Pilkada   2023/01/07 12:51 WIB

Sistem Pemilu 2024 Mulai Dikhawatirkan, Pengamat: Pilih Coblos Partai atau Individu?

 Sistem Pemilu 2024 Mulai Dikhawatirkan, Pengamat: Pilih Coblos Partai atau Individu?

JAKARTA - Usulan menggelar sistem pemilu proporsional tertutup atau sistem coblos partai akan mengurangi 'esensi demokrasi' dan dikhawatirkan akan membuat Indonesia perlahan-lahan kembali ke zaman Orde Baru, kata seorang pengamat.

Namun, PDI-P, selaku partai yang mendorong sistem itu, mengatakan saat ini muncul “sistem individual liberal” sehingga sistem proporsional tertutup dianggap perlu.

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Ni’matul Huda, mengatakan, jika pemohonan terhadap sistem pemilu prosorsional yang kini sedang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dikabulkan, Indonesia tidak lagi menerapkan “demokrasi yang sesungguhnya”.

Dan lama-lama akan membawa “kita kembali ke masa Orde Baru”, kata Ni'matul.

“Jadi misalnya, sekali kuncinya dicabut, tafsir MK sebelumnya dicabut, pasti akan muncul tuntutan untuk menghemat biaya Pilkada, enggak usah Pilkada langsung, dipilih oleh DPRD saja," katanya seperti dirilis BBC News Indonesia, Rabu (04/01).

"[Pemilihan] Presidennya juga begitu, kalau Pilpres langsung itu biayanya besar sekali dan sekarang kembali ke MPR saja lagi kayak dulu dipilih oleh MPR sebagai mandataris.

"Kalau menurut saya, itu bisa ke sana nantinya,” tambahnya.

Sistem proporsional tertutup pernah digunakan Indonesia pada masa Orde Baru.

Namun, pada 2008 lalu, MK mengabulkan tuntutan pemohon tentang Pengujian UU 10 Tahun 10 Tahun 2008.

UU ini mengatur tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945.

Dan, putusan MK NOMOR 22-24/PUU-VI/2008 itulah yang membawa Indonesiaa kepada sistem proporsional terbuka, yang sampai saat ini masih diterapkan.

Jika permohonan sistem proporsional tertutup itu dikabulkan, Ni’matul menyebut “MK tidak konsisten” dan mempertanyakan kedudukannya sebagai “penjaga konstitusi” yang mengutamakan kedaulatan rakyat.

“Orang akan memberi stigma, MK, kalau begitu menjadi alat legitimasi dari keinginan partai-partai, bukan penjaga konstitusi atau penafsir konstitusi karena dia menafsirkan apa keinginan partai politik itu.

"Lantas bagaimana caranya MK kemudian menafsirkan kedaulatan di tangan rakyat [sesuai Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat 2]”, ujar Ni’matul.
'Kanibalisme politik' - Apa alasan di balik dukungan terhadap 'sistem pemilu proporsional tertutup'?

Polemik soal sistem pemilu proporsional tertutup ini berawal dari permohonan pengujian beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Dalam surat permohonan yang diterima MK pada 14 November 2022 lalu, para pemohon menilai sistem proporsional terbuka dapat “mengoyak rasa persatuan dan kesatuan di masyarakat” karena menimbulkan “polarisasi”.

Lebih jauh lagi, para pemohon yang menyebut dirinya sebagai "kader partai politik" itu mengatakan sistem proporsional terbuka membuat hak mereka dilanggar.

Alasannya, sistem itu “menimbulkan persaingan yang tidak sehat, yang menitikberatkan kepada aspek popularitas dan kekuatan modal dalam proses pemilihan umum sehingga kader yang memiliki pengalaman berpartai dan berkualitas kalah bersaing…”

Sementara itu, Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat mengatakan partainya juga mendorong penerapan sistem pemilu proporsional tertutup itu, meski dia mengatakan “tidak tahu” pihak-pihak yang mengajukan pemohonan itu ke MK dan tidak mengonfirmasi salah satu pemohon adalah anggota PDI-P.

Sebab, kata dia, saat ini “pemilu kita sudah mengarah kepada sistem individual liberal” yang menyebabkan “kanibalisme politik”, di mana terjadi perselisihan antara para calon legistalif (caleg) di satu partai.

“Padahal konstitusi kita pasal 22 E ayat 3 sudah dijelaskan di situ, bahwa peserta pemilu untuk anggota DPR dan DPRD adalah partai politik.

"Sedangkan peserta pemilu untuk Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.

"Artinya partailah yang maju sebagai perserta pemilu, partainya yang mempunyai kewenangan untuk menyiapkan kader-kadernya,” kata Djarot, Rabu (04/01) malam.

Djarot juga menampik anggapan bahwa sistem proporsional tertutup akan mengancam demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Dia beralasan, sistem itu sudah sesuai dengan “ideologi dan konstitusi”.

“Kedaulatan memang ada di tangan rakyat, tapi itu kan dilakukan melalui perwakilan.

"Jadi, sistem demokrasi kita itu sistem perwakilan, bukan individual. Sekarang kan individual.

"Dan ingat, peserta pemilu adalah partai politik, partai politik yang akan mengorganisir orang, partai politik yang akan berdiri di muka, yang akan melakukan proses seleksi, rekrutmen, kaderisasi, mendidik, sehingga betul-betul dia bisa menjadi pejabat atau pejabat partai yang handal, untuk memperjuangkan aspirasi rakyat,” tambah Djarot.

Berbeda dengan PDI-P, delapan partai lain yang ada di parlemen, yaitu Partai Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP menyatakan sikapnya untuk mempertahankan “kemajuan demokrasi” agar tidak “kembali mundur”.

Kepada BBC News Indonesia, politikus PKS Nasir Jamil menyebut sistem proporsional tertutup seperti “membeli kucing dalam karung” karena yang menentukan partai politik dan partai tidak tahu.

“Khawatirnya, masyarakat nanti tidak bisa menuntut kepada caleg itu. Jadi, bisa jadi aspirasi masyarakat bisa terhambat.

"Dengan proporsional tertutup itu masyakarat mau mengadu ke siapa? Mau mengadu ke partai? Kalau selama ini kan mereka mengadu ke anggota-anggota legislatifnya yang terpilih,” kata Nasir.

Apa kelemahan dan kelebihan sistem proporsional terbuka dan tertutup?

Lebih lanjut Ni’matul Huda menjelaskan, dalam sistem pemilu proporsional tertutup, partai-partailah yang bersaing.

Dalam kertas suara tidak akan ditampilkan nama calon legislatif (caleg), katanya.

"Itu maksudnya satu daerah pemilihan akan diisi oleh beberapa calon yang nantinya mereka akan menentukan siapa yang bisa lolos ke parlemen dan siapa yang tidak.

"Kalau tertutup itu berarti yang dikontestasikan partainya, sehingga nama orang itu tidak muncul.

Dan, ketika partai menang, mereka akan menentukan siapa-siapa saja yang akan menduduki parlemen, jelasnya.

“Masyarakat tidak tau siapa yang dicalonkan. Yang ada di nomor urut 1-30, kita tidak tahu. Sehingga itu benar-benar menjadi dominasi elit politik partai untuk menentukan,” kata Ni’matul.

Sistem proporsional tertutup pernah dijalankan pada masa Orde Baru. Ni’matul mengatakan kala itu hanya ada partai Golkar, PDIP, dan PPP.

Kelemahannya, pemilih jadi tidak bisa mengetahui apakah orang yang dicalonkan tersebut “layak dinominasikan sebagai caleg”.

“Kalau mereka-mereka ini ternyata adalah orang-orang yang tidak bersih, dalam konteks korupsi misalnya, atau dia pernah pedofil, atau dia pernah melakukan pelecehan terhadap perempuan, itu kan kita enggak tahu. Dia langsung saja ke Senayan,” ujar pakar hukum tata negara itu.

Namun, sistem ini dinilai memiliki kelebihan bagi partai, karena “hanya partai yang mengetahui kualitas orang yang dinominasikan”, ujarnya.

Sehingga, partai-partai itu barangkali lebih yakin "orang-orang mana saja yang sudah dipersiapkan" untuk masuk ke lembaga parlemen.

Di sisi lain, sistem proporsional terbuka dinilai Ni’matul lebih demokratis.

Dalam sistem proporsional terbuka, menurutnya, nama-nama caleg ditampilkan sehingga para pemilih bisa melakukan “verifikasi” sehingga tidak merasa “membeli kucing dalam karung”.

“Itu memberi harapan pada orang-orang yang dinominasikan, dia akan bekerja keras mencari suara supaya dia bisa lolos ke parlemen.

"Sehingga partai tidak mungkin menempatkan sembarangan orang di di situ. Enggak mungkin orang duduk manis tiba-tiba muncul jadi wakil karena dia harus bekerja,” tambah dia.

Itulah sebabnya dia menilai “kualitas orang” menjadi sangat penting dalam sistem proporsional terbuka, karena pada sistem proporsional tertutup biasanya partai mendahulukan para elitnya untuk masuk ke parlemen.

Sebagai pihak yang mengkritisi sistem proporsional terbuka, Djarot mengatakan kelemahan sistem itu, salah satunya adalah dengan munculnya politik uang. Pada akhirnya, partai politik hanya dijadikan “sarana untuk meraih kekuasaan”.

“Mereka yang punya modal besar, meskipun kader baru, dia punya modal besar, kemungkinan besar dia terpilih dong?” kata Djarot.

Dari situlah PDI-P mempertanyakan fungsi partai untuk “mendidik dan menggembleng kader”.

Djarot juga mempertanyakan bagaimana para individu akan “lebih mempopulerkan dirinya”, bukan partainya. Itu yang disebut Djarot sebagai “populisme”.

“Inilah yang dikhawatirkan pemodal-pemodal masuk, muncullah oligarki di legislatif karena mereka yang berduit dan bermodal besar yang duduk dan terpilih,” tambah dia.
PDI-P 'tidak rasional'

Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto sebelumnya juga mengatakan sistem proporsional tebuka membuat ongkos pemilu mahal, kerja-kerja penyelenggara pemilu jadi melelahkan, dan banyak terjadi manipulasi. Djarot sependapat dengan Hasto.

Kata dia, selama ini partainya sudah melakukan evaluasi terhadap penerapan sistem proporsional terbuka.

Bahkan sejak 2015, pada kongres keempat, dan selanjutnya kongres kelima pada 2019, PDI-P sudah membahas hal itu dan muncul dengan “rekomendasi yang mengarah ke proporsional tertutup”.

Namun, menurut Ni’matul Huda, alasan itu “tidak rasional” karena “kita sudah telanjur memilih demokrasi” sehingga semua risiko harus ditanggung bersama.

“Dulu kenapa rakyat memilih ini, karena kan rakyatnya tidak percaya apa yang dipilih oleh partai politik.

"Jadi ini koreksi dari praktik Orde Baru yang kemudian didorong, diamandemen, supaya diubah,” kata Ni’matul secara terpisah.

Dia justru mendorong partai untuk “menata ulang” sistem mereka dalam mengusung kadernya.

“Harusnya sistemnya yang ditata ulang, jadi orang jangan disuruh beli perahu kalau memang dia layak untuk dinominasikan menjadi kepala daerah atau anggota dewan dulu sehingga hanya orang kaya saja yang bisa masuk ke parlemen karena dia bisa beli atau sewa perahu nya. Kenapa enggak didorong ke sana?” kata Ni’matul mempertanyakan.

Partai harus 'demokratis', masyarakat 'masih butuh figur'

Sementara itu, sebagai pihak yang menolak penerapan sistem proporsional tertutup saat ini, politikus PKS, Nasir Jamil mengaku pihaknya “belum bisa menerima” sistem itu dengan alasan “belum kondusif” dan masyarakat yang masih “butuh figur”.

“Mau tidak mau harus kita akui bahwa kampanye kita ini kan minim sekali penyampaian visi dan misi.

"Coba perhatikan, masyarakat kan jarang mau mendengar visi dan misi, program, sehingga ini akan menyulitkan partai,” kata Nasir.

Anggota DPR RI itu menyebut sistem proporsional tertutup merupakan “tantangan” bagi partai politik karena partai harus bisa menerapkan demokratisasi yang baik terlebih dahulu di tubuh partai agar tidak jadi perselisihan di internal.

“Bukan berarti saya katakan bahwa di tubuh partai hari ini tidak ada demokratisasi, tapi ini tantangan bagi partai politik untuk menguji akuntabilitas, keputusannya.

"Makanya pertanyaannya kembali kepada partai, siap atau tidak untuk melakukan ini?” ujar Nasir.

Sistem proporsional terbuka saat ini, dinilai politikus PKS itu, lebih menguntungkan, karena semua caleg punya harapan dan berlomba-lomba untuk mendapatkan kursi, sehingga tidak hanya mesin partai yang bergerak, tapi juga mesin individu. (*)

Tags : Pemilihan Umum, Sistem Pemilu 2024, Pemilu Mulai Dikhawatirkan, Pilih Coblos Partai atau Individu,