Headline Sorotan   2023/01/24 17:37 WIB

Siapa di Balik ‘Ulah’ para Kades yang Menuntut Perpanjangan Masa Jabatan?, 'Secara Substantif juga Sudah Merusak Demokrasi'

Siapa di Balik ‘Ulah’ para Kades yang Menuntut Perpanjangan Masa Jabatan?, 'Secara Substantif juga Sudah Merusak Demokrasi'
Aksi Kepala Desa demo di DPR, menuntut perpanjangan jabatan jadi 9 tahun.

"Pro kontra usulan penambahan masa jabatan kepala desa jadi 9 tahun masih mencuat, malah sudah disetujui Fraksi dan Baleg DPR RI dan akan masuk kedalam Prolegnas 2023"

embaga Ketahanan Ekonomi Desa Nasional (LKED Nas) akan terus mengawal hasil demo Kepala Desa Indonesia Bersatu (KIB) yang menuntut untuk ditindaklanjuti oleh Fraksi-Fraksi dan Baleg DPR RI.

Awal usulan penambahan masa jabatan Kepala Desa atau Kuwu dari 6 tahun menjadi 9 tahun merupakan usulan dari Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar yang dibaringi naskah akademiknya itu.

Sebelumnya dalam pembahasan Revisi UU Desa itu sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas).

"Setidaknya, naskah yang berbunyi itu, masa jabatan Kepala Desa 6 tahun tidak efektif untuk mewujudkan visi misi Kepala Desa dalam melaksanakan pembangunan di Desa," kata Koordinator LKED Nas, H. Darmawi Wardhana Bin Zalik Aris SEhk mengulang naskah aksi demo para Kades saat diminta tanggapannya, Selasa (24/1/2023) ini.

Darmawi menilai, para Kades yang memiliki alasan untuk penambahan masa kerja yang dirasa belum pas ini.

Jika masa kerja pemimpin atau pejabat terlalu lama, maka ditakutkan tidak akan ada kesempatan regenerasi di masyarakat yang juga kompeten untuk menjabat, sebutnya.

H. Darmawi Wardhana

“Kepala Desa memang pejabat penggerak tingkatan paling bawah namun fungsinya begitu luar biasa."

"Tapi jika sudah terlalu lama, maka proses demokrasi yang dikedepankan oleh Pemerintah Indonesia tidak akan berjalan efektif karena terlalu lamanya kepemimpinan," ujar Darmawi Wardhana balik menyikapinya.

Mendes PDTT, Abdul Halim Iskandar memiliki alasan dan argumen soal usulan masa jabatan Kades jadi 9 tahun ini.

Ia sebelumnya telah mempersiapkan kajian akademik penambahan masa jabatan Kepala Desa menjadi sembilan tahun dalam satu periode.

Sehingga bila sewaktu-waktu usulan tersebut direspon positif oleh DPR RI dan ada perintah dari Presiden Joko Widodo untuk dijalankan, maka Kemendes PDTT telah siap.

“Karena itu bagian dari tugas kita, ketika respon DPR siap dan Presiden perintah maka tidak perlu menunggu lama karena kita sudah siapkan naskah akademiknya, meskipun terus kita kembangkan,” kata Mendes PDTT, Abdul Halim Iskandar saat audiensi dengan Kepala Desa asal Kabupaten Probolinggo di kantornya, Kalibata, Jakarta, Senin (16/01/2023) lalu.

Mendes PDTT memaparkan, bahwa penambahan masa jabatan tersebut sengaja diusulkan karena selama ini Kepala Desa dinilai kurang efektif bekerja membangun desa, karena disibukkan menyelesaikan konflik yang selalu muncul pascapemilihan.

“Wacana 9 tahun itu saya lontarkan sejak bulan Mei 2022, saya sampaikan beberapa permasalahan penyelesaian konflik pasca Pilkades,” terang Mendes PDTT.

Berdasar hasil beberapa kajian akademik menjelaskan bahwa penyelesaian konflik akibat Pilkades membutuhkan waktu lebih dari satu tahun, begitu juga menyiapkan Pilkades berikutnya butuh waktu satu tahun, kata Mendes PDTT.

Harapannya, dengan penambahan masa jabatan itu Kepala Desa akan lebih efektif karena waktunya tidak lagi dihabiskan menyelesaikan konflik akibat Pilkades. Namun, mereka juga tetap dibatasi boleh memimpin desa hanya 18 tahun alias hanya dua periode.

“Nah, ketika masa jabatan hanya enam tahun maka untuk menyelesaikan ketegangan pasca Pilkades dua tahun berarti kepemimpinan yang kondusif efektif kurang lebih dua sampai tiga tahun, meskipun tiga periode,” jelas Mendes PDTT.

Sementara itu, masyarakat juga tidak perlu khawatir dengan gagasan periode sembilan tahun itu, karena pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) punya kewenangan memberhentikan Kepala Desa yang kinerjanya sangat buruk.

Dengan begitu, warga desa tidak perlu menunggu selama sembilan tahun untuk mengganti Kepala Desa yang kinerjanya sangat buruk.

“Ada mekanisme bahwa Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden itu berhak memberhentikan Bupati atau Wali Kota ketika kinerjanya sangat buruk. Nah, kalau Bupati dan Wali Kota saja bisa diberhentikan ditengah jalan apalagi Kepala Desa,” tandas Mendes PDTT.

Tetapi Darmawi Wardhana balik menyikapi tentang ribuan Kepala Desa dari seluruh Indonesia mendatangi Gedung DPR RI pada Selasa 16 Januari 2023 kamarin, dalam aksinya memperjuangkan hasrat mereka, menurutnya ada tiga poin yang dilayangkan oleh para Kepala Desa ke Dewan Perwakilan Rakyat yang duduk di Senayan, pastinya ada yang 'menyetir'.

"Para Kades meminta dikembalikannya kewenangan mengurus Dana Desa (DD) dan yang menjadi hak preogratif Kepala Desa. Menurut pengakuan salah satu Kepala Desa asal OKU, Martina merasa terkekang dan tidak leluasa menjalankan tugas dan fungsinya karena terganjal dengan aturan-aturan yang dianggap tidak memberikan keleluasaan untuk mengurusi wilayahnya sendiri."

"Para Kepala Desa menginginkan agar masa jabatan saat ini yaitu 6 tahun ditambah 3 tahun menjadi 9 tahun. Namun, belum jelas apa alasan para Kepala Desa meminta Pemerintah Pusat memperpanjang masa jabatan mereka."

Darmawi juga menilai, untuk penambahan masa kerja ini dirasa belum pas. Sebab, menurutnya, jika masa kerja pemimpin atau pejabat terlalu lama, maka ditakutkan tidak akan ada kesempatan regenerasi di masyarakat yang juga kompeten untuk menjabat.

“Kepala Desa memang pejabat penggerak tingkatan paling bawah namun fungsinya begitu luar biasa. Tapi jika sudah terlalu lama, maka proses demokrasi yang dikedepankan oleh Pemerintah Indonesia tidak akan berjalan efektif karena terlalu lamanya kepemimpinan," ujar Darmawi.

"Kita ambil contoh saja, Presiden yang memimpin seluruh tingkatan hanya lima tahun dan dua periode. Jika disetujui sembilan tahun, besok-besok Bupati minta masa jabatannya 10 tahun karena membawahi seluruh Desa yang ada di wilayah kerjanya,” sambungnya.

Darmawi melanjutkan, untuk Kepala Desa dengan jabatan selama 6 tahun sudah dirasa sangat cukup, karena wilayah kerjanya tidak terlalu besar. Serta masyarakat yang dipimpinnya dirasa masih bisa diatasi dengan seorang Kepala Desa dengan periode 6 tahun.

“Jangan takut, enam tahun cukup kok, dan pastinya regenerasi yang akan menggantikan bisa melanjutkan perjuangan dan pembangunan kepala desa yang terdahulu. Bukan tidak menghormati keinginan Kepala Desa, namun saya rasa enam tahun sudah sangat cukup untuk berbuat,” pungkasnya.

'Tuntutan masa jabatan dikawal'

Tetapi Sekretaris Forum Komunikasi Kuwu Cirebon (FKKC), Ahmad Hudori membeberkan soal dampak konflik paska Pilkades berbeda dengan Pileg, Pilkada maupun Pilpres, perlu waktu cukup lama untuk menyatukan kembali masyarakat, sehingga Visi Misi Kepala Desa dalam membangun desa tidak tercapai dalam 6 tahun.

Menurut Hudori, demo para Kepala Desa se-Indonesia pada tanggal 17 Januari lalu di Gedung DPR RI, berbuah hasil. Kata dia, revisi terbatas UU Desa dengan penambahan masa jabatan Kepala Desa  jadi 9 tahun telah disetujui Fraksi dan Baleg DPR RI dan akan masuk kedalam Prolegnas 2023.

“Kami akan mengawal terus agar revisi terbatas UU Desa masuk Prolegnas dan pembahasan revisi UU Desa dilakukan pada triwulan pertama atau pada Bulan Maret 2023, agar pengesahan revisi UU Desa dengan penambahan masa jabatan 9 tahun dilakukan pada pertengahan tahun 2023,” tegasnya.

Hudori meyakini dengan adanya revisi terbatas UU Desa dan penambahan masa jabatan 9 tahun, kedepan pembangunan di Desa akan lebih efektif dan secara ekonomi akan lebih efesien.

Pasalnya, ujar dia, Kepala Desa bisa lebih fokus dalam melaksanakan pembangunan dan meningkatkan perekonomi masyarakat Desa.

“Jadi penambahan masa jabatan 9 tahun bukan karena Kepala Desa serakah, tapi untuk kebaikan bersama dan akan lebih efektif untuk pembangunan di Desa,” tegasnya.

Tetapi Peneliti kebijakan Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro menilai usulan menambah masa jabatan menjadi potret kepala desa yang miskin gagasan.

“Keberhasilan kepala desa dalam melaksanakan pembangunan di desa, tidak diukur dari masa jabatan. Tetapi diukur dari kepercayaan warga desa terhadap kerja-kerja nyata aparatur desa. Pasalnya, jika pun hanya masa jabatan 2 tahun, selama punya kinerja dan bukti nyata. Maka kepala desa itu terpilih kembali kan untuk periode mendatang,” kata Rico.

Peneliti kebijakan public tersebut menilai menambah masa jabatan kades tidak lebih sebagai kepentingan politik pribadi. Apalagi tidak ada warga desa yang meminta jabatan kades diperpanjang. Semakin jelas desakan adalah murni hasrat politik pada kepala desa.

Ia pun menyayangkan perilaku kepala desa yang merendahkan kepercayaan masyarakat desanya. Penambahan masa jabatan tidak menjamin kepala desa itu mampu menujukan kinerja yang baik. Bahkan malah memperburuk kondisi desa.

“Kita tidak bisa tutup mata, berapa kepala desa yang gagal. Malah tidak diharapkan rakyatnya. Jadi masa jabatan yang sudah diatur dalam UU 6/2014 sudah cukup tepat,” tegasnya.

Riko menegaskan perubahan pasal dalam UU yang bersifat pokok perlu kajian mendalam. Tidak bisa hanya mendengarkan aspirasi kelompok. Apalagi aspirasi ini juga sepihak. Hanya kelompok Kepala Desa.

“Harusnya para kepala desa bisa fokus dengan program kerja. Tidak memikirkan masa jabatan. Selagi memiliki kinerja baik dan bermanfaat bagi masyarakat, sudah pasti kepala desa itu mendapat kepercayaan untuk memimpin kembali,” tutupnya.

Siapa di Balik ‘Ulah’ Para Kepala Desa?

Ratusan Kepala Desa dari seluruh Indonesia mendatangi Gedung DPR RI juga menginginkan agar masa jabatan saat ini yaitu 6 tahun ditambah 3 tahun menjadi 9 tahun. Namun, belum jelas apa alasan para Kepala Desa meminta Pemerintah Pusat memperpanjang masa jabatan mereka.

Menurut Darmawi yang memantau perkembangan politik ini, sebelumnya, isu perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo atau Jokowi sempat mencuat. Kuat dugaan ada aktor di balik manuver politik para kepala desa yang berencana menggelar deklarasi ini.

Gendang isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi ditabuh lagi. Adalah para kepala desa yang mengaku tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa seluruh Indonesia (Apdesi) yang kembali memainkan isu ini.

Ribuan Kades geruduk gedung DPR RI.

Di depan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, para kepala desa ini meminta agar masa jabatan Presiden Jokowi ditambah lagi.

‘Drama’ ini terjadi dalam acara Silaturahmi Nasional Apdesi 2022 di Istora Senayan, Jakarta, Selasa 29 Maret 2022 lalu.

Salah satu perwakilan perangkat desa asal Aceh bernama Muslim meneriakkan Presiden Jokowi untuk tiga periode dalam acara ini.

Tak hanya itu, para kepala desa yang berkerumun di Senayan ini juga berencana akan menggelar deklarasi sebagai bentuk dukungan tiga periode untuk Jokowi.

Politik balas budi menurut para kepala desa ini, dukungan tiga periode untuk Jokowi merupakan bentuk balas budi. Pasalnya, Jokowi sudah mengabulkan sejumlah permintaan yang mereka ajukan.

Hal ini menunjukkan Jokowi peduli dan memberikan perhatian pada mereka yang selama ini merasa diabaikan. Salah satu permintaan yang dikabulkan Jokowi adalah terkait gaji.

Jokowi berjanji akan membayarkan gaji para kepala desa setiap bulan. Selain itu, Jokowi juga mengabulkan penambahan dana operasional yang diambil dari dana desa.

Para kepala desa ini juga girang karena Jokowi setuju proses pencairan SPJ dana desa disederhanakan. Tak hanya itu, kepala desa juga diberi diskresi terkait penggunaan BLT desa.

"Elite politik diduga berada di balik manuver politik ini. Apalagi sejumlah menteri Jokowi dikabarkan menjadi bagian dari organisasi ini," sebut Darmawi menilai.

Meski Apdesi ‘versi Kemendagri’ ini mengaku bergerak sendiri, namun kuat dugaan mereka diarahkan. Tak berbadan hukum Aksi Apdesi versi Kemendagri ini menuai reaksi dari Apdesi yang ‘resmi’.

Ketua Umum Apdesi Arifin Abdul Majid sendiri menyatakan bahwa Apdesi yang mendukung perpanjangan masa jabatan Jokowi ini tidak berbadan hukum.

Apdesi yang berencana menggelar deklarasi dukungan untuk Jokowi itu baru 'diakui' Kemendagri sehari sebelum Silatnas di Istora Senayan dilaksanakan.

Arifin menegaskan, Apdesi yang ia pimpin merupakan asosiasi resmi, berbadan hukum dan sudah tercatat di Kemenkumham sejak 2016.

Sementara Apdesi yang menggelar Silatnas nama ormasnya DPP APDESI tidak berbadan hukum dan tidak terdaftar di Kemenkumham. Mereka hanya memegang Surat Keterangan Terdaftar di Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri. Dan SKT ini baru terbit sehari sebelum acara Silatnas digelar.

Aksi para kepala desa ini menuai kritik dan kecaman. Mereka dinilai tak mengerti regulasi, konstitusi dan tak patuh pada sumpah jabatan.

Di dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diatur bahwa Kepala Desa dan perangkat desa dilarang berpolitik. Konstitusi secara gamblang juga menyatakan bahwa jabatan presiden dua periode.

Kepala desa merupakan pejabat pemerintahan terkecil. Saat dilantik mereka disumpah untuk mematuhi dan menjalankan konstitusi, dan peraturan perundangan yang berlaku. Dukungan mereka untuk presiden tiga periode dinilai tak hanya melawan konstitusi, namun juga melanggar sumpah jabatan.

Mobilisasi massa ala orba manuver politik yang terjadi di acara Silatnas Apdesi versi Kemendagri ini dianggap sebagai bentuk mobilisasi. Dukungan perpanjangan masa jabatan dengan cara mengerahkan aparatur pemerintahan dianggap meniru gaya orde baru (Orba).

"Strategi ini diyakini dirancang untuk memuluskan skenario penambahan masa jabatan," tambah Darmawi menilai.

"Pengerahan kepala desa yang tergabung dalam Apdesi versi Kemendagri ini merupakan bagian dari skenario melanggengkan kekuasaan. Pola serupa lazim digunakan di era Orba. Pada masa Orba, kelompok masyarakat arus bawah, ormas hingga kalangan militer dan polisi kerap diklaim untuk memberikan pembenaran untuk mempertahankan dan memperpanjang kekuasaan," sebutnya.

Jadi menurut Darmawi, gaya ini diinisiasi elite politik dengan cara menginterupsi proses demokrasi.

Lalu siapa yang berada di balik manuver politik Apdesi ini? Benarkah sejumlah menteri Jokowi terlibat dalam aksi ini? 

Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai argumen yang mendasari tuntutan perpanjangan jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun, merusak demokrasi.

“Saya cermati ada dua argumen yang dikemukakan kepala desa dan Budiman Soedjatmiko terkait tuntutan perpanjang masa jabatan kepala desa tersebut,” kata Ubedillah dalam keterangan pers nya, Rabu (18/1/2023).

Argumen pertama yang disorotinya adalah anggapan bahwa masa jabatan kepala desa selama 6 tahun tidak cukup untuk mengatasi keterbelahan masyarakat desa akibat pemilihan kepala desa, sehingga tidak ada cukup waktu membangun desa.

Kedua, dana untuk pemilihan kepala desa lebih baik digunakan untuk pembangunan sumber daya desa.

Menurut Ubedillah, argumen yang pertama tidak dapat dibenarkan, karena 6 tahun merupakan waktu yang cukup untuk melaksanakan program-program desa. Selain itu, kata dia, waktu 6 tahun merupakan waktu yang sangat lama untuk memerintah desa dengan jumlah penduduk rata-rata hanya puluhan ribu.

“Jadi problemnya bukan soal kurangnya waktu, tetapi minimnya kemampuan leadership kepala desa,” ujar dia.

Walaupun masa jabatan diperpanjang menjadi 9 tahun, namun masalah substansinya tidak diatasi maka kepala desa tetap tidak dapat menjelankan program-programnya dengan baik. Jadi, solusinya bukan memperpanjang masa jabatan.

Lalu untuk argumen kedua, Ubedillah juga menyebut argumen tersebut lemah. Pasalnya, dana pemilihan kepala desa sudah disiapkan APBN dan sudah dianggarkan sesuai peruntukannya.

Kades Demo di DPR tuntut masa jabatan jadi 9 tahun.

“Dana itu juga tidak menguras APBN dan tidak mengganggu APBN seperti pembangunan kereta cepat dan pembangunan IKN,” katanya.

Berdasarkan perhitungannya, dana untuk pemilihan kepala desa di seluruh Indonesia totalnya tidak sampai Rp 50 triliun. Apalagi, Pilkades tidak dilaksanakan secara serentak dalam waktu yang sama di seluruh Indonesia.

“Jadi secara argumen perpanjangan masa jabatan kepala desa itu lemah, dan lebih dari itu secara substantif merusak demokrasi,” pungkasnya.

Sebab, kata Ubedillah, jabatan publik yang dipilih rakyat itu dalam demokrasi harus dipergilirkan agar terhindar dari kecenderungan otoriterian dan korupsi. (*)

Tags : Kepala Desa, Masa Jabatan Kades, Para Kades Menuntut Tambahan Masa Jabatan, Perpanjangan Masa Jabatan Kades 9 Tahun,