Headline Sorotan   2020/04/29 16:47 WIB

PSBB di Kawasan Padat Penduduk Dikeluhkan Warga Miskin

PSBB di Kawasan Padat Penduduk Dikeluhkan Warga Miskin

Aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk jaga jarak fisik yang terus digalakkan oleh pemerintah, ternyata menyulitkan warga miskin yang tinggal di kawasan padat penduduk

class=wp-image-20755

alah satunya di Kecamatan Bukit Raya, Kecamatan Tampan dan Kecamatan Senapelan, adalah kawasan dengan kepadatan penduduk tertinggi di Kota Pekanbaru. Para pemerhati sosial menilai seperti Kecamatan Bukit Raya yang terdiri dari Kelurahan Air Dingin, Simpang Tiga, Tangkerang Labuai, Tangkerang Selatan, Tangkerang Utara pandemi virus corona semakin memperlihatkan ketimpangan ekonomi antara warga kaya dan miskin.

Di Kelurahan Tangkerang Labuai misalnya, satu rumah bisa dihuni oleh sejumlah keluarga. Ridwan, hidup dengan dua keluarga lainnya di rumah kontrakan yang berukuran 6 x 8 meter. Total, rumah ini dihuni oleh 5 orang anggota keluarga. Secara keseluruhan, jumlah penduduk di kecamatan Bukit Raya mencapai 30.100 jiwa. Tata letak rumah-rumah yang sangat padat dan sempitnya jalanan membuat sinar matahari seperti hilang di beberapa gang.

Menurut data Pemerintah Kota Pekanbaru, 24 Maret 2020, sudah terdapat setidaknya 1 kasus positif virus corona, sementara Orang Dalam Pemantauan (OPD) di Pekanbaru mencapai 221 orang dan jumlah Pasien Dalam Pemantauan (PDP) 27 orang.

Pemerintah kan menyuruh kita jaga jarak tapi kalau di sini jaga jarak susah. Jangankan sekeluarga, orang lain juga masih pada keluar, jaga jarak agak susah di sini, kata Ridwan, salah satu kepala keluarga ketika sedang berkumpul bersama para tetangganya di suatu siang.

Ayah tiga anak tersebut mengatakan bahwa ia tidak tahan lama-lama berdiam diri di rumahnya karena pengap dan gerah. Ketika ke luar rumah, ia pun pergi bekerja serabutan menuju Pasar Bawah menjadi salah satu buruh angkutan barang di sekitar pelabuhan, kegiatan yang sebenarnya tidak dianjurkan oleh pemerintah di tengah pandemi virus corona ini.

class=wp-image-22664

Rumah Ridwan merupakan kontrakan, tapi ditempati dua keluarga (bersama familinya) yang kamar masing-masing disekat dengan tripleks dan tirai seadanya. Mengingat keterbatasan tempat, anak-anak yang beranjak remaja tidur di ruang depan. Kipas angin ada di beberapa kamar tetapi tidak bisa menyejukkan ruangan karena ventilasi yang ada hanyalah satu jendela, pintu depan rumah dan pintu belakang rumah.

Kalau kami di sini, karena ruangan kami cuma segini, tidak seperti orang kaya, lebih luas rumahnya atau bertingkat, jadi kita ya gimana yadi dalam andaikan jenuh, ya keluar, kan gak mungkin kalau di dalam terus.

Keluar masuk, keluar masuk saja, gak betah di dalam lama-lama pengap, gerah. Begitu juga dengan yang lain, ya keluar masuk begitu saja, kata Ridwan lagi.

Ya nggak punya AC, kipas angin ada, cuma kan di dalam juga tidak betah. Susahnya 'physical distancing', celetuknya.

Meskipun aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah diberlakukan di Kota Pekanbaru, penerapan physical distancing khususnya di Kecamatan Bukit Raya diakui oleh ketua RW setempat, sulit dilakukan, karena tata ruang lingkungan ini yang sangat padat. Oleh karenanya, warga pun mengakali dengan keluar rumah secara bergantian, kata Ketua RW dengan nama Panggilan Herman Pribadi ini.

Kondisi di wilayah saya, di Kelurahan Tangkerang Labuai pada umumnya memang satu rumah itu kadang kala ada yang ditinggali dua bahkan bisa tiga KK.

Untuk penerapan physical atau social distancing itu agak sulit ya, kecuali malam, malam itu pun dipaksakan. Sehari-harinya mereka kadang bergantian, ada yang di luar ada yang di dalam, katanya.

Namun lain lagi disebutkan Usamah Khan ST MT, salah satu warga di Perumahan dibilangan wilayah Kecamatan Tampan. Menurutnya, kebijakan social distancing yang telah diumumkan pemerintah untuk mencegah penyebaran virus corona hanya ideal bagi keluarga yang terdiri dari anggota inti, yaitu ayah, ibu, dan anak-anaknya.

Kebijakan tentang social distancing ini hanya memungkinkan dilakukan di kelompok masyarakat tertentu dan atau sektor tertentu. Pengandaian kebijakan itu, misalnya adanya konsep nuclear family yang terdiri dari orang tua dan anak-anak, sementara itu tidak bisa ditemukan di kelompok masyarakat, apalagi di kota.

class=wp-image-22675

Banyak warga miskin di kota, yang satu rumah terdiri dari beberapa KK. Akibatnya rumah itu sangat padat dan di dalam rumah semuanya. Jika ada satu [orang positif virus corona], atau carrier [virus corona] dari luar, itu akan menyulitkan sekali, kata Usamah mengumpakan.

Dari sisi kebijakan itu memungkinkan di kelompok keluarga yang sangat nuclear, yang satu rumah terdiri dari satu keluarga, orang tua dan anak-anaknya, sementara di warga miskin itu susah dilakukan.

Sebaiknya, sebut dia, sebelum diberlakukan, pemerintah sebaiknya berkonsultasi soal imbauan dan aturan untuk mengurangi penyebaran penyakit Covid-19 di daerah padat penduduk dengan warga setempat yang tahu apa kebutuhan dan solusi yang sesuai bagi wilayahnya.

Banyak aturan, seperti social distancing, dan imbauan yang dikeluarkan oleh pemerintah sulit terlaksana di beberapa tempat dan lokasi di wilayah Pekanbaru ini, sehingga pemerintah sebaiknya tidak hanya memakai satu pendekatan untuk diimplementasikan di semua wilayah, kata dia.

Untuk wilayah padat penduduk, menurutnya, pemerintah sebaiknya memakai pengetahuan warga yang tinggal di sana untuk mempelajari bagaimana mereka memakai wilayahnya, apa kebutuhan dasar yang dibutuhkan, kelompok warga mana saja yang rentan. Mungkin solusi yang dicapai tidak sempurna, dan tidak seperti daerah lain, tapi hal itu masih berguna untuk mengurangi kontak antar warga.

Lain lagi disebutkan, H Darmawi Aris SE dari Lembaga Melayu Riau (LMR), menurutnya, pandemi virus corona ini semakin memperlihatkan ketimpangan ekonomi antara warga kaya dan warga miskin, tidak hanya di Pekanbaru, namun juga di berbagai kota lainnya.

Support system harus diberikan juga [di tengah PSBB], misalnya ketersediaan air bersih untuk cuci tangan, lalu dukungan bagi kelompok informal yang [ekonominya] akan terhajar habis dengan kebijakan tinggal di rumah, artinya biaya hidup mereka sehari-hari harus di back-up dan diganti oleh pemerintah, kata Darmawi.

Ada persyaratan-persyaratan untuk social distancing. Selain berada di rumah, berarti [mereka] tidak kerja, artinya [pendapatan mereka] harus diganti, lalu soal akses sanitasinya, perlu dipikirkan bagaimana akses tersebut memasuki warga atau kampung-kampung di Kota ini. Kalau tidak itu cuma policy yang tidak terlalu menyelesaikan [masalah].

Menanggapi hal ini, Darmawi juga menilai bahwa tidak semua orang bisa menerapkan social distancing dengan disiplin, terutama di tempat padat penduduk seperti di Kota Pekanbaru.

Memang itu sulit ya, yang bisa dilakukan mereka menggunakan masker semua karena mereka tinggal di situ, tidak mungkin kita pisahkan keluarganya. Social distancing tidak mungkin 100 persen bisa diterapkan secara disiplin, ada satu rumah yang terdiri dari beberapa keluarga.

Yang pemerintah bisa imbau adalah keluarga-keluarga itu memakai proteksi seperti masker dan menjaga kesehatan diri masing-masing, kata dia.

'Nongkrong' karena menganggur

Selain karena rumah yang sempit dan pengap, ada juga sebagian masyarakat di Meranti Pandak Tanjung Rhu yang juga padat penduduk itu ada yang kehilangan pekerjaan. Contohnya adalah Satriawan, pekerja buruh di Pelabuhan sekitar Pasar Bawah yang sekarang menganggur.

class=wp-image-22666

Saya jarang nongkrong, ini lagi nganggur kan jadi duduk-duduk di sini, kalau sudah pegal ya masuk ke rumah, kata Ayah dua anak yang kini berusia 48 tahun ini.

Ekonomi lagi sulit. Tidak ada bayaran kalau lagi menganggur begini. Aktifitas di pelabuhan ini sepi, jadi tidak masuk keluar barang.

Sebelum wabah, Satriawan mengaku mendapatkan uang Rp100.000-Rp200.000 hasil bongkar muat barang dan pendapatannya dirasa cukup untuk makan sehari-hari. Namun setelah pandemi virus corona, Ia berhenti bekerja dan pendapatan berkurang drastis.

Saya hidup kecil-kecilan Bang, ya cukuplah untuk menghidupi keluarga saya, sebelum ada [wabah virus] corona lumayan, walaupun tidak setiap hari ya lumayan untuk makan kami sekeluarga lah, kata dia.

Tapi ketika adanya (wabah virus) corona ini kerjaan jadi sepi. Makan sehari-hari seadanya saja. Mudah-mudahan bisa (bertahan), entah (uang) dari mana.

Pemprov bantu warga terpapar pandemik covid-19

Gubernur Riau Syamsuar telah menganggarkan sebesar Rp 300.000 per kepala keluarga (KK) untuk setiap warga yang terdampak Covid-19 atau Virus Corona bakal mendapat bantuan dari Pemerintah Provinsi Riau. Anggaran untuk bantuan sosial kepada warga miskin dan rentan miskin yang terdampak aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar bakal disalurkan melalui Dinas Sosial Riau.

class=wp-image-22679

Setiap warga yang terdampak Covid-19 atau Virus Corona bakal mendapat bantuan dari Pemerintah Provinsi Riau, sebesar Rp 300.000 per kepala keluarga (KK). Saat ini, Pemprov Riau sedang melakukan verifikasi data terhadap calon penerima bantuan tersebut.

Kepala Dinas Sosial Provinsi Riau, Dahrius Husin mengatakan, pihaknya telah menerima data usulan calon penerima bantuan itu dari tim di kabupaten dan kota. Saat ini kami masih makukan verifikasi data usulan dari kabupaten dan kota. Seberapa usulan yang masuk, itu yang kami verifikasi, ujar Dahrius Husin.

Proses verifikasi tersebut berguna untuk memastikan rekening penerima masih aktif, yang selama ini sudah masuk dalam bantuan sosial pangan. Sebab bantuan dari Pemprov Riau juga akan disalurkan melalui rekening. Semoga dalam waktu dekat ini sudah selesai semua, sehingga bantuan bisa didistribusikan kepada masyarakat terdampak Corona.

Sebelumnya Pemprov Riau akan memberikan bantuan tunai kepada masyarakat terdampak Covid-19. Namun menurut Dahrius Husin ternyata, saat ini masyarakat yang akan diberikan bantuan tunai dari Pemprov Riau itu, juga sudah mendapatkan bantuan dari Kementerian Sosial.

Jadi bantuan yang telah kita siapkan itu dialihkan untuk masyarakat yang belum mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat. Kalau kita berikan kepada masyarakat yang sudah dapat itu, nanti jadinya tumpang tindih, jelasnya.

Bantuan dari Pemprov Riau,kata dia, akan dialihkan dalam bentuk bantuan top up. Pemprov akan menambah bantuan kepada masyarakat yang dinilai tidak cukup, seperti masyarakat yang selama ini hanya mendapatkan bantuan sosial pangan sebesar Rp200 ribu dari pusat. Bantuan itu diberikan kepada masyarakat yang kurang mampu, pekerja kecil, buruh dan lainnya.

Kalau biasanya, ada warga yang masih bekerja dan mendapatkan bantuan Rp200 ribu, itu dinilai hanya untuk menyokong saja. Tapi karena saat ini banyak yang tidak bekerja karena Covid-19, maka bantuan itu ditambah melalui program top-up tersebut.

Kalau ada tambahan Rp300 ribu dari Pemprov Riau, maka masyarakat tersebut total akan mendapatkan dana Rp500 ribu, mudah-mudahan secepatnya. 

Namun ada juga pengakuan warga yang masih nongkrong karena rumah mereka terlalu kecil untuk ditinggali dengan nyaman dalam waktu yang lama dengan penerapan physical distancing dengan jarak satu meter itu sepertinya sulit, terpaksa curi-curi waktu keluar rumah.

Kalau untuk di dalam rumah tidak mungkin ya, melihat rumah saya seperti ini kan kecil-kecil, satu rumah seluas 10 meter, jadi untuk penerapan physical distancing dengan jarak satu meter itu sepertinya sulit, kata Satriawan lagi.

Soal warga ada yang keluar rumah secara bergantian berpotensi memperbesar kemungkinan berkumpulnya warga di satu tempat. Ia menilai warga disekitar Tanjung Rhu selalu punya taktik untuk memastikan semua sehat dan selamat termasuk (keluar rumah secara bergantian), kita keluar rumah jalan pun gang padat kok, sebutnya.

Gambaran dilokasi memang, kalau semua warga melakukan shift, pada akhirnya mereka tetap berkumpul, mereka bisa bertabrakan dengan orang lain, akhirnya tetap tradisi nongkrong yang terjadi, karena secara fisik tata kota di kampung itu sangat padat.

Lain lagi disebutkan, Dahrul Rangkuti, salah seorang aktivis Eka Nusa menyikapi ini disebutkannya, bahwa pemerintah tidak bisa mengawasi karantina wilayah yang diterapkan oleh masyarakat secara ketat karena jumlah polisi dan penegak hukum yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk.

Berapa banyak polisi atau pihak-pihak yang mengawasi, pasti tidak mencukupi, pelanggaran pasti ada saja. Kita tidak bisa berharap polisi harus tegas, polisi berapa jumlahnya? Dibanding dengan ratusan juta penduduk jauh sekali. Maka kita berharap masyarakat harus disiplin.

Kalau mereka merasa tidak akan kena (Covid-19) kan konyol, maka kita harus disiplin dan sama-sama melewati masa sulit begini supaya lebih cepat recovery-nya, kata Dahrul.

Tidak semua bisa kerja dari rumah

Sebagian besar warga yang tinggal di kawasan padat penduduk seperti di Kelurahan Tanjung Rhu adalah banyak warga pekerja informal seperti buruh dan harian. Menurut Dahrul Rangkuti, ketika adanya kebijakan, banyak pemerintah yang tidak mempertimbangkan bahwa ada banyak penduduk di sebuah wilayah pada penduduk, sebagian besar didorong oleh warga miskin.

class=wp-image-22667

Menurutnya, solusi jangka pendek bagi mereka yang harus tetap bekerja di tengah wabah virus corona adalah dengan memberikan mereka masker, alat perlindungan diri, dan fasilitas cuci tangan, terlebih bagi mereka yang pekerjaannya penting, seperti pengumpul sampah. Sebagian besar warga yang tinggal di wilayah padat penduduk atau wilayah informal hanya mendapat cukup uang untuk makan sehari-hari, jika mereka tidak bekerja maka mereka tidak bisa makan keesokan harinya. Ini perlu jadi bahan pertimbangan pembuat kebijakan, kata Dahrul.

Selain itu, pemerintah juga semestinya bisa menekankan pendekatan edukatif jika mendapati warga di kawasan padat penduduk yang melanggar aturan PSBB. Jangan kriminalisasi warga yang tidak bisa menaati aturan tersebut, penegak hukum harus mempertimbangkan bagaimana situasi rumah mereka, berapa banyak orang yang tinggal di rumah tersebut, jumlah kamar di rumah itu, bagaimana mereka mendapat air bersih, sebutnya.

Jangan menyarankan sesuatu yang tidak mungkin mereka lakukan

class=wp-image-22668

H Darmawi Aris menilai, pemerintah seharusnya turun ke kawasan padat penduduk secara langsung, melainkan mendapatkan data dari perangkat bawah tentang manfaat dan bantuan sosial yang dibutuhkan oleh warganya.

Saat ini bukan waktunya lagi untuk survei, yang dibutuhkan adalah kecepatan. Pemerintah paham bahwa semua masyarakat merasa pemerintah kurang cepat, kurang tanggap, tapi harus diingat juga tidak ada semua orang yang siap menghadapi Covid-19 ini.

Jadi pendataan, kita berharap sangat-sangat dari daerah agar pemerintah bisa konsentrasi mulai dari anggarannya, mekanismenya, administrasinya, sarannya. (rp.sul, jon, ron, san/*)

Editor: Samsul Bahri

Tags : -,