JAKARTA - Wacana Perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI) bisa jadi pejabat di Kementerian masih diperdebatkan.
DPR menolak usulan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan untuk menempatkan tentara aktif di jabatan instansi pemerintah, masuk dalam revisi Undang-Undang TNI.
Anggota Komisi I DPR dari partai PDI Perjuangan, Effendi Simbolon, mengatakan wacana itu bertentangan dengan amanat reformasi yang melarang keterlibatan TNI dalam peran sosial politik atau dikenal dengan sebutan dwifungsi ABRI.
Selain itu, menurut pakar hukum tata negara dan aktivis demokrasi, penempatan tentara aktif di instansi pemerintah tidak ada urgensinya, kecuali negara ada dalam keadaan darurat perang atau konflik.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Panjaitan, setidaknya sudah dua kali mengutarakan rencana pemerintah untuk memasukkan perwira TNI aktif di kementerian, instansi, atau lembaga pemerintah.
Pertama pada 2019, saat itu Luhut menepis tudingan yang menganggap masuknya TNI dalam kementerian akan kembali membangkitkan dwifungsi ABRI.
Dia mengeklaim pemerintah telah memiliki kajian soal itu. Namun tak membeberkan secara lebih rinci.
Kini Luhut kembali menghidupkan wacana itu pada acara Silaturahmi Nasional PPAD di Sentul, Bogor. Ia berkata, undang-undang saat ini membatasi peran tentara di kementerian.
"Sebenarnya saya sudah mengusulkan untuk perubahan UU TNI," ujar Luhut, Jumat pekan lalu.
"UU TNI ada satu hal yang perlu, sejak saya Menko Polhukam, bahwa TNI ditugaskan di kementerian/lembaga atas permintaan dari institusi tersebut atas persetujuan Presiden," ucapnya.
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, mengatakan kalau berpijak pada pemerintahan yang demokratis maka jabatan publik harus didasarkan pada kompetensi teknis ataupun keilmuan.
Sementara tentara, kata dia, tidak memiliki kemampuan lain selain bertempur dan pertahanan.
"Sering kali kemampuan manajerial dan teknis enggak ada," ujar Bivitri Susanti pada media, Minggu (7/8/2022).
"Jadi itu ide yang harus ditolak. Jangan sampai lagi ke zaman Orde Baru. Karena biasanya hanya negara toraliter yang menempatkan tentara di jabatan sipil. Kita kan sudah bergeser dari itu," sambungnya.
Menurut Bivitri, kalau jabatan publik diisi oleh perwira tentara maka pengambilan keputusan di lembaga tersebut menjadi tidak demokratis dan profesional. Ini karena cara berpikir tentara -di mana pun itu- menggunakan sistem komando, bukan secara demokratis. Akibatnya, kritik atau saran dari masyarakat akan sulit diterima.
Hal lain, akan sangat mungkin timbul benturan kepentingan.
Dia berkata, pola hubungan di kalangan militer penuh dengan senioritas. Sedangkan di institusi publik, prinsip semacam itu dilarang dan harus mengutamakan akuntabilitas dan transparansi.
"Saya jadi khawatir nanti cara berpikir dan pola pikir kementerian lebih militerlistik."
Dia mengusulkan jika tentara mau masuk ke lembaga pemerintah maka dia harus mengundurkan diri atau sudah pensiun.
Pensiun pun, kata Bivitri, harus disertai jeda minimal tiga tahun agar bisa menghindari adanya potensi konflik kepentingan dengan TNI.
'Tidak ada urgensinya pelibatan TNI di kementerian'
Aktivis pro-demokrasi dan hak asasi manusia, Usman Hamid, juga menilai tidak ada urgensi untuk menempatkan tentara aktif TNI di lembaga, institusi, maupun kementerian.
Karena biasanya, kata Usman Hamid, pelibatan TNI dalam pemerintahan berlangsung ketika negara memberlakukan keadaan darurat seperti perang dengan negara lain atau konflik.
"Nah status kedaruratan itu tidak sedang dihadapi oleh pemerintah saat ini," kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia tersebut.
"Kalaupun ada harus ada deklarasi terbuka dan didaftarkan ke PBB melalui Sekjen PBB."
"Karena nantinya pemberlakukan keadaan darurat diikuti pembatasan kebebasan sipil."
Tapi lebih dari itu, usulan pemerintah itu sejatinya menyalahi TAP MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Di aturan itu, peran TNI sebagai alat pertahanan untuk menjaga kesatuan dan kedaulatan negara Indonesia dari berbagai ancaman dari luar dan dalam negeri. Serta menjaga kesatuan wilayah dan keselamatan bangsa.
Adapun pengecualian jabatan perwira TNI di sejumlah kementerian seperti Kementerian Pertahanan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan "hasil kompromi yang dibuat ketika fraksi ABRI masih ada di DPR," kata Usman.
Usman jusru menilai usulan ini dilontarkan demi "membenarkan pelanggaran" yang telah terjadi. Semisal soal penunjukan perwira TNI sebagai pejabat kepala daerah beberapa waktu lalu -yang menurut Ombudsman RI harus dikoreksi karena menyalahi UU TNI dan UU Aparatur Sipil Negara.
"TNI itu alat negara, dilatih, dididik, dibiayai untuk tugas-tugas pertahanan. Jadi dengan begitu, pemerintahan Jokowi bisa dikatakan memundurkan agenda reformasi dan penyimpangan dari garis kebijakan TNI," ucapnya.
DPR tidak akan setujui penempatan tentara aktif di kementerian masuk RUU TNI
Anggota Komisi I DPR dari partai PDI Perjuangan, Effendi Simbolon, mengatakan usulan untuk menempatkan tentara aktif di jabatan instansi pemerintah "tidak akan pernah disetujui" masuk dalam revisi Undang-Undang TNI.
Dia beralasan, hal itu sama saja dengan menyalahi amanat reformasi dan TAP MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
"Kalau ada yang mengusulkan itu, dia enggak mengerti filosofinya reformasi."
"Mana boleh lagi kekaryaan (menempatkan perwira aktif di kementerian) untuk mengembalikan fungsi sosial dan politik TNI. Itu sama saja TNI tidak mampu mengelola dirinya."
Revisi Undang-Undang TNI masuk dalam daftar Prolegnas berdasarkan Keputusan DPR RI No. 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Prolegnas Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Prolegnas RUU Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024 Nomor Urut 131 Pembahasan antara DPR dan Pemerintah.
Beberapa hal yang menjadi pembahasan dalam revisi adalah usia usia masa dinas prajurit TNI dari sebelumnya 58 tahun diwacanakan menjadi 60 tahun.
Selain itu yang menjadi fokus Komisi 1 DPR, menurut Effendi, yakni menata fungsi TNI dengan Polri agar biaya operasionalnya tidak tumpang tindih. Kemudian menerjemahkan 14 tugas pokok TNI soal operasi militer selain perang.
Apa kata pemerintah dan TNI?
Menanggapi kritikan tersebut, Juru bicara Menko Marves Jodi Mahardi belum menjawab permintaan wawancara BBC News Indonesia. Begitu pula dengan pejabat di Kementerian Pertahanan, Mabes TNI, hingga Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani.
Tapi sebelumnya mantan Panglima TNI, Hadi Tjahjanto, mengatakan wacana menempatkan perwira aktif untuk mengisi di instansi sipil ditujukan lantaran banyaknya perwira menengah TNI yang tidak mendapatkan jabatan struktural.
Pemerintah sedianya telah menyiapkan setidaknya 60 jabatan untuk perwira tinggi TNI di lembaga yang khusus mengurus pertahanan dan keamanan. Tapi jumlah itu tidak sebanding dengan banyaknya perwira tinggi dan menengah TNI yang tak memiliki jabatan struktural.
Oleh karena itu, TNI dan pemerintah mewacanakan untuk merevisi UU TNI terutama pasal 47 yang berbunyi: prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Perubahan pasal itu akan membuka jalan bagi perwira TNI menduduki jabatan setingkat menteri, kepala lembaga atau pejabat eselon 1 di berbagai instansi sipil.
Catatan TNI pada 2019, tidak kurang dari 650 perwira TNI yang tidak memiliki jabatan struktural. Jumlah itu terdiri dari 150 perwira tinggi dan 500 perwira menengah berpangkat kolonel.
Banyaknya perwira TNI yang tidak punya jabatan ini disebabkan beberapa hal. Pertama, ketika dwi fungsi ABRi berakhir di era reformasi mengakibatkan banyaknya perwita tinggi kehilangan jabatan di instansi sipil.
Kedua, berlakunya aturan batas usia pensiun menjadi 58 tahun. Konsekuensinya terjadi penumpukan perwira menengah dan tinggi, sementara jabatan struktural yang tersedia terbatas.
Ketiga adalah rekrutmen sekolah staf dan komando militer di tiga matra yang tak dirampingkan. (*)
Tags : Politik, Militer, Hukum, Indonesia,