AGAMA - Untuk pertama kalinya, suatu pengadilan di Arab Saudi menjatuhkan hukuman pada seorang laki-laki yang melakukan kasus pelecehan seksual dengan menyebut nama pria itu dan mempermalukannya di depan umum.
Yasser al-Arawi dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Kriminal di Madinah karena melecehkan seorang wanita menggunakan kata-kata cabul. Dia dijatuhi hukuman delapan bulan penjara dan denda US$1.330 atau senilai Rp19 juta.
Ini berdasarkan undang-undang anti-pelecehan yang telah diamandemen, yang juga memungkinkan nama dan hukuman si pelanggar dipublikasikan di surat-surat kabar lokal dengan biaya ditanggung oleh yang bersangkutan.
Hakim dibiarkan memutuskan apakah "beratnya kejahatan dan dampaknya terhadap masyarakat" memerlukan langkah seperti itu.
Amandemen tersebut disambut banyak warga kerajaan yang terkenal konservatif itu. Salah satu komentator mengatakan amandemen itu "sudah lama tertunda".
Undang-undang tersebut, yang mulai berlaku pada 2018, menetapkan hukuman hingga dua tahun penjara dan denda hingga US$27.000 (sekitar Rp380 juta) bagi mereka yang dinyatakan bersalah atas tindakan pelecehan seksual. Pelanggaran berulang akan menghadapi hukuman penjara hingga lima tahun dan denda hingga US$80.000 (sekitar Rp1 miliar).
Terlepas dari langkah-langkah hukum ini, beberapa perempuan Saudi mengeluh karena upaya pihak berwenang masih dinilai belum cukup untuk menghentikan pelecehan.
Seseorang baru-baru ini mengatakan komentar online pada video yang mendokumentasikan insiden pelecehan, sering menyalahkan perempuan dan masih ada kemungkinan korban akan dihukum sebagai pelaku.
Pada 2018 lalu, Dewan Syura Arab Saudi, badan konsultatif resmi negara itu, telah menyetujui undang-undang untuk mengkriminalisasi pelecehan seksual.
Tujuannya, untuk "memerangi kejahatan pelecehan, mencegahnya, menghukum pelaku, dan melindungi korban untuk menjaga privasi, martabat dan kebebasan individu, sebagaimana dijamin oleh yurisprudensi dan peraturan Islam yang berlaku".
Media lokal menyebut, undang-undang itu dirancang oleh Kementerian Dalam Negeri setelah instruksi dari Raja Salman.
Namun karena laki-laki dan perempuan di negara itu dilarang berbaur, sebagian orang Saudi di media sosial menganggap undang-undang itu sebagai lelucon.
Di Twitter, mereka menggunakan tagar dalam bahasa Arab yang artinya "hukum anti-pelecehan". Tagar itu digunakan lebih dari 29.200 kali selama beberapa jam. Sebagian cuitan nadanya mencemooh.
"Maafkan aku gadis-gadis. Tolong berhenti mengikuti akun saya. Pengikut wanita tidak lagi diterima," cuit @fantasticSaeed.
Abdulrahman mencuit: "Ketika mereka menyusun undang-undang, saya ingat saya tidak berbicara dengan gadis-gadis."
@majed_9_4 membagikan video animasi yang menunjukkan tim SWAT menyerbu tempat tinggal seorang laki-laki setelah dia salah mengirim emoji hati ke seorang teman.
Ashwaq membagikan komik strip yang menunjukkan seorang pria murung yang memberi tahu teman satu selnya yang kekar bahwa dia dipenjara karena mengirim emoji hati kepada seorang gadis. Hal itu membuat si penjahat terkejut.
Di sisi lain, pengguna media sosial lainnya justru merayakan kemajuan yang dirasakan, dengan memuji Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman karena sudah menempuh langkah tersebut.
"Mereka yang tidak didisiplinkan oleh orang tuanya memiliki pemerintah untuk mendisiplinkan mereka. Anak perempuan manusia bukanlah mainan untuk Anda hina." @nnawafaliissa mencuitkan pendapatnya, disertai foto-foto putra mahkota dan infografis dari undang-undang yang diusulkan.
@khaledomar1996 berharap "pelecehan akan hilang setelah peraturan ini membuat jera".
Beberapa akun menghapus lelucon yang mereka sampaikan, termasuk @tq_turki, yang justru berbalik memperingatkan bahwa "mengejek dan meremehkan urusan dan peraturan negara dan menyebarkan meme melalui media sosial termasuk dalam pelanggaran merusak moral publik dalam undang-undang kriminalitas anti-siber".
Pada Februari 2018, jemaah Muslim perempuan menggunakan tagar #MosqueMeToo untuk berbagi pengalaman mereka tentang pelecehan seksual selama ibadah haji dan perjalanan ke tempat-tempat keagamaan lainnya.
Mona Elthahawy, seorang feminis dan jurnalis Mesir-Amerika, berbicara tentang pengalamannya mengalami pelecehan seksual selama ibadah haji pada 2013.
Kelompok hak asasi manusia juga mengatakan 11 aktivis pembela hak perempuan ditangkap. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan yang mengkampanyekan hak mengemudi.
Kala itu, Kerajaan Arab Saudi telah mengumumkan bahwa larangan mengemudi bagi perempuan akan segera berakhir, meskipun ada tentangan dari kaum konservatif. Kini, perempuan Saudi sudah diizinkan mengemudi. (*)
Tags : Kekerasan seksual, Hak perempuan, Hukum, Arab Saudi, Perempuan,