JAKARTA - Keluarga Veronica Koman dikirimi peledak dan bangkai ayam, Teror atas aktivis Hak Azasi Manusia [HAM] Papua yang terus berulang.
Koalisi Masyarakat Sipil meminta pihak kepolisian mengusut tuntas aksi penyerangan terhadap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Papua, Veronica Koman, dan menangkap pelakunya.
Teror terhadap keluarga Veronica Koman itu termasuk satu dari puluhan kekerasan terhadap aktivis Papua dalam beberapa tahun terakhir.
Ketua Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andi Muhammad Rezaldy mencatat sejak 2020 ada 31 peristiwa seperti teror, penyerangan, maupun intimidasi, yang dialami oleh para aktivis HAM di Papua.
Andi menilai, peristiwa itu terus terjadi karena aparat tidak punya kemauan kuat untuk menyelesaikannya.
"Tidak adanya kemauan yang begitu kuat dari aparat kepolisian untuk melakukan pengungkapan atas peristiwa tersebut dan belum adanya mekanisme perlindungan secara hukum kepada para pembela hak asasi manusia itu sendiri," kata Andi seperti dirilis BBC News Indonesia.
Namun, Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Ahmad Ramadhan melalui pesan singkatnya mengatakan semua kasus akan ditangani jika terbukti memenuhi unsur pidana dan memiliki bukti awal yang cukup.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta selaku tim kuasa hukum pendamping keluarga Veronica Koman mengatakan Senin (08/11) ada tiga teror yang dialami keluarga Veronica dalam dua pekan terakhir.
Serangan pertama terjadi pada 24 Oktober. Kala itu rumah orang tua Veronica mendapat kiriman benda yang tiba-tiba terbakar. Benda yang digantung di pagar itu menyebabkan sebagian pagar rumah terbakar.
Kejadian kedua datang pada Minggu pagi pada 7 November. Tiba-tiba saja terjadi ledakan di rumah orang tua Veronica. Polisi belum bisa memastikan asal ledakan tersebut, tapi ledakan itu diduga kuat berasal dari petasan.
Dari lokasi kejadian, polisi mengamankan serpihan kertas, plastik bekas cat warna merah, kabel, baterasi, dampai rekaman kamera pengawas.
Kepala Bagian Operasi Densus 88, Aswin Siregar, mengatakan benda yang meledak itu bukan bom maupun petasan karena berbeda dari yang biasa mereka temukan.
"Itu beda dengan yang biasa, yang ada dalam database kita tentang ciri-ciri explosive devices bahan peledak rakitan yang biasa dibuat kelompok yang lain," kata Aswin.
Serangan ketiga terjadi di rumah saudara Veronica. Kepala Advokasi dan pengacara LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora mengatakan ada kiriman paket yang ditujukan untuk Veronica. Setelah dibuka, ternyata paket itu berisi bangkai ayam.
"Karena kita baru menerima, baru melihat ada ledakan di rumah bapaknya Vero, kita tidak berani. Kemudian kita minta agar polisi mendatangkan penjinak bahan peledak, ternyata isinya bangkai ayam," cerita Nelson.
Ia mengatakan paket itu juga dilengkapi pesan yang bertuliskan, "Barangsiapa yang menyembunyikan Veronica Koman, akan bernasib sama seperti bangkai ini."
Desak penuntasan kasus
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid mengatakan ancaman yang terjadi kepada Veronica Koman dan keluarganya merupakan ancaman serius.
Serangan itu, kata Usman, dianggap sebagai serangan terhadap kerja seorang pengacara HAM yang seharusnya justru mendapat perlindungan negara.
"Kami menilai apa yang disampaikan Veronica adalah kerja-kerja yang sah, ekspresi-ekspresi yang sah, pendapat-pendapat yang dibenarkan bahkan dijamin oleh konstitusi Indonesia dan tentu harus mendapatkan perlindungan dari negara," kata Usman.
Oleh sebab itu, para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil mendesak kepolisian untuk menuntaskan kasus ini karena serangan ini tidak hanya menimbulkan trauma pada Veronica, melainkan juga pada keluarganya, bahkan meresahkan para tetangganya.
Padahal keluarganya tidak memiliki kaitan dengan aktivitas yang dilakukan oleh Veronica. "Pihak kepolisian harus bisa memastikan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam peristiwa ini dan dilakukan secara baik dan benar. Jangan sampai ada terjadinya abuse of process dalam peristiwa penyidikan dan penyelidikan dalam peristiwa ini," kata Andi.
Nelson mengatakan pelaku juga harus diungkap karena jika tidak kejadian yang sama bisa terulang. "Kalau ini tidak terungkap, dengan gampangnya nanti orang bisa melakukan hal yang sama."
Kekerasan terhadap aktivis HAM terus terulang
Kasus teror terhadap keluarga Veronica Koman hanya satu dari sekian banyak kekerasan terhadap aktivis pembela HAM Papua.
Anum Siregar, seorang pengacara Aliansi Demokrasi Papua, termasuk di antaranya. Ia mengatakan pada 2014 lalu,dia ditikam orang tak dikenal saat masih menangani kasus di Wamena.
Waktu itu Anum sudah melaporkan kejadian yang dia alami ke polisi, tapi sampai sekarang Anum mengatakan kasus penikaman terhadap dirinya itu tidak diproses.
"Waktu itu dikatakan tidak ada saksi, atau dikatakan masih dalam pengembangan, atau misalnya kita laporya di Polda Papua, kejadiannya di Wamena. Yang kami dengar hambatan-hambatan seperti itu, sehingga proses itu tidak jalan akhirnya," kata Anum.
Selain kasus terhadap dirinya, Anum juga menceritakan kasus teror pengrusakan yang terjadi pada jurnalis Victor Mambor dan Lucky Ireeuw.
Mobil Victor dirusak orang tak dikenal pada April lalu. Kemudian pada Agustus, mobil Lucky juga diserang orang tak dikenal. Anum mengatakan kasus mereka juga belum ada kejelasan.
Menurut Anum, kasus kekerasan terhadap aktivis pembela HAM terus terjadi karena selama ini aktivis dianggap sebagai musuh oleh negara.
"Saya melihat bahwa pemerintah, negara, tidak mau memperbaiki apa yang sudah disampaikan oleh pembela HAM, tidak mau mengubah kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh negara. Jadi dengan caranya adalah menutup orang yang bicara."
Jawaban polisi
Kepolisian Papua tentang kasus Anum yang tidak kunjung usai bahkan sampai tujuh tahun setelah kejadian.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Papua Kombes Ahmad Musthofa Kamal, melalui pesan teks, mengatakan akan mengecek kasus tersebut ke polres dan direktorat reserse criminal.
"Saya cek di mana kasus ini ditangani, apa kendala-kendala dalam penanganan kasus tersebut," katanya. (*)
Tags : Papua, Pemolisian, Hak asasi, Hukum, Indonesia,