Linkungan   2021/10/24 15:14 WIB

Sejumlah Negara Berupaya Mengatasi Perubahan Iklim, Termasuk 'Mengurangi Penggunaan Batubara'

Sejumlah Negara Berupaya Mengatasi Perubahan Iklim, Termasuk 'Mengurangi Penggunaan Batubara'
Kapal tongkang batu bara di Samarinda, Kalimantan Timur.

LINGKUNGAN - Sejumlah negara berupaya mengubah hal-hal krusial dalam dari suatu dokumen penting saintifik dalam mengatasi perubahan iklim. Dokumen yang bocor tersebut menunjukkan Arab Saudi, Jepang dan Australia termasuk negara-negara yang meminta PBB dalam draf laporannya agar mencoret rekomendasi untuk segera mengurangi penggunaan bahan bakar berbasis fosil, termasuk batu bara.

Berkas yang bocor itu juga memaparkan pandangan pemerintah Indonesia bahwa "negara-negara yang memiliki sumber daya batu bara melimpah cenderung masih akan menggunakannya sebagai sumber energi" dan anggapan bahwa "batu bara akan menjadi aset terdampar (stranded assets) tampaknya tidak akan masuk akal bagi negara-negara tersebut."

Pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum bersedia memberikan tanggapan. Pada hal bocoran tersebut juga memperlihatkan beberapa negara maju mempertanyakan desakan kepada mereka untuk menambah pembiayaan bagi negara-negara miskin agar menerapkan teknologi yang lebih ramah lingkungan. "Lobi-lobi" itulah yang kian menimbulkan pertanyaan atas Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim COP26 pada November mendatang.

Dengan kata lain, negara-negara itu terkesan untuk menunda rekomendasi tindakan yang sudah dibuat PBB beberapa hari sebelum mereka diminta membuat komitmen yang signifikan dalam mengatasi perubahan iklim dan berupaya agar kenaikan pemanasan global tidak lebih dari 1,5 derajat celcius.

Bagaimana sikap Indonesia soal batu bara?

Seperti dirilis BBC News Indonesia munculnya klaim bahwa "Indonesia mengatakan tidak akan menutup pembangkit listrik batu baranya sampai energi variabel dari energi terbarukan dapat disimpan dengan baik."

Lalu klaim lain dari pemerintah Indonesia menyatakan bahwa "Negara-negara dengan cadangan batu bara yang melimpah akan cenderung masih menggunakan batu bara karena merupakan sumber energi lokal mereka.

Dengan kebutuhan untuk memiliki pembangkit listrik yang murah, stabil, dan menyediakan beban dasar (sesuatu yang masih tidak dapat disediakan oleh energi terbarukan variabel), penggunaan batu bara masih jadi fokus sehingga gagasan bahwa itu akan menjadi aset terdampar tampaknya tidak masuk akal. untuk negara-negara itu."

"Pemerintah Indonesia memang mengatakan bahwa negara-negara akan cenderung masih menggunakan batu bara sebagai sumber energi lokalnya. Saya tidak menerima bahwa ini sama dengan mengatakan tidak akan menutup pembangkit batubaranya sampai energi variabel dari energi terbarukan dapat disimpan dengan baik. Itu agak mirip, tetapi tidak sama."

Juru bicara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral maupun pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk dimintai konfirmasi terkait bocoran laporan itu, namun hingga kini mereka belum memberikan tanggapan. Sedangkan pegiat dari Walhi dan Greenpeace Indonesia mengaku belum mendapat bocoran terkait posisi Indonesia itu.

Didit Haryo Wicaksono dari Greenpeace Indonesia menyatakan kalaupun betul Indonesia ikut ambil bagian melobi atau menentang rekomendasi segera mengurangi penggunaan bakan bakar fosil, itu sangat memungkinkan. "Mengingat ketergantungan kita terhadap energi fosil, khususnya batu bara, masih sangat besar sekali."

Soal solusi alternatif yang ditawarkan, yaitu teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) untuk mitigasi krisis iklim, masih butuh pengembangan yang panjang untuk memaksimalkan fungsinya untuk menangkap karbon. "Itu pasti membutuhkan biaya yang lebih besar dan pada akhirnya itu menjadi permasalahan baru terhadap beban negara juga," kata Didit.

Menurut dia, ada solusi yang lebih nyata yang malah tidak dilirik, yaitu transisi menuju energi terbarukan. Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan pemerintah akan berhenti membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru, sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030.

"Pembangunan PLTU yang baru tidak lagi menjadi opsi, kecuali yang sekarang sudah dalam tahap kontruktsi, hal ini juga untuk membuka peluang untuk pengembangan Energi Baru Terbarukan," ujar Arifin pada 5 Oktober lalu seperti dirilis Kompas.com.

Bagaimana laporan IPCC ini muncul?

Dokumen-dokumen bocoran itu terdiri lebih dari 32.000 masukan yang dibuat oleh pemerintah, perusahaan dan pemangku kepentingan lainnya kepada sekelompok ilmuwan yang menyusun suatu laporan PBB mengenai cara mengatasi perubahan iklim.

Kumpulan "laporan penilaian" itu dibuat setiap enam hingga tujuh tahun sekali oleh Panel Antar-pemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC). Ini adalah badan PBB yang bertugas mengkaji perubahan iklim dari sudut keilmuan.

Laporan ini akan digunakan para negara untuk memutuskan langkah apa yang diperlukan untuk mengatasi perubahan iklim dan ini akan menjadi masukan yang krusial di meja perundingan pada KTT COP26 di Glasgow.

Otoritas laporan-laporan ini berasal dari fakta bahwa semua pemerintah di dunia ikut serta dalam proses mencapai konsensus. Tanggapan-tanggapan dari para pemerintah yang telah dibaca BBC dirancang untuk bersifat membangun dan memperbaiki kualitas laporan akhir.

Sejumlah komentar dan rancangan terkini dari laporan itu dirilis kepada tim jurnalis investigatif Greenpeace Inggris, Unearthed, yang meneruskannya ke BBC News.
Bahan bakar fosil

Bocoran itu menunjukkan sejumlah negara dan organisasi yang berpendapat bahwa dunia tidak perlu mengurangi penggunaan bahan bakar fosil sesegera mungkin seperti yang direkomendasikan draf laporan tersebut.

Seorang penasihat untuk kementerian perminyakan Arab Saudi menuntut "frasa seperti 'perlunya untuk tindakan mitigasi yang mendesak dan dipercepat di semua skala...' harus dihapuskan dari laporan itu."

Seorang pejabat senior Australia menolak kesimpulan bahwa penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara diperlukan, meskipun mengakhiri penggunaan batu bara adalah salah satu tujuan yang dinyatakan dalam konferensi COP26. Arab Saudi adalah salah satu produsen minyak terbesar di dunia dan Australia merupakan eksportir batu bara utama.

Seorang ilmuwan senior dari Central Institute of Mining and Fuel Research di India, yang punya koneksi kuat dengan pemerintah India, memperingatkan bahwa batu bara kemungkinan tetap diandalkan bagi produksi energi selama beberapa dekade karena apa yang mereka gambarkan sebagai "tantangan luar biasa" dalam menyediakan listrik yang terjangkau

India pun sudah dikenal sebagai konsumen batu bara terbesar kedua di dunia. Sejumlah negara mendukung munculnya teknologi mahal yang saat ini dirancang untuk menangkap dan menyimpan karbon dioksida di bawah tanah secara permanen.

Arab Saudi, China, Australia dan Jepang - semuanya adalah produsen maupun konsumen utama bahan bakar fosil - dan organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) mendukung penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS).

Teknologi CCS diklaim dapat secara dramatis mengurangi emisi bahan bakar fosil dari pembangkit listrik dan beberapa sektor industri.

Arab Saudi, sebagai produsen mintak terbesar dunia, meminta para ilmuwan PBB untuk menghapus kesimpulan mereka bahwa "fokus upaya dekarbonisasi dalam sistem energi perlu untuk secara cepat beralih ke sumber-sumber nol-karbon dan secara aktif menghapus bahan bakar fosil."

Argentina, Norwegia, dan OPEC juga menanggapi isu ini. Norwegia berpandangan bahwa ilmuwan PBB harus mengizinkan kemungkinan CCS sebagai alat potensial untuk mengurangi emisi bahan bakar fosil.

Draf laporan itu menerima pendapat bahwa CCS dapat memainkan peran di masa depan namun juga menyatakan ada ketidakpastian atas kelayakannya.

Disebutkan bahwa "ada ambiguitas besar sejauh mana bahan bakar fosil dengan CCS akan kompatibel dengan target 2 derajat celcius dan 1,5 derajat celcius" sebagaimana ditetapkan oleh Perjanjian Paris. 

Australia meminta tim ilmuwan IPCC untuk menghapus referensi yang menganalisis peran yang dimainkan oleh para pelobi bahan bakar fosil yang berupaya mengurangi bobot tindakan atas iklim di Australia dan AS.

OPEC pun meminta IPCC untuk "menghapus kalimat 'aktivisme lobi, melindungi model bisnis pejabat dan pengusaha yang sarat kepentingan, mencegah tindakan politik.'"

Saat ditanyai tanggapan terkait laporan draf itu, OPEC mengatakan kepada BBC, "Tantangan untuk mengatasi emisi memiliki banyak celah, seperti yang dibuktikan oleh laporan IPCC, dan kita perlu mengeksplorasi semuanya.

Kita perlu memanfaatkan semua energi yang tersedia, serta solusi teknologi yang bersih dan lebih efisien untuk membantu mengurangi emisi, memastikan tidak ada yang tertinggal."

IPCC mengatakan tanggapan dari kalangan pemerintah sangat penting untuk proses tinjauan ilmiah dan bahwa penulisnya tidak memiliki kewajiban untuk memasukkannya ke dalam laporan. "Proses kami dirancang untuk mencegah lobi - dari semua penjuru", kata IPCC.

"Proses peninjauan ini adalah [dan selalu] benar-benar mendasar bagi pekerjaan IPCC dan merupakan sumber utama kekuatan dan kredibilitas laporan kami."

Profesor Corinne le Quere dari University of East Anglia, seorang ilmuwan terkemuka yang telah membantu menyusun tiga laporan besar kepada IPCC, mengaku tidak punya keraguan akan laporan IPCC yang tidak berpihak.

Menurut dia, semua tanggapan semata-mata dinilai berdasarkan buktik saintifik, terlepas dari mana mereka berasal.

"Sama sekali tidak ada tekanan atas para ilmuwan untuk menerima tanggapan-tanggapan itu," katanya kepada BBC. "Bila tanggapan berupa lobi-lobi, bila tidak dibenarkan oleh sains, maka tidak akan dimasukkan ke laporan IPCC."

Dia mengatakan bahwa penting bagi semua pakar dari segala kalangan - termasuk pemerintah - untuk memiliki kesempatan mengkaji laporan saintifik tersebut. 

"Semakin banyak laporan yang diteliti", kata Profesor le Quéré, "semakin kuat bukti pada akhirnya, karena semakin banyak argumen yang diajukan dan diartikulasikan ke depan dengan cara yang bersandar pada ilmu terbaik yang tersedia".

Christiana Figueres, diplomat Kosta Rika yang mengawasi konferensi iklim PBB yang penting di Paris pada tahun 2015, setuju bahwa sangat krusial pemerintah menjadi bagian dari proses IPCC.

"Suara semua orang harus ada di sana. Itulah tujuannya. Ini bukan satu utas. Ini adalah permadani yang dijalin oleh banyak, banyak utas."

PBB dianugerahi Nobel Perdamaian pada 2007 atas peran IPCC dalam ilmu iklim dan peran pentingnya dalam mengatasi perubahan iklim.
Kurangi makan daging

Brasil dan Argentina, dua produsen terbesar produk daging sapi dan tanaman pakan ternak di dunia, sangat menentang bukti dalam draf laporan bahwa pengurangan konsumsi daging diperlukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Draf laporan tersebut menyatakan "pola makan nabati dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 50% dibandingkan dengan rata-rata pola makan Barat yang sarat dengan emisi". Brasil mengatakan ini tidak benar.

Kedua negara tersebut meminta penulis laporan itu untuk menghapus atau mengubah beberapa bagian dalam teks yang mengacu pada "pola makan nabati" yang berperan dalam mengatasi perubahan iklim, atau yang menggambarkan daging sapi sebagai makanan "berkarbon tinggi".

Argentina juga meminta agar referensi pajak atas daging merah dan kampanye internasional "Senin Tanpa Daging", yang mendesak orang untuk tidak makan daging selama sehari, dihapus dari laporan.

Negara Amerika Latin itu juga menyarankan agar "menghindari generalisasi tentang dampak diet berbasis daging pada pilihan rendah karbon", dengan alasan ada bukti bahwa diet berbasis daging juga dapat mengurangi emisi karbon.

Pada tema yang sama, Brasil mengatakan "pola makan nabati tidak menjamin pengurangan atau pengendalian emisi terkait" dan mempertahankan fokus perdebatan harus pada tingkat emisi dari sistem produksi yang berbeda, daripada jenis makanan.

Brasil, yang mengalami peningkatan signifikan dalam laju deforestasi di Amazon dan beberapa kawasan hutan lainnya, juga membantah bahwa hal ini disebabkan oleh perubahan peraturan pemerintah, dengan mengklaim bahwa ini tidak benar.

Sementara itu, sejumlah besar tanggapan dari Swiss diarahkan untuk mengubah beberapa bagian laporan IPCC itu yang berpendapat bahwa negara-negara berkembang akan membutuhkan dukungan, terutama dukungan keuangan, dari negara-negara kaya untuk memenuhi target pengurangan emisi.

Pada konferensi iklim di Kopenhagen pada tahun 2009 disepakati bahwa negara-negara maju akan menyediakan $100 miliar per tahun dalam pembiayaan iklim untuk negara-negara berkembang pada tahun 2020 - target itu belum terpenuhi.

Australia melontarkan sikap serupa dengan Swiss. Dikatakan bahwa janji iklim negara-negara berkembang tidak semuanya bergantung pada penerimaan dukungan keuangan dari luar.

Negara itu juga menilai penyebutan dalam draf laporan tentang kurangnya komitmen publik yang kredibel di bidang keuangan sebagai "komentar subyektif".

Kantor Federal Swiss untuk Lingkungan mengatakan kepada BBC: "Meskipun pendanaan iklim adalah alat penting untuk meningkatkan ambisi iklim, itu bukan satu-satunya alat yang relevan.

"Swiss berpandangan bahwa semua pihak dalam Perjanjian Paris, dengan kapasitas yang dimiliki, harus memberikan dukungan kepada mereka yang membutuhkan dukungan tersebut."

Mendukung nuklir

Sebagian besar negara-negara Eropa Timur berpendapat bahwa rancangan laporan harus lebih positif tentang peran yang dapat dimainkan oleh tenaga nuklir dalam memenuhi target iklim PBB.

India bahkan melangkah lebih jauh, dengan mengatakan "hampir semua bab mengandung bias terhadap energi nuklir".

Menurut India, nuklir adalah "teknologi mapan" dengan "dukungan politik yang baik kecuali di beberapa negara".

Republik Ceko, Polandia dan Slovakia mengkritik tabel dalam laporan yang menemukan tenaga nuklir hanya memiliki peran positif dalam mewujudkan salah satu dari 17 tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB. Mereka berpendapat bahwa nuklir dapat memainkan peran positif dalam memenuhi sebagian besar agenda pembangunan PBB. (*)

Tags : Arab Saudi, Indonesia, Perubahan iklim, PBB, Lingkungan,