Headline Agama   2021/12/27 16:55 WIB

Toleransi Beragama di Yordania, 'Kota Kecil Kekaisaran Ottoman dan Barat'

Toleransi Beragama di Yordania, 'Kota Kecil Kekaisaran Ottoman dan Barat'
As-Salt, kota kecil di Yordania yang penuh toleransi beragama dan kemurahan hati.

AGAMA - As-Salt adalah kota kecil di Yordania yang penuh dengan toleransi beragama dan kemurahan hati warganya.

Suara Adzan bergema melalui lembah yang masih mengantuk saat cahaya matahari pagi menyinari rumah-rumah batu kapur emas yang berbaris di lereng tiga gunung.

"Allahu Akbar" ("Tuhan Maha Besar"), suara muazin menggema di atas kubah kota. "Hayya 'ala-s-salah" ("Cepatlah sholat"), berasal dari pengeras suara masjid yang menghiasi lanskap kota.

Beberapa saat kemudian, jalan-jalan kota yang berkelok-kelok dipenuhi dengan bunyi lonceng gereja yang mengumumkan misa pagi.

As-Salt, situs Warisan Dunia UNESCO terbaru di Timur Tengah. 

As-Salt adalah kota kecil di Yordania di mana masjid dan menara gereja berbagi kaki langit dan dianggap menjadi "tempat atas toleransi dan keramahan masyarakat kota".

Terletak di persimpangan jalur perdagangan dan ziarah antara Laut Mediterania dan Semenanjung Arab, As-Salt tumbuh menjadi kota yang berkembang di akhir abad ke-19, yaitu periode reformasi untuk "memodernisasi" Kekaisaran Ottoman.

Di pusat kota yang bersejarah, ratusan bangunan batu kapur - berasal dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 - dengan pintu lengkung, tiang berukir, dan jendela tinggi bersinar di bawah sinar matahari.

"Bangunan batu kuning itu penting, tapi bukan itu alasan mengapa As-Salt begitu unik," kata Thaira Arabiyat, pemilik toko yang melatih perempuan lokal dalam menjahit tradisional, sambil menuangkan secangkir kopi harum dengan kapulaga dirilis BBC.

Duduk dan berbincang, dikelilingi oleh gaun bordir dan syal shemagh (tradisional Yordania) di toko kecilnya di pusat kota.

Dia menyela pekerjaannya untuk memberi tahu lebih banyak tentang kampung halamannya.

"Yang membuat kota ini begitu istimewa adalah orang-orang di sini, kebaikan mereka," kata Arabiyat.

Dia kemudian bertanya, "Apakah sudah sarapan? Ayo makan dengan saya."

Saat menjelajahi jalanan kota yang berliku dan gang-gang sempit, berulang kali datang undangan untuk makan siang, kopi, atau teh.

Tradisi keramahan dan kemurahan hati terhadap pengunjung memiliki akar yang mendalam di As-Salt.

Selama berabad-abad, kota ini merupakan perhentian penting bagi para pedagang dan peziarah dalam perjalanan mereka ke Yerusalem, Damaskus, Baghdad, atau Mekah.

Warga akan menyambut pengunjung dan menawarkan mereka makanan dan penginapan.

Pada abad ke-19, As-Salt menjadi pusat administratif wilayah tersebut, menarik para pedagang dari berbagai latar belakang agama dan budaya.

Banyak yang akhirnya menetap di kota yang terletak di lereng bukit, menciptakan lingkungan yang makmur di mana masyarakat adat setempat, suku Bedouin, bercampur dengan pedagang dan pengrajin Levantine.

"As-Salt menjadi tempat pertemuan antara timur dan barat, antara gurun dan pusat kota," kata Ayman Abu Rumman, mantan direktur pariwisata di kegubernuran Balqa, salah satu dari 12 kegubernuran di Yordania.

Ia menambahkan, keragaman kota adalah tercermin dalam arsitekturnya.

Contoh terbaik dari perpaduan gaya kota Ottoman, pengaruh Eropa, dan tradisi lokal mungkin dapat dilihat di rumah milik Abu Jaber yang mewah.

Rumah itu dibangun di atas batu kapur lokal dengan langit-langit bergaya fresko Italia, jendela kaca patri bergaya Art Nouveau, kolom yang berornamen, dan ubin keramik dari Suriah.

Abu Jaber berasal dari keluarga saudagar kaya yang menetap di As-Salt pada akhir abad ke-19.

Pada tahun 2009, bangunan ini diubah menjadi museum yang membawa pengunjung menelusuri sejarah dan tradisi kota Ottoman.

Ketika Amman dipilih sebagai ibu kota Emirat Transyordania pada tahun 1928, As-Salt kehilangan kepentingan regionalnya.

Tapi, ia terhindar dari urbanisasi yang intens di Amman. As-Salt telah berhasil mempertahankan karakternya.

Bagi arsitek Yordania, Rami Daher, yang menyiapkan file nominasi kota untuk daftar Warisan Dunia, kota ini unik bukan hanya karena bangunan batu kapur yang bersejarah, tetapi juga karena cara melestarikan tradisi keramahan dan toleransi selama berabad-abad.

"Topografi kota telah memupuk rasa kebersamaan dan kedekatan. Tetangga tinggal sangat dekat satu sama lain dan saling mendukung dalam berbagai cara," katanya.

Jaringan tangga yang saling terkait, halaman bersama, dan alun-alun telah mendorong pengembangan masyarakat multi-agama yang toleran dan membawa rasa memiliki pada ruang bersama.

Sebagian besar bangunan tradisional memiliki halaman atau teras komunal di mana tetangga bisa memasak, makan dan minum bersama.

"Orang-orang di sini masih hidup seolah-olah mereka adalah bagian dari keluarga yang sama, tidak ada pemisahan di antara mereka," kata Abu Rumman saat kami duduk bersama di sebuah ruangan di museum Abu Jaber dengan pemandangan pegunungan kota yang indah.

Dia menunjuk ke alun-alun di seberang museum, tempat para lelaki tua dari berbagai latar belakang bertemu setiap hari untuk bermain backgammon dan manqala, permainan papan kuno yang dipopulerkan oleh Ottoman.

Dia kemudian menunjuk ke masjid dan gereja di depannya.

"Gereja itu menghadap masjid dan mereka berbagi pintu masuk yang sama," katanya.

"Muslim dan Kristen berpartisipasi dalam perayaan satu sama lain. Mereka berbagi apa yang mereka miliki dengan tetangga mereka."

Bukti yang paling jelas terlihat di gereja tertua di kota itu. Dibangun pada tahun 1682 di sekitar sebuah gua di mana dikatakan bahwa Saint George menampakkan diri kepada seorang gembala.

Gereja ini dikenal dalam bahasa Arab sebagai Al-Khader, seorang tokoh Islam yang disinkronkan dengan Saint George di wilayah tersebut.

Interior batu berkubah gereja penuh dengan ikon dan mosaik yang menggambarkan Saint George membunuh naga, dan sisa-sisa gua dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai latar belakang yang datang untuk menyalakan lilin dan meninggalkan harapan tulisan tangan.

"Orang Kristen dan Muslim pergi ke sana untuk berdoa, semua orang dipersilakan," kata Sabreen Dababneh, yang bekerja di Gereja Ortodoks tetangga, Dormition of Virgin Mary.

Dababneh mengatakan kepada saya kerukunan antaragama inilah yang membuat As-Salt begitu istimewa.

"Penjaga gereja yang bekerja dengan saya, Ali, adalah seorang Muslim," katanya.

"Tidak ada perbedaan di antara kami. Kami tinggal di sini sebagai saudara". (*)

Tags : Islam, Kristen, Agama,