
PADI (BERAS) menjadi makanan pokok lebih dari tiga setengah miliar manusia, termasuk dua ratus juta lebih warga Indonesia. Namun bagaimana sejarah padi sejak zaman Kerajaan Mataram hingga kini?
Cerita rakyat asal-usul padi merupakan salah satu legenda yang diturunkan oleh moyang. Meski hanya cerita fiksi, namun mengandung pesan moral yang luar biasa.
Asal-usul padi memiliki banyak versi cerita yang dianut oleh beberapa daerah dan diyakini oleh rakyat setempat.
Mulai dari legenda Dewi Sri dari Tanah Jawa.
Meski mempunyai banyak versi cerita, nilai-nilai yang terkandung dalam legenda asal-usul padi seringkali dikaitkan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengutip laman Kebudayaan Kemdikbud, cerita yang menceritakan bagaimana asal usul terjadinya padi mengandung beberapa nilai sosial dalam masyarakat.
Adapun nilai-nilai tersebut, di antaranya adalah nilai musyawarah, kesetiakawanan, pengorbanan, kerukunan, berjiwa besar, suka menolong dan patuh pada nasihat orang tua.
Cerita rakyat tentang asal-usul padi yang mengandung pesan moral untuk kehidupan masyarakat seperti pada legenda Dewi Sri.
Dahulu kala di daerah Jawa Tengah, terdapat seorang raja yang bernama Prabu Sri Mahapunggung atau lebih dikenal dengan nama Bathara Srigati atau Bathara Guru dan berasal dari Kerajaan Medang Kamulan.
Bathara Guru memiliki seorang putri angkat bernama Dewi Sri.
Putri yang berhasil memikat hati Bathara Guru ini diyakini sebagai titisan neneknya, Bathari Sri Widowati.
Selain memiliki parah yang elok, Dewi Sri juga merupakan sosok putri yang amat cerdas. Tak ayal jika ayahnya sendiri tergoda dengan kemolekan anaknya.
Karena kecantikan dan kecerdasannya itu, Dewi Sri dikenal sebagai Dewi Padi, sedangkan adiknya yang bernama Sadana sebagai Dewa Hasil Bumi, seperti umbi-umbian, kentang, sayuran, dan lainnya.
Dalam legenda, Dewi Sri meminta kepada Bathara Guru untuk mencarikan buah yang telah lama dia idam-idamkan.
Ini menjadi syarat sebelum Bathara Guru menyalurkan hasratnya kepada Dewi Sri.
Sayangnya, Bathara Guru tak berhasil mendapatkan buah itu. Alhasil, Dewi Sri tidak mempunyai selera makan.
Namun akhirnya, Dewi Sri pun mati. Meski begitu, kematiannya malah menghadirkan kesuburan dan kehidupan.
Mulai dari kepalanya yang tiba-tiba tumbuh pohon kelapa, hingga pusarnya tumbuh tanaman padi.
Sementara vaginanya tumbuh pohon aren. Dan dadanya mencul buah gantung berupa buah pepaya.
Tangannya kemudian tumbuh mangga. Dan kakinya tumbuh buah-buahan yang terpendam, seperti ubi dan ketela.
Keanehan yang terjadi pada tubuh Sri ini dikaitkan sebagai simbol kehidupan.
Simbol inilah yang menjadi lakon keberadaan legenda Dewi Sri atau sang Dewi Padi hingga kini, terutama bagi masyarakat yang berada berkecimpung dalam dunia agraris dan petani padi.
Karena legenda itu, masyarakat dengan mata pencaharian sebagai petani sangat mencintai Dewi Sri.
Bahkan kecintaan mereka diwujudkan dalam rasa keprihatinan mereka terhadap pemeliharaan padi.
Dari rasa inilah yang kemudian memicu kemunculan kultur padi.
Sehingga tak heran jika para petani yang berdomisili di Pulau Jawa, dulu tampak memperlakukan tanaman padi bagaikan perempuan yang harus disayangi setiap hari.
Kebanyakan dari petani menyadari bahwa pada hakikatnya, kehidupan sama halnya tentang perempuan yang lemah akan selalu terancam oleh kekuatan fisik yang hendak memperkosanya.
Demikian pula, padi dalam setiap saja dapat dengan mudah dimusnahkan oleh kekuatan alam.
Kesadaran para petani yang dihubungkan dengan kehidupan seseorang yang lemah itu pun kini diimplementasikan menjadi budaya padi.
Salah satunya, ketika sawah mulai penuh dengan bulir-bulir padi, maka para petani akan melakukan upacara isen-iseni.
Dalam upacara tersebut, mereka bersama-sama menaburkan makanan yang terbuat dari ketan dan gula ke pinggir-pinggir sawah sambil mengucapkan japa mantera.
Mantera ini menjadi doa agar segala hama padi, seperti burung emprit, babi hutan, hingga walang sangit tidak datang dan merusak tanaman padi mereka.
Menurut legenda masyarakat Tanah Jawa, hewan-hewan tersebut berasal dari Dewa Anta yang menjelma menjadi mahkluk jahat bernama Kala Gumarang.
Ia merasa iri terhadap kodrat dan kehidupan Dewi Sri. Alhasil, Kala Gumarang berusaha membunuhnya, tapi gagal terus.
Akan tetapi, setelah kematian Dewi Sri, Kala Gumarang berubah menjadi jelmaan burung emprit yang ingin memusnahkan semua padi titisan Dewi Sri.
Dewa Wisnu yang mengetahui niat jahat Kala Gumarang, kemudian membunuhnya saat sedang menjadi jelmaan emprit.
Sayangnya, darah emprit yang dibunuh itu menyiprat kemana-mana, hingga berubah menjadi ribuan emprit, walang, serangga perusak padi, tikus sawah, dan babi hutan.
Di berbagai wilayah nusantara, padi dipersonifikasi menjadi dewi nan suci, salah satunya Dewi Sri - Ibu Kehidupan.
“Sri itu dari bahasa Sansekerta artinya kekayaan, kesuburan. Dan dia adalah istri Dewa Wisnu. Dalam arca yang ditemukan di Jawa itu memegang setangkai padi di salah satu tangannya,” kata Titi Surti Nastiti, arkeolog di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Asal mula padi, apakah dari India atau China, lalu bagaimana dia dibudidaya bisa saja diperdebatkan.
Tapi di nusantara, padi tumbuh subur, utamanya di Jawa berkat kondisi iklim dan letak geografisnya.
Matahari dan hujan tersedia hampir sepanjang tahun.
Sungai-sungai membawa kesuburan dari wilayah hulu ke kawasan hilir. Deretan gunung berapi menyediakan abu vulkanis yang memperkaya unsur hara untuk segala tumbuhan termasuk padi.
Padi sudah dibudidayakan di nusantara sekira seribu lima ratus tahun yang lalu. Dia memaksa hadirnya masyarakat yang kompleks.
“Dalam menanam padi, apalagi kalau tanahnya luas, itu kan membutuhkan orang lain yang membantu untuk menanam padi. Demikian juga waktu panen. Itu juga tidak mungkin dikerjakan seorang,” ujar Titi.
Lalu muncullah struktur organisasi, kata Titi. “Ada pejabat yang disebut huler atau hulu air supaya air terbagi dengan baik, ada juga hulu weras, pejabat desa yang mengurus perberasan. Ada juga pejabat urusan hari-hari baik dalam menanam, pejabat pengelola lumbung padi, dll.”
Mungkin dari sinilah tradisi bekerja sama, semangat gotong royong itu berasal.
Sedemikian penting padi dalam nasi hadir dalam setiap ritus kehidupan yang disebut selametan. Mulai dari upacara kehamilan sampai kematian.
Nasi kuning atau nasi tumpeng—yang melambangkan gunung-gunung yang menjadi sumber kesuburan tanah Jawa—turut disajikan.
Camilan berbahan dasar beras semacam wajik dan dodol bertahan ribuan tahun hingga sekarang.
Beras juga dikaitkan dengan mitos Dewi Sri. Dia mesti diperlakukan suci dan hati-hati.
Kata Titi, “Kita sudah ekspor beras lho pada pada abad kedelapan. Dari berita-berita asing, pada abad keempat belas sampai enam belas, pada masa Majapahit itu dikatakan Portugis kita sudah mengekspor lima jenis beras.”
Sejarawan dari Universitas Padjadjaran Bandung Fadly Rahman menyebut padi tak bisa dilepaskan dari politik dan kekuasaan.
“Ketika Ki Ageng Pamanahan membuka wilayah kekuasaan Mataram di Mentaok atau sekarang Kota gede itu awalnya kawasan berhutan. Lalu kemudian dibabat dibersihkan. Kemudian dikembangkan pembudidayaan padi di sana. Ini dipikirkan betul,” jelasnya.
Pada masa lalu, tambah dia, yang menentukan kharisma seorang penguasa adalah saat mereka memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.
Di bawah rajanya yang paling hebat, Sultan Agung, Mataram meluaskan wilayahnya hingga hampir mempersatukan Pulau Jawa. Beras juga hadir dalam ekspansi ini.
“Strategi isolasi perang yang dilakukan Mataram terhadap rival-rivalnya adalah caranya dengan mengisolasi pangan supaya musuh kelaparan.”
Mataram sebagai kerajaan agraris terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan, termasuk Kesultanan Yogyakarta yang keratonnya tak jauh dari Kota Gede sekarang.
Beberapa warisan Mataram masih bertahan. Termasuk semangat membiakkan padi sebanyak-banyaknya
“Konon katanya apa yang dilakukan Suharto terinspirasi dari masa kekuasaan Mataram. Bagaimana kebijakan pangan yang berorientasi pada beras diadopsi pada kekuasaannya,” tukas Fadly Rahman.
Presiden Suharto berambisi mencapai swasembada beras. Dan kebetulan ini ditopang juga dengan semangat zaman yang tengah dilanda “Revolusi Hijau.”
Revolusi Hijau hadir tentu saja dengan niat baik, yaitu untuk menjawab kelaparan dan kebutuhan warga Bumi yang terus meledak populasinya.
Kus Sri Antoro, peneliti pada Forum Masyarakat Agraris mendefinisikan Revolusi Hijau sebagai paket intensifikasi pertanian di mana satu lahan bisa memproduksi melampaui kapasitasnya.
Dengan asupan pupuk kimia, pestisida, dengan irigasi, lalu benih unggul, dan kredit.
Namun, “Pestisida ini bukan hanya membunuh hama tapi juga membunuh musuh alami hama seperti capung laba-laba, sehingga ekosistemnya terganggu. Materialnya juga mencemari air tanah membunuh bakteri, makhluk yang lain termasuk manusia,” kata Kus.
Tanah-tanah banjir pupuk kimia dan benih-benih unggul hasil rekayasa bertahta, menyingkirkan varietas-varietas lokal yang tak begitu produktif.
Semangat dan pendekatan Revolusi Hijau mengantarkan Indonesia swasembada beras pada 1984. Setahun berikutnya Indonesia mendapat penghargaan dari Badan Pangan Dunia FAO.
Tapi tiga tahun kemudian, Indonesia kembali membuka keran impor.
Pertanian modern telah membuat budi daya padi tak lagi sepenuhnya didikte oleh alam dan ketersediaan tenaga kerja.
Penggunaan alat-alat tradisional seperti ani-ani atau lesung yang menyerap begitu banyak tenaga kerja jadi tidak efisien dan bisa betul digantikan dengan traktor dan mesin giling.
Dengan kata lain, pertanian modern tak membutuhkan banyak interaksi manusia. Tak heran tradisi gotong royong atau panen raya semakin meredup.
Upacara-upacara khusus atau sesajen juga makin menghilang atau paling sedikit berkurang, persis seperti luasan lahan atau keberagaman benih lokal yang lambat tumbuhnya dan akhirnya terpinggirkan.
Di Cikarang, kota industri terbesar di Asia Tenggara, ibu kota Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, tak jauh dari ibu kota Jakarta, lahan-lahan padi menyembul di sela-sela pabrik dan permukiman.
Di kanan kiri jalan, baliho saling berebut perhatian, mempromosikan perumahan yang tampaknya baru dikembangkan.
“Setiap tahun lahan pertanian di Bekasi menyusut. Karena banyak alih fungsi lahan. Peruntukan lahan juga banyak menyusut. Dari 2014 masih 51 ribu hektar. 2018 itu tinggal 42 ribu hektar,” kata Wawan, wakil ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kabupaten Bekasi.
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia juga menyebut, Indonesia kehilangan seratus dua puluh ribu hektar lahan pertanian setiap tahunnya.
Abah Kombara ketua Kelompok Tani Sri Asih II, Desa Sukamakmur Kecamatan Sukakarya, Bekasi, masih bertahan mengolah tanah, meski airnya kadang-kadang butek dan bau limbah dan solar dari pabrik tak jauh dari desanya.
“Di sini ada 427 hektar, satu desa. Zona Hijau. Zona Hijau itu nggak boleh perumahan, hanya pertanian saja,” kata Abah.
Desa tetangganya tak begitu beruntung, “Ada [yang berubah],” kata dia. “[Desa] Sukajadi, tetangga kami. Itu jadi perumahan.”
Lahan-lahan padi akhirnya mesti mengalah pada pabrik pada rumah. Pada jalan-jalan atau perempatan, yang riuh dengan baliho yang berebut perhatian. Menawarkan rumah buat yang punya kebutuhan.
“Di Bekasi itu sekolah pertanian itu ada satu. SMK Pertanian swasta. Yang sekolahnya bukan orang Bekasi. Dari luar. Nanti suatu waktu akan berubah. Contoh kaya Suka Tani. Nama itu hanya akan jadi legenda. Akan ada patungnya. Tapi sawahnya nggak ada,” tutup Wawan. (*)
Tags : padi, sawah padi, beras, setengah miliar manusia makan beras, perubahan iklim, lingkungan,