Nusantara   2021/04/13 15:9 WIB

THR, Polemik Dimasa Pandemi dan 'Sulitnya Bertahan Hidup'

THR, Polemik Dimasa Pandemi dan 'Sulitnya Bertahan Hidup'

JAKARTA - Mekanisme pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kembali menimbulkan polemik di tahun kedua pandemi virus corona. Seorang pekerja menyebut, Hari Raya Idul Fitri tahun ini akan - sama dengan tahun sebelumnya - kehilangan maknanya jika THR kembali dicicil, diberikan sebagian atau tidak dibayarkan sama sekali.

"Sudah tidak bisa mudik, kami juga tidak akan bisa memberikan uang ke keluarga kami di kampung. Makna Lebaran menjadi tidak ada lagi bagi kami," kata JP, seorang pekerja perusahaan garmen besar di Tangerang, Banten, Senin (12/04) yang THR-nya tahun 2020 dicicil tujuh kali dirilis BBC News Indonesia.

Berdasarkan laporan dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) setidaknya terdapat 13 perusahaan - mencakup lebih dari 1.400 pekerja- yang belum melunasi THR 2020 hingga sekarang. Sementara berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) , jumlah perusahaan yang belum melunasi THR 2020 lebih besar, yaitu sekitar 54 perusahan. Sedangkan data Kementerian Ketenagakerjaan, terdapat 103 perusahaan yang belum menyelesaikan kewajiban THR tahun lalu.

Kekhawatiran JP muncul akibat "ketidakjelasan" keputusan pemerintah, yaitu Menteri Ketenagakerjaan, yang masih membuka ruang dilakukannya perundingan bipartit antara perusahaan dan pekerjanya dalam pemberian THR, kata KSPI. Di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menyambut baik keputusan ini karena tidak semua perusahaan mampu memberikan THR kepada pekerjanya sehingga pintu musyawarah dibutuhkan.

JP, seorang pekerja garmen perusahaan besar di Tangerang, Banten, khawatir pengalaman sedih Lebaran tahun lalu akan terulang kembali. "Tahun 2020, saya tidak bisa menikmati indahnya Idul Fitri karena dilarang mudik dan ditambah lagi tidak bisa memenuhi kebutuhan hari raya, bahkan tidak bisa mengirimkan uang ke orang tua sebagai tanda cinta akibat THR yang dicicil dan saya khawatir itu akan terulang kembali," kata JP.

JP bercerita, ia dan sekitar 700 pekerja di perusahaannya diputus secara sepihak oleh perusahaan untuk menerima cicilan pembayaran THR tahun 2020 selama tujuh kali hingga Desember 2020 dengan besaran sekitar Rp500 ribu per bulan. Kesedihan JP kembali muncul karena pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan membuka ruang perundingan antara perusahaan dan pekerja jika THR tidak bisa dibayarkan.

Apalagi, hingga kini, kata JP, pembahasan mengenai THR antara perusahaan dan pekerja belum juga dilakukan. "Kami melihat keputusan ini seperti melepaskan kepala ular, tapi dipegang ekornya. Artinya, memutuskan THR wajib dibayar, tapi dibuka peluang perundingan untuk kemungkinan itu dicicil," kata JP.

Padahal, menurut JP, dari tahun lalu hingga sekarang, produksi garmen perusahaan tempat ia bekerja berjalan dengan normal, bahkan ada rekrutmen karyawan kontrak. "Namun akibat ruang abu-abu keputusan pemerintah ini, perusahaannya lebih mengambil opsi pembayaran bertahap, dan jika dibawa ke proses hukum juga hasilnya mandul," katanya.

'Jangankan yang merugi, perusahaan sehat saja minta keringanan'

Sekretaris Jenderal (Sekjen) KSPI, Ramidi, menyebut dampak dari keputusan pemerintah terkait THR 2021 akan menyebabkan banyak perusahaan memilih jalur perundingan bipartit dalam menyelesaikan kewajiban THR. "Karena perusahaan akan mengambil sesuatu yang memiliki peluang untuk mengurangi cost. Jangankan perusahaan yang merugi, perusahaan yang sehat pun akan minta keringanan cicilan THR dengan alasan Covid-19," kata Ramidi.

Berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, terdapat sekitar 54 perusahaan yang hingga kini belum menyelesaikan pemberian THR 2020. Sementara menurut laporan dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) setidaknya terdapat 13 perusahaan - mencakup lebih dari 1.400 pekerja- yang belum melunasi THR 2020 hingga sekarang. "Perusahaan yang belum membayar THR secara lunas ada di Banten, Jakarta, dan Jawa Barat dari perusahaan kecil hingga besar. Bahkan ada satu perusahaan besar yang THR-nya hanya Rp250 ribu. Perusahaan-perusahan itu memproduksi barang branded, diekspor dan nilai jual mahal," kata Ramidi.

'Permainan nakal' yang dilakukan perusahan tersebut seperti yang dicontohkan oleh Riden Hatam Aziz dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI). "Ada perusahaan di Sukabumi yang bilang tidak bisa bayar THR, padahal produksi berjalan terus. Lalu, diminta laporan keuangannya tidak mau. Lalu kemudian karyawannya mogok kerja dan unjuk rasa. Ujungnya, THR dibayar karena perusahaan sanggup.

Ketidakjelasan aturan pemerintah ini dimanfaatkan perusahaan nakal untuk mempermainkan THR dan menciptakan perselisihan di lapangan antara perusahaan dan pekerja," katanya. Untuk itu Riden meminta, pemerintah mencabut ruang bipartit dalam pemberian THR.

'Kesulitan bertahan hidup'

Perundingan bipartit antara pengusaha dan pekerjanya sangat dibutuhkan karena hingga kini masih ada perusahaan yang kesulitan untuk 'bertahan hidup' akibat pandemi virus corona, kata Ketua Komite Advokasi Dewan Pengupahan Nasional (DPN) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Darwoto.

"Permasalahan tetap masalah klasik, cash flow saja. Jadi masih ada perusahaan yang masih terdampak secara signifikan dari Covid-19, dan kesulitan untuk bertahan hidup, tapi banyak juga perusahaan yang sudah mulai berangsur normal aktivitasnya.

"Sehingga kalau kita bandingkan 2020 dengan 2021 maka yang tidak mampu lebih sedikit, tapi kan masih ada. Yang masih ada ini yang harus diberikan ruang sebagai contoh misalnya sektor perhotelan, pariwisata, dan transportasi penumpang," ujar Darwoto.

Untuk itu, menurut Darwoto, diperlukan mekanisme dan pedoman bagi perusahaan yang terus terhimpit akibat pandemi, yaitu dilakukannya diskusi secara bipartit. Darwoto menjelaskan, dalam diskusi tripartit nasional pekan lalu disepakati bahwa pembayaran THR bagi perusahaan yang tidak mampu paling lambat Desember 2021.

Pengusaha restoran yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Sudradjat, menyebut pandemi virus corona masih memberikan dampak dominan bagi industri pariwisata seperti perhotelan, restoran, hingga destinasi pariwisata. "Sekarang orang-orang banyak yang mengurangi makan di mall, menginap di hotel, pergi wisata. Kami sendiri yang punya restoran minus terus pendapatannya karena omset kecil, sementara kalau ditutup kasihan karyawannya," Kata Sudradjat. "Sekarang kami dihadapkan dengan THR, memang perlu ada perundingan untuk jalan tengahnya, jadi ada saling pengertian, saling mengisi satu sama lain melalui ruang perundingan ini," tambah Sudradjat.

Namun Sudradjat mengingatkan agar ruang bipartit ini tidak diselewengkan karena pemberian THR kepada pekerja memiliki peran penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. "Kalau yang mampu saya harapkan bayar, dan yang tidak mampu, hanya separuh, musyawarah mufakat lah. Meskipun ketentuan harus dilakukan tapi kalau duitnya tidak ada, bagaimana? Mau dipailitkan, jual dulu baru bagi THR kan proses juga panjang," ujar Sudradjat.

Perusahaan wajib bayar THR secara penuh dan tepat waktu

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan yang menetapkan bahwa THR Lebaran tahun ini harus dibayarkan secara penuh dan tepat waktu. "Pemerintah sudah memberikan dukungan dalam berbagai bentuk dukungan ke pengusaha untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 agar perekonomian masyarakat bergerak. Untuk itu diperlukan komitmen para pengusaha untuk membayar THR secara penuh dan tepat waktu kepada para pekerja atau buruh," kata Ida dalam konferensi pers virtual tentang THR Tahun 2021 di Jakarta, Senin (12/4).

Menaker Ida meminta perusahaan agar waktu pembayaran THR Keagamaan dilakukan paling lama tujuh hari sebelum hari raya keagamaan. Sementara bagi perusahaan yang masih terdampak Covid-19 sehingga tidak mampu memberikan THR, Ida mewajibkan dialog secara kekeluargaan antara pengusaha dan pekerja untuk mencapai kesepakatan yang dibuat secara tertulis mengenai waktu pembayaran THR. "Perusahaan yang melakukan kesepakatan dengan pekerja atau buruh agar melaporkan hasil kesepakatan kepada dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Ketenagakerjaan setempat," katanya.

Menaker Ida juga meminta kepada perusahaan agar dapat membuktikan ketidakmampuan untuk membayar THR Keagamaan tahun 2021 sesuai waktu yang ditentukan berdasarkan laporan keuangan internal perusahaan secara transparan. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, terdapat 103 perusahaan yang belum menyelesaikan kewajiban THR tahun 2020 lalu dari total 410 laporan pengaduan. (*)

Tags : Tunjangan Hari raya, THR, Polemik Dimasa Pandemi, Sulitnya Bertahan Hidup,