Headline Sorotan   2022/09/04 11:2 WIB

Pemerintah Akhirnya Umumkan Kenaikan Harga BBM Subsidi, 'Meski Sudah Diperingatkan Dampak Sosialnya'

 Pemerintah Akhirnya Umumkan Kenaikan Harga BBM Subsidi, 'Meski Sudah Diperingatkan Dampak Sosialnya'

Pemerintah akhirnya mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi meski sudah diperingatkan dampak sosialnya"

khirnya pengumuman kenaikan harga BBM subsidi setelah berminggu-minggu spekulasi, dalam langkah yang disebut Presiden Joko Widodo sebagai "pilihan terakhir pemerintah". Mulai Sabtu 3 September 2022 pukul 16:30 (WIB kemarin berlaku kenaikan harga bagi beberapa jenis BBM subsidi.

Harga Pertalite naik dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter.

Harga solar subsidi naik dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter.

Sementara harga BBM non subsidi Pertamax naik dari Rp12.500 menjadi Rp14.500.

Presiden Jokowi mengatakan sebagian dari subsidi BBM akan dialihkan ke berbagai bentuk bantuan sosial.

Selama beberapa minggu ke belakang, beberapa menteri Jokowi telah memberi sinyal akan perlunya menaikkan harga BBM karena beban subsidi yang begitu besar pada keuangan negara.

Namun Presiden beberapa kali menunda langkah tersebut, dengan alasan perlu perhitungan lebih hati-hati akan dampaknya.

Berbicara dalam konferensi pers di Istana Presiden, Sabtu (03/09), Jokowi mengatakan anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun ini telah meningkat tiga kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 trilun.

"Dan lebih dari 70 persen subsidi justru dinikmati kelompok masyarakat mampu, yaitu pemilik mobil pribadi," ujarnya,

"Sehingga pemerintah harus membuat keputusan yang sulit. Ini adalah pilihan terakhir pemerintah," ia menambahkan.

Dialihkan ke bantuan sosial

Presiden mengatakan pemerintah memutuskan untuk mengalihkan sebagian subsidi BBM ke berbagai bentuk bantuan "yang lebih tepat sasaran".

Pemerintah akan memberikan Rp150.000 per bulan selama empat bulan, mulai September 2022 kepada 20,65 juta keluarga tigak mampu.

Anggaran pemerintah untuk BLT ini sebesar Rp12,4 trilun.

Kemudian, bagi pekerja dengan gaji maksimum Rp3,5 juta per bulan, akan diberikan bantuan subsidi upah sebesar Rp600.000 yang dibayarkan satu kali. Untuk bantuan ini, pemerintah menganggarkan 9,6 triliun untuk 16 juta pekerja.

Presiden Jokowi menambahkan, ia telah memerintahkan pemerintah daerah untuk menggunakan 2% dana transfer umum sebesar Rp2,17 triliun rupiah untuk bantuan angkutan umum, ojek online, dan nelayan.

"Pemerintah berkomitmen agar penggunaan subsidi, yang merupakan uang rakyat, harus tepat sasaran.

"Subsidi harus lebih menguntungkan masyarakat yang kurang mampu," kata Jokowi.

Dalam pemaparan lebih mendetail, Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan bahwa BLT akan diberikan dalam dua tahap, per tahap Rp300.000. Tahap pertama bulan September dan tahap kedua pada bulan Desember.

Dalam periode itu, Risma menambahkan, warga dapat mengusulkan diri sendiri sebagai penerima bantuan melalui fitur "Usul" dan "Sanggah" di aplikasi Cek Bansos buatan Kemensos.

Tim pendamping Kemensos juga akan mengecek situasi di daerah, kata Risma. "Kami punya 70.000 pendamping di seluruh daerah."

Bila ada keluhan yang bersifat mendesak, warga diminta menghubungi layanan keluhan 24 jam Kemensos di 021-171.

Risma mengatakan sebagian besar bantuan bagi keluarga penerima manfaat sudah siap salur, sementara sisanya masih menunggu verifikasi.

Ia menambahkan bagi warga yang tinggal di lokasi terpencil, Kemensos akan mempersiapkan penerbangan khusus.
Persoalan data

Bagaimanapun, selama ini masyarakat sudah sering mengkritik penyaluran bantuan sosial yang tidak tepat sasaran. Kekurangan dan ketidaksesuaian data biasanya menjadi masalah utama.

Di lapangan tak semua masyarakat miskin masuk ke dalam daftar penerima bantuan sosial terbaru, termasuk masih menyasar kepada kelompok mampu.

Marthina Damimetou, 82 tahun, warga Kota Jayapura, Papua, mengaku sudah tidak lagi masuk dalam daftar penerima bantuan sosial sejak awal 2021. Padahal, selama ini ia menggantungkan kebutuhan hidupnya dari bansos tersebut.

"Di kantor lurah, mereka juga bilang tidak ada [nama saya]. Jadi sudah, akhirnya saya setop tidak mau cari tahu lagi lebih jauh," katanya.

Sementara itu, Daeng Cayya, 62 tahun, warga Kota Makassar, Sulawesi Selatan, juga tidak lagi mendapatkan bantuan sosial sejak 2021. Padahal, selama ini ia mengandalkan bantuan sosial dari pemerintah setidaknya "bisa menutupi membeli beras".

"Apalagi tiap bulan itu kan kita bayar juga lampu [listrik] lebih Rp100.000, air Rp50.000. Itu sudah Rp200.000 dan pendapatan kita tidak ada," kata Cayya.

Ibu tiga anak yang menjadi tulang punggung keluarga, saat ini mengandalkan pendapatan dari hasil jualan kopi dan kue.

Cayya tak mempersoalkan namanya masuk atau tidak masuk dalam penerima bansos kali ini. Ia hanya berharap pemerintah mampu mengendalikan harga kebutuhan pokok.

"Tapi sebenarnya yang kita mau untuk pemerintah, tidak usah ada yang seperti itu [bansos] tapi harga [kebutuhan pokok] yang kita bisa jangkau," kata Cayya.

Di Kota Medan, Sumatera Utara, Wagiem, 56 tahun mengatakan sejauh ini belum mendapat pemberitahuan adanya bansos terbaru. "Enggak ada [pemberitahuan]," katanya, yang mengaku terakhir menerima BLT tahun lalu.

Tapi menurutnya, BLT BBM yang akan disalurkan pemerintah per keluarga sebesar Rp600.000 nampaknya hanya cukup memenuhi kebutuhan hidup "setengah bulan".

"Pusing lah, semua mahal kan. Suami nggak kerja-kerja. Macam mana," katanya.

Hal serupa dialami warga kota Medan lainnya, Sania, 52 tahun. Janda yang menanggung lima anak, bekerja sebagai tukang cuci panggilan belum mendapat bansos lagi sejak tahun lalu.

"Kerja sama memang kerja nyuci, rumah tangga. Jadi kadang berutang duit saya sama majikan. Jadi kalau dapat BLT, Alhamdulillah," katanya.

Evaluasi data sebelum penyaluran

Di sisi lain, analis kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Lina Miftahul Jannah mengatakan suaminya masih terdaftar dalam sistem data penerima bantuan sosial.

"Diri saya pun dianggap orang miskin. Suami saya menerima BLT padahal punya penghasilan tetap. Dasarnya apa?," katanya bertanya-tanya.

Lebih lanjut, Lina menyerukan agar pemerintah memperbaiki data penerima sebelum menggelontorkan BLT BBM. "Artinya, evaluasi ini harus dilakukan, benahi data. Sehingga kemudian data ini menjadi data yang tepat sasaran," katanya.

Bansos berupa BLT merupakan jurus pemerintah dalam meredam kenaikan harga BBM bersubsidi yang dilakukan sejak era Presiden SBY pada 2004. Saat itu, kebijakan tersebut mendapat kritik dari PDI Perjuangan yang saat ini menjadi partai penguasa.

Narasi pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi

Dalam pelbagai kesempatan pernyataan kepada publik, Menteri Sri Mulyani menyinggung BBM bersubsidi lebih banyak dinikmati masyarakat mampu, termasuk di dalam Instagramnya.

Ia juga memprediksi akan terjadi penambahan anggaran subsidi dan kompensasi sebesar Rp198 triliun tahun ini.

"Jumlah subsidi dan kompensasi ini diperkirakan akan habis dan bahkan terlampaui mencapai di atas Rp698 triliun hingga akhir tahun. Ini akan menjadi tambahan belanja RAPBN 2023," kata Menteri Sri Mulyani dalam rapat dengan Banggar DPR, Selasa (30/08) seperti dikutip Bisnis.

Di sisi lain, harga BBM bersubsidi juga akan dipengaruhi harga minyak mentah yang diprediksi mencapai US$105/barel pada akhir tahun, lebih tinggi dari asumsi makro pada Perpres 98/2022, yaitu US$100/barel. Nilai tukar US Dollar terhadap Rupiah juga berada di angka Rp14.700, lebih tinggi dari asumsi sebesar Rp14.450.

Dan, kuota volume BBM bersubsidi yang dianggarkan dalam APBN 2022 diperkirakan akan habis pada Oktober 2022.
Pertaruhan reputasi Presiden Jokowi

Analis kebijakan publik, Lina Miftahul Janna, menilai langkah menaikkan harga BBM bersubsidi dengan dalih penghematan APBN adalah kebijakan yang "separuh-separuh".

"Contoh, biaya perjalanan [pejabat] itu masih dibuka kerannya. Biaya rapat, itu hal-hal yang bisa dikurangi dengan cukup signifikan.

"Jadi dievaluasi perjalanan dinas yang harus dengan golongan sekian, di hotel bintang sekian. Dengan kamar kelas sekian. Bisa dikurangi, bisa menghemat banyak," kata Lina.

Sementara itu, Direktur Riset Senior dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah memperkirakan pemerintah bisa menghemat sebesar Rp76 triliun dari kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi.

Hitungan ini dengan asumsi menaikkan harga pertalite menjadi Rp10.000/liter dari sebelumnya Rp7.650/liter.

"Penghematannya terlalu sedikit untuk risiko yang terlalu besar," kata Piter.

Risiko besar tersebut adalah "lonjakan inflasi sangat besar" yang ia perkirakan tahun ini berada di angka 6 - 10%. Inflasi ini akan berdampak pada daya beli masyarakat yang menurun, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan investasi terhambat.

"Pembukaan lapangan kerja juga tidak akan maksimal, artinya pengangguran akan bertambah," kata Piter.

Dampak kenaikan harga BBM bersubsidi juga bukan hanya menyasar kelompok miskin, tapi juga menengah, termasuk industri.

"Keputusan menaikkan BBM bersubsidi itu berisiko besar yang akan mempertaruhkan reputasi pemerintah, reputasi Pak Jokowi," tambah Piter.

BLT itu tidak mengurangi dampak negatif kenaikan harga BBM bersubsidi. Sakitnya tetap dirasakan, ibarat, "Semua orang digebuki, sebagian dikasih permen," kata Piter.

Piter mengatakan pemerintah masih bisa mengambil opsi lain dengan tidak menaikkan BBM bersubsidi. Di antaranya tetap menahan harga BBM bersubsidi seperti saat ini, karena pemulihan perekonomian masih berlanjut hingga tahun-tahun mendatang. Menurutnya "pelebaran defisit [APBN] itu nggak besar-besar banget".

Kedua, membuat produk bahan bakar baru antara Pertalite dan Pertamax. Cara ini pernah dilakukan saat pemerintah menghapus produk BBM Premium dengan RON 88. "Dengan cara ini, orang tidak berbondong-bondong belinya Pertalite, karena ada pilihan yang lebih baik," katanya. (*)

Tags : Minyak gas, Ekonomi, Inflasi, Pekerjaan, Indonesia, Kemiskinan, Biaya hidup,