Headline Sorotan   2020/03/31 19:32 WIB

Covid-19 Pengaruhi Kehidupan Sosial Perempuan

Covid-19 Pengaruhi Kehidupan Sosial Perempuan

SOROTAN - Sejak mewabah di China Desember lalu sampai sekarang, virus corona telah menginfeksi lebih dari 110.000 orang dengan pasien meninggal mencapai lebih dari 3.600 orang di lebih 80 negara di seluruh penjuru dunia.

Selain aksi-aksi dalam mencegah dan mengobati penyakit Covid-19, dampak sosial yang ditimbulkan oleh virus SARS-CoV-2 itu juga sangat signifikan di Asia. Kaum perempuan lah yang terkena dampaknya secara tidak proporsional.

Krisis selalu memperburuk ketimpangan gender, kata Maria Holtsberg, penasihat risiko bidang kemanusiaan dan bencana di UN Women Asia dan Pacific dilansir BBC Indonesia.

Berikut adalah lima akibat yang ditimbulkan oleh wabah Covid-19 dalam kehidupan sosial para perempuan di Asia.

1. Penutupan sekolah

Saya sudah berada di rumah selama lebih dari tiga minggu sekarang, bersama anak-anak, kata jurnalis dan ibu dari dua anak, Sung So-young.

Sung tinggal di Korea Selatan, yang baru-baru ini mengumumkan menunda jadwal masuk tahun ajaran baru hingga dua minggu ke depan. Sehingga, anak sekolah diliburkan hingga 23 Maret mendatang.
Pada 4 Maret lalu, sekitar 253 juta murid sekolah di Korea Selatan, China, dan Jepang dari tingkat pra-sekolah dasar hingga menengah atas tidak bersekolah, menurut angka terbaru dari UNESCO.

Langkah itu menyulitkan para perempuan di Asia, seperti yang dialami Sung, karena di banyak negara Asia timur para ibu memikul beban yang tidak proporsional di rumah, dan dia mengatakan merasa tertekan.

Sejujurnya, saya ingin pergi ke kantor karena saya tidak bisa benar-benar fokus di rumah, kata Sung. Tapi suamiku adalah pencari nafkah dan dia tidak bisa meminta cuti.

Sung bersama putrinya berusia 11 tahun dan putranya berusia lima tahun menghabiskan hari dengan bermain dan menonton film. Dia mencoba menyelesaikan pekerjaan rumah ketika kedua anaknya sedang tertidur.
Situasi yang dialami Sung merupakan cerminan atas catatan buruk Korea Selatan tentang kesetaraan gender di tempat kerja. Pada tahun 2020, the World Economic Forum menempatkan Korea Selatan diperingkat 127 dari 155 negara tentang partisipasi perempuan dalam ekonomi.

Bahkan, Sung telah mendengar anekdot bahwa beberapa perusahaan memotong upah karyawan perempuan yang tidak dapat datang ke kantor karena harus mengasuh anak akibat dari penutupan sekolah.

Banyak perusahaan tidak mengatakan ini, tetapi mereka masih melihat ibu yang bekerja sebagai beban, dan kurang kompetitif. Lagi pula, jika Anda tidak memiliki anak, Anda bisa datang ke kantor lebih sering, katanya.

Pemerintah Jepang mengumumkan bahwa minggu ini akan memberikan insentif bagi perusahaan hingga US$80 per orang per hari jika para karyawan mengambil cuti untuk merawat anak-anak yang libur karena penutupan sekolah.

Pusat-pusat penitipan anak dan klub usai-sekolah diizinkan untuk beroperasi guna membantu para orang tua, namun langkah itu tetap saja menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas penutupan.

Menutup sekolah tidak membantu menghentikan sepenuhnya penyebaran virus. Itu hanya menambah beban para ibu yang bekerja, kata Natsuko Fujimaki Takeuchi, pemilik usaha kecil.

Ini sangat menantang untuk bisnis saya, saya tidak mendapatkan dukungan yang sama dengan perusahaan besar dapatkan di tengah gangguan ekonomi.

2. Kekerasan rumah tangga

Ketika jutaan orang di China menghabiskan waktu di dalam rumah atau ruangan untuk melindungi diri dari virus corona, di sisi lain, aktivis hak asasi mengatakan terjadi pula peningkatan kekerasan dalam rumah tangga.

Guo Jing, aktivis perempuan yang baru saja pindah ke Wuhan - tempat asal virus corona- pada November 2019, mengatakan ia secara pribadi telah menerima laporan-laporan dari orang muda yang tinggal di kota yang dikarantina itu yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga di antara orang tua mereka.

Jing mengatakan para penelepon tidak tahu ke mana harus mencari bantuan. Kemudian, Xiao Li, seorang aktivis China yang tinggal di wilayah perbatasan antara Provinsi Henan dan Provinsi Hubei, mengatakan ke BBC tentang kekhawatirannya setelah seorang kerabat meminta bantuannya usai diserang oleh mantan suami.

Awalnya, kami merasa tidak mungkin bisa mendapatkan izin bagi dia untuk meninggalkan desanya, kata Li.

Setelah menerima banyak bujukan, polisi akhirnya memberikan izin keluar dan masuk kepada saudara lelaki untuk dapat bertemu dan menjenguk dia serta anak-anak.

Ketika laporan-laporan tentang kekerasan dalam rumah tangga bermuncul di media sosial, beberapa perempuan membuat poster yang mengingatkan setiap orang untuk membantu menghalangi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dan tidak hanya menjadi penonton yang pasif.
Pekan lalu, direktur Weiping, lembaga masyarakat yang melindungi hak-hak perempuan, Feng Yuan mengatakan organisasinya telah menerima laporan tiga kali lebih banyak dibandingkan sebelum karantina.

Polisi seharusnya tidak menggunakan alasan epidemi untuk tidak menganggap serius kekerasan dalam rumah tangga, katanya.

UN Women juga prihatin tentang kemungkinan terjadinya pengalihan layanan untuk para perempuan menjadi fokus untuk penanggulangan wabah corona.

Mengalihkan sumber daya dari layanan kritis yang diandalkan perempuan, seperti pemeriksaan kesehatan rutin atau layanan kekerasan berbasis gender, adalah sesuatu yang sangat kami perhatikan, kata Holtsberg.

3. Pekerja perempuan: Tenaga kesehatan di garis depan

Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 70 persen pekerja di sektor kesehatan dan sosial berasal dari kaum perempuan.

Media China telah mempromosikan cerita-cerita tentang perjuangan para perempuan yang bekerja di garis depan, seperti perawat. Namun, bagaimana sebenarnya kisah nyata yang dialami tenaga medis perempuan itu?

Sebuah video yang menunjukan para petugas kesehatan perempuan dari Provinsi Gansu mencukur rambutnya sebelum ditugaskan untuk membantu para pasien virus corona, memicu perhatian di media sosial bulan ini.

Lalu, ada juga cerita tentang pekerja medis yang hamil sembilan bulan mengalami keguguran namun tetap kembali bekerja, yang memicu reaksi karena menjadi pertunjukan propaganda dan membentuk sebuah preseden yang berbahaya.

Bulan lalu, BBC mewawancarai seorang perawat yang mengungkapkan bahwa staf rumah sakit tidak diizinkan untuk makan, beristirahat, hingga menggunakan toilet saat waktu bekerja selama 10 jam.

Ketika aturan itu berlaku untuk semua staf rumah sakit, para perempuan juga harus memikul lapisan perlakuan diskriminatif, kata Jiang Jinjing.

Jinjing adalah sosok penting di balik kampanye the Coronavirus Sister Support, yang mencoba untuk memberikan produk-produk kesehatan kepada para perempuan yang bekerja di garis depan di Provinsi Hubei, pusat dari wabah. Ia mengatakan kebutuhan para perempuan saat menstruasi diabaikan.

Dalam halaman Weibo, Jinjing berkata Pada 28 Februari, terdapat 481.377 celana dalam, 303.939 celana sekali pakai dan 86.400 pembalut telah disumbangkan.

Jiang Jinjing mengatakan tidak banyak orang berpikir untuk menyediakan produk menstruasi yang tepat untuk puluhan ribu pekerja medis wanita.

Setelah kampanye sukarela ini dipuji oleh banyak orang di media sosial China, Yayasan Pengembangan Perempuan yang dikelola pemerintah China mengatakan akan mengirimkan produk menstruasi kepada pekerja medis wanita.

4. Pekerja rumah tangga migran

Diperkirakan terdapat 400 ribu perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Hong Kong, kebanyakan dari mereka berasal dari Filipina dan Indonesia.

Beban yang mereka hadapi semakin berat akibat dari wabah virus corona. Bukan hanya terkait ketidakpastian dan perlindungan terhadap pekerjaan, kini mereka juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan alat kesehatan seperti masker wajah dan pembersih tangan.

Kepanikan membeli masker telah melambungkan harganya sehingga tidak lagi terjangkau bagi pekerja migran, kata Cynthia Abdon-Tellez, General Manager dari gerakan Misi amal bagi pekerja migran di Hong Kong.

Tidak semua pekerja migran mendapatkan masker dari majikan mereka, kami harus membelinya dengan biaya kami sendiri dan itu sangat mahal. Beberapa ada yang mendapatkan masker dari majikan mereka, dan satu untuk dipakai selama seminggu, seorang pekerja migran Indonesia di Hong Kong , Eka Septi Susanti mengatakan kepada BBC Indonesia.

Abdon-Tellez melanjutkan, organisasinya telah mulai mengumpulkan masker untuk dibagikan kepada pekerja migran, yang tidak disediakan oleh majikan.

Konsulat Indonesia mendistribusikan masker gratis tetapi itu tidak cukup - butuh satu jam (untuk mengantri) untuk mendapatkan tiga topeng. Kami membutuhkan setidaknya enam topeng selama seminggu, kata Sringatin, ketua Asosiasi Pekerja Migran di Hong Kong.

Imbauan dari Pemerintah Hong Kong memicu kegelisahan para pekerja rumah tangga migran di sana karena pemerintah mendesak mereka untuk tetap tinggal di dalam rumah pada hari libur. Tujuannya agar kesehatan para pekerja terjaga dan mengurangi risiko terkontaminasi.

Imbauan itu mengurangi waktu berharga yang dimiliki oleh para perempuan yang tinggal jauh dari keluarga dan orang terkasih, dan menempatkan mereka dalam keadaan yang rentan eksploitasi. Para pekerja migran yang tinggal di rumah majikan saat hari libur dan tidak boleh keluar, masih terus bekerja, kata Sringatin.

Mereka tetap memasak untuk majikan, mengasuh anak atau merawat orang tua majikan, tanpa kompensasi. Mereka yang bersikeras mengambil hari libur diancam akan dipecat.

Dampaknya, bukan hanya menimpa para pekerja perempuan itu, tapi juga jutaan orang di Filipina dan Indonesia yang bergantung pada gaji yang dikirim oleh para pekerja migran.

Jumlah uang pribadi yang dikirim oleh para pekerja Filipina di luar negeri mencapai rekor tertinggi sekitar US$33,5 miliar pada tahun 2019.
Ekonom senior ING Bank Manila Nicholas Mapa mengatakan pengiriman uang dari pekerja Filipina di luar negeri menyumbang sekitar 9% dari pendapatan domestik bruto. Sehingga, dampak virus kemungkinan akan terasa di perekonomian Filipina.

Ketika konsumen tinggal di dalam ruangan, akan membatasi permintaan untuk berbagai industri jasa di mana orang Filipina umumnya dipekerjakan. Itu melukai peluang mereka untuk mengirim uang ke rumah. Pembatasan perjalanan dan mobilitas juga terpengaruh, mengancam gaji dan bahkan kepastian pekerjaan mereka, katanya .

5. Dampak ekonomi jangka panjang

Para ekonom dan pemerintah kini sedang mendiskusikan tentang prediksi bahwa ekonomi global dapat tumbuh pada tingkat paling lambat sejak 2009 akibat wabah corona.

Secara keseluruhan, virus corona memiliki dampak besar pada sektor perjalanan, produksi dan konsumsi, yang berdampak pada banyak sektor dan juga ke kelompok wanita dan pria, kata Christina Maags, dosen dari SOAS University of London.

Namun, perempuan berpenghasilan rendah akan sangat terdampak oleh perlambatan tingkat konsumsi karena mereka cenderung dipekerjakan di industri perhotelan, ritel atau layanan lainnya.

Di China, karena banyak perempuan migran tidak memiliki kontrak kerja, virus corona menyebabkan mereka tidak menerima penghasilan apa pun - karena mereka dibayar jika mereka bekerja, katanya.

Dengan tidak adanya jaminan sosial, mereka menghadapi dilema antara kembali bekerja dan berpotensi sakit atau perlu membayar untuk bentuk lain dari akomodasi. Atau, mereka mungkin terpaksa tinggal di rumah dan hidup dari sedikit tabungan yang mereka miliki. Kondisi ini menempatkan mereka dalam situasi yang sangat sulit.

Dan beberapa pabrik garmen di Asia Tenggara, yang mengandalkan bahan baku dari China, terpaksa ditutup.

Menurut pemerintah Myanmar, lebih dari 10 pabrik telah tutup sejak Januari lalu, meskipun kementerian tenaga kerja mengatakan tidak semua disebabkan oleh virus corona.

Ma Chit Su mengatakan kepada BBC di Myanmar bahwa keluarganya sangat bergantung pada gajinya dari pekerjaan pabrik garmen yang sekarang ditutup.

Saya tidak peduli tentang kompensasi, saya hanya ingin pekerjaan saya kembali di pabrik, katanya.

Menurut perspektif UN Women, para perempuan ini yang akan merasakan dampak terbesar akibat dari virus corona, termasuk penerima upah harian, pemilik usaha kecil dan mereka yang bekerja di sektor informal.

Perbedaan kebutuhan perempuan dan laki-laki dalam upaya pemulihan jangka panjang dan menengah juga perlu dipertimbangkan, kata Mohammad Naciri, Direktur Regional UN Women Asia dan Pasifik.

Perempuan memainkan peran yang sangat diperlukan dalam memerangi wabah - sebagai pekerja perawat kesehatan, sebagai ilmuwan dan peneliti, sebagai penggerak sosial, sebagai pembangun dan penghubung perdamaian di masyarakat, dan sebagai pengasuh.

Sangat penting untuk memastikan bahwa suara perempuan didengar dan diakui. (*)

Tags : -,