JAKARTA - Sejumlah menteri disebut dalam proses penyidikan dugaan kasus korupsi, di antaranya berlatar belakang parpol, sehingga kabinet mendatang disarankan diisi kalangan profesional.
"Kementerian-kementerian tertentu, apalagi yang bersifat strategis itu diisi oleh profesional, karena kalau dia hanya orang yang ditempatkan karena jabatan dari partai politiknya itu, bisa jadi, itu belum tentu orang yang berkompetensi," ungkap peneliti ICW Lalola Easter kepada wartawan, Senin (29/04).
Pernyataan ICW ini menanggapi terungkapnya sejumlah menteri yang disebut dalam perkara penanganan dugaan kasus korupsi pleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tidak kurang dari empat menteri berlatar belakang partai politik sejauh ini dilaporkan terlibat, mulai dari proses penyidikan hingga persidangan.
Keempatnya adalah Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam kasus jual-beli jabatan di Kemenag.
Lalu terungkap pula sosok Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), terkait kasus suap dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Dan belakangan, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, ketua umum Partai Golkar, dalam kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
Serta, terungkap pula nama Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dari Partai Nasdem, yang namanya disebut dalam kasus suap dan gratifikasi dengan tersangka anggota DPR Bowo Sidik Pangarso.
Nama Enggartiasto sendiri disebut oleh Bowo dalam proses penyidikan, di mana ia disebut sebagai salah satu pihak yang memberikan gratifikasi kepada Bowo.
Pada hari Senin (29/04), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Enggar di Kementerian Perdagangan dan mengamankan sejumlah dokumen.
"Kan disampaikan salah satunya uangnya dari sana, ya kita dalami barangkali ada keterkaitannya, barangkali yang disampaikan itu betul," ujar ketua KPK Agus Rahardjo, seperti dilaporkan oleh sejumlah media di Indonesia.
Sementara itu, Enggar membantah adanya transaksi tersebut.
"Dari saya yakin betul nggak ada [memberikan uang]. Dia dari Golkar, saya dari Nasdem," ungkapnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (29/04).
Sementara itu, lembaga nirlaba Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat terjadinya peningkatan jumlah pelaku korupsi dari kalangan kementerian dan lembaga.
Dalam laporan lengkap terkait Tren Vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tahun 2018, sepanjang tahun 2016 dan 2017, ICW hanya mencatat delapan pihak yang terlibat kasus korupsi.
Angka itu bertambah berkali-kali lipat pada tahun 2018 hingga 52 pelaku, menurut ICW.
ICW lantas mendorong presiden yang nantinya terpilih untuk mengisi pos-pos menteri strategis dengan sosok profesional.
"Kementerian-kementerian tertentu, apalagi yang bersifat strategis itu diisi oleh profesional, karena kalau dia hanya orang yang ditempatkan karena jabatan dari partai politiknya itu, bisa jadi, itu belum tentu orang yang berkompetensi," ungkap peneliti ICW Lalola Easter lagi.
Di luar keempat menteri Kabinet Kerja yang tengah terseret dalam pusaran kasus korupsi, satu mantan menteri di kabinet yang sama telah lebih dulu dibui dalam kasus lainnya.
Mantan menteri sosial sekaligus mantan sekretaris jenderal Partai Golkar Idrus Marham dinyatakan terbukti menerima suap bersama-sama Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, Eni Maulani Saragih. Pemberian uang itu terkait proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
KPK lantas menduga terdapat aliran dana untuk pembiayaan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar 2017 dari suap tersebut. Tuduhan itu dibantah DPP Partai Golkar.
Berkaca pada kasus Idrus, peneliti ICW Lalola Easter menilai kasus korupsi yang dilakoni menteri asal parpol memiliki sumber masalah yang sama.
"Dari beberapa kali ICW melakukan riset, itu banyak berkaitan dengan pendanaan kampanye dan juga bagaimana tata kelola keuangan di internal partai politik itu sendiri," ujar Lola.
Menurutnya, menteri asal parpol memiliki peran ganda. Tidak hanya bertugas menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai pembantu presiden, tetapi juga tetap bertanggung jawab terhadap partai tempatnya bernaung.
"Oke lah, menteri tidak berkampanye, dia tak dalam konteks kontestasi, tapi dia juga punya peran sebagai anggota partai politik [yang] harus cari uang agar roda partainya bisa terus berjalan," tuturnya. "Itu kan sebetulnya saling berkaitan."
Untuk itu, Lola mendorong presiden terpilih nantinya memilih sosok profesional untuk mengisi pos-pos kementerian dan lembaga yang strategis. Namun para profesional juga harus dipastikan ketidakberpihakannya.
"Bagaimana kemudian menentukan apakah orang-orang profesional ini juga tidak ada afiliasi dengan parpol tertentu atau politisi tertentu, meskipun, kalau saya berpandangan, kalau profesional, dia lebih terukur," ujarnya.
"Artinya kan dia pasti sudah punya latar belakang atau rekam jejak yang lebih jelas dibandingkan kalau politisi."
Partai Demokrat, yang dua anggota sekaligus menterinya pada masa pemerintahan SBY dibui akibat terjerat kasus korupsi (Jero Wacik dan Andi Mallarangeng), mengamini pendapat ICW.
"Memang beberapa portofolio [posisi menteri dan kepala lembaga] itu sangat tepat kalau diisi oleh profesional, terutama yang berkaitan dengan [penegakkan] hukum," ungkap ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsudin melalui sambungan telepon, Senin (29/04).
Meski demikian, Amir tidak sepakat bila menteri dari parpol dianggap kerap bermasalah.
"Saya juga tidak setuju kalau aktivis partai itu selalu dianggap lebih kurang integritas pengabdiannya dibandingkan dengan para profesional," tuturnya.
Menurut Amir, masalah korupsi tidak hanya membelit menteri parpol, akan tetapi juga menteri dari kalangan profesional.
Pada masa Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, menteri dari kalangan profesional yang terjerembap dalam kasus korupsi adalah mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari.
Ia divonis empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan, setelah dinyatakan bersalah menyalahgunakan wewenang dalam kegiatan pengadaan alat kesehatan guna mengantisipasi kejadian luar biasa (KLB) tahun 2005.
"Saya kira tidak terlalu adil kalau kemudian kita memberi garis tebal bahwa hanya profesional lah yang paling layak dan dapat dipercaya untuk mengemban suatu jabatan," tukas Amir.
Sementara itu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai salah satu partai yang dua kader sekaligus menterinya juga sama-sama dipenjara akibat kasus korupsi (mantan Menteri Agama Suryadharma Ali dan mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah) belum berhasil dihubungi untuk dimintai pendapatnya terkait turut terseretnya Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam kasus jual-beli jabatan saat ini.
Dalam dua masa kepresidenan terakhir -- Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo -- setidaknya enam mantan menteri divonis bersalah dalam kasus tindak pidana korupsi ketika mereka masih menjabat.
Di antaranya, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali yang tengah menjalani masa hukuman 10 tahun penjara setelah terbukti korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun anggaran 2010-2011 dan 2012-2013 serta bersalah telah menyalahgunakan wewenang terkait penggunaan dana operasional menteri (DOM) tahun 2011-2014; mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik yang divonis bersalah dalam kasus korupsi di lingkungan Kementerian ESDM, penggunaan dana operasional menteri saat menjabat menteri Kebudayaan dan Pariwisata, serta penerimaan gratifikasi.
Selain keduanya, juga ada mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, dan yang terbaru, mantan menteri sosial dalam Kabinet Kerja, Idrus Marham.
Dari enam orang itu, lima di antaranya merupakan menteri dengan latar belakang partai politik.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang berpendapat, latar belakang menteri, entah dari partai politik atau kalangan profesional, tidak bisa dijadikan tolok ukur potensi korupsi yang mungkin dilakukan sang menteri.
"Bila dikaitkan dengan profesionalisme, menteri asal parpol, mereka juga sesungguhnya banyak yang profesional dan tidak korup. Cuma memang ada beberapa terganggu integritasnya," ujar Saut melalui pesan singkat.
Baginya, masalah korupsi adalah soal integritas.
"Sederhananya saya tetap percaya korupsi itu karena GONE, Greedy (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan) dan Exposure (paparan), keempatnya harus didekati TSM (terstruktur, sistematis dan masif)," paparnya.
Bagi Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, zero tolerance alias 'tak ada toleransi' harus diterapkan oleh semua pihak, bukan hanya penegak hukum, dalam menghadapi praktik korupsi.
"Korupsi bukan saja soal miliaran rupiah. Anda menyogok satu dolar pun di negara yang sustain memberantas korupsi, bisa menjadi urusan KPK-nya negara itu," ujarnya.
Ia juga berpesan kepada presiden terpilih untuk mengutamakan integritas seseorang dalam memilih sosok-sosok untuk mengisi kabinetnya.
"Karena di dalam integritas itu ada Tuhan di dalamnya. Integritas itu bukan hanya masa lalu (rekam jejak), tapi masa depan," pungkas Saut.
Sementara itu, ICW berpesan kepada presiden terpilih untuk melibatkan lembaga-lembaga negara yang memiliki perhatian khusus terkait isu antikorupsi dalam menentukan pembantu-pembantunya nanti.
"Sepatutnya turut melibatkan lembaga-lembaga negara yang concern soal isu antikorupsi, misalnya KPK, PPATK, mungkin juga Ombudsman, karena kan lembaga-lembaga itu pasti banyak sekali menerima laporan kinerja lembaga negara lainnya atau pejabat di lembaga negara tertentu," ujar Lola.
Baginya, rekam jejak, integritas, dan komitmen para calon menteri perlu diperhitungkan, karena "itu harus jadi salah satu pintu masuk untuk meminimalisasi potensi orang-orang yang mungkin rekam jejaknya tidak terlalu baik". (*)
Tags : sejumlah menteri diperiksa, diduga sejumlah menteri terlibat korupsi, sejumlah menteri berlatar parpol diduga terlibat korupsi, dibutuhkan menteridari kalangan profesional,