Nusantara   2022/04/06 14:26 WIB

Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-angin jadi Tersangka, 'Gara-gara Kerangkeng Manusia'

Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-angin jadi Tersangka, 'Gara-gara Kerangkeng Manusia'
Tersangka Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin angin berjalan menuju ruangan di gedung KPK, Jakarta, Senin (7/2/2022).

NUSANTARA - Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin-angin ditetapkan sebagai tersangka kasus kerangkeng manusia, Selasa (05/04).

Kapolda Sumatra Utara Irjen Pol RZ Panca Putra Simanjuntak, seperti dikutip Kompas.com, mengungkapkan Terbiit dikenakan pasal berlapis terkait kasus kerangkeng manusia di rumahnya itu.

Dia dipersangkakan melanggar Pasal 2, Pasal 7, Pasal 10 Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Terbit juga dikenakan Pasal 333 KUHP, Pasal 351, Pasal 352 dan Pasal 353 penganiayaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia serta Pasal 170 KUHP.

Dengan demikian, saat ini ada sembilan tersangka dalam kasus kerangkeng manusia di rumah Terbit.

Terbit juga terjerat kasus dugaan suap kegiatan pekerjaan pengadaan barang dan jasa tahun 2020-2022 di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, dan tengah ditahan KPK sebagai tersangka.

Sebelumnya, Polda Sumatra Utara menetapkan delapan tersangka dalam kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin-angin. Namun mereka tidak langsung ditahan.

Mereka yang jadi tersangka berinisial HS, IS, TS, RG, JS, DP, HG, dan PS berdasarkan hasil gelar perkara, ungkap Kabid Humas Polda Sumatra Utara, Hadi Wahyudi di Medan, Selasa (22/3), seperti dikutip kantor berita Antara. Mereka sebelumnya adalah saksi dalam kasus tersebut dan segera akan dipanggil kembali oleh penyidik untuk dimintai keterangan.

Para tersangka yang menyebabkan korban meninggal dunia dalam proses tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ada sebanyak 7 orang, berinisial HS, IS, TS, RG, JS, DP dan HG.

"Pasal yang dipersangkakan, Pasal 7 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, dengan ancaman hukuman 15 tahun ditambah sepertiga ancaman pokok," kata Hadi Senin malam seperti dikutip Kompas.com.

Kemudian, tersangka penampung korban TPPO ada dua orang berinisial SP dan TS. Keduanya dikenakan Pasal 2 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Khusus tersangka inisial TS dikenakan dua pasal tersebut.

Para tersangka, lanjut Hadi, tidak langsung ditahan meski ancaman hukuman mereka maksimal 15 tahun penjara. Biasanya, dengan alasan objektif, polisi langsung menahan tersangka bila ancaman hukumannya di atas lima tahun penjara.

"Penetapan itu hasil gelar perkara. Dulu yang bersangkutan sudah diinterogasi kapasitas sebagai saksi," kata Hadi saat dihubungi Tempo.co, Rabu (23/3).

Setelah penetapan tersangka tersebut, Polda Sumut baru akan memanggil kembali mereka untuk diperiksa sebagai tersangka. Kemudian, penyidik menurut Hadi, baru akan melengkapi dokumen surat perintah penangkapan dan penahanan.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumatra Utara sebelumnya mengatakan pengusutan kasus dugaan kekerasan dan perbudakan di kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat "berjalan lambat".

Pegiat Kontras, Adinda Zahra Noviyanti, mengatakan lambatnya penanganan kasus ini, salah satunya, dipicu oleh adanya dugaan keterlibatan anggota TNI-Polri dalam kekerasan di kerangkeng itu.

Hal serupa disampaikan Wakil Ketua LPSK, Maneger Nasution, yang menyatakan "tarik menarik kekuatan politik lokal" yang dimiliki Bupati Langkat non-aktif, Terbit Rencana Perangin-angin, turut berpengaruh dalam kasus ini.

"Bahwa ada oknum-oknum yang selama ini terlibat, baik TNI-Polri, ormas, dan kekuatan lokal itu sedikit banyak mempengaruhi proses jalannya hukum dalam kasus ini," kata Maneger Nasution seperti dirilis BBC News Indonesia, Minggu (13/3).

LPSK menduga "ada lebih banyak" oknum TNI-Polri yang diduga terlibat selama kerangkeng manusia itu beroperasi sejak 2010, yang juga harus diusut secara tuntas. Sedangkan temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan anggota TNI-Polri diduga turut terlibat melakukan kekerasan.

Komnas HAM juga menyebut Bupati Terbit sebagai "aktor oligarki lokal", sehingga aparat penegak hukum "mengabaikan" perbudakan dan penganiayaan di kerangkeng itu selama belasan tahun.

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, mengatakan telah memberikan nama 19 orang, termasuk anggota TNI-Polri, yang diduga menjadi pelaku kekerasan.

Namun, polisi belum menetapkan satu pun tersangka hingga Minggu (13/3) sejak kerangkeng manusia itu ditemukan petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menggeledah rumah Bupati Terbit pada 19 Januari 2022.

Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara, Komisaris Besar Hadi Wahyudi, membantah anggapan bahwa penanganan kasus ini berjalan lambat.

Dia juga membantah adanya dugaan bahwa proses penyidikan terpengaruh oleh keterlibatan anggota TNI-Polri maupun kekuatan politik yang dimiliki Bupati Terbit.

"Enggak ada itu. Penyidik bekerja profesional dan sesuai fakta. Anggota yang terlibat tidak akan ragu ditindak," kata Hadi.

Adinda Zahra Noviyanti dari Kontras Sumatera Utara mengatakan polisi semestinya sudah memiliki alat bukti yang cukup, berdasarkan temuan di lapangan dan keterangan saksi, untuk menetapkan tersangka dalam kasus ini.

Tetapi, hingga hampir dua bulan sejak kerangkeng manusia itu pertama kali terungkap ke publik, polisi masih belum menetapkan satu pun tersangka.

Padahal Komnas HAM dan LPSK juga telah merilis hasil penyelidikan yang menunjukkan bahwa "kekerasan, perbudakan, kerja paksa, hingga praktik perdagangan orang betul terjadi" di kerangkeng itu.

"Alat bukti juga sudah disita juga sama kepolisian, jadi kami merasa sebetulnya kepolisian sudah punya cukup bukti untuk menetapkan setidaknya satu tersangka dalam kasus ini," kata Adinda.

Kontras mengatakan dugaan keterlibatan anggota TNI-Polri menjadi salah satu faktor yang memicu lambatnya penanganan kasus ini.

"Pada banyak kasus yang Kontras tangani, ketika kasusnya melibatkan personil TNI-Polri, pasti ada keengganan untuk menyelesaikan kasus itu," kata Adinda.

Dalam kasus ini, dia mendesak Polri transparan dalam mengungkap keterlibatan anggotanya yang diduga terlibat.

"Jangan sampai itu jadi bahan pertanyaan besar, kenapa akhirnya dalam kasus yang melibatkan pejabat publik, orang-orang di kepolisian dan TNI, orang-orang yang punya kuasa, dalam hal ini kasus kerangkeng Lahat, proses penetapan tersangkanya sangat lambat," ujar dia.

Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution juga mempertanyakan mengapa polisi belum menetapkan satu pun tersangka dan menyebut penanganan kasus ini "terkesan lambat".

Bahkan korban dan saksi yang melapor ke LPSK belum satu pun dimintai keterangan oleh polisi.

"Sampai sekarang proses hukum mereka belum jalan, jadi hak-hak [saksi[ belum semua kami penuhi, misalnya kalau mereka dipanggil dan dimintai keterangan kami dampingi mereka sampai persidangan, tapi sampai sekarang belum ada," ujar Maneger.

Dalam hasil penyelidikan yang dirilis pada awal Maret lalu, Komnas HAM mengatakan ada beberapa anggota TNI-Polri di antara 19 orang yang diduga turut melakukan kekerasan di kerangkeng itu.

Selain itu, Komnas HAM menemukan "ada anggota Polri yang menyarankan agar warga setempat yang melakukan tindak kriminal ditempatkan di kerangkeng itu alih-alih ditangani oleh kepolisian".

Komnas HAM telah menyampaikan nama serta pangkat dari anggota TNI-Polri yang diduga terlibat itu kepada Polri maupun Pusat Polisi Militer Angkatan Darat.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan indikasi keterlibatan mereka juga terlihat dari bagaimana para penegak hukum "jelas-jelas mengabaikan" praktik perbudakan dan kekerasan itu selama belasan tahun.

"Kenapa ada pengabaian, itu antara ikut menikmati, atau takut karena dia tahu ada kekuatan yang lebih besar yang melindungi itu, jadi mereka cari aman."

"Kan dia (aparat) lihat sendiri kerangkeng itu, bahkan melakukan kekerasan di kerangkeng itu. Bagaimana aparat bisa datang rutin ke situ kalau dia enggak dapat sesuatu, kan enggak mungkin. Sekarang hanya perlu pembuktian lebih jauh," jelas Taufan.

Kasus perbudakan dan kekerasan ini, lanjut dia, juga menunjukkan adanya "kejahatan bisnis" yang lebih besar dilakukan oleh Bupati Terbit, yang jelas-jelas diketahui oleh aparat penegak hukum namun tak pernah ditindak.

Sebab, Bupati Terbit dia sebut sebagai "aktor oligarki lokal" sekaligus "ninja sawit", istilah lokal untuk mafia sawit, "yang memiliki jaringan kuat dengan aparat TNI-Polri".

Selain itu, Terbit juga merupakan tokoh dari organisasi masyarakat Pemuda Pancasila. Adik Terbit, Sribana Perangin-angin, juga merupakan Ketua DPRD Kabupaten Langkat.

Namun setelah kasus ini mengemuka ke publik, Taufan mengatakan Polri dan TNI "telah berkomitmen" untuk mengusut tuntas, dan sejauh ini "tidak ada resistensi" dalam proses penyidikannya.

Komnas HAM, kata dia, akan terus memantau berjalannya proses hukum dari kasus ini.

Sementara itu, LPSK menduga jumlah anggota TNI-Polri yang terlibat selama belasan tahun ini pun "lebih banyak dari yang diperkirakan saat ini".

LPSK juga memperkirakan bahwa Bupati Terbit "diuntungkan hingga Rp177,5 miliar dengan mempekerjakan ratusan orang tanpa upah dalam 12 tahun terakhir untuk bisnis sawit ilegal miliknya".

Polda Sumatera Utara membantah anggapan bahwa lambatnya penanganan kasus ini dipicu oleh faktor keterlibatan anggota TNI-Polri.

Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara, Komisaris Besar Hadi Wahyudi, mengatakan baru empat anggota Polri yang diperiksa oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Direktorat Kriminal Umum untuk mengusut dugaan pelanggaran etika maupun pidana yang dilakukan.

"Jika anggota Polri terlibat, pimpinan tidak akan segan menindak, bahkan kita sekarang sudah menindaklanjuti itu dengan penyidikan, nanti akan kami sampaikan sejauh mana dugaan keterlibatan anggota," tutur Hadi.

Dia juga membantah tuduhan bahwa "kekuasaan" Bupati Terbit memperlambat proses penyidikan. Hadi mengklaim perkembangan penyidikan justru telah berjalan "signifikan dan sangat cepat".

"Enggak ada itu, kita tidak ikut campur urusan politik. Kami bekerja profesional, termasuk keluarga bupati, ormas, sampai KPK pun kami datangi," ujarnya.

Polisi sejauh ini telah memeriksa 75 saksi dari tiga laporan polisi yang diproses terkait kematian tiga korban penghuni kerangkeng tersebut. Proses autopsi dan ekshumasi (pembongkaran kubur) dari dua korban meninggal di antaranya juga telah dilakukan.

Hadi mengklaim penyidik telah mengantungi nama-nama orang yang berpotensi kuat menjadi tersangka, namun polisi belum menetapkannya karena "ingin mengungkap kasus ini secara utuh".

"Kami tidak ingin mengungkap peristiwa yang notabene mengarah pada dugaan pelanggaran HAM kemudian hanya berkutat pada tersangka yang melakukan penganiayaan," ujar Hadi.

LPSK menyatakan lambatnya penanganan kasus akan membuat banyak saksi dan korban enggan memberi keterangan, karena merasa tidak ada kepastian hukum dan jaminan keamanan dari negara.

Menurut Maneger Nasution, sampai saat ini "masih sedikit" saksi dan korban yang mau memberi keterangan dan meminta perlindungan ke LPSK.

Meski kasus ini telah menjadi sorotan nasional, dia mengatakan ketakutan para saksi dan korban untuk mau melapor masih terasa hingga saat ini.

"Semakin cepat ini diproses, ini bisa menjadi penguat bagi korban dan saksi bahwa kalau melapor itu ada manfaatnya, keselamatan juga terjaga," tuturnya.

Selain itu, lambatnya penanganan kasus ini membuat kehadiran negara dalam pemulihan saksi dan korban menjadi tidak maksimal.

"Yang mestinya diterima semua saksi dan korban, tapi karena tidak semua melapor, hak mereka jadi tidak bisa diberikan negara," kata Maneger.

Komnas HAM sendiri sebelumnya meminta agar penegak hukum memastikan berapa banyak orang yang menjadi korban dari kerangkeng manusia itu.

Dalam kondisi terakhir ketika kerangkeng itu ditemukan petugas KPK, terdapat 57 orang yang menghuninya. Sedangkan sebelumnya, polisi sempat menyebut jumlah penghuninya mencapai 656 orang sejak 2010.

Komnas HAM juga menduga jumlah korban yang tewas mencapai enam orang, namun sampai saat ini polisi baru mengusut tiga laporan kematian korban.

Untuk mempercepat penanganan kasus ini di tengah "tarik menarik di tataran lokal", LPSK menyarankan agar pemerintah pusat turun tangan, bahkan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta.

"Penanganan yang lambat dan berlarut-larut tidak menutup kemungkinan peristiwa di tempat lain tidak terungkap, karena dianggap percuma mengungkap," kata dia.

Sebelumnya diberitakan, Komnas HAM menyatakan telah terjadi 12 bentuk pelanggaran HAM terhadap penghuni kerangkeng itu melalui sebuah praktik perbudakan dan kekerasan yang berpola.

Komnas HAM juga menemukan ada 26 jenis kekerasan yang terjadi, seperti dipukuli, ditempeleng, ditendang, diceburkan ke kolam ikan, diperintahkan untuk bergelantungan di kereng seperti monyet atau yang mereka kenal dengan istilah "gantung monyet".

Para korban juga dipekerjakan tanpa upah di sejumlah kebun sawit, termasuk milik Bupati Terbit, tanpa diupah.

Sedangkan hasil penyelidikan LPSK menemukan dugaan perdagangan orang, pembunuhan, hingga penganiayaan berat.

Bahkan, ada korban yang mengaku "dipaksa minum air kencing hingga mengalami kekerasan seksual seperti sodomi". (*)

Tags : Perbudakan, Hak asasi, Hukum, Indonesia,