Headline Sorotan   2021/11/16 14:43 WIB

Sengkarut Bank Riau-Kepri, DR Viator Butar-Butar 'Berikan Saran Hindari Kecerobohan Bank Pemerintah'

Sengkarut Bank Riau-Kepri, DR Viator Butar-Butar 'Berikan Saran Hindari Kecerobohan Bank Pemerintah'
DR Viator Butar-butar, Pengamat Ekonomi

"Kredit macet melilit ditubuh Bank Riau-Kepri [BRK], berawal dengan adanya kecerobohan pembelian obligasi di atas harga nominal atau harga premium"

erkuak masalah yang mendera Bank Riau Kepri [BRK] terus terjadi, pengamat ekonomi Riau melihat adanya rentetan awal dengan kecerobohan pembelian obligasi di atas harga nominal atau harga premium.

Seperti disebutkan H Darmawi Wardhana Zalik Aris SE Ak, Ketua Lembaga Melayu Riau [LMR] mengungkap BRK sedang 'dirundung' masalah. Permasalahan yang dialami salah satu Badan Usaha Milik Daerah [BUMD] itu belum bisa keluar dari masalah seperti banyaknya orang-orang yang menggunakan kredit dengan jumlah besar lalu mengalami kendala saat pelunasan.

"Bank Riau Kepri yang melibatkan dua provinsi [Riau dan Kepri] masih tertimpa 'musibah' kredit macet. Tidak tanggung tanggung jumlah nya yakni Rp265 Miliyar," kata Darmawi yang juga dari Badan Pekerja Nasional [Bakernas] Indonesian Corruption Investigation [ICI] mengkhabarkan Minggu 7 November 2021 kemarin melalui sarana elektronik Whats APP [WA] nya.

Dia menyikapi kredit macet tidak sampai 10 persen debiturnya orang Riau. "Setelah ditelisik debitur yang terlibat kredit macet di BRK banyak orang luar Riau," katanya.

"Kredit macet di BRK sudah berjalan 10 tahun terakhir, tapi antisipasi belum juga dilakukan."

"Bank daerah itu sepertinya terlena secara terus menerus, kalau seperti ini bisa-bisa yang rugi masyarakat Riau keseluruhannya," katanya.

Dia melihat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Riau juga belum tampak menyiapkan antisipasi atas risiko ledakan kredit macet ini.

"OJK seharusnya meminta pemerintah setempat agar perbankan itu untuk mulai menambah pencadangan secara gradual," terang Darmawi.

"Kita tidak tahu apa yang terjadi sehingga apabila ada nasabah yang tidak bisa recover."

"Selain itu juga tak kelihatan pemerintah setempat apakah sudah punya cadangan yang cukup," kata Darmawi.

"Seharusnya perbankan dan lembaga keuangan agar secara gradual membuat cadangan lebih preemptive."

LMR mencatat nasabah yang melakukan restrukturisasi kredit hingga saat ini mencapai Rp 265 miliar.

"Kita dapat informasi dari pihak BRK sendiri adanya kredit macet," diakuinya.

Dalam analisa sementara, tidak semua nasabah bisa kembali pulih seperti sebelum pandemi Covid. Tetapi ada juga nasabah terekam pinjam uang tanpa anggunan.

"BRK sepertinya alami beberapa sektor yang masih tertekan sangat dalam," ujar Darmawi.

Dia hanya bisa memberikan perhatian, kalau perbankan harus lebih berhati-hati melakukan kredit.

"Di sisi lain regulator semestinya mempersiapkan program untuk menormalkan kembali."

Dia berharap bila kondisi BRK ini bisa dalam waktu dekat mencapai stabil, seharusnya tetap waspada akan risiko-risiko kedepan.

"Mungkin juga di antaranya restructuring yakni perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut tindakan untuk penambahan dana bank dan/atau, konversi bisa dilakukan," dalam pengamatannya.

Kecerobahan BRK

Sedangkan Pengamat Ekonomi Perbankan Riau, DR. Viator  Butar-butar sebelumnya lebih menilai berbagai peristiwa dan ketimpangan BRK pernah melakukan kecerobohan dalam pembelian obligasi di atas harga nominal obligasi atau harga premium sebesar Rp209,137 miliar sehingga merugi sebesar Rp9.313.466.976.

"BRK telah melakukan pembelian yang ceroboh tanpa memihak kepada kepentingan pemegang saham, pemerintah pusat, BRK sendiri, nasabah, masyarakat dan pegawai," Viator Butar-butar dalam pembicaraannya belum lama ini ngopi bersama di Radja Cuffi dibilangan Jalan Arifin Achmad, Pekanbaru.

Kecerobahan yang dimaksud Viator, dengan adanya melakukan pembelian dalam jumlah besar, dengan tingkat suku bunga dibawah BI rate, dibawah "cost of fund dan dibawah dasar suku bunga kredit.

Untuk jangka waktunya, kata Viator lagi, yakni di atas 12 bulan dan sebagian obligasi itu dibeli dengan harga di atas 100 persen.  

"Kenyataan pembelian obligasi baik penerbitnya pemerintah dan bukan pemerintah itu, maka analisa kerugian riil pada saat pembelian dengan harga di atas 100 persen sebesar Rp1.090.418.177," katanya.

Menurutnya, BRK merugi juga akibat selisih kupon yang diterima  dari obligasi dengan bunga yang  diterima dari kredit yang diberikan sebesar Rp2.280.292.272 pertahun.

"Selanjutnya potensi kerugian kedua obligasi tersebut berdasarkan sebesar Rp5.942.000.000. Jumlah seluruh kerugian ril ditambah potensi kerugian atas pembelian obligasi tersebut di atas adalah sebesar Rp9.313.466.976."

"Sedangkan pembelian obligasi pemerintah untuk dijual dengan nama obligasinya adalah FR 0065, penjualnya Panin Bank, nominalnya Rp26.137.000.000, kupon suku bunga sebesar 6,625 persen, harga beli  Rp27.227.000.000 (harga obligasi dipasaran diatas harga 100 persen atau harga premium, tanggal pembelian tercatat pada Februari 2013, sedangkan harga pasar pada waktu itu adalah Rp21.075.000.000)."

"Lalu kesimpulannya mengapa obligasi ini tidak dijual?," tanya Viator.

Pengungkapan tentang kecerobahan BRK pernah melakukan pembelian obligasi, Ia memandang salah satunya adalah akibat penurunan harga obligasi tersebut sangat drastis.

"Jadi apapun jenis obligasi yang dibeli bank wajib menguntungkan karena bank bukan lembaga sosial atau politik," kata dia menceritakan.

"Pertanyaannya mampukah bank melepas obligasi tersebut dari neraca bank Riau Kepri  tanpa ada kerugian, atau dipertahankan sampai waktu tidak terhingga?" tanya dia lagi.

Ia menjelaskan bahwa usaha pokok suatu bank adalah menyalurkan kredit atau merupakan intermediasi bank. Untuk memaksimalkan pendapatan  bunga, BRK juga membeli surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah maupun bukan pemerintah.

Dalam pembelian obligasi itu BRK kurang cermat dalam menganalisa "cost and benefit" dari pembelian obligasi tersebut yang sekurang-kurangnya yang perlu diperhatikan mencakup;

  • Rating dari penerbit atau emiten terlebih lagi emiten bukan pemerintah.
  • Tingkat suku bunga atau kupon yang diberikan oleh emiten waktu itu.
  • Analisa penetapan harga atau nilai saat membeli dengan harga atau nilai pasar yang akan datang. Atau harga nilai obligasi tersebut sampai jatuh tempo
  • Memastikan pembelian dengan harga premium dengan analisa yang tepat dan jika di jual kembali bank tidak dirugikan, kelima memastikan bahwa obligasi yang dibeli likuid.

Viator menilai Bank Riau Kepri (BRK) telah melakukan kecerobohan  dalam pembelian obligasi di atas harga nominal obligasi atau harga premium, tetapi BRK tanpa memihak kepada kepentingan pemegang saham, pemerintah pusat, BRK sendiri, nasabah, masyarakat dan pegawai bukti kelemahannya yang 'dipertontonkan'.

"Pembelian obligasi untuk jangka waktu di atas 12 bulan dan sebagian obligasi itu dibeli dengan harga di atas 100 persen."  

"Disini BRK alami kerugian akibat terjadiya selisih kupon yang diterima dari obligasi dengan bunga yang diterima dari kredit yang diberikan sebesar Rp2.280.292.272 pertahun," sebutnya.

Lalu Viator menilai, adanya usaha pokok suatu bank yang menyalurkan kredit atau merupakan intermediasi bank untuk memaksimalkan pendapatan bunga, BRK juga membeli surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah maupun bukan pemerintah.

"Dalam pembelian obligasi itu BRK kurang cermat menganalisa "cost and benefit" dari pembelian obligasi tersebut yang sekurang-kurangnya mencakup pertama rating dari penerbit atau emiten terlebih lagi emiten bukan pemerintah."

"Kedua tingkat suku bunga atau kupon yang diberikan oleh emiten. Ketiga analisa penetapan harga atau nilai saat membeli, harga atau nilai pasar yang akan datang. Sementara harga atau nilai obligasi tersebut sampai jatuh tempo."

"Keempat memastikan pembelian dengan harga premium dengan analisa yang tepat dan jika di jual kembali bank tidak dirugikan, kelima memastikan bahwa obligasi yang dibeli likuid.

'Terjadi skandal obligasi' 

Viator Butar Butar yang juga Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Riau dalam analisisnya mengungkapkan bahwa Bank Riau Kepri terdapat kebobrokan luar biasa dilakukan oleh manajemen badan usaha milik masyarakat tersebut.

"Mereka pernah melakukan penerbitan obligasi I senilai Rp.500 milyar yang mengakibatkan nilai kerugian mencapai Rp.24,5 milyar," kata Viator menjelaskan. 

"Ini menunjukkan kebobrokan luar biasa di manajemen badan usaha milik masyarakat diantaranya penerbitan obligasi I," ungkapnya.

Misalnya BRK pernah mengeluarkan kebijakan manajemen dengan menerbitkan obligasi dan menetapkan suku bunga kredit dibawah suku bunga dana (cost of fund) merupakan tindakan pelanggaran atas SEBI No.6/15/DPN/tgl 31 Maret 2014 dan dicabut dengan SEBI No.13/8/DPNP/2011 tanggal 28 Maret 2011 dan SEBI No.13/26/DPNP/Tanggal 30 November 2011 perihal perubahan SEBI No 13/8/DPNP/Tanggal 28 Maret 2011 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan.

Obligasi yang diterbitkan dengan jangka waktu 5 tahun mulai dari tanggal (8/7/2011 hingga 8/7/2016) waktu itu dengan suku bunga 10,4 persen atau Rp.52 milyar per tahun, sementara itu bunga sudah jatuh tempo senilai Rp.260 milyar dan bunga yang sudah dibayar Rp.156 Milyar dengan 12 kali bayar.

Kredit ini diberikan periode akhir Agustus 2014 lalu tercatat sebesar Rp.12,7 Milyar dan terkonsentrasi dalam bentuk KPR dan Kredit Aneka Guna (Konsumtif) yang ditujukan kepada PNS sebesar RP.2 milyar atau terkonsentrasi 80 persen dari jumlah kredit dan rata-rata jangka waktu kredit diatas 5 tahun, dengan tingkat suku bunga lebih kurang 9.55 persen.

Analisa kerugian, antara penerbitan obligasi dengan kredit yang diberikan dengan asumsi sama dengan nilai obligasi sebesar Rp 500 milyar untuk jangka waktu 5 tahun menyebutkan:

  • Kewajiban membayar bunga obligasi yang diterbitkan (cost of fund) belum termasuk biaya dana giro/tabungan/deposito Rp.260 milyar.
  • Pendapatan dari hasil bunga kredit yang merupakan hasil pokok bank RP.235,5 milyar.
  • Kerugian rill/nyata akibat lebih besar biaya bunga obligasi yang dijual/diterbitkan daripada hasil bunga kredit yang diberikan Rp.24,5 milyar, kerugian tersebut belum diperhitungkan meningkatnya kredit bermasalah atau kredit kolektibility3,4 dan 5 yang saat ini sudah mendekati Rp.400 milyar.

Tujuan penerbitan obligasi sebesar Rp.500 milyar ini adalah untuk persedian Likuiditas Bank Riau Kepri dalam rangka untuk penyaluran kredit kepada PNS.

Namun dalam implementasinya Bank Riau Kepri dalam menyalurkan kredit tersebut dengan tingkat bunga dibawah suku bunga obligasi yang diterbitkan yaitu 9,5 persen atau lebih kecil dari biaya cost of fund yang dijual yaitu 10,40 persen, dan atau lebih kecil lagi jika dibandingkan cost of fund dari seluruh simpanan berupa giro/tabungan/deposito sebagai dasar suku bunga kredit (SBDK) yang saat ini tertera do counter Bank Riau Kepri berkisar 13,50 persen.

Tetapi Viator kembali menegaskan bahwa Bank Riau Kepri merupakan lembaga kepercayaan pemerintah daerah dan masyarakat yang orientasinya bisnis dan profit, bukan lah lembaga sosial dan juga bukan lembaga politik.

Selain Viator mengakui dahulunya BRK sudah banyak mengalami kebobrokan, diperparah adanya skandal yang terjadi di BUMD Provinsi Riau ini. 

"Dari dulu saya rajin mencermati perkembangan BRK. Tetapi belakangan tidak saya ikuti lagi. Memang pada kepengurusan lalu, banyak kelemahan dan kebobrokan. Saya pikir Direksi yang sekarang sudah memperbaikinya," sebutnya.

Sementara Otoritas Jasa Keuangan [OJK] sebagai lembaga pengawas sebelumnya pun sudah memberikan penilaian dengan indikator standar perbankan yang dikembangkan sesuai peraturan yang ada. 

Namun Viator juga mengakui contoh keboborokan BRK lainnya yang pernah dilakukan 'Penerimaan fee dari asuransi'.

"Penentuan broker/insurer adalah kebijakan Kantor Pusat. Jadi Dewan Direksi dan Komisaris harus dimintai pertanggung jawaban juga."

"Selain itu penyebab lainnya adalah biaya kredit yang harus ditanggung debitur kalau meminjam lebih tinggi. Masih banyak praktek lain yang membuat BRK tidak efisien," terang Viator.

"Kita tidak pernah tahu, apakah Dewan Direksi maupun Komisaris ikut menerima bagian. Yang pasti, tanggung jawab kepengurusan PT, ada pada Dewan Direksi dan Komisaris. Pimpinan cabang hanya bertanggungjawab pada tataran operasionalnya," sebut Viator.

Viator pun mengakui, adanya kegelisahan dan kegamangan di pimpinan dan staf BRK, karena Gubernur Riau sebagai Pemegang Saham Pengendali menginginkan perubahan status dari Bank Umum ke Syariah. 

"Tak jelas apa dasar dan tujuannya. Awalnya tidak disambut oleh para pemegang saham lainnya. Tetapi di RUPS saya dengar sudah disetujui. Dari informasi yang saya kumpulkan, kebanyakan staf dan pimpinan tidak setuju, tapi gubernur memaksakan keinginannya. Malah seluruh ASN di Pemprov Riau diperintahkannya memindahkan rekening penerimaan gaji ke BRK Syariah (Divisi Syariah)," urainya.

Tak pelak lagi, ketidak jelasan perkembangan konversi hingga saat ini membuat banyak unsur pimpinan dan staf yang gamang. 'Ini sangat di sayangkan."

Carut marut berebut fee ini terungkap setelah 3 mantan kepala cabang sebagai terdakwa yang menerima fee dari pialang asuransi kredit Bank Riau Kepri (BRK) yang terungkap dalam persidangan.

Fakta persidangan waktu itu yang pernah digelar di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru terkuak ada pemberian fee asuransi kredit dari Global Risk Manajemen (GRM), terungkap ada puluhan kepala cabang/cabang pembantu Bank Riau ikut menikmati aliran dana ilegal ini. (*)

Tags : Bank Riau Kepri, Sorotan, DR Viator Butar-Butar Berikan Saran, Kecerobohan BRK Pembelian Obligasi, Sengkarut Bank Riau Kepri,