak kerja rendah.

“Ketika dosen digaji rendah, kesejahteraan minim, daya tawar untuk jenjang karier-nya juga rendah banyak yang memilih jalan untuk 'ngamen' - ngajar ke sana ke mari, cari proyek di luar, dan sebagainya. Itu mengorbankan masa depan nasib pendidikan tinggi kita," kata Satria.

Selain itu, adanya serikat juga membantu dosen memperjuangkan hak mereka ketika pimpinan perguruan tinggi bertindak semena-mena.

Contohnya pada kasus PHK empat dosen secara sepihak dan skorsing satu dosen di Universitas Proklamasi 45 (UP45) Yogyakarta setelah mereka mengkritik rektor dan yayasan.

“Maka penting serikat dosen, serikat pekerja kampus ini dalam rangka meningkatkan daya tawar, dalam rangka biar kampus enggak semena-mena," kata Satria.

Seruan untuk berserikat tidak hanya disampaikan kepada dosen, tetapi kepada pekerja kampus lainnya seperti laboran dan asisten peneliti.

KIKA tengah berkonsolidasi untuk membentuk Koordinator Nasional Serikat Pekerja Kampus.

Mereka menjadikan serikat pekerja kampus di Universitas Indonesia (UI) sebagai contoh, berharap bisa mereplikasinya di perguruan-perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

Seruan untuk berserikat ditekankan kepada dosen menyusul terbitnya Permen PANRB no. 1 tahun 2023.

Peraturan tersebut menerapkan sistem baru untuk penghitungan angka kredit guna kepentingan kenaikan jabatan, dan berlaku untuk dosen ASN maupun non-ASN.

Ketika diberlakukan pada pertengahan April lalu, para dosen diharuskan menginput secara manual data Tridarma penilaian angka kredit ke dalam sistem yang baru dalam tenggat waktu yang sangat sempit yaitu tanggal 15 April.

Jika tenggat waktu tidak dipenuhi, angka kredit yang sudah dikumpulkan bertahun-tahun terancam hangus.

Kebijakan ini dianggap membebani dosen dengan banyak tugas administratif. Sebuah petisi di change.org yang menuntut pembatalan kebijakan ini telah ditandatangani lebih dari 12.000 orang.

“Beban administratif yang menimpa dosen Indonesia semakin tidak masuk akal. Jika dibiarkan, mutu dosen dan pendidikan tinggi akan terus merosot,” kata Benny Setianto, dosen di Universitas Katolik Soegijapranata, yang menginisasi petisi tersebut.

Menyusul protes keras, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Diktiristek, Kemendikbudristek, Nizam, mengeluarkan surat edaran yang membatalkan tenggat waktu tersebut dan berjanji akan mengatur ulang mekanisme karier dosen.

KIKA menyoroti bahwa Permen PANRB no. 1 tahun 2023 adalah peraturan model “omnibus”, yang menyatukan semua ASN termasuk ASN di Kemendikbudristek. Dosen yang bukan ASN pun ikut diatur karena berada di bawah Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LL Dikti).

Menurut KIKA, problem mendasar dari peraturan tersebut ialah menyeragamkan aspek birokrasi. Penilaian angka kredit antara dosen dengan pegawai ASN lainnya sangat berbeda.

“Permen PANRB yang menggunakan metode ‘omnibus’ menimbulkan ketidakadilan bagi dosen karena menyamakan sesuatu yang seharusnya berbeda,” kata Satria.

Proses pembuatan peraturan tersebut juga dituding tidak transparan dan tanpa partisipasi yang berarti dari dosen.

Satria mengatakan, KIKA berencana menghubungi Ombudsman dan Komisi Informasi Publik untuk meminta transparansi dari Kemen PANRB dalam pembuatan regulasi ini serta mempersiapkan judicial review Mahkamah Konstitusi.

Juru bicara Kemen PANRB Muhammad Averrouce memberikan tautan ke rilis pers tentang pertemuan Menteri PANRB Abdullah Azwar Anas dengan sejumlah dosen dan pimpinan perguruan tinggi, mengaku dalam pertemuan tersebut, Menteri Anas mengatakan peraturan tata kelola jabatan fungsional dosen akan dibuat tersendiri sebagai tindak lanjut dari Permen PANRB Nomor. 1 Tahun 2023.

Ia juga mengatakan telah menerima masukan dari Kemendikbudristek sebagai instansi pembina dari jabatan fungsional (JF) dosen, dan meminta masukan dari para dosen.

“Akan ada beberapa putaran lagi untuk diskusinya. Kami juga menugaskan deputi terkait untuk mempelajari best practices di sejumlah negara. Juga menjadikan analisis-analisis yang banyak ditulis para dosen terkait ini sebagai masukan,” ujar Muhammad Averrouce, Kamis lalu (27/04).

Perihal beban administrasi pelaporan angka kredit, Anas mengatakan Permen PANRB No. 1/2023 “telah disusun dengan semangat penyederhanaan dan fleksibilitas untuk memudahkan ASN fokus pada kinerja dan tujuan organisasinya, sehingga tidak lagi rumit mengisi administrasi pelaporan kinerja.”

Pengamat minta pemerintah tinjau ulang

Pengamat kebijakan pendidikan, Cecep Darmawan, meminta Menteri PANRB meninjau ulang tata kelola karier dosen.

Ia menilai selama ini dosen terlalu diurus secara birokratik. Padahal, perguruan tinggi tidak bisa disamakan dengan institusi negara lain seperti Kementerian atau Pemerintah Daerah.

Menurut guru besar ilmu politik di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) itu, kebijakan terkait perguruan tinggi seharusnya mengarah pada perkembangan otonomi.

“Harusnya entitas dosen itu walaupun dia PNS atau ASN jangan diperlakukan sama seperti PNS lainnya. Dia lex specialis karena tadi dia punya misi yang mulia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa di mana ada Tridarma perguruan tinggi,” ujarnya.

Oleh karena itu, ia menyarankan supaya penilaian kinerja dosen diatur oleh Kementerian yang menanganinya yaitu Kemendikbud-Ristek.

“Kemen PANRB mengatur secara generik lah ya, tapi spesialisasi atau lex specialis-nya serahkan ke Kementerian masing masing, termasuk pengelolaan soal bagaimana jabatan fungsional dosen,” ia menambahkan.

Ubaid Matraji dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengatakan selama ini banyak dosen yang tidak mampu melakukan advokasi untuk dirinya sendiri dan hanya mengikuti aturan.

"Jadi dosen merasa dirinya terbelenggu oleh banyaknya aturan yang justru aturan itu merepotkan dosen," ujarnya.

Menurut Ubaid, selama ini sudah ada beberapa serikat dosen namun sifatnya sporadis dan belum banyak berkontribusi pada nasib dosen secara umum.

Bagaimanapun, ia memberi catatan bahwa serikat dosen juga harus berusaha meningkatkan kualitas kompetensi dosen. Ia mengamati serikat-serikat selama ini masih lebih banyak mencurahkan energi untuk memperjuangkan hak-hak dan meningkatkan kesejahteraan.

Ubaid mengatakan, dampak dari pembentukan serikat dosen akan dirasakan secara luas ketika mereka tidak hanya fokus pada memperjuangkan hak tapi juga meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

"Jadi serikat dosen ini harus mampu men-trigger, men-support, mendukung, mengembangkan, menguatkan anggotanya untuk menjadi lebih berkualitas untuk berkembang dan seterusnya. Sehingga kalau ini yang terjadi, maka akan ada perubahan besar terhadap kualitas pendidikan di Indonesia."

Wakil Ketua Komisi X DPR-RI Dede Yusuf mengatakan pihaknya melalui panitia kerja perguruan tinggi sudah mengamanatkan kepada Kemendikbudristek untuk mengurangi beban kerja administrasi dosen sehingga dosen bisa lebih fokus pada kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

“Sementara mengenai PermenPAN RB No.1 tahun 2023, sebaiknya pada masa sidang depan ini akan kita agendakan raker (rapat kerja) bersama antara Kemendikbudristek dan KemenPAN RB karena memang menjadi permasalahan di kampus,” ujarnya. (*)

Tags : akademisi, dosen universitas, akademis menggalang kekuatan, akademis protes peraturan menteri, perturan menteri sarat beban administrasi, pendidikan,