JAKARTA - Ahli epidemiologi mengatakan saat ini "puskesmas di Indonesia tidak mampu" melakukan pelacakan kontak (contact tracing) untuk mengetahui penyebaran kasus Covid-19, terutama dalam kondisi penyebaran omicron yang sangat cepat, dengan "jumlah petugas pelacakan (tracer) tidak sebanding dengan jumlah kasus positif".
Di lapangan, penanganan 3T (testing, tracing, dan treatment) memang tidak maksimal. Tim LaporCovid-19 mengatakan pelacakan kontak juga menjadi salah satu hal yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat dalam dua minggu belakangan. Sejak awal tahun 2022, tim LaporCovid-19 mencatat 63% laporan yang diterima mengeluhkan penanganan 3T.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, yang juga menjabat sebagai Koordinator PPKM Jawa-Bali, Luhut Binsar Panjaitan, mengatakan kenaikan status PPKM di Jawa-Bali ke level 3 "bukan akibat tingginya kasus, tapi karena "rendahnya tracing".
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun mengakui pelacakan kontak yang dilakukan saat ini memang rendah, bahkan jauh di bawah standar Badan Kesehatan Dunia (WHO). Namun, Kemenkes belum berencana untuk menambah petugas pelacakan di lapangan.
Tracing tidak berjalan baik
Viktor Tampubolon, warga Jakasetia, Bekasi, Jawa Barat, mengatakan tidak ada pelacakan kontak yang berarti saat dirinya dinyatakan positif Covid-19 melalui tes PCR.
"Saya enggak lapor ke RT, tapi orang kelurahan tahu. Dia datang ke rumah. Dia cuma ngecek keluarga, swab di hidung saja. Hasilnya lima hari jadi, besoknya dikasih vitamin," kata Viktor seperti dirilis BBC News Indonesia, Selasa (8/3).
Kelurahan hanya memeriksa istri dan mertua Viktor pada Rabu pekan lalu dan sampai kami berbincang dengannya, hasil tes itu belum keluar. Untungnya, mereka sudah melakukan tes PCR mandiri. Sang istri dinyatakan negatif, sementara mertuanya dinyatakan positif.
Viktor juga menambahkan tidak ada sesi wawancara atau pertanyaan lain soal gejala yang dia atau keluarganya alami.
Masalah pelacakan kontak terhadap kasus positif juga diungkap oleh tim LaporCovid-19. Bahkan Tim Advokasi Laporan Warga LaporCovid-19 Firdaus Ferdiansyah mengatakan ada beberapa kasus positif yang tidak dilaporkan sehingga pelacakan pun tidak bisa dilakukan.
Salah satu laporan yang diterima tim LaporCovid-19 menyatakan tidak ada pelacakan kontak di perkantoran yang salah satu karyawannya dinyatakan positif Covid-19.
"Manajemen perkantoran tersebut tidak melakukan penanganan lebih lanjut atau yang biasa kita sebut dengan pemeriksaan dan pelacakan kontak erat. Tidak dilakukan tracing. Seolah-olah biasa saja. Bahkan tidak ada penutupan kantor sementara, tidak ada disinfektan," kata Firdaus.
Laporan serupa juga datang dari ranah sekolah
Berdasarkan Panduan Singkat Pelacakan Kontak (Contact Tracing) untuk Kasus COVID-19 yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pelacakan kontak dilakukan melalui beberapa tahap.
Tahap awal adalah wawancara kasus, baik itu kasus terkonfirmasi positif melalui tes RT-PCR maupun kasus suspek/probable yang memiliki gejala ISPA dan belum melakukan tes RT-PCR.
Dari situ petugas akan melakukan identifikasi dan evaluasi kontak, sampai menentukan kontak erat. Setelah itu kontak erat akan dihubungi dan dijelaskan permasalahannya kemudian diminta menjalani karantina dan pemantauan gejala selama 14 hari.
Jika tidak timbul gejala selama 14 hari, karantina dinyatakan selesai. Jika timbul gejala, kontak erat harus menjalani pemeriksaan.
Jika hasilnya positif, kontak erat diminta isolasi. Namun, jika dua kali dinyatakan negatif, isolasi dan pemantauan selesai.
Ahli epidemiologi, Masdalina Pane, mengatakan saat ini Kemenkes tidak punya sumber daya yang cukup untuk melakukan pelacakan kontak.
Pasalnya, dalam dua gelombang Covid-19 sebelumnya, pelacakan kontak dibantu oleh tim pelacak (tracer) dari Satgas Penanganan Covid-19 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Pada gelombang pertama, Masdalina—yang juga merupakan anggota sub bidang tracing, bidang penanganan kesehatan di Satgas Penanganan Covid-19—mengatakan 6.000 petugas pelacakan diturunkan ke 11 provinsi dan 62 kabupaten/kota di Indonesia untuk membantu program pelacakan kontak Kemenkes. Sementara pada gelombang kedua, petugas pelacakan yang diterjunkan sebanyak 2.300 orang.
"Tenaga tracer di puskesmas, atau kami menyebutnya tenaga surveillance, itu hanya ada satu atau dua orang. Sementara mereka juga dibebani dengan beban pekerjaan lain. Kalau saat ini mereka dibebani dengan booster, kalau yang gelombang kedua mereka dibebani dengan target vaksinasi, sehingga kegiatan tracing tidak bisa dilakukan maksimal," kata Masdalina.
Saat ini, dia menambahkan, pemerintah belum memerintahkan tim pelacak tambahan untuk terjun ke lapangan. Artinya, tidak ada tenaga bantuan untuk puskesmas-puskesmas di wilayah yang memiliki lebih dari 1.000 kasus per hari—kategori wilayah tempat tim pelacak dikerahkan.
"Kalau kasus sudah puluhan, bahkan ratusan seperti sekarang, jangankan petugas tracer-nya, kita yang di pusat saja sudah hopeless-lah. Bagaimana bisa melakukan tracing dengan baik, jumlah antara petugas tracer dengan jumlah kasus sudah tidak seimbang. Jadi itu yang menyebabkan program tracing tidak berjalan," ujar Masdalina.
"Inti utama pengendalian itu tracing"
Pada Februari 2021 lalu, Kemenkes mengatakan mulai memberikan pelatihan kepada 80.000 Babinsa dan Bhabinkamtibnas untuk melakukan pelacakan kontak.
Namun, kata Masdalina, fakta di lapangan menunjukkan mereka tidak bekerja untuk pelacakan kontak karena memiliki pekerjaan lain dan kapasitasnya lebih cocok sebagai pengawas masyarakat di lapangan.
"Itu hanya bagus di atas kertas, tetapi pelaksanaan di lapangannya nyaris tidak ada," kata dia.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakil Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, membenarkan bahwa saat ini tracing di lapangan sedang menurun.
Dia mengatakan hal tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Nadia juga menambahkan, saat ini pelacakan kontak erat rata-rata di tiap provinsi hanya dilakukan pada 10 orang per kasus positif.
Padahal standar pelacakan kontak WHO memiliki rasio 1:30, yaitu melacak 30 orang kontak erat untuk satu kasus positif.
"Ini mesti nanya pemerintah daerah, kenapa turun tracing-nya? Mungkin karena kasus banyak sehingga untuk mengaktifkan tracer-tracer belum optimal," kata Nadia.
Masdalina mengatakan, penyebaran virus Covid-19 yang terjadi saat ini merupakan penyebaran secara natural atau alamiah. Nantinya, jumlah kasus positif pun akan menurun secara alamiah, ketika setengah dari populasi sudah terinfeksi.
"Tetapi menuju penurunan itu cukup banyak korban yang akan berjatuhan, terutama yang meninggal," kata Masdalina.
Namun, di tengah kekhawatiran itu dan lonjakan kasus yang terus meningkat, Kemenkes belum berencana menambah petugas pelacakan di lapangan dan hanya mengandalkan Babinsa dan Bhabinkamtibnas.
"Kita tidak berencana mengirimkan tenaga tambahan buat tracer, artinya teman-teman petugas lapangan yang melakukan tracing. Kalau ada penambahan tracing kan bisa meminta dukungan Babinsa dan Bhabinkamtibnas ataupun juga melalui satgas setempat. Menghadapi gelombang ketiga ini kita mengaktifkan lagi apa yang sudah kita miliki" ujar Nadia.
Saat ini, Kemenkes hanya memiliki 1-2 orang tenaga pengawasan (surveillance) di puskesmas, yang menjadi koordinator pelacakan kasus. (*)
Tags : Virus Corona, Indonesia, Kesehatan,