Nusantara   2022/07/02 13:44 WIB

Tiga Provinsi Baru di Papua Disahkan, tapi 'Perpecahan Masyarakat Adat Sudah Terjadi'

Tiga Provinsi Baru di Papua Disahkan, tapi 'Perpecahan Masyarakat Adat Sudah Terjadi'
Polisi membubarkan para pengunjuk rasa yang tergabung dari berbagai elemen mahasiswa di Jalan Buper, Waena, Kota Jayapura, Papua, Selasa (10/5/2022). Aksi tersebut sebagai bentuk penolakan atas pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua.

NUSANTARA - Rapat Paripurna DPR pada Kamis (30/6) mengesahkan tiga RUU Pembentukan Provinsi di Papua menjadi Undang-Undang. Tiga provinsi baru itu adalah Papua Selatan, Papua Tengah, dan Pegunungan Tengah.

"Apakah RUU tentang pembentukan provinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Pegunungan Papua dapat disetujui menjadi undang-undang?" tanya Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad.

"Setuju..." jawab anggota DPR yang hadir.

Pengesahan tersebut dikritik sejumlah pegiat kemanusiaan di Papua. Mereka mengatakan pemekaran tiga provinsi baru di Papua bakal memicu konflik baru yang semakin besar dan pelanggaran hak asasi manusia.

Sebab kehadiran tiga provinsi baru sudah pasti disertai dengan penambahan aparat keamanan. 

Akan tetapi, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, mengeklaim usulan pemekaran Papua ini berasal dari aspirasi kepala daerah, tokoh adat dan agama, serta tokoh perempuan yang datang ke Presiden Jokowi.

"Dan juga tokoh birokrat di wilayah Papua Selatan, Papua Pegunungan dan Papua Tengah baik diterima langsung presiden dalam kunjungan beliau dan bapak wakil presiden, delegasi yang datang, juga Kemendagri dan pimpinan kementerian/lembaga termasuk tokoh partai politik dan tentunya kepada anggota DPR RI."

Tito mengatakan dalam pandangan akhirnya bahwa kebijakan pemekaran tersebut harus menjamin dan memberikan ruang kepada Orang Asli Papua (OAP).

"Dengan tujuan utama untuk mempercepat pembangunan di Papua guna meningkatkan kesejahteraan masyrakat Papua terutama orang asli Papua," imbuh Mendagri Tito Karnavian pada Rapat Paripurna DPR.

Konflik sudah muncul akibat DOB

Beberapa pegiat kemanusiaan di Papua menilai pemekaran tiga provinsi baru ini bakal menghadirkan konflik baru yang semakin besar dan pelanggaran hak asasi manusia.

Perwakilan Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) Papua yang juga anggota Tim Kemanusiaan, Pendeta Dora Balubun, mengatakan saat ini telah terjadi perpecahan antara masyarakat adat di Nabire yang tidak mau bergabung dengan provinsi baru.

"Perpecahan juga terjadi bagaimana masyarakat adat di Nabire menyatakan mereka bergabung dengan provinsi induk papua dan tidak mau bergabung dengan provinsi baru," ujar Pendeta Dora Balubun dalam konferensi pers virtual Kamis (30/6).

"Lalu ada pernyataan masyarakat adat bahwa mereka lebih baik ke Saireri karena Nabire tidak jadi ibu kota Papua Tengah. Ini kan pemekaran menjadi pemecah."

"Ini konflik terjadi sebelum diputuskan. Besok akan ada apa lagi? Apalagi kalau aparat datang, akan ada apa lagi?"

Perwakilan dari Petisi Rakyat Papua, Ika Mulait, sependapat.

Dia berkata, penetapan tiga provinsi baru hanya akan menambah kasus-kasus pelanggaran HAM seperti yang terjadi di dua provinsi sebelumnya dan tak kunjung dituntaskan.

Pasalnya kehadiran tiga provinsi baru sudah pasti disertai dengan penambahan aparat keamanan. 

Ika merujuk pada tragedi Paniai tahun 2014 yang menewaskan empat orang dan melukai 21 lainnya ketika warga melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap kelompok pemuda.

Dalam peristiwa itu, Kejaksaan Agung telah menetapkan satu tersangka yang merupakan anggota TNI berinisial IS.

"Dua provinsi yang ada saja pelanggaran HAM terjadi besar-besaran. Apalagi ditambah tiga provinsi baru? Jadi pemerintah sekarang tidak melihat dampak negatif dan apa yang akan terjadi pada rakyat Papua," tutur Ika.

"Tiga provinsi baru ini pastinya akan banyak militer masuk ke Papua dan rakyat Papua sudah trauma dengan kehadiran aparat."

Adapun Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, menuduh pemerintah dan DPR telah melakukan kekerasan dan pelanggaran hak asasi atas orang Papua dengan mengesahkan undang-undang daerah otonomi baru.

Baginya pemekaran bukan jalan untuk menyejahterakan rakyat Papua. Sebab kebijakan ini demi menguras sumber daya alam Papua.

"Hari ini negara tidak berpikir untuk kepentingan orang Papua, tapi sumber daya alam Papua."

Timotius juga menegaskan bahwa keinginan untuk memekarkan Papua bukan berasal dari pihaknya. MRP juga, sambungnya, hanya sekali bertemu dengan pemerintah untuk membahas usulan pemekaran. Itu pun tidak pernah menyetujui adanya penambahan tiga provinsi baru.

"Jadi partisipasi pemerintah daerah dan rakyat sama sekali tidak ada."

Hingga saat ini uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua masih berjalan di Mahkamah Konstitusi.

Gugatan yang diajukan Majelis Rakyat Papua itu menguji sejumlah pasal, salah satunya pasal 76 ayat 1 dan 2.

MRP menilai perubahan pasal itu menghilangkan kewenangan penuh majelis dalam memberikan persetujuan atas pemekaran daerah otonomi baru.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menilai jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan MRP atas pasal 76 maka "semangat otonomi khusus" akan kembali sehingga meredakan potensi konflik dan meredakan eskalasi di Papua.

"Pasal 76 itu nyawanya otsus, kalau nggak ada MRP maka tidak ada otsus."

"Dengan kata lain, kalau kewenangan MRP atas persetujuan pemekaran tidak dihormati, ini bukti betapa pemerintah tidak demokratis. otoriter."

Apa saja yang diatur dalam UU Pembentukan Provinsi di Papua?

Setelah UU ini disahkan Kementerian Dalam Negeri akan menunjuk pejabat sementara sebagai gubernur di tiga provinsi baru sampai digelar Pilkada tahun 2024.

Kemendagri menargetkan pelantikan pejabat sementara gubernur akan dilakukan pada Agustus 2022. Kemudian pembentukan perangkat daerah akan dilakukan paling lambat tiga bulan sejak pelantikan pejabat sementara gubernur.

Adapun perekrutan aparatur sipil negaranya akan dilakukan paling lambat enam bulan sejak pelantikan pejabat gubernur.

Untuk anggaran daerah, DPR dan pemerintah sepakat akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Hitungan sementara Kemendagri, dana yang dibutuhkan per tahun untuk satu provinsi baru sebesar Rp700 miliar hingga Rp1 triliun. Namun selain dari APBN, Valentinus mengatakan ada kemungkinan memperoleh dana hibah dari provinsi lain di Papua.

Sementara soal formasi ASN, Kemendagri mengupayakan agar 80%nya diisi oleh orang asli Papua. (*)

Tags : Papua, Hak asasi, Politik, Hak minoritas, Indonesia,