Headline Nasional   2022/07/25 12:34 WIB

Usulan Perubahan Jam Kerja Dinilai ‘Tidak Efektif’ Atasi Kemacetan di Jakarta

Usulan Perubahan Jam Kerja Dinilai ‘Tidak Efektif’ Atasi Kemacetan di Jakarta

JAKARTA - Usulan perubahan jam kerja di Jakarta dinilai ‘tidak efektif’ atasi kemacetan, pengusaha khawatir ‘ganggu produktivitas’.

Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya untuk mengubah jam masuk kerja di Jakarta dinilai sebatas “solusi jangka pendek” dan "tidak akan efektif mengatasi kemacetan" yang kembali meningkat setelah pandemi, kata sejumlah pakar transportasi.

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, mengatakan kebijakan itu hanya akan mengurai kemacetan tanpa mengurangi volume kendaraan di jalan.

“Keberhasilan transportasi seharusnya bisa mengurangi volume kendaraan, sedangkan ini [jumlah] kendaraannya tetap. Kalau sebagai solusi sementara masih oke, tapi untuk jangka panjang tidak mungkin [efektif],” kata Deddy Herlambang seperti dirilis BBC News Indonesia, Minggu (24/7).

Usulan itu mulanya disampaikan oleh Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Latif Usman, agar kemacetan di Jakarta tidak menumpuk pada jam-jam tertentu saja.

Menurut data Ditlantas, 54% kemacetan di Jakarta terjadi pada jam sibuk, yakni pukul 06.00-09.00 dan 15.00-20.00.

“Sedangkan pada pukul sembilan pagi sampai tiga siang terjadi kelonggaran di tol dan arteri, di sini ada ruang pengaturan waktu yang bisa kita manfaatkan seandainya aktivitas masyarakat di perkantoran, esensial, kritikal, bisa membagi aktivitasnya,” kata Latif melalui sambungan telepon.

Latif menyatakan usulan ini juga masih akan dikaji lebih lanjut untuk mendapatkan formula yang paling efektif.

Keberhasilan penerapannya, kata dia, akan bergantung pada partisipasi seluruh instansi maupun perusahaan.

Namun, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta menyatakan keberatan dengan usul tersebut.

“Kami agak keberatan untuk mengatur jam kerja kalau mengorbankan dunia usaha, itu sangat terganggu produktivitas usaha,” tutur Wakil Ketua DPP Apindo DKI Jakarta, Nurjaman.

Pro dan kontra juga muncul dari sejumlah pekerja.

Sebagian setuju dengan usulan itu karena meyakini kemacetan yang mereka sebut “lebih buruk dibanding sebelum pandemi” bisa sedikit terurai.

Sedangkan yang tidak setuju mengkhawatirkan perubahan jam masuk dapat mempengaruhi produktivitas kerja hingga mengurangi waktu bersama anak dan keluarga di malam hari.

Pakar dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, menyatakan bahwa rekayasa lalu lintas seperti pengaturan jam ini tidak bisa dijadikan satu-satunya tumpuan kebijakan.

Sepanjang transportasi umum di Jakarta dan kota-kota satelitnya belum cukup memadai, akar masalah kemacetan tidak akan bisa ditangani.

Apalagi, dia mengatakan pandemi turut berdampak terhadap pola bertransportasi masyarakat.

Ada kecenderungan pengguna transportasi publik kembali menggunakan kendaraan pribadi karena kekhawatiran akan penyebaran Covid-19, dan menurut Djoko, tren itu juga terjadi di berbagai kota di dunia.

Padahal, jumlah pengguna transportasi umum di Jabodetabek sebelum pandemi saja masih tergolong rendah.

Menurut data Badan Pengelola Transportasi Jakarta (BPTJ) pada 2018, mengatakan rasio pengguna transportasi umum di Jabodetabek baru mencapai 29,9% dari total 49,5 juta pergerakan.

'Ganggu produktivitas'

Apindo DKI Jakarta menilai usul untuk mengubah jam kerja tidak bisa diterapkan di seluruh sektor, terutama pada bidang industri dan jasa.

Perubahan jam kerja, kata Nurjaman, justru akan mengganggu alur kerja dan produktivitas mereka.

“Misalnya kalau jam kerja ditarik sampai jam sembilan atau sepuluh, ekspedisi itu tidak bisa berjalan. Pukul enam atau tujuh, sudah harus jalan. Ini harus dipertimbangkan oleh para pemangku kepentingan terkait kondisi di dunia usaha,” ujar Nurjaman.

Dia meminta polisi dan pemerintah mengkaji secara detil penerapannya pada sektor-sektor yang memungkinkan.

Nurjaman dari Apindo DKI Jakarta meminta polisi dan pemerintah mengkaji lebih dulu secara detil.

Sebab pada beberapa sektor, khususnya di bidang industri dan jasa, hal itu justru bisa mengganggu produktivitas.

“Coba komunikasi dulu dengan kami, apa kendala dan masukan dari kami, karena permasalahan kami untuk mengubah jam kerja apalagi di sektor industri dan jasa akan sangat mengganggu kinerja,“ kata dia.

Belum lagi beban kesehatan dan pengorbanan waktu yang harus ditanggung oleh karyawan apabila jam kerjanya mundur lebih siang.

“Kalau karyawan pulang lebih sore atau malam lagi, mana waktu untuk keluarganya? Bagaimana dengan kesehatannya? Itu harus dipertimbangkan. Apalagi mayoritas pekerja di Jakarta itu tinggalnya di Bodetabek,“ ujar Nurjaman.

Dia menyarankan usul itu lebih dulu diuji coba oleh instansi pemerintah sebelum diterapkan secara lebih luas di seluruh sektor usaha.
Khawatir kurangi waktu untuk keluarga

Nani Yunita, 27, mengaku keberatan apabila jam kerjanya harus diubah demi mengurai kemacetan.

Sehari-hari Nani berangkat dari rumahnya di Cinangka, Depok menuju kantornya di Gandaria, Jakarta Selatan menggunakan sepeda motor dengan waktu tempuh sekitar satu jam hingga 1,5 jam.

Dengan jam kerja pukul 09.00-18.00, Nani harus berhadapan dengan kemacetan Jakarta yang menurut dia “terasa lebih padat dibanding sebelum pandemi”. Terutama ketika berpapasan dengan jam masuk sekolah.

Namun dia tidak memiliki pilihan lain, karena tidak ada transportasi umum yang efisien dari rumah menuju ke kantornya.

“Kalau naik transportasi umum seperti MRT, itu saya harus nyambung lagi dari rumah ke stasiun dan dari stasiun ke kantor, sedangkan kalau pakai KRL saya harus mutar jauh,” jelas dia.

Meski demikian, dia menyatakan tidak setuju dengan usulan mengubah jam kantor.

Sebagai ibu satu anak, Nani khawatir kalau harus masuk lebih siang sehingga jam pulang kerjanya pun lebih malam.

“Di jam normal pun aku baru sampai jam setengah delapan malam, aku harus mandi, rapi-rapi, baru bisa pegang anak pukul delapan malam, belum lagi nyusuin anak, siapin makan untuk anak, baru bisa tidur pukul 22.00 atau 23.00.”

“Kalau ada perubahan jam kerja, misalnya setelah jam masuk anak sekolah, otomatis pulangnya bisa lebih malam lagi, aku enggak kebayang sih gimana nanti, sebentar banget waktu aku di rumah ketika malam,” jelas Nani.

Sebagai karyawan di divisi keuangan di sebuah perusahaan furnitur, Nani mengatakan perubahan jam kerja juga bisa mengganggu produktivitas kerjanya.

“Kalau jam kerja diundur misalnya, pembayaran bisa berantakan,” kata dia.

Sedangkan seorang pekerja swasta di Jakarta, Ika Defianti, 30, sanksi bahwa perubahan jam kerja dapat mengurai kemacetan.

“Kalau perbedaan jamnya cuma satu jam enggak akan signifikan, lebih baik pemerintah fokus tambah armada TransJakarta, perbanyak jadwal KRL, dan permudah akses ke transportasi umum,” kata Ika.

Kembali gunakan kendaraan pribadi

Sementara itu, seorang pekerja swasta di perusahaan jasa keuangan di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan, Andyani Chris Thalia Udiono, 25, menyatakan setuju dengan usulan perubahan jam kerja itu.

Andhyani dulunya merupakan pengguna KRL dari rumahnya di Tangerang Selatan.

Namun sejak pandemia melanda, dia kembali menggunakan sepeda motor pribadi karena khawatir akan risiko tertular Covid-19 di dalam kereta.

“Sebetulnya KRL nyaman dan cepat, tapi dua tahun terakhir aku naik motor karena aku takut empet-empetan,” kata Thalia kepada BBC News Indonesia.

Dalam sehari Thalia menghabiskan waktu sekitar 1,5 hingga dua jam di tengah jalanan yang menurut dia terasa “lebih padat”.

Dengan perubahan jam kerja, Thalia berpendapat situasi jalanan tidak akan sepadat biasanya.

“Aku sudah menghindar nih dari kendaraan umum ke kendaraan pribadi, ya kalau macet sama aja desak-desakan juga. Jadi aku setuju kalau [jam masuk kerja] harus dibagi untuk menghindari [desak-desakan],” kata dia.

Dia menilai sistem seperti itu juga bisa diterapkan di beberapa divisi di kantornya, sebab kantornya “cukup fleksibel” untuk hal seperti itu.
Demi mengurangi kepadatan

Dirlantas Polda Metro Jaya, Kombes Latif Usman, menuturkan kepadatan yang menumpuk pada jam berangkat dan pulang kerja yang serentak, berbanding terbalik dengan situasi jalan pada pukul 09.00 hingga 15.00.

Kepadatan itu bersumber dari tiga ruas tol masuk dari wilayah penyangga, yakni tol Cikampek-Jakarta, Jagorawi, serta Tangerang-Jakarta.

“Kalau kita bagi arus itu secara merata dari pukul 06.00 sampai 11.00 kan tidak menumpuk sekaligus, dan efektif jadinya mereka di jalan, tidak stagnan,” jelas Latif.

Namun menurut Latif, usulan ini masih akan dikaji dengan pemerintah dan para pakar untuk mencari formula yang paling efektif.

Terkait keberatan pengusaha dan pro-kontra di kalangan pekerja, Latif mengatakan usulan ini kemungkinan akan diterapkan sebagai himbauan.

Meski dia menekankan, keberhasilannya juga akan sangat bergantung pada partisipasi perusahaan dan instansi.

“Nanti bukan kami yg menentukan, silakan masing-masing instansi, kalau bisa sama-sama kan nanti kita bisa hitung. Perkantoran di Sudirman ada berapa gedung, masing-masing gedung udah atur sendiri waktu kerjanya. Partisipasi ini yang nanti kami butuhkan,” papar Latif.

Sebatas solusi di hilir

Menurut Deddy Herlambang, kebijakan rekayasa lalu lintas seperti ini hanya akan memindahkan kemacetan, tapi tidak akan bisa mengurai pergerakan masyarakat secara efisien.

Kebijakan ini juga dia nilai bertentangan dengan target pemerintah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.

Apalagi kebijakan ini muncul di tengah jumlah pengguna transportasi publik yang dia sebut menurun dibandingkan sebelum pandemi. TransJakarta misalnya, bisa mengangkut 800.000 hingga satu juta penumpang sebelum pandemi, namun kini hanya mencapai sekitar 600.000 penumpang per hari.

Perubahan pola bertransportasi itu, lanjut Deddy, juga terlihat dari meningkatnya angka penjualan mobil selama pandemi.

”Jadi kalau Ditlantas hanya membagi jam kerja, para pengguna kendaraan pribadi ini hanya dibagi saja, hanya mengurai kemacetannya, tapi tidak mengurai perjalanan orang,” papar Deddy.

“Untuk jangka panjang seharusnya transport demand management-nya dipikir benar, dengan mengembangkan LRT, MRT, TransJakarta, dan sebagainya,” lanjut dia.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Djoko Setijowarno, yang mengatakan kemacetan di Jakarta tidak akan terurai hanya dengan solusi tunggal rekayasa lalu lintas.

Sepanjang transportasi publik tidak mampu menjangkau pekerja di pemukiman-pemukiman di kota penyangga, maka masalah kemacetan akan sulit di urai.

“Masalahnya tidak sampai 1% perumahan di Jabodetabek yang terjangkau transportasi publik. Selama transportasi publiknya tidak tersedia menyasar kawasan perumahan dan pemukiman, rasanya itu [perubahan jam kerja] sulit menjadi solusi,” kata Djoko, yang juga mengutip data Litbang Kompas bahwa sebanyak 8,8 juta warga Jabodetabek masih sulit mengakses transportasi umum.

Menanggapi kritik itu, Dirlantas mengakui bahwa apa yang dia usulkan hanya berupa “solusi di hilir” demi mengatur arus lalu lintas dan volume kendaraan.

”Polisi ini mengerjakan di hilir, volume kendaraan sekian, ruang jalannya hanya sekian. Ada ruang kosong yang kita bisa manfaatkan. Transportasi umum itu mutlak, kalau bisa disegerakan ya alhamdulillah,” ujar dia.

Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, mengatakan kepada wartawan bahwa pihaknya akan mempertimbangkan opsi ini dengan mengkajinya lebih dulu. Sejauh ini Dinas Perhubungan DKI Jakarta belum bisa memberikan jawaban. (*)

Tags : Ekonomi, Transportasi, Masyarakat,