LINGKUNGAN - Tren membeli baju bekas atau thrifting kini semakin pesat di Indonesia. Lapak baju bekas daring maupun luring—kini lebih beken dengan sebutan thrift shop—juga kian menjamur.
Di semua platform toko online bisa ditemukan penjualan baju-baju bekas dengan harga yang sangat murah, mulai belasan hingga puluhan ribu rupiah. Bahkan, ada pula yang menjual baju bekas per bal.
Harga murah, kualitas baik, dan bermerek, menjadi daya tarik konsumen memburu pakaian bekas, terutama yang berasal dari luar negeri.
Mengacu pada hasil survei Goodstats mengenai preferensi gaya fesyen anak muda Indonesia yang dilaksanakan pada 5-16 Agustus 2022 dengan melibatkan 261 responden, mayoritas responden atau sekitar 49,4% mengaku pernah membeli fesyen bekas dari hasil thrifting.
Para pengikut tren thrifthing ini bisa ditemui di berbagai lapak baju bekas di sejumlah kota di Indonesia, salah satunya di Bandung, Jawa Barat.
“Orang melihatnya kayak bukan baju thrift sesudah dipakai,“ kata Citra Ayu Lestari, seorang konsumen thrifting memberi alasannya memilih membeli baju bekas.
Citra mengaku lebih sering belanja baju bekas karena tergiur dengan harga murah dan model baju yang menarik dengan beragam model dan jenama mahal, seperti Zara dan Berska.
“Pernah tuh sama mama bawa uang Rp500.000, habis berdua, tapi dapatnya banyak, worth it lah. Yang paling mahal cuma Rp50.000 Di Sukabumi juga ada (thrift shop), beli jeans waktu itu Rp30.000, beli atasan kemeja Rp20.000,” ujar pemudi asal Sukabumi seperti dilansir BBC News Indonesia.
Lapak baju bekas yang dikunjungi Citra saat itu sedang ramai pembeli.
Ratusan helai pakaian bekas berupa kaos, sweater, jaket hoodie, topi, dan sepatu, berderet memancing pembeli datang. Busana dan aksesori di sana dibanderol di kisaran Rp35.000 dan Rp 50.000.
“Ini barang dari luar (impor). Kalau barang lokal jarang. Ini barang dari Korea dan Jepang,” kata Firman Nurzaman, pemilik thrift shop yang baru buka setahun lalu.
Baju-baju bekas itu, didapat Firman dari agennya di Pasar Cimol Gedebage, tempat agen dan gudang pakaian bekas impor berkumpul.
Dari satu bal pakaian bekas yang dibeli seharga Rp6 juta lebih, Firman bisa mendapat 200 helai jaket crewneck atau 150 helai jaket hoodie. Namun, tidak semuanya dalam kondisi baik.
“Yang minus-minus dibuang. Biasanya yang bolong, cacat. Cuma yang cacat biasanya ada yang nampung juga, jadi nggak kebuang percuma. Nggak ada yang jadi sampah, kejual semua pasti. Harga saja yang beda,” sebut Firman.
Akan tetapi, menurut Rukiahati Ginting, mantan pedagang baju bekas impor di Pasar Cimol Gedebage, hanya 65% pakaian dalam satu bal yang bisa terjual. Sisanya, dijual dengan harga sangat murah atau dibuang.
“Tidak akan pernah laku habis per balnya. Kurang lebih, 35% itu pasti sisa. Nah itu yang saya nggak tahu ke mana. Berarti logikanya sudah pasti jadi sampah kan. Nah, itulah permasalahannya," ungkap Rukiahati yang pernah berdagang pakaian bekas impor selama lima tahun.
Pakaian bekas berdampak pada lingkungan
Di Indonesia, limbah kain tidak saja menumpuk di daratan, tapi juga mencemari lautan. Dua tahun lalu, sebanyak 6,1 ton limbah kain ditemukan di Pantai Timur Ancol, Jakarta.
Jenis sampah itu mendominasi temuan sampah di kawasan tersebut atau 81,3% dari 7,53 ton sampah yang terkumpul. Bahkan jauh melampaui temuan sampah plastik (keras dan lunak) yang hanya 0,5 ton.
Sampah sebanyak itu hasil aksi Bebersih Pantai yang dilakukan komunitas Pandu Laut bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sementara penelitian Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) di 2022, mengungkapkan, rata-rata setiap individu di Kota Bandung menghasilkan sampah kain sebanyak 7,9 kilogram per tahun.
Jumlah tersebut setara dengan sembilan helai jaket atau sweater atau 18 kemeja, atau 14 gaun, atau 20 kaus.
Jika dikalikan dengan jumlah penduduk di Bandung yang berjumlah 2,53 juta (data Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri 2021), jumlah sampah produk tekstil ini mencapai hampir 20.000 ton per tahun.
Penelitian yang melibatkan 600 responden dari berbagai usia ini juga menyebutkan, proyeksi timbulan sampah tekstil pascakonsumsi di 2030 nanti akan menjadi 8,56 kg per orang per tahun dengan total 21,7 ribu ton per tahun.
“Pengelolaan sampah tekstil pascakonsumsi di Kota Bandung masih bertumpu pada pengelolaan individu, yakni didonasikan sebesar 33,38%, dijual 3,35%, digunakan kembali 28,46%, dibuang 30.73%, dan perlakukan lainnya 4,09%,” papar peneliti sekaligus Pemerhati Pengelolaan dan Teknologi Persampahan, Dr. Emenda Sembiring, yang melakukan penelitian ini bersama mahasiswanya, Advan Dwi Prayuda.
Dalam penelitian tersebut diungkap pula perilaku responden dalam membuang sampah tekstil pascakonsumi yang sebagian besar atau 62,38% membuang ke tempat sampah tercampur, 1,45% membuang ke sungai, kali, dan saluran pembuangan, 13,99% membakarnya, serta 0,48% membuang ke tempat lain.
Hanya 21,7% yang membuang ke tempat sampah terpilah.
Secara nasional, berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2021, kurang lebih 751 ribu ton tekstil menjadi sampah.
Dr. Emenda Sembiring mengatakan sampah pakaian bekas impor ini semestinya menjadi perhatian sebagai dampak tren thrifting.
“Berarti residunya banyak, kita yang rugi dong. Nambah-nambah yang tadi sudah satu orang saja di Bandung (limbah fesyen) 7,9 kilogram per tahun, jadi tambah lagi residunya,” cetus Emenda yang menjabat Associate Professor di Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknil Sipil dan Lingkungan ITB.
Tren thrifting, menurut Emenda, sebetulnya berdampak positif pada lingkungan.
Dengan syarat, sumber pakaian bekasnya berasal dari dalam negeri, bukan impor.
Jika pakaian bekasnya berasal dari lokal, lanjut Emenda, dapat mengurangi jumlah sampah fesyen dalam negeri karena pakaian bekas terus bersirkulasi dan memberikan manfaat, meski berganti pengguna.
“Mau kita lihat dari sudut pandang emisi, jumlah sampah yang dihasilkan, lebih banyak untungnya kalau sumbernya dan marketnya dari dalam negeri. Kalau kita buat umur pakai satu benda atau produk lebih lama harusnya lebih banyak memberikan untung pada lingkungan, kalau sumber produknya dari dalam negeri,” beber Emenda.
Namun, harga murah pada pakaian ”tangan kedua” cenderung mendorong pembelian secara kompulsif. Inilah, menurut Emenda, yang harus dihindari. Akan tetapi, sepanjang pakaian itu masih memberikan manfaat, tidak perlu dikhawatirkan, katanya.
“Kalau dia pakai, berarti masih punya fungsi, belum jadi sampah, why worry? Tapi kita harus tahu, perilakunya seperti apa. Sudah beli sepuluh karena murah, dia beli lagi, baru sekali pakai terus dibuang. Itu baru jadi perhatian kita. Kalau dia beli sepuluh, terus dia pakai, kenapa harus kita bahas karena masih bermanfaat,” ujar Emenda yang meraih gelar doktor dari Asian Institute of Technology.
Untuk melawan fast fashion, lanjut Emenda, thrifting bukanlah caranya.
Menurut Emenda, produsen harus ikut bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari produknya.
“Kalau fast fashion itu yang harus kita kejar justru para produsen fesyen. Dia harus bertanggung jawab. Boleh saja fast fashion, tapi setelah itu, dia bertanggung jawab sama produknya. Dengan cara di-take back. didaur ulang kembali, dijadikan serat lagi, balik lagi jadi fabric, fabric jadi fashion produk lagi, take back lagi dan seterusnya,” imbuhnya.
Namun, cara tersebut sulit dilakukan terhadap pakaian dengan pola thrifting lantaran pakaian dari berbagai jenama sudah tercampur dalam satu bal.
Konsep Tukar Baju
Zero Waste Indonesia (ZWID), sebuah komunitas berbasis online pertama yang aktif mengajak masyarakat Indonesia untuk menjalani gaya hidup nol sampah, memiliki cara berbeda guna mengurangi limbah fesyen, yakni dengan melakukan kampanye #TukarBaju.
Kampanye ini dilatarbelakangi fakta bahwa industri fesyen adalah salah satu industri yang paling berpolusi di dunia.
Selain itu, tragedi robohnya Rana Plaza yang menampung lebih dari 20 pabrik garmen dan menewaskan 1.000 orang lebih serta mengakibatkan sejumlah orang terluka di Bangladesh pada 24 April 2013, turut menjadi alasan digelarnya kampanye #TukarBaju.
“Berangkat dari latar belakang itu, tahun 2019, Zero Waste Indonesia meluncurkan kampanye #TukarBaju. Sebuah kampanye untuk menciptakan kesadaran bagi masyarakat dan sebagai salah solusi akan sampah fesyen dan limbah tekstil di Indonesia,” tutur Amanda Zahra Marsono, PR dan Marketing Advisor Zero Waste Indonesia.
Lebih lanjut, Amanda menerangkan, kampanye #TukarBaju merupakan kegiatan sederhana di mana pengunjung dapat membawa maksimal lima buah baju miliknya untuk ditukarkan dengan baju pengunjung lainnya.
“Baju yang mau ditukarkan harus sudah sesuai dengan poin kurasi #TukarBaju,” sebut Amanda yang juga pendiri Zero Waste Indonesia.
Sejauh ini, kampanye #TukarBaju sudah berjalan sebanyak 22 kali, baik online, maupun offline, dan cukup mengundang antusias warga, ditandai dengan keterlibatan berbagai komunitas dan sejumlah perusahaan ternama.
Mekanisme barter ini membuka peluang bagi setiap orang tampil modis tanpa harus mengeluarkan dana tambahan untuk berbelanja pakaian baru. Baju yang bisa ditukar harus memenuhi persyaratan, seperti baju harus bersih, layak pakai, tidak bernoda, tidak lusuh, dan tidak ketinggalan zaman.
Dalam sebuah kegiatan #TukarBaju baru-baru ini, setidaknya 300 pengunjung dengan lebih dari 1100 baju ditukar selama satu hari penyelenggaraan. Hal itu berarti, sebanyak 458 kilogram telah berhasil diselamatkan dari potensi menjadi sampah fesyen.
“Harapan kami, meningkatnya kesadaran masyarakat Indonesia akan nilai fesyen berkelanjutan terutama di negara kita dimana industri fesyen sangatlah berpotensi menjadi limbah,” terang Amanda.
Menyikapi maraknya thrifthing, Amanda mengungkapkan, membeli pakaian bekas, thrift atau preloved, merupakan upaya yang baik untuk meminimalisasi sampah fesyen. Namun, Amanda mengingatkan, memiliki pakaian secukupnya sesuai yang dibutuhkan adalah pilihan yang lebih berkelanjutan.
“Jangan sampai, pola konsumsi belanja baju menjadi berlebihan mengatasnamakan thrift menjadi momentum untuk memiliki baju lebih dari yang kita butuhkan. Karena wujud kecintaan pada lingkungan dan pilihan yang paling sustainable sebenarnya adalah di mana telah tumbuhnya rasa sadar dan menggunakan-memanfaatkan baju yang kita sudah miliki semaksimal mungkin, baju yang sudah ada di lemari kita,” tandasnya.
Hindari perilaku belanja kompulsif
Mengingat sejumlah fakta dampak buruk industri tekstil, sudah saatnya masyarakat ikut berpartisipasi menyelamatkan bumi dengan cara bijak dalam berpakaian.
Menurut Emenda ada beberapa cara agar pakaian bisa dimanfaatkan secara maksimal dan tidak berakhir menjadi sampah.
“Jadi siklusnya berbeda dengan siklus thrifting yang beli karena murah, bukan karena kebutuhan,” katanya.
Namun, lanjut Emenda, tidak hanya konsumen yang dituntut tanggung jawabnya, tapi produsen juga.
Produsen sebagai penghasil produk, harus punya mekanisme atau sistem yang ikut bertanggung jawab mengambil kembali fesyen yang sudah tidak terpakai karena tren atau musim telah berganti.
“Boleh fast fashion, tapi dia ambil kembali (pakaiannya) dijadikan serat lagi, balik lagi jadi produk, jadi serat lagi, dan seterusnya. Jadi tetap sirkular. Dua-dua bertanggung jawab. Konsumen bertanggung jawab, produsen juga bertanggung jawab,” jelas Emenda.
Tradisi lungsuran yang sudah lama berlaku di masyarakat, menurut Emenda, adalah tradisi baik yang harus dipertahankan dan digiatkan kembali.
“Kalau ada rencana nambah anak, bisa disimpan, atau dipinjamkan kepada siapa yang punya bayi baru, dibersihkan lagi, kemudian bisa dilungsurkan lagi ke ibu baru yang punya bayi. Saya kira kebiasaan itu sangat bagus. Menurut saya, kenapa tidak dan nggak perlu takut juga, kan dicuci, dibersihkan, bakteri-bakterinya juga sudah mati,” ujar Emenda.
Emenda kembali menegaskan, bukan soal thrifthing ataupun fast fashion, tapi soal perilaku konsumsi yang harus lebih bijak dengan membeli pakaian sesuai kebutuhan dan memaksimalkan pakaian yang sudah dimiliki demi keselamatan bumi dan penghuninya. (*)
Tags : Baju Bekas, Tren Membeli Baju Bekas Menjamur, Baju Bekas Memiliki Dampak Lingkungan, Industri pakaian,