Headline Riau   2022/09/04 10:50 WIB

Warga Kini Siasati Mahalnya Harga Kebutuhan Pangan, 'yang Kenaikannya Sangat Terasa’

Warga Kini Siasati Mahalnya Harga Kebutuhan Pangan, 'yang Kenaikannya Sangat Terasa’
(Ilustrasi) Menyajikan makanan di meja makan kini semakin mahal karena harga-harga kebutuhan pangan yang naik.

PEKANBARU - Warga di kota besar di Indonesia kini menyiasati mahalnya harga kebutuhan pangan yang kenaikannya sangat terasa.

Apa yang mereka lakukan untuk menyiasati harga-harga kebutuhan pangan yang akhir-akhir ini semakin mahal?  

Harga-harga yang melambung tinggi itu, kata warga, terjadi pada nyaris semua komponen yang mereka butuhkan untuk makan sehari-hari – dari sayuran, telur, hingga gas untuk memasak. 

Dari pemilik bisnis katering hingga ibu rumah tangga mengaku harus putar otak untuk menyediakan sepiring nasi setiap hari. 

Siti Salmah sedang menghitung bujet yang harus dia keluarkan untuk membeli bahan-bahan makanan, siang itu.

Dia merasakan betul tidak stabilnya harga kebutuhan bahan pokok dan pasokan barang akhir-akhir ini. 

“Kenaikannya sangat terasa,” kata Siti salah satu usaha katering di Kota Pekanbaru, Jumat (26/08). 

Bagi pengelola bisnis katering, cucian, dan koperasi di Kota Pekanbaru, naiknya harga sayur-mayur, gas, hingga ikan, sangat berpengaruh pada pendapatannya. 

Satu ikat sayur bayam, kata dia, yang biasanya dihargai Rp2.000-Rp2.500 kini dipatok Rp3.000-Rp3.500. Harga gas 13kg, lanjutnya, sekarang mencapai Rp225 ribu. 

“Selain barangnya langka, kenaikannya [harga gas] dalam sebulan bisa 2-3 kali,” katanya. 

Ikan lele pun sempat langka di wilayahnya. Sepanjang seminggu sebelumnya, Siti yang menyediakan katering untuk para santri di salah satu pesantren mengaku tak dapat menemukannya. 

“Kemarin sampai tiga petani lele saya telepon, tidak ada barang, kosong,” katanya.

Menu makan para santri pun kemudian diubah menjadi bandeng presto. 

Setiap hari Siti harus menyiapkan makanan untuk 140 santri, dan guru serta staf sekitar 45 porsi.  

Mereka mendapatkan jatah makan tiga kali dalam sehari. Artinya, Siti harus menyiapkan 500 porsi dalam sehari.  

Pada pagi hari, menunya biasanya nasi goreng dengan dengan lauk yang selalu berganti, seperti tahu, tempe, bakwan, mendoan, nuget atau sosis.  

Makanan berkuah dengan ayam atau ikan menjadi menu makan siang. Sementara pada sore hari, menunya sayuran dengan lauk tempe atau mendoan. 

“Kalau siang, ada tambahan buah segar atau jus buah,” kata Siti. 

Tapi menu tambahan buah kini mulai berkurang, kata dia. Karena harga-harga bahan makanan yang tidak stabil, jatah makan ini ‘kami kurangi’, kata Siti lagi.

Ia terkadang menyiasati mengganti asupan buah segar dengan minuman jeruk hangat atau infused water. 

Jika harga masih terus naik, Siti tak punya pilihan selain mengurangi lauk ayam dan ikan laut, yang tadinya seminggu penuh menjadi 3-4 kali dalam seminggu.  

“Kita akan ubah, tapi tidak drastis,” katanya. 

Menurut Siti yang disajikan, telur tadinya akan digunakan sebagai pengganti, namun urung karena harga telur juga naik.

“Tapi masih bisa jadi menu alternatif, masak omlet,” imbuhnya. 

Siti mengaku, pengubahan menu akan berpengaruh pada kandungan gizi makanan, dan bisa membuat kaget para santri.

Tapi sebagai santri, menurut Siti, mereka harus bisa belajar hidup sederhana dan kuat tirakat, yang biasanya makan enak terus jadi sederhana 

“Di pondok harus tirakat, menahan apa yang kita inginkan. Kita ini di pondok,” terang Siti.

“Mengambil makan secukupnya, kalau memang kurang, boleh tambah. Jangan sampai membuang makanan,” katanya. 

Siti tak tahu sampai kapan situasi harga-harga tidak stabil seperti sekarang.

Mulai sekarang, dia menyiapkan langkah jangka panjang untuk menghadapinya.  

Di areal dekat Pesantren Ibnu Sina Tampan, terdapat sebidang tanah kosong. Di atasnya sedang dibangun tempat untuk menanam sayur. 

Meski tidak luas, Siti mengatakan areal itu bisa menjadi lumbung sayur-mayur bagi para santri di tengah kiris pangan. 

“Kita sudah mulai persiapkan lahan untuk hidroponik,” katanya. 

Andalkan berbagai sambal   

Siang di akhir Agustus di Kota Pekanbaru terasa lebih panas. Jelang September, cuaca memang biasanya lebih panas dari bulan-bulan sebelumnya. 

“Kalau panas-panas begini, enaknya makan makanan yang berkuah,” ujar Umi Sita, 32 tahun. 

Umi tinggal di Marpoyan Damai, Kecamatan Bukit Raya, Kota Pekanbaru.

Umi adalah ibu tunggal. Di rumahnya, ia tinggal bersama seorang anak, ibu kandung yang juga janda, serta dua sepupunya.  

Setiap pagi, Umi membantu ibunya berjualan sarapan; ada bubur, nasi kuning dan lontong sayur.

Sebagai tambahan, dia berjualan keripik singkong pedas manis yang dijajakan secara online melalui aplikasi pesan. 

Di siang yang panas itu, Umi menyiapkan sayur bening kangkung, ikan nila dan mie goreng jawa untuk makan siang.

Karena harga minyak goreng yang mahal, Umi mengaku mengurangi lauk yang digoreng.  

“Sebenarnya untuk menghindari pemakaian minyak yang berlebih, kami jarang menggoreng. Hari ini supaya ada variasinya saja,” ujarnya. 

Di Pekanbaru, harga sayuran naik antara Rp1000 hingga Rp2000. Demikian pula harga ayam potong.  

Jika dia membeli ayam, Umi akan mengambil bagian leher, ceker dan kepala saja.

Dagingnya dijadikan sajian bubur dan lontong sayur untuk jualan, begitu pula kaldunya. 

“Daging pun belinya yang banyak lemak, soalnya untuk kuah lontong sayur,” tambah Umi. 

Untuk menu makan di rumah, ia beralih ke lauk lain yang lebih murah.  

“Tempe tahu yang dibacem, sayur direbus, ditambah sambal sudah nikmat sekali,” katanya.  

Sambal menjadi kunci nikmatnya hidangan makanan di keluarganya.

Variasi sambal pun menjadi hal yang diulik setiap hari.

Selain sambal terasi, Umi membuat sambal bajak, sambal teri ulek, sambal mangga dan sambal bawang. 

Di bagian lain Kota Pekanbaru, Wiwi, 38 tahun, mengaku kenaikan harga-harga tidak terlalu berpengaruh nyata pada menu sehari-harinya.  

Wiwi dan suaminya yang memiliki usaha percetakan digital termasuk dalam keluarga menengah ke atas.

Meski begitu, ibu tiga anak ini tetap mengaku harus berhemat. 

“Biasanya belanja di tukang sayur. Sekarang dicoba belanja langsung di pasar tradisonal. Ternyata lumayan hemat banyak,” ungkapnya.  

Jika dijumlahkan, kata Wiwi, belanja di pasar tradisonal lebih hemat 20 hingga 30 persen dari belanja di tukang sayur.

Wiwi mengaku, dia tidak tahu pasti kenaikan harga pada komoditi spesifik. 

Namun, karena omzet di usahanya juga mengalami penurunan, maka dia perlu melakukan efisiensi pada beberapa pengeluaran rumah tangganya.  

Wiwi memperlihatkan menu makan siangnya. 

“Hari ini memilih cap cay kuah dengan daging cincang. Kuahnya segar, anak-anak suka. Praktis pula,” kata Wiwi lagi.  

Sebagai variasi, biasanya Wiwi akan menambah lauk dengan tahu sutera, atau tempe manis pedas. “Yang penting gizi tercukupi dan sehat,” katanya. 

Gulai Padang lebih hemat  

Yelfarina, seorang ibu rumah tangga masih di Kota Pekanbaru, harus putar otak supaya jatah uang belanja sebesar Rp150 ribu per minggu cukup untuk menyediakan nasi dan lauk pauk yang layak di meja makan. 

Di rumahnya ada delapan mulut yang harus diberi makan saban hari, dirinya dan suami, tiga orang anak, ibu, seorang kakak, dan cucunya. 

"Memang, saat ini semua kebutuhan pokok harganya mahal," kata Yelfarina. 

Suami Yelfarina bekerja sebagai tukang bangunan dengan pemasukan tak tentu, maka ia pun tak berharap jatah belanjanya jadi lebih banyak. 

Untuk mengatasinya, ia terpaksa harus mengurangi pembelian bahan-bahan pokok yang dikonsumsi setiap harinya. 

"Saya biasanya beli sekilo cabai, sekarang beli seperempat atau setengah kilo saja," lanjutnya. 

Di Pekanbaru, pekan lalu harga cabai mencapai Rp60 ribu per kilo, dari yang biasanya hanya Rp20 ribu saja.  

Harga bawang juga merangkak naik, dari yang normalnya sekitar Rp18 ribu per kilo, kini di kisaran Rp50 ribu per kilo. 

Harga minyak goreng yang masih tinggi, membuat Yelfarina beralih dari menu goreng-gorengan menjadi masakan seperti gulai, yang dinilainya bisa lebih menghemat pengeluaran.  

"Untuk lauk seperti ayam dan yang lainnya tidak terlalu tinggi harganya. Yang mahal itu seperti minyak goreng dan sayur-sayuran," kata dia.  

Di tengah kesulitannya menyediakan kebutuhan pangan keluarganya, Yelfarina berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menekan harga bahan pokok.  

"Saya harap agar pemerintah melakukan sesuatu agar bahan-bahan pokok seperti semula harganya lagi." 

Menunggu harga telur turun lagi

Asridjal sibuk mengaduk adonan kue dengan mikser. Ia hendak membuat kue yang saat ini sedang banyak diminati orang, Japanesse Cheese Cake di salah satu restoran Mall Plaza, tentu yang butuh banyak telur. 

Di Kota Pekanbaru, tempat Asridjal tinggal, harga telur sedang melonjak. Mencapai Rp60 ribu satu rak, itu pun ukurannya tak sebesar biasanya. 

“Masih kecil ini [telurnya],” kata Asridjal, Jumat (26/08) kemarin. 

Sebelum harga telur naik, Asridjal biasanya menggunakan 16 butir telur ukuran jumbo untuk menghasilkan empat kue Japanese Cheese Cake dengan ukuran diameter 20 centimeter.  

Saat itu harga telur Rp45.000 hingga Rp50.000 satu rak. 

“Paling terakhir itu waktu mau Idul Adha agak naik memang Rp55.000, itu 16 butir telur. Nah, sekarang ini saya beli harga Rp60.000 satu rak, saya pakai 18 sampai 20 butir telur,” keluh Asridjal. 

Usaha kue yang digeluti Asridjal ini sudah dimulai sebelum pandemi covid-19 merebak.  

Selain Japanese Cheese Cake, Asridjal juga menjual kue Japanese Souffle Pancake, Tiramisu dan Klappertaart, semuanya membutuhkan banyak telur.

Dalam sehari, dia dapat memproduksi 10 kue pesanan. 

“Semua pakai telur. Yang paling terasa telurnya memang Japanese Cheese Cake, karena dia yang paling banyak pakai telurnya,” jelas Asridjal. 

Meski harga telur terus merangkak naik, Asridjal mengaku memilih untuk tidak menaikan harga kue yang diproduksinya.  

Sedapat mungkin, Asridjal juga tidak mengubah kualitas dan ukuran kue. Apalagi setelah lebaran Idul Adha 2022 lalu, kue Japanese Cheese Cake buatannya sudah naik harga, dari Rp70.000 menjadi Rp75.000. 

Kala itu, penyesuaian harga dilakukan akibat harga bahan baku yang lain seperti gula pasir, susu, mentega dan tepung terigu naik.  

“[Sekarang] ini harga telur naik, tidak mungkin langsung dinaikkan,” ucapnya. 

Asridjal mengaku dampak dari kenaikan harga telur membuat produksi kue jualannya menurun. Tapi dia yakin, bahwa harga telur akan turun kembali.  “Harga telur itu, kan, fluktuatif. Tapi yang paling mahal memang ini [sekarang],” katanya.

Jadi saat ini semua warga pada mengeluh dalam ceritanya masing-masing, ada yang keuntungan alami penurunan, tapi mungkin di kesempatan lain harga telur akan turun lagi. Karena pengalaman, sering begitu naik turun. (rp.sul/*)

Tags : Ekonomi, Inflasi, Biaya hidup, Mahalnya Harga Kebutuhan Pangan, Kenaikan Harga Pangan Terasa,