"Perusahaan sawit buka program plasma yang dirancang sejak era orde baru dengan tujuan mengangkat perekonomian tetapi tidak sediakan kewajiban hukumnya"
rogam plasma dirancang di era Orde Baru, tujuannya memberdayakan masyarakat sekitar perkebunan sehingga mereka turut menikmati hasil kebun dan mengangkat perekonomian. Tapi seiring tahun berlalu, aturan justru memihak pada konglomerasi.
Banyak keluarga di Indonesia mengaku menyerahkan tanah mereka kepada perusahaan-perusahaan sawit yang menawarkan mimpi akan kehidupan yang lebih baik. Masyarakat dapat kehilangan triliunan rupiah per tahun karena, mereka menuduh, perusahaan-perusahaan sawit ini tidak memenuhi kewajiban hukumnya untuk menyediakan plasma.
Banyak yang kemudian mengaku merasa terperangkap dalam skema yang eksploitatif dengan pembagian hasil keuntungan yang tidak proporsional, dan terlilit utang dari bank.
Lebih dari 20 tahun lalu, menurut warga, sebuah perusahaan sawit mendekati Orang Rimba dengan janji "meningkatkan kesejahteraan". Jika Orang Rimba menyerahkan tanahnya, kata mereka, perusahaan akan mengembalikan lagi sebagian lahannya dengan telah ditanami sawit.
Seperti Suku Anak Dalam atau Orang Rimba, secara turun-temurun di Tebing Tinggi, Sumatra Selatan harus mencari rontokan buah sawit di tanah orang lain, sementara tanahnya sendiri - lahan yang dia katakan milik sukunya tak bisa lagi diinjaknya.
Suku Anak Dalam mengatakan mereka dijanjikan bisa memanen buah sawit dari tanah itu, dan hasilnya dijual kembali ke perusahaan. Ini berarti, pikir Orang Rimba kala itu, pekerjaan dan uang.
Pondok SAD Tebing Tinggi di atas kebun milik orang lain.
Siti Maninah tak menyangka, bertahun-tahun setelahnya, mereka justru terpaksa meninggalkan tanah mereka sendiri, tanpa rumah dan tanpa rupiah yang dihasilkan dari perkebunan sawit yang telah menggusur tempat tinggal mereka.
'Inti yang mengembangkan plasma'
Sebelumnya, hanya perusahaan swasta dan BUMN - eks nasionalisasi perkebunan kolonial - yang mengelola perkebunan sawit. Hingga pada 1970-an pemerintah Indonesia membuat inisiatif baru.
Ide ini terinspirasi dari model sel biologis, di mana sebuah sel memiliki dua bagian, inti dan plasma. Dengan skema kemitraan, perusahaan bertindak sebagai 'inti' sementara 'plasma' adalah petani sekitarnya.
'Inti' diharapkan dapat membantu 'plasma', mempersiapkan dan membina plasma dalam memelihara, mengelola dan menampung hasil kebun plasma.
Tahun 1977, konsep kemitraan Nucleus Estate and Smallholders (NES) mulai diterapkan, dengan pembiayaan dibantu dari luar negeri, salah satunya Bank Dunia.
Pemerintah akan memberikan insentif bagi perusahaan sawit yang berkomitmen memberikan hingga 80% area tanam mereka untuk plasma.
"Oleh karena itu sangat aneh bila perusahaan berkata mereka tidak punya kewajiban [sebelum 2007]," kata Pantja Pramudya dari lembaga riset Mindset Institute. "Ini seperti mereka melupakan masa lalu."
Skema PIR-Trans, yang ditetapkan pada 1986, didesain untuk membantu para transmigran dari Jawa yang pindah ke sebelas provinsi berbeda memulai kehidupan baru.
"Mereka diberikan lahan seluas 2,5 hingga 3 hektare untuk dijadikan plasma," kata Sri Palupi, peneliti dari lembaga riset The Institute of Ecosoc Rights seperti dirilis BBC News Indonesia.
Namun kehidupan di perkebunan sangat berat. Banyak petani yang kemudian terlilit utang untuk biaya membuka kebun, dan mendapati keuntungan dari 2-3 hektare tak cukup untuk menutup rugi, menurut para akademisi yang mempelajari skema awal plasma. Banyak petani pulang kembali ke desa asal.
Namun plasma juga bisa mengubah kehidupan, terutama bagi mereka yang berhasil melewati tahun-tahun berat di awal kebun dibuka.
Melalui PIR-Trans, menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) di situsnya, petani yang berhasil mengelola kebun plasmanya, mulai dapat mengembangkan kebun secara mandiri dan akhirnya lepas dari kerja sama dengan perusahaan.
"Bila skema ini diterapkan dengan tepat, di masa lalu plasma dapat membantu memberantas kemiskinan," kata Idsert Jelsma, konsultan lingkungan yang fokus pada riset tentang perkebunan sawit untuk petani kecil selama lebih dari sepuluh tahun.
Saat musim panen tiba mereka akan mendapatkan untung hingga tiga kali UMR. Masyarakat bisa membangun rumah, membeli mobil, dan menyekolahkan anak-anaknya hingga universitas.
"Plasma adalah alat yang bagus untuk di masa lalu untuk membantu masyarakat, dan bisa terus begitu."
Mat Yadi mengutip buah sawit yang rontok dari pohonnya, dikumpulkan untuk dijual.
Terlebih, ribuan petani masih bergantung pada kerja sama kemitraan inti-plasma.
Namun dalam perjalanannya hingga sekarang, Sri Palupi mengilustrasikan, pembagian hasil dalam skema plasma semakin mengecil.
Dalam skema KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota), pemilik tanah bersertifikat akan menyerahkan lahannya, dengan skema yang "tergantung kebaikan perusahaan", kata Sri, "Ada yang 40-60, 30-70, ada juga yang enggak jelas."
"Kelahiran program KKPA memperlihatkan kewajiban yang jauh lebih longgar bagi perusahaan," tukas Pantja.
Sementara di skema Revitalisasi, ujar Sri, pembagian hasil kebun sawit untuk petani plasma "kebanyakan kurang dari 20 persen."
"Semakin ke sini semakin buruk. Dan yang paling buruk adalah Revitalisasi. Ini skema abal-abal, karena kebunnya ada, tapi petani tidak terima hasilnya," tukas Sri. "Makin ke sini, justru semakin merugikan masyarakat."
'Tidak ada lahan lagi'
Selama lebih dari satu dekade, berbagai laporan mengungkap perusahaan perkebunan sawit merebut lahan masyarakat adat dan membabati hutan hujan. Segala publikasi ini mendorong industri sawit melakukan reformasi.
Kebanyakan produsen barang konsumsi besar di dunia kini mengeklaim telah memiliki aturan ketat tentang menghindari deforestasi dan "mengeksploitasi" masyarakat lokal.
Industri sawit di Indonesia secara umum membantah ada persoalan besar terkait plasma.
Alasan yang sering dikemukakan mengapa perusahaan 'susah' menyediakan plasma adalah tiada lagi lahan yang dapat dibuka untuk perkebunan sawit, meskipun areal perkebunan mereka sendiri telah terbentang hingga ribuan kilometer persegi di seluruh Indonesia.
"Ini kita tidak bisa membangun plasma karena areal plasma itu ada di kawasan hutan," kata Eddy Martono dari GAPKI menirukan laporan perusahaan sawit anggota GAPKI kepada organisasinya.
Jika "dipaksa membangun", lanjut Eddy, perusahaan akan melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. "Itu pidana," ujar dia.
Buah sawit yang rontok dari pohonnya, atau rontok saat dipanen.
Namun perusahaan sawit memiliki penafsiran berbeda-beda tentang aturan 2007 ini.
Dari 18 pemilik perusahaan sawit yang kami hubungi, hanya tiga perusahaan yang menjawab pertanyaan kami terkait penafsiran aturan plasma.
Mereka mengaku menafsirkan aturan 2007 sebagai 'masyarakat berhak mendapatkan seperlima dari apa pun yang ditanam perusahaan'.
Dalam sebuah kontrak perjanjian antara perusahaan sawit dengan warga di Papua, tertulis bahwa masyarakat akan mendapatkan 20% dari "lahan yang diusahakan", sesuai dengan aturan 2007.
Namun perusahaan sawit lain bisa jadi menafsirkan aturan ini berbeda: bahwa mereka dapat mengelola semua areal lahan yang telah memiliki izin pemerintah, kemudian membebankan masyarakat untuk mencari lahan lain sebagai plasma.
Padahal, masyarakat telah menyerahkan semua tanah mereka kepada perusahaan dan menaruh harap akan mendapatkan plasma. Saat mereka diberitahu bahwa mereka harus mencari tanah lagi, tak ada lahan yang tersisa.
"Jadi setiap masyarakat menuntut plasma, lalu perusahaan bilang, 'Oke, carikan kami lahan'. Dicarikan lahan betul-betul itu. Tapi, itu tidak pernah cukup.
"Mereka selalu minta lahan terus, lahan untuk plasma, lahan untuk plasma. Nah, masyarakat bertanya, lahan [plasmanya] mana?" tukas Djayu Sukma Ifantara, dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), sebuah organisasi advokasi hak-hak adat.
Ini karena, menurut pengamat lainnya, perusahaan dapat mengalokasikan plasma di lokasi berbeda dari lahan serahan masyarakat.
"Masyarakat memberikan tanah yang [lokasinya] strategis, tukarannya itu bukan di tanah yang masyarakat serahkan. Tapi diberikan di lokasi yang lain," kata Inda Fatinaware dari Sawit Watch.
"Perusahaan berkata, 'Kita tidak bisa memberikan 20 persen karena tidak ada lahan lagi'," kata Tania Li, profesor antropologi dari Universitas Toronto yang melakukan riset tentang pedesaan di Indonesia.
"Terang saja, karena perusahaan sawit sudah mengambil semua lahan yang ada. Mereka memiliki perkebunan sawit yang saling berdempetan."
Marselinus Andri dari Serikat Pekerja Kelapa Sawit (SPKS) juga beranggapan perusahaan seharusnya menyisihkan lahan berizin Hak Guna Usaha (HGU) sebagai plasma, alih-alih mencari lagi tanah di luar itu.
"Maka kalau dia, secara aturan adalah 'lahan yang diusahakan', maka lahan itu sebenarnya sumbernya dari HGU. Bukan dari penyerahan lahan masyarakat," kata Andri.
Meski begitu, perdebatan ini bisa jadi sia-sia karena Undang-Undang Cipta Kerja. Di dalamnya, disebutkan bahwa perusahaan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat "sekitar seluas" 20% dari luasan total, dengan areal di luar HGU atau Pelepasan Kawasan Hutan.
"Kemudian di dalam turunan UU Cipta Kerja, di Permentan Nomor 18 Tahun 2021, jelas di situ fasilitas pembangunan kebun masyarakat tidak harus membangun kebun [plasma]. Bisa dalam kegiatan lain yang produktif," ujar Eddy Martono dari GAPKI.
Eddy merujuk pada pasal 7 peraturan tersebut, yang memberikan opsi untuk "bentuk kegiatan lainnya" sebagai usaha produktif perkebunan.
Namun Inda, tak sepakat.
"Hakim MK menganggap UU Cipta Kerja perlu diperbaiki. Artinya, UU ini bermasalah dan belum bisa menjadi rujukan secara hukum. Karena ini bermasalah, kok bisa, menjadi rujukan dalam aturan-aturan turunannya?" sebut dia.
Satu Atap yang 'banyak masalah'
"Menanam sawit ini kan cukup berat, terutama di daerah dataran rendah. Kalau kita mengolah sendiri, kurang mampu," ungkap Laurensius Asia, warga Desa Teluk Bakung, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. "Maka saat ada tawaran [kemitraan] dari perusahaan [sawit], kami bersedia."
Perusahaan sawit itu, kata dia, menawarkan kemitraan plasma dengan pola 'satu atap' kepada Laurensius dan warga desa pada 2010. Di seluruh Indonesia, setelah 2007, satu atap menjadi salah satu pola kemitraan yang paling banyak diterapkan.
Dalam pola ini, warga tidak memiliki peran aktif. Perusahaan akan mempekerjakan tenaga untuk merawat kebun plasma, dan warga diberitahu mereka akan menerima keuntungan dari sawit berupa uang. Ini dengan logika, perusahaan lebih bisa mengelola perkebunan dengan lebih efisien ketimbang warga.
"Di sini pemerintah [Indonesia] menjadi sangat neoliberal dan membiarkan perusahaan menjalankan apa yang mereka mau," kata Lesley Potter, periset di Universitas Nasional Australia yang fokus pada Indonesia.
"Tentu saja perusahaan menjalankan dengan senang hati, sampai mereka memutuskan untuk menyingkirkan petani plasma."
Kritik utama pada skema kemitraan ini adalah kurangnya transparansi, menurut Sri Palupi, perusahaan menjadi "cenderung manipulatif".
Petani plasma - kerap kali diwakili oleh koperasi - akan membuat pinjaman bank, sementara perusahaan berperan sebagai penjamin (avalis). Setelah pinjaman bank turun, perusahaan mengelola dana itu untuk mengolah kebun plasma. Petani yang harus membayar kredit ke bank.
Tuduhan soal transparansi ini ditepis oleh GAPKI.
"Justru [satu atap] ini lebih terkontrol. Semua transparan, kok. Harga transparan, semua transparan. Kita tidak bisa tiba-tiba menentukan harga sendiri. Tidak ada yang tidak transparan di situ," kata Eddy Martono, Sekjen GAPKI.
Namun sebagian petani, setidaknya yang kami temui, mengatakan biaya untuk urusan lain di perkebunan tak dijelaskan dengan terang-benderang. Termasuk, urusan jumlah utang-piutang ke bank.
"Untuk infrastruktur, termasuk biaya-biaya seluruhnya menjadi utang. Nanti dipotong [dari keuntungan] setelah tanaman berhasil," papar Laurensius, petani plasma di Teluk Bakung, menjelaskan isi perjanjian yang ditandatanganinya dengan perusahaan sawit.
Palmdale, perusahaan yang beroperasi di Teluk Bakung itu, tidak merespons permintaan wawancara kami.
Pola sama juga umum dilakukan di tempat-tempat lain, menurut Inda Fatinaware dari Sawit Watch.
"Dua puluh persen itu terpotong lagi, ada jalan-jalan, sarana-sarana lain. Jadi sebenarnya perusahaan itu tidak memfasilitasi modal. Semua dibebankan ke petani, yang tidak diinformasikan di awal," papar Inda.
Di sejumlah tempat, imbuh Inda, warga bahkan tidak diberitahu berapa utang mereka ke bank.
"Petani itu mencicil terus. Tidak diinformasikan, sampai kapan dia harus membayar utang. Sehingga banyak dari plasma yang sudah sekian tahun, belum selesai hutangnya," sebut Inda.
Kami mengirim tim untuk menemui 15 kelompok masyarakat di enam provinsi, di mana perusahaan sawit menetapkan kerja sama plasma dengan skema 'satu atap'.
Di semua tempat yang kami datangi, warga mengatakan tidak memiliki akses informasi tentang bagaimana pembayaran bagi hasil dihitung, atau kapan utang mereka akan lunas.
Data dokumen finansial yang kami peroleh dari koperasi plasma Teluk Bakung menunjukkan per 2019, petani berhutang sebesar Rp262 miliar atau nyaris Rp93 juta per hektare.
Di Desa Antutan, Bulungan, Kalimantan Utara, warga melalui koperasi plasma berutang Rp8 miliar ke bank, atau Rp67 juta per hektare. Hasil panen sawit hingga bertahun-tahun mendatang, habis untuk mencicil hutang.
"Sampai kita mati, mungkin belum tahu hasil plasma itu bagaimana," kata Encuk Nyaring, Kepala Desa Antutan kepada kami.
Adakah kisah baik tentang plasma?
Sejauh ini, sulit menemukan kasus praktik kerja sama perusahaan dan petani plasma yang setara, transparan dan saling menguntungkan.
Namun, Ecosoc Right pernah menuliskan praktik pengembangan perkebunan sawit yang cukup menyejahterakan petani saat mereka mendapat dukungan dari pemerintah daerah, dan perusahaan negara.
Ini terjadi di Desa Rantau Bertuah, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Desa ini adalah desa eks-transmigrasi Hutan Tanam Industri (HTI) yang gagal karena ditelantarkan oleh perusahaan pengelolanya. Dus, diikutsertakan program pembangunan kebun sawit untuk rakyat.
Pada 1993-1994, sebanyak 300 keluarga transmigran mulai menempati Desa Rantau Bertuah. Mereka mendapat jatah lahan satu hektare per keluarga dari pemerintah dan seperempat hektare untuk rumah "termasuk pekarangan yang bisa ditanami".
Lahan mereka sempat ditanami tanaman tahunan seperti karet, akasia dan sawit oleh perusahaan melalui pola kemitraan, tapi gagal karena kurang perawatan.
Selama sepuluh tahun terombang-ambing ketidakjelasan dari hasil perkebunan ini, ada warga yang mulai frustasi, menjual lahannya, lalu meninggalkan desa.
Saat terjadi pemekaran daerah, Pemerintah Kabupaten Siak menggelontorkan apa yang disebut sebagai program "pemberdayaan ekonomi kerakyatan".
Pemerintah Daerah menggandeng perusahaan negara untuk urusan pengelolaan lahan.
"Mereka tahu mereka tak mahir dalam mengelola, untuk pelaksanaan pekerjaan dipercayakan kepada PTPN V. Berhasil tahun 2004/2005 ditanam pola itu," kata Muhammad Muslim Saragih, mantan ketua Koperasi Sumber Rezeki yang menaungi pengelolaan petani sawit di Desa Rantau Bertuah.
Pembayaran kredit pembangunan dan perawatan kebun sawit dilakukan secara tanggung renteng melalui pemotongan hasil panen sebesar 30%.
Mulai 2012, pengelolaan sepenuhnya diserahkan kepada koperasi. Enam tahun setelahnya, hutang itu lunas.
"Artinya kita kelola sampai sekarang bersama dengan masyarakat, dengan kelompok, dengan anggota," kata Muslim.
Di tengah harga sawit yang sedang melambung belakangan ini, "Ada yang pendapatan kotornya Rp21 juta dengan cuma dua hektare itu sebulan."
"Kalau kita lihat mulai dari anak sekolah, sekarang rata-rata anak kuliah. Bangunan rumah, dulu kan dia papan 6x6 meter, semua beralih menjadi bangunan yang layak. Kemudian dulu, mobil cuma satu, sekarang mobil berserak di dalam itu," tambah Muslim.
Kisah ini menjadi contoh bagaimana plasma dapat membantu kesejahteraan masyarakat lokal. Salah satu faktor utama dalam kesuksesan ini, menurut Ecosoc Right, adalah keterlibatan pemerintah sebagai fasilitator.
Seperti yang diungkapkan Muslim, "Pemda Siak sangat serius."
Moratorium kelapa sawit
Pemerintah belum mengumumkan apakah akan memperpanjang atau menyudahi moratorium kelapa sawit, yang habis masa berlakunya pada 19 September 2021. Di tengah ketidakpastian ini, UU Cipta Kerja berlaku. Pegiat lingkungan memperingatkan celah ini bisa menjadi keran pemberian perizinan baru.
Menurut laporan koalisi Moratorium Kelapa Sawit yang beranggotakan sejumlah LSM lingkungan hidup, pemerintah Papua Barat dan KPK telah menelaah ulang perizinan 30 perkebunan kelapa sawit selama setidaknya dua tahun terakhir. Hasilnya, perizinan 14 perusahaan kelapa sawit dicabut dengan total luas lahan hampir mencapai 270.000 hektare.
Direktur Eksekutif dari Indonesian Centre of Environmental Law atau ICEL, Raynaldo G Sembiring menganggap hal itu adalah contoh keberhasilan dari moratorium sawit.
"Sehingga mereka [para kepala daerah] melakukan preview perizinan dan menghentikan usaha-usaha yang tidak memenuhi syarat-syarat administratif dan syarat-syarat substantif," kata Raynaldo lewat sambungan telepon.
Deputi bidang koordinasi pangan dan agribisnis Kemenko Perekonomian, Musdhalifah Machmud, menyebut laporan hasil evaluasi moratorium sawit telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.
Ditanya lebih lanjut kapan akan ada jawaban terhadap laporan hasil evaluasi itu, Musdhalifah menjawab melalui pesan singkat: "Kita tunggu saja."
Baru-baru ini, bupati Kabupaten Sorong, Papua Barat mencabut empat izin perusahaan kelapa sawit di wilayahnya. Laporan koalisi Moratorium Kelapa Sawit mengatakan bahwa lahan yang berasal dari tanah adat itu akan dikelola kembali oleh masyarakat adat.
Menurut Raynaldo dari ICEL, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas [moratorium sawit] memberi dasar yang kuat bagi kepala daerah untuk membenahi perizinan kelapa sawit di wilayahnya.
"Inpres ini memberikan satu semangat baru bagi para kepala daerah untuk melakukan pengelolaan hutan yang lestari," katanya.
Namun pencapaian dari moratorium sawit dikhawatirkan sia-sia.
Sebagaimana dilaporkan kantor berita Reuters, pasca berakhirnya moratorium sawit, Deputi bidang koordinasi pangan dan agribisnis Kemenko Perekonomian, Musdhalifah Machmud, mengindikasikan Indonesia akan menggunakan regulasi yang sudah ada, yakni UU Cipta Kerja.
Akan tetapi, Omnibus law itu tidak mengatur mengenai penangguhan pemberian izin baru pada perkebunan kelapa sawit. Sementara, PP nomor 26 tahun 2021 yang merupakan turunan dari UU Cipta kerja, mengatur batasan luas komoditas perkebunan strategis. Dalam PP tersebut, luas perkebunan kelapa sawit diizinkan mencapai minimal 6.000 hektare dan maksimal 100.000 hektare.
Saat ditanya apakah izin perkebunan sawit baru bisa diberikan menggunakan dasar hukum tersebut, Musdhalifah menjawab "Semua harus sesuai dengan peraturan yang ada; silahkan baca aturannya."
Di sisi lain, dalam diskusi daring bertajuk Moratorium Sawit: Apa Setelah Tenggat 3 Tahun yang digelar pada Kamis (23/09), Sekretaris Jenderal Kementan, Kasdi Subagyono, menyetujui kelanjutan moratorium sawit.
Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berpendapat moratorium kelapa sawit sebaiknya dibicarakan dengan Kementerian Pertanian dan Kemenko Perekonomian.
Inda Fatinaware selaku Direktur Eksekutif LSM Sawit Watch yang memantau keberlanjutan sawit, tidak menyambut baik jika UU Cipta Kerja mengatur perizinan lahan kelapa sawit.
"Perbaikan yang dilakukan melalui moratorium sawit di tengah jalan 'dibegal' oleh UU Cipta Kerja," kata Inda kepada BBC Indonesia melalui pesan singkat.
Direktur Eksekutif dari Indonesian Centre of Environmental Law atau ICEL, Raynaldo G Sembiring, mengamini pendapat tersebut. Sebab, menurutnya, UU Cipta Kerja bertujuan untuk memberikan kemudahan berusaha dalam bentuk penyederhanaan dan percepatan perizinan.
Bony, staf riset pengembangan LSM Sawit Watch, menduga akan ada banyak perusahaan yang mengantre moratorium berakhir.
"Ini kan tinggal menunggu keran saja, kalau sudah begini cepat ini [mengurus perizinan baru]," katanya. "Saya pikir ini sudah lama antre, ketika ada peluang ini pasti dipercepat."
Selama moratorium sawit tidak diperpanjang, Sawit Watch juga mewaspadai peluang meningkatnya deforestasi seiring dengan pemberian izin lahan perkebunan sawit baru.
Moratorium selama tiga tahun dianggap tidak cukup
Berdasarkan catatan Greenpeace, seluas 4,4 juta hektare lahan atau setara delapan kali luas Pulau Bali terbakar antara tahun 2015 sampai 2019.
Sebanyak 30% di antaranya berada di konsesi kelapa sawit dan pulp atau bubur kertas.
Ketua tim kampanye hutan Greenpeace, Arie Rompas, mengatakan setelah 2019 tidak ada kebakaran signifikan.
Namun Arie tidak bisa memastikan apakah ini bagian dari keberhasilan moratorium atau bukan.
"Tidak ada dampak langsung dari moratorium sawit, karena tidak ada evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah selama moratorium yg dipublikasikan," kata Arie.
"Kecuali pencabutan izin oleh pemprov Papua Barat yang berujung pencabutan izin sawit. Itu yang signifikan."
Protes terkait plasma terus melutus di seluruh Indonesia.
Menurut Sawit Watch, keseriusan kepala daerah seperti di Papua Barat juga terlihat di wilayah-wilayah lainnya. Keseriusan ini harus diimbangi komitmen yang sama kuatnya dari pemerintah.
"Banyak tugas-tugas yang diamanahkan di inpres ini belum terselesaikan. Kita sadari waktu tiga tahun tidak cukup untuk melakukan itu semua [maka] penting moratorium sawit diperpanjang dan diperkuat," jelas Inda.
Keterbukaan data pun menjadi hal yang disoroti selama pemberlakuan moratorium tiga tahun ke belakang. Pemerintah dinilai masih memiliki 'pekerjaan rumah' untuk memberikan akses informasi yang jelas kepada publik.
Informasi itu mencakup kemajuan moratorium dan target yang akan diraih selanjutnya, mekanisme pengawasan dan kontrol yang jelas saat izin telah diberikan, serta mekanisme sanksi yang jelas jika pelaku usaha melakukan pelanggaran.
"Itu kan hal yang penting juga bukan hanya untuk para pegiat lingkungan dan pemerintah tapi juga bagi bisnis [perkebunan kelapa sawit]," jelas Raynaldo dari ICEL.
"Pelaku usaha pasti menginginkan kepastian hukum dan bagaimana aturan main yang jelas."
Pada akhirnya para pegiat lingkungan tidak hanya menunggu kepastian apakah moratorium dilanjutkan atau dihentikan. Mereka pun menunggu hasil evaluasi pemerintah sebagai basis kebijakan selanjutnya.
Suku Anak Dalam: ‘Kami sudah sering dibohongi’
Masyarakat berpotensi kehilangan triliunan rupiah setiap tahun, karena perusahaan sawit gagal memenuhi kewajiban mereka membangun plasma, seperti yang dimandatkan oleh undang-undang.
Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba di Desa Tebing Tinggi, Sumatra Selatan, mengaku menyerahkan lahan kepada sebuah perusahaan sawit pada 1995, yang menurut mereka menjanjikan kesejahteraan di masa depan.
Setelah tiga generasi, tanah mereka telah berganti menjadi perkebunan sawit, namun Orang Rimba justru melewati penjara dan kemiskinan.
Ini hanyalah satu dari seratus lebih konflik perkebunan sawit dalam sepuluh tahun terakhir yang berkaitan dengan plasma - sebuah sistem yang semula ditujukan untuk membangun kesejahteraan dan membentuk kemandirian masyarakat lokal.
Mat Yadi menelusuri jalur sungai sambil sesekali menghujam tombaknya di antara patahan batang pohon yang sudah tumbang.
Salah satu Kepala Suku Orang Rimba kubu Tebing Tinggi itu berusaha memburu kura-kura, ikan atau labi-labi yang bersembunyi di antara bebatuan, sebagai "lauk makan" buat keluarga.
Tapi hari itu, tak ada hewan buruan didapat. Mat Yadi memutuskan mencabut kakinya dari dalam lumpur sungai, dan beranjak mendaki ke tepian.
"Kalau dulu itu satu hari minimal paling tidak satu atau dua ekor [hewan buruan]. Sekarang ini ndak dapat lagi. Kadang-kadang berminggu-minggu, juga ndak dapat," kata Mat Yadi saat ditemui, Oktober 2021.
Suara anjing meraung-raung terdengar samar dari kejauhan, menandakan pondok Mat Yadi sudah dekat. Pondok yang ditempati Mat Yadi bersama istri dan dua anaknya adalah susunan kayu dengan terpal biru sebagai atapnya.
Belasan pondok serupa yang ditempati sekitar 20 keluarga Orang Rimba Tebing Tinggi, dibangun melingkar.
Tanah ini milik orang lain, kata Mat Yadi.
"Kami mengungsi di sini, karena terusir oleh perusahaan, setelah tanah kami dikuasai oleh perusahaan," kata Mat Yadi.
Padahal awalnya, kata Mat Yadi, Suku Anak Dalam memiliki lahan hutan adat yang disebutnya "sangat penting untuk sumber kehidupan kami, anak cucu kami."
"[Tanah adat itu] diserahkan pada perusahaan, tapi nyatanya nggak ada dikembalikan lagi ke kami, sudah diambil semua. Janji ini tadi, bohong," lanjut Mat Yadi.
Pada periode 1995-1996, sebut Suku Anak Dalam, PT London Sumatra Indonesia (PT Lonsum) menawarkan kemitraan inti-plasma kebun sawit.
Orang Rimba Tebing Tinggi sepakat menyerahkan lahan mereka pada perusahaan dan sebagai gantinya, kata mereka, perusahaan berjanji mengembalikan sebagian tanahnya kepada mereka, dengan telah ditanami sawit.
"PT Lonsum mau bertatap muka dengan masyarakat dengan tujuan membuka kebun, yang caranya adalah mitra kerja," kata Rebani bin Hasyim, yang kala itu menjabat sebagai Sekretaris Desa Tebing Tinggi.
Saat itu, Orang Rimba mengaku memiliki lahan hutan adat seluas 2.500 hektare di Desa Tebing Tinggi - salah satu desa tertua di Sumatra Selatan yang terbentuk secara alami.
Dari 2.500 hektare itu, menurut catatan mereka, sebesar 1.100 hektare akan diberikan sebagai plasma kepada kelompok transmigran dari Desa Karya Makmur.
Sementara sisanya, seluas 1.400 hektare atau 10 kali kompleks Stadion Gelora Bung Karno dijanjikan akan dibangun kebun plasma yang hasilnya menjadi hak Orang Rimba.
"Tujuannya, untuk kesejahteraan masyarakat," tambah Rebani yang mengatakan, saat itu ia memegang janji lisan dari PT Lonsum.
Kini, pohon-pohon sawit yang ditanam PT Lonsum telah menjulang tinggi, dipanen berkali-kali. Hasilnya dibawa ke pabrik pengolahan dan menghasilkan minyak sawit bernilai jutaan dolar.
Namun lebih dari seperempat abad kemudian, Suku Anak Dalam mengaku tidak pernah menerima sepeser pun keuntungan yang dijanjikan.
PT PP London Sumatra Indonesia Tbk berdiri sejak 1906. Menurut laporan tahunan perusahaan pada 2020, di seluruh Indonesia, PT Lonsum menguasai lahan sawit seluas 96.074 hektare - ini setara dengan gabungan wilayah Jakarta, Bogor dan Depok.
Perusahaan ini adalah anak perusahaan Salim Group, salah satu konglomerasi terbesar di Indonesia.
Dari 1.400 hektare perkebunan kelapa sawit yang menurut Suku Anak Dalam dijanjikan kepada mereka, kami memperkirakan PT Lonsum dapat menghasilkan USD $1,2 juta per tahun atau sekitar Rp17,2 miliar.
Selama dua dekade konflik lahan ini, keuntungan dari kebun seluas itu kemungkinan telah melampaui USD $30 juta atau lebih dari Rp430 miliar.
Kami telah mengirimkan permintaan wawancara ke PT Lonsum. Melalui surat elektronik, Sekretaris Perusahaan Endah R. Madnawidjaja mengatakan, "Dengan sangat menyesal saat ini Direksi Lonsum belum bersedia berpartisipasi sebagai narasumber dalam wawancara tersebut."
Indofood Agri Resources, perusahaan induknya, juga tidak menanggapi permintaan komentar atas temuan-temuan kami.
Janji manis plasma
Sejak 1970-an, pemerintah Indonesia mendorong perusahaan-perusahaan membangun perkebunan untuk masyarakat lokal atau kelompok transmigran dengan skema kemitraan "inti-plasma".
Perusahaan bermitra dengan masyarakat; mengelola lahan menjadi perkebunan yang modalnya berasal dari bank atau pinjaman lainnya. Kemudian, biaya modal tersebut dikembalikan oleh petani dengan cara mencicil dari potongan hasil panen.
Dalam kemitraan ini, perusahaan mendapat jatah perkebunan dari lahan yang diserahkan masyarakat atau negara, disebut sebagai "inti". Sementara bagian lahan perkebunan masyarakat disebut sebagai "plasma".
Namun seiring dengan semakin banyaknya perusahaan perkebunan di Indonesia, berbagai tuduhan mulai bermunculan terhadap perusahaan-perusahaan yang mengingkari janji - dan kewajiban hukum - untuk menyediakan plasma.
Akan tetapi, tidak ada yang tahu seberapa besar skala permasalahan ini.
Kami lantas meneliti laporan perusahaan, catatan pengadilan, data pemerintah, dan mewawancarai lebih dari 200 orang yang terdiri dari penduduk desa, pejabat, akademisi, aktivis, dan perusahaan.
Berdasarkan laporan-laporan media dan sumber-sumber lain, kami mengidentifikasi tuduhan-tuduhan telah dilayangkan masyarakat terhadap lebih dari 150 perusahaan sawit karena gagal menyediakan plasma selama sepuluh tahun terakhir.
Data terbaik yang tersedia dari pemerintah memberikan gambaran suram, yang menunjukkan perusahaan-perusahaan sawit telah gagal menyediakan ratusan ribu hektar plasma untuk masyarakat.
Puluhan ribu keluarga di Indonesia berpotensi tidak menerima plasma dan secara kumulatif kehilangan triliunan rupiah per tahun yang seharusnya menjadi milik mereka.
'Harapan terakhir Orang Rimba'
Sementara itu, Suku Anak Dalam atau Orang Rimba kini hidup berdampingan dengan kemiskinan.
Orang Rimba Tebing Tinggi, yang menurut data Tim Advokasi Orang Rimba berjumlah sekitar 571 keluarga, sekarang tinggal berpencar-pencar. Ada yang hidup di kebun-kebun orang, seperti Mat Yadi. Ada pula yang bermigrasi ke desa-desa tetangga.
"SAD tidak ada lagi mata pencariannya atau bertahan hidup sehari-hari. Mau berkebun tidak ada lagi hutan, mau memotong [kayu] jelutung, atau mengambil isi hutan tidak ada lagi, dikarenakan sudah dijadikan perkebunan sawit.
"Harapan terakhir SAD adalah plasma yang dijanjikan PT Lonsum," kata pengacara Orang Rimba, Mustika Yanto.
Medi Iswanda, anggota Tim Advokasi Orang Rimba Tebing Tinggi, berkata masyarakat telah melakukan "aksi dan demo" sejak 2001.
Masyarakat juga telah mengadukan persoalan plasma ini ke pemerintah, mulai dari pemda hingga ke DPRD Musi Rawas, namun tidak menemukan penyelesaian.
Di rapat Komisi I DPRD Musi Rawas 2013, misalnya, disebutkan bahwa PT Lonsum "tidak mempunyai referensi serta tidak mengetahui letak lokasi atas lahan".
Dalam berita acara ini juga disebutkan surat Hak Guna Usaha (HGU) nomor 10 tahun 2000 yang dimiliki PT Lonsum, janggal.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Musi Rawas mencatat "tidak pernah membuat atau mengeluarkan surat Keputusan Hak Guna Usaha atas lahan seluas 1.400 hektare yang terletak di Desa Tebing Tinggi Kecamatan Nibung untuk diberikan kepada PT Lonsum Tbk".
"Benar," kata I Wayan Kocek yang saat itu menjabat Ketua Komisi I DPRD Musi Rawas Utara, merujuk pada dokumen tersebut. "Mereka nggak bisa menjelaskan begitu ada detail," katanya.
Dalam sebuah kesepakatan pada 2015, PT Lonsum disebut bersedia membangun kebun Plasma untuk Orang Rimba Tebing Tinggi. Namun, Orang Rimba mengatakan, itu adalah janji untuk kesekian kalinya.
Janji-janji yang tak kunjung terealisasi itu, kata Orang Rimba, membuat kesabaran mereka habis.
Pada awal 2017, sebagian Suku Anak Dalam mendirikan pondok-pondok dan memasang patok batas di atas lokasi lahan pengganti yang mereka klaim dijanjikan PT Lonsum, sebagai bentuk protes.
Namun, sebut mereka, pondok-pondok yang terbuat dari kayu dan terpal lalu dibongkar paksa.
Aksi balasan dilakukan, para pengunjuk rasa menahan mobil Dam Truk Dutro milik perusahaan. Pemerintah setempat berusaha melakukan mediasi, tapi para demonstran tak mendapat jawaban pasti.
"Jika tidak ada penyelesaian pada hari ini, kita langsung bakar saja. Kita bakar dulu pos sekuriti Lonsum sebagai peringatan," teriak seseorang, menurut catatan pengadilan dalam sidang tuntutannya di kemudian hari.
Mendengar komando itu, sebagian warga kembali beraksi. Dengan mobil dan sepeda motor mereka membawa kayu dan minyak solar yang sudah dibungkus dengan plastik, lalu menuju pos keamanan dan kantor divisi PT Lonsum Sei Kepayang Estate.
Mereka memecahkan jendela-jendela dengan batu dan parang. Dedaunan sawit yang telah kering mereka kumpulkan lalu dibakar. Sebuah video amatir merekam gambar kantor PT Lonsum dilalap api.
'Diredam dengan kekerasan'
"Tuntutlah hak kami, lahan kami kan diambil oleh PT Lonsum," kata Lina, keturunan Orang Rimba, saat ditanya alasannya turut melakukan aksi pada 2017 itu.
Buah sawit yang rontok dari pohon dikumpulkan oleh Suku Anak Dalam Tebing Tinggi untuk dijual.
Malam hari setelah demo besar tersebut, polisi menggerebek pondok dan rumah Orang Rimba. Sekitar 45 orang dipenjara, enam di antaranya adalah perempuan - Lina salah satunya.
"Pintu didobraknya, hancur. Langsung masuk kamar, untuk tangkap kami. Ada anak kecil, hampir diinjaknya di sini," kisah Lina dengan air mata berlinang.
Enam bulan di penjara, Lina mengaku lebih banyak menghabiskan waktu untuk "salat, mengaji di dalam penjara."
Orang Rimba lain yang ditahan di kantor polisi juga mengaku mendapat kekerasan.
"Tanpa dimintai keterangan kami dipukuli [sampai] berdarah-darah. Dipukuli menggunakan pentungan," kata Johan, sesepuh Orang Rimba. "Keluarga tidak ada yang berani membesuk karena takut ditangkap."
Aksi yang berakhir dengan pemenjaraan masyarakat ini menjadi bagian dari sorotan proyek investigasi kami. Kami menghitung, ada setidaknya 126 aksi protes yang dilakukan masyarakat pada perusahaan sawit di 17 provinsi selama sepuluh tahun terakhir, yang semuanya terkait persoalan plasma.
Dari kasus-kasus tersebut, yang tertinggi berada di Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, Riau, dan Kalimantan Barat - semuanya adalah daerah dengan perkebunan sawit terluas di Indonesia.
Umumnya, konflik berakhir dengan masyarakat mendapat "intimidasi dan teror yang luar biasa" dengan pelibatan aparat keamanan dan preman, kata Sri Palupi dari Ecosoc Right.
"Sampai sekarang [beberapa] konflik itu masih belum terselesaikan, dan konflik itu diredam dengan kekerasan," ujar Sri.
Temuan kami juga diperkuat dengan laporan-laporan dari lembaga masyarakat sipil dan penelitian para akademisi.
Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) beberapa tahun terakhir mencatat, konflik perkebunan sawit menempati urutan pertama dibandingkan sektor tambang, infrastruktur, kehutanan pesisir, fasilitas militer, dan pertanian.
Dalam laporan akhir tahun KPA 2021 bertajuk "Penggusuran Berskala Nasional", lembaga ini mencatat ada 59 kasus perkebunan sawit dari 207 konflik agraria lainnya.
Berdasarkan laporan ini, setidaknya terjadi satu konflik setiap minggu terkait perkebunan sawit di seluruh Indonesia.
"Ini konflik-konflik lama yang meletup di tahun 2021. Perkara tanahnya, plasma, atau masyarakat yang menduduki kembali kebun itu," kata peneliti dari KPA, Benny Wijaya.
Laporan lainnya berasal dari Sawit Watch yang mengakumulasi konflik di sektor perkebunan sawit dalam satu dekade terakhir sebanyak 1.061 kasus. Dari jumlah tersebut baru sekitar 43 kasus atau 4% yang selesai.
Peneliti senior Sawit Watch Inda Fatinaware mengatakan konflik di sektor perkebunan sawit justru mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. "Itu kan dibiarkan konflik-konflik yang terjadi, dan dari hari ke hari semakin bertambah," katanya.
Eskalasi aksi masyarakat mencerminkan keputusasaan yang semakin membesar karena kasus-kasus berlarut-larut tanpa penyelesaian. Di berbagai pemberitaan, warga memblokir jalan dan pabrik, menyita kendaraan perusahaan, dan menduduki perkebunan. Ribuan orang di berbagai wilayah berdemo ke kantor pemerintah daerah untuk "meminta haknya".
Dalam penelitian lainnya, para akademisi dari Indonesia dan Belanda mengeluarkan laporan pada 2021 tentang kajian terhadap 150 kasus konflik masyarakat dengan perusahaan sawit di Riau, Sumatra Barat, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Laporan ini menyebutkan persoalan plasma menyumbang lebih dari setengah kasus yang diteliti. Mereka juga menyebutkan sebanyak 42% dari kasus yang diteliti, para pemimpin unjuk rasa "sering kali dikriminalisasi"; 789 warga ditangkap, 243 luka, dan 19 orang meninggal dunia.
'Tidak selesai' meski sudah dibawa ke Jakarta
Beberapa pekan setelah pemenjaraan Suku Anak Dalam pada 2017, sejumlah politisi nasional tiba di Musi Rawas Utara.
Salah satunya adalah Daniel Johan, Wakil Ketua DPR Komisi IV yang mengawasi industri sawit. Daniel mengaku mengetahui konflik Orang Rimba dengan PT Lonsum dari media sosial.
"Kalau pada akhirnya DPR harus memilih, DPR akan memilih masyarakat daripada perusahaannya," kata Edhy Prabowo kepada wartawan, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR.
Oktober 2017, konflik lahan Orang Rimba Tebing Tinggi dengan PT Lonsum akhirnya dibawa ke Jakarta. DPR Komisi IV pada 2017-2018 menggelar serangkaian rapat dan menghasilkan rekomendasi penyelesaian konflik Orang Rimba.
Selain itu, oleh DPR, PT Lonsum juga dituding menjalankan kegiatan perkebunannya tanpa izin, baik Hak Guna Usaha (HGU), Izin Usaha Perkebunan (IUP), maupun Amdal. "Semuanya enggak ada," kata Daniel.
Saat itu DPR merekomendasikan agar pemerintah serta perusahaan segera menyelesaikan polemik lahan Orang Rimba.
"Yang kita minta adalah pertama serahkan tanah itu kepada Orang Rimba, tanpa syarat apa pun. Jalan kedua yang terbaik adalah bentuk 20% plasma. Tapi tanpa dibebani biaya segala macam," kata Daniel Johan yang kami temui akhir 2021 lalu.
Setelah pertemuan di DPR, PT Lonsum menjanjikan lagi memberikan lahan pengganti plasma sekitar 401,9 hektare kepada Orang Rimba Tebing Tinggi.
Empat tahun berlalu, Orang Rimba mengaku masih belum mendapatkan apa-apa.
Ketika kami mendatangi lahan yang dijanjikan untuk plasma itu pada akhir 2021, PT Lonsum telah menyiapkan alat-alat beratnya untuk membuka lahan.
Namun Mat Yadi masih merasa tak yakin. Ia mengatakan masih berharap dengan plasma yang dijanjikan PT Lonsum, meskipun tak bisa percaya 100% karena, "Kami sudah sering dibohongi perusahaan".
"Kita sudah tegas, kita sudah keras, tapi sampai sekarang masih belum beres," kata Daniel Johan. "Dari 2.500 hektare, akhirnya menjadi masalah 1.400 hektare. Yang baru selesai mungkin baru 400-an, itu pun belum tuntas."
Sementara, Wakil Bupati Musi Rawas Utara Inayatullah, mengatakan janji perkebunan plasma 401,9 hektare untuk Orang Rimba Tebing Tinggi sebagai "titik terang, bahwa Lonsum sudah siap lahan, sudah siap alat beratnya, dan sudah siap buka [plasma]."
Dibangun dengan janji verbal
Salah satu pangkal konflik Orang Rimba di Sumatra Selatan adalah ketiadaan dokumen legal dari perjanjian yang terjadi sebelum 2007, saat belum ada perundangan yang secara tegas mewajibkan perusahaan sawit membangun kebun plasma masyarakat.
"Kalau tidak ada perjanjian tertulis, maka agak sulit. Kita bagaimana membuktikan bahwa mereka janji? Kalau hanya janji-janji [tapi] tidak ada tertulis, semua orang bisa ngomong," kata Eddy Martono, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Namun studi yang dilakukan oleh International Finance Corporation, sektor swasta dari Bank Dunia, menegaskan temuan kami, bahwa industri sawit di masa lalu telah dibangun berdasarkan janji-janji verbal. Hanya enam persen petani kecil yang terdaftar dalam skema plasma memiliki perjanjian tertulis.
Marselinus Andri, Kepala Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan perusahaan sawit tak bisa melepaskan kewajibannya begitu saja untuk memfasilitasi plasma selama memegang Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU), terlepas kapan mereka mendapatkan izin pertama.
"Pada saat mereka melakukan perpanjangan IUP maupun HGU pun, mereka diwajibkan membangun [plasma]," kata Andri.
Membuktikan tuduhan warga yang mendasari keluhan-keluhan mereka terkait plasma di seluruh wilayah Indonesia adalah di luar cakupan penyelidikan kami.
Tetapi dengan menganalisis 52 kasus secara lebih mendalam menggunakan informasi yang tersedia secara publik, juga mewawancarai penduduk desa yang terdampak, kami menyimpulkan ada dua permasalahan utama terkait ketiadaan plasma.
Pertama, perusahaan sawit dikatakan berkomitmen untuk menyediakan plasma — baik sebelum maupun sesudah adanya kewajiban hukum pada 2007 — dan kemudian, menurut masyarakat, mengingkari janji tersebut hingga bertahun-tahun.
Kedua, perusahaan yang memperoleh izin setelah tahun 2007 diklaim gagal memenuhi kewajiban hukumnya untuk mengembangkan plasma.
Di balik gelombang protes warga, ada banyak kisah penduduk desa yang telah diiming-imingi mimpi, hanya untuk kehilangan tanah dan mata pencaharian mereka dengan sedikit atau tidak ada imbalan sama sekali.
Kekurangan plasma ratusan ribu hektare
Sejauh ini, tidak ada data dari pemerintah yang dapat menjelaskan persoalan perkebunan sawit plasma di Indonesia secara rinci dan akurat sesuai di lapangan.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Februari 2019 menyimpulkan Kementerian KLHK dan Kementerian Pertanian tidak memiliki sistem yang cukup baik untuk mengawasi kepatuhan penyediaan plasma oleh perusahaan sawit.
Pengawasan diserahkan sepenuhnya pada pemerintah daerah. BPK mengatakan pendekatan ini, yang mengandalkan pada laporan perusahaan alih-alih melakukan pengawasan secara aktif, membuka peluang "pengelolaan ilegal yang meluas" di sektor perkebunan.
Audit BPK juga menemukan bahwa data pemerintah "tidak konsisten". Jumlah perusahaan sawit, luas perkebunan, dan skala plasma yang harus disediakan berbeda antarlembaga, dari pemerintah daerah hingga pemerintah pusat.
Akibatnya, BPK menyimpulkan, pengumpulan data yang "tak terorganisir" ini membuat kewajiban plasma oleh perusahaan "tidak dapat dimonitor dan dievaluasi".
Menggunakan data-data pemerintah yang tersedia, meski dikritik 'tak lengkap' oleh BPK, kami mencoba menghitung kekurangan plasma yang seharusnya disediakan perusahaan sawit untuk masyarakat dalam skala nasional.
Data pertama dibagikan oleh Kementerian Pertanian kepada kami pada 2021, menunjukkan luas plasma yang telah dikembangkan oleh perusahaan yang mendapat izin sejak 2007 - ketika aturan kewajiban 20% plasma ditetapkan - sejumlah kurang-lebih 635,000 hektare.
Namun data ini tidak menyediakan total luas kebun yang telah ditanami sawit oleh perusahaan, sehingga dengan data ini saja, tidak mungkin menghitung luas plasma yang tidak diberikan kepada masyarakat.
Tak ada plasma untuk warga
Untuk itu, kami membandingkannya dengan data kedua milik Kementerian Pertanian yang menunjukkan perubahan areal tanam sawit oleh perusahaan sejak 2007.
Selama periode ini, perusahaan-perusahaan telah menanam seluas lima juta hektar sawit. Jika seperlima areal itu diperuntukkan sebagai plasma, maka ini berarti ada kekurangan lahan plasma seluas 375.000 hektare.
Angka ini bisa jadi lebih besar dari sebenarnya, karena basis data memasukkan perusahaan yang mendapat izin sebelum 2007, di mana kewajiban plasma belum ditegaskan dalam undang-undang.
Tapi angka yang sama juga bisa jadi lebih kecil dari sebenarnya, karena Kementerian Pertanian sendiri memiliki data lain yang menyatakan area perkebunan sawit di Indonesia sebenarnya jauh lebih besar.
Dengan penghitungan konservatif akan keuntungan dari perkebunan kelapa sawit, berdasarkan publikasi akademis dan industri, hilangnya lahan plasma seluas ini berpotensi membuat masyarakat rata-rata kehilangan lebih dari USD $300 juta atau Rp4,3 triliun per tahun.
Maka perkebunan sawit, yang rata-rata memiliki usia produktif 25 tahun, diperkirakan dapat membagikan USD $8 miliar atau Rp115,76 triliun keuntungannya kepada para petani plasma.
Perhitungan ini juga telah mempertimbangkan aturan yang berlaku pada saat perusahaan sawit mendapatkan izinnya, karena aturan yang mengikat mereka dapat berbeda.
Kebijakan plasma, yang menekankan lokasi plasma - apakah berada di dalam kawasan konsesi perusahaan atau bukan - juga proporsi plasma yang harus disediakan oleh perusahaan, terus berubah.
Hingga 2007, proporsi ini bervariasi antara "paling rendah 20%" hingga 80%. Namun pada aturan terkait plasma terbaru yang ada di Undang-Undang Cipta Kerja, besarnya proporsi ini dihilangkan.
Data yang lebih spesifik dari audit BPK dan Dinas Perhutanan Daerah pada 2017-2018 untuk Kalimantan Tengah dan Barat, menunjukkan gambaran yang lebih jelas - namun juga lebih suram.
Analisis kami atas data yang dipublikasikan dalam laporan audit BPK menemukan bahwa di Kalimantan Barat, dari 195 perusahaan aktif yang diwajibkan secara hukum untuk menyediakan plasma, dua per tiga gagal menyediakan plasma sama sekali pada tahun 2018.
Di Kalimantan Tengah, di mana area perkebunan sawitnya menyumbang hanya 20% dari total luas kebun sawit milik korporasi swasta di seluruh Indonesia, perusahaan telah gagal menyediakan setidaknya 103.000 hektare plasma pada 2017.
Kami memperkirakan bahwa jika perusahaan memenuhi kewajiban hukum ini, masyarakat di provinsi tersebut dapat memperoleh USD $90 juta atau nyaris Rp1 triliun setiap tahun.
Data yang diterbitkan baru-baru ini oleh Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah tidak memiliki informasi detail tentang plasma yang disediakan masing-masing perkebunan, tetapi data ini menunjukkan bahwa hingga pertengahan 2020 proporsi lahan perusahaan yang disediakan sebagai plasma hampir tidak berubah sejak 2017.
Ini menunjukkan bahwa situasi soal plasma belum membaik secara substansial dari 2017 hingga 2020.
Gambaran yang disajikan oleh data di Kalimantan Tengah tersebut diperkuat dengan pernyataan publik oleh pejabat pemerintah.
Kami mengidentifikasi 22 artikel berita yang diterbitkan dalam lima tahun terakhir di mana politisi dan birokrat menegur perusahaan di provinsi tersebut karena gagal menyediakan plasma.
Pada 2019, Gubernur Kalteng Sugianto Sabran, mengatakan hampir 85% perkebunan di daerahnya belum memenuhi kewajiban plasma. Dia menggambarkannya sebagai "keterlaluan".
Sementara itu, pemerintah pusat mengaku telah memberikan peringatan kepada perusahaan yang melanggar aturan plasma.
"Perusahaan yang tidak mengindahkan peringatan dapat dikenakan sanksi [administratif] sampai pencabutan izin usaha perkebunan," kata Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Heru Tri Widarto.
Namun Heru, yang saat ini menjabat Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan, juga menambahkan pembangunan perkebunan plasma terhambat karena "ketersediaan lahan yang terbatas untuk alokasi pembangunan kebun masyarakat sekitar."
Dan jika perusahaan harus merambah areal hutan untuk menyediakan plasma, Eddy Martono dari GAPKI berkata, "Itu pidana."
Namun lagi-lagi, jawaban ini tak bisa meredam masyarakat yang kian frustasi. Konflik terus bermunculan karena tak ada plasma untuk warga.
"Itu terjadi di mana-mana. Segala perlawanan sudah [rakyat] lakukan, sampai pengorbanan nyawa, dan tidak ada penyelesaian dengan tuntas. Berarti kan macet semua," kata Daniel Johan.
Menurut Sri Palupi, konflik yang terjadi di masyarakat terkait dengan hak plasma terus berlarut-larut karena tak ada saluran yang disediakan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan.
Orang Rimba kubu Tebing Tinggi saat ini telah berpencar-pencar, dan sebagian dari mereka tinggal di kebun orang lain dengan pondok-pondok yang terbuat dari kayu dan terpal.
"Tidak ada upaya untuk perlindungan, atau upaya untuk mengadu, untuk komplain. Tidak ada jalannya. Tidak ada dibuat mekanismenya oleh pemerintah," katanya.
Kami telah menghubungi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya untuk berkomentar, namun keduanya tak menanggapi permintaan wawancara kami.
Sementara itu, Kementerian ATR/BPN yang telah membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria sejak 2018 untuk menyelesaikan konflik lahan, mengaku masih memetakan skala persoalan plasma di seluruh Indonesia.
"Dari dulu berantakan, ini baru mau dirapikan. Paling tidak di UU Cipta Kerja, ada kewajiban-kewajiban yang dulu sudah ada itu dipertegas, diperkuat. Fungsi dari kementerian juga diperjelas dan ada aturan turunannya, harus dibuat. Niatnya sudah ada. Memang perlu waktu ya," kata Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra.
Sementara itu, sebagian besar pola kemitraan perkebunan sawit yang ada sekarang membuat masyarakat tak punya posisi tawar terhadap perusahaan, kata Sri Palupi.
Salah satunya, adalah pola 'satu atap', yang menurut Sri dan sejumlah pengamat sawit adalah menjadi salah satu pola yang paling dominan dipakai dalam skema kemitraan perkebunan sawit.
Dalam sejumlah kasus yang ada, komunitas yang terikat kontrak plasma dengan perusahaan menggunakan skema 'satu atap', mendapatkan bagi hasil sangat rendah. Beberapa tidak mendapat keuntungan sama sekali, bahkan menanggung utang bank miliaran rupiah untuk biaya pengoperasian lahan plasma. (*)
Tags : Hutan, Politik, Hukum, Indonesia, Sawit, Demonstrasi, Protes, Lingkungan, Hutan, Ekonomi, Pertanian, Deforestasi, Hukum, Sawit,