Artikel   2024/01/21 12:19 WIB

Dokter Lo Siauw Ging Telah 'Jadi Debu' yang Jasanya Terus Diingat, 'Gratiskan Biaya Berobat Warga Miskin Selama Puluhan Tahun'

Dokter Lo Siauw Ging Telah 'Jadi Debu' yang Jasanya Terus Diingat, 'Gratiskan Biaya Berobat Warga Miskin Selama Puluhan Tahun'
Suasana rumah duka tempat Dokter Lo Siauw Ging disemayamkan, Selasa (09/01)

LO SIAUW GING adalah seorang dokter yang memiliki jiwa sosial tinggi, tetapi Ia kini sudah almarhum dan jenazahnya telah dikremasi [menjadi debu].

Jejak kehidupannya terus membekas di benak ratusan bahkan ribuan warga miskin yang pernah menerima pengobatan gratis darinya.

Dokter Lo Siauw Ging Telah jadi Debu yang Jasanya Terus Diingat, 'Gratiskan Biaya Berobat Warga Miskin Selama Puluhan Tahun'.

Ratusan pelayat melepas kepergian dokter bernama lengkap Thomas Becket Lo Siauw Ging di Rumah Duka Tiong Thing, Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (11/01).

Figur yang dikenal luas sebagai Dokter Lo ini wafat pada awal pekan kedua 2024. Dia meninggalkan kisah hidup yang tidak hanya melegenda di Solo, tapi juga di komunitas kedokteran Indonesia.

Puluhan tahun memberi layanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin, Dokter Lo, sebagaimana dinyatakan Ikatan Dokter Indonesia, "mendedikasikan hidupnya untuk pengabdian sosial tanpa batas".

Memeriksa dan menebus obat untuk masyarakat miskin adalah perwujudan nilai kemanusiaan yang dipegang oleh Dokter Lo.

Dia menyatakan hal ini saat diwawancara delapan tahun silam—di tengah konsistensinya memberi layanan kesehatan gratis, bahkan saat usianya kian uzur.

Dokter Lo memulai karier panjangnya sebagai dokter pada tahun 1962, setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Kelulusannya terjadi pada era ketika pemerintahan Soekarno berupaya mengatasi ketimpangan akses kesehatan antara warga kota dan desa serta kelompok kaya dan miskin akibat kebijakan kolonial.

Begitu lulus sekolah, Dokter Lo bekerja sebagai pegawai negeri. Dia ditugaskan di Gunungkidul, Yogyakarta; dan tiga wilayah lain di Jawa Tengah, yaitu Boyolali, Wonogiri, dan Surakarta.

Keberadaannya sebagai dokter muda di wilayah itu tidak terlepas dari strategi pemerintahan Soekarno untuk meratakan akses kesehatan.

Misi pemerataan itu terhalang karena jumlah dokter yang berkurang drastis akibat kepulangan para dokter keturunan Eropa pascakemerdekaan.

Saki Murakami, dalam riset panjangnya berjudul Call for Doctors! Uneven Medical Provision and the Modernization of State Health Care during the Decolonization of Indonesia, 1930s–1950s, mencatat berbagai hal terkait isu kesehatan pada era pemerintahan Soekarno.

Murakami mencatat, untuk mengatasi kekurangan dokter dan minimnya layanan kesehatan di pedesaan, pemerintahan Soekarno menerbitkan tiga peraturan.

Pertama, mahasiswa yang baru lulus pendidikan kedokteran wajib bekerja untuk pemerintah selama tiga tahun sebelum mendapat izin praktik. 

Regulasi kedua melarang dokter membuka layanan kesehatan di wilayah yang berlabel ”tertutup untuk praktik dokter”. Ketiga, pemerintah diberikan hak untuk mengatur praktik dokter swasta secara temporer pada keadaan genting seperti bencana alam dan epidemi.

Di Gunungkidul, Dokter Lo terkena penyakit kuning (leptospirosis) akibat bakteri leptospira yang disebarkan oleh binatang seperti tikus, sapi, dan anjing.

Dia lantas dilarikan ke Rumah Sakit Tentara Magelang dan hampir kehilangan nyawa. Kesembuhan dari penyakit itulah, sebagaimana dikatakan istrinya, Gan May Kwee, yang mendorongnya untuk memberi pelayanan medis gratis.

“Dulu dia pernah hampir meninggal. Setelah sembuh, dia merasa diberi kesempatan kedua oleh Tuhan. Dari situlah dia memberikan kehidupannya untuk membantu orang lain,” ujar Gan May, pada media, Kamis (11/01) lalu.

Dokter Lo mulai memberikan layanan medis gratis pada tahun 1968. Pada masa itu, pemerintah telah memiliki program Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesemas) yang dirintis oleh Johannes Leimena pada dekade 1950-an untuk memperluas akses medis.

Rezim Orde Baru, beberapa tahun usai Dokter Lo menggratiskan praktik medisnya, membuka Puskesmas Pembantu dan Pos Pelayanan Terpadu serta membuat program kader kesehatan—walau mereka tidak memiliki kemampuan merespon penyakit yang diderita masyarakat.

Pada era Orde Baru, akses asuransi kesehatan hanya dimiliki pegawai negeri dan keluarga mereka. Tidak ada asuransi kesehatan yang meluas untuk seluruh penduduk.

Catatan ini dirujuk dari penelitian tiga periset Kemenkes—Arif Nugroho, Sri Handayani, dan Ermawan Effendi—yang terbit dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Maret 2021.

Dokter Lo menggratiskan layanan kesehatannya pada era ketika jumlah tenaga kesehatan tidak sebanding dengan jumlah penduduk. Insiatif pribadinya itu muncul saat biaya berobat tergolong tinggi. 

Merujuk Survei Nasional 1980, biaya yang harus dikeluarkan seseorang untuk satu kunjungan ke fasilitas kesehatan mencapai Rp418. Nominal itu tidak termasuk ongkos transportasi dan pengeluaran makan. Sebagai gambaran, pengeluaran bulanan di Jawa Tengah mencapai Rp24.795.

Pada periode 1978-1987, Orde Baru pernah memberikan subsidi kepada sejumlah fasilitas kesehatan. Namun, skema subsidi itu tidak menyentuh masyarakat kelas bawah.

Ongkos berobat menjadi penghalang utama bagi masyarakat kelas bawah, terutama mereka yang tinggal jauh dari fasilitas kesehatan.

Merujuk riset tahun 1995 yang dikutip sejarawan Edward Aspinall dalam artikel jurnal berjudul Health care and democratization in Indonesia, hanya 10% warga miskin yang bisa mengakses layanan kesehatan.

Dari 10 orang yang berobat ke rumah sakit pada era itu, hanya satu di antaranya yang merupakan warga miskin.

Dalam berbagai konteks sosial itulah Dokter Lo melakukan “pengabdian sosial melalui layanan kesehatan gratis”.

Wartawan di Surakarta, Fajar Sodiq, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, bertemu dan mewawancarai Dokter Lo pada tahun 2014.

Untuk mengenang rekam jejak Dokter Lo, Fajar mewawancarai beberapa warga dari kelas ekonomi bawah yang pernah mendapat jasa medis gratis darinya.

Fajar kemudian menuliskannya berikut ini:

Sebelum meninggal, dokter kelahiran Magelang, 16 Agustus 1934 itu setiap pagi dan sore membuka praktik di rumahnya di kawasan Purwodiningratan, Surakarta. Siang pada hari-hari itu harus dia lewatkan dengan bertugas di Rumah Sakit Kasih Ibu.

Setiap sore hingga malam, antrean pasien selalu mengular di bangku ruang tunggu rumah Dokter Lo yang megah. Bukan hanya warga miskin, orang-orang berpunya juga datang untuk memeriksa kesehatan mereka.

Dokter Lo tidak pernah membebani biaya kesehatan kepada pasiennya. Dia bahkan kerap membayar obat yang harus ditebus pasiennya di apotek. Dokter Lo membubuhkan stempel khusus pada kertas resep pasien yang tak sanggup membeli obat.

Dokter Lo juga dikenal luas karena membantu warga miskin yang harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Semua ini dilakukannya sejak tahun 1968.

Sikap kedermawanan Dokter Lo itu tidak muncul secara tiba-tiba. Ayahnya pernah berpesan sebelum dia memulai perkuliahan di Universitas Airlangga.

“Waktu mau sekolah dokter, ayah saya bilang ’kalau mau jadi dokter, jangan jadi pedagang. Kalau mau cari duit, jadilah pedagang‘,“ ujar Dokter Lo saat saya temui tahun 2014. 

“Dari kalimat itu, ayah saya berpesan ‘kalau mau jadi dokter, tugas saya menolong, jangan cari duit dari dokter’,” kata Dokter Lo.

Dalam pertemuan kami itu, Dokter Lo bercerita tentang peristiwa yang menjadi titik balik kehidupannya—masa ketika dia menjalani kondisi kritis akibat penyakit kuning pada dekade 1960-na.

“Saat itu kondisi saya sudah gawat sekali. Saya terbaring selama 30 hari di rumah sakit dan secara perhitungan teoritis, kemungkinan hidup saya tinggal 10 persen,” ujarnya.

Selama di Rumah Sakit Tentara Magaleng, Dokter Lo ditangani oleh Dokter Supandji. Setelah perawatan intensif, dia dinyatakan sembuh. Merasa berutang budi, Dokter Lo mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Dokter Supandji.

“Tapi Dokter Supandji menolak ucapan itu,” kata Dokter Lo. ”

Justru beliau yang berterima kasih kepada saya. Jika saya tidak bisa sembuh, maka nama Dokter Supandji akan jatuh,” ucapnya.

Sebagai ucapan syukur atas hal yang dia anggap sebagai mukjizat itu, Dokter Lo berjanji tidak mengambil untung dari setiap orang sakit yang datang kepadanya. 

Dokter Lo juga merujuk Dokter Oen Boen Ing sebagai sosok yang menginspirasinya memberi pelayanan medis tanpa biaya.

Dokter Oen adalah dokter yang berpraktik sejak era kolonial Belanda, Orde Lama, dan Orde Baru. Dia dikenal sebagai dokter kaum miskin karena menggratiskan biaya kesehatan untuk warga dari kelas ekonomi bawah.

Dokter Lo berjumpa dengan Dokter Oen di Rumah Sakit Panti Kosala, Solo—yang kini bernama RS dr. Oen Kandang Sapi. Saat itu Dokter Lo bekerja sebagai tenaga medis.

“Dulu daya kerja sama Dokter Oen. Beliau mengajarkan saya tentang nilai-nilai kemanusiaan seperti membantu orang yang sajit tanpa memasang tarif untuk periksa. Ajaran inilah yang sampai saat ini saya pegang,” tuturnya.

Veronica Sri Rejeki telah menjadi pasien Dokter Lo sejak puluhan tahun lalu. Belakangan anak dan cucunya juga datang ke Dokter Lo ketika sakit.

Veronica ingat betul bagaimana Dokter Lo membayar seluruh biaya berobat dan rawat inap anaknya yang pernah sakit parah.

“Anak saya yang pertama pernah sakit diare, nyaris meninggal. Dia dirawat, dibayari Dokter Lo. Beliau bilang nanti saya yang bayar. Empat hari di sana Dokter Lo bayar Rp2 juta lebih sampai anak saya sembuh,” kata Veronica.

Dokter Lo kerap memarahi orangtua yang baru memeriksakan anak mereka setelah kondisi sakit mereka parah. Dokter Lo meminta kepada siapa pun untuk tidak ragu datang ke kliniknya. Dia berjanji tidak akan pernah memungut biaya.

“Kaya atau miskin, kalau pasien itu terlambat memeriksakan diri, beliau itu sangat sedih,” kata Veronica.

“Dokter Lo mengungkapkan kesedihannya itu dengan memarahi orangtua pasien seperti saya. ‘Apa saya pernah minta uang ke kamu?’,” ujarnya mengingat perkataan Dokter Lo. Veronica terisak saat menceritakan kisah ini.

Dokter Lo juga pernah memeriksa anak kedua Veronica yang menjadi korban tabrak lari. Tangan dan kedua kaki anaknya patah. Anaknya diperiksa dan dirawat di Rumah Sakit Yarsis Surakarta. Seluruh biaya dibayar oleh Dokter Lo.

“Saya disuruh bayar Rp2 juta tapi saya tidak punya uang jadi saya tinggal kendaraan saya di rumah sakit,“ kata Veronica.

“Satu minggu kemudian kendaraan saya diambil oleh Dokter Lo. Setelah itu, dia memindahkan anak saya ke Rumah Sakit Kasih Ibu. Anak saya ditempatkan di ruang VIP. Ruangannya besar sekali. Total biayanya Rp29 juta, seluruhnya dibayar oleh Dokter Lo,” ujar Veronica.

Salah satu tetangga Dokter Lo, Putut Hari Prabowo, juga menceritakan tentang kebiasaan Dokter Lo yang sering memarahi keluarga pasien yang jika telat memeriksakan anaknya yang sakit.

Rumah Putut berjarak satu rumah dengan Dokter Lo. Dia berkisah bagaimana sang dokter meminta warga untuk tidak menanyakan biaya periksa di kliniknya.

“Dokter Lo pasti bilang, ‘opo kowe wis sugih (apa kamu sudah kaya). Mending duit itu nggo tuku (Lebih baik uangnya untuk membeli) obat dan nyekolahke (menyekolahkan) anak’,” kata Putut menirukan ucapan Dokter Lo.

Warga jaga rumah Dokter Lo saat kerusuhan rasial 1998

Saking banyaknya warga yang merasa berhutang budi dengan Dokter Lo, Putut mengatakan saat Kerusuhan Mei 1998, kediaman Dokter Lo aman dari penjarahan, kerusuhan dan pembakaran. Padahal saat itu banyak toko-toko milik keturunan Tionghoa yang dibakar massa.

Kediaman Dokter Lo tidak terjamah kericuhan karena warga sekitar rumahnya datang dan melindungi rumah tersebut.

“Kebetulan teman-teman kan orang kampung, saya ajak ke depan. ‘Ayo jangan mikir ini dan sebagainya, ini adalah saatnya membalas budi. Keluargamu yang sakit dan dibawa ke sini pasti tidak bayar. Ini saatnya balas budi,” kata Putut mengulang perkataannya pada warga kampung Purwodiningratan.

Putut berkata sempat menemui Dokter Lo saat kerusuhan di Surakarta itu terjadi. Dia meminta Dokter Lo tidak membuka klinik demi keselamatannya. Dokter Lo menyambut saran itu dengan kemarahan. Dia tetap ingin melayani orang-orang yang sakit.

“Pasien siapapun juga saya layani, warna kulit hitam atau kuning saya terima. Mata sipit dan lainnya saya terima semuanya. Korban demo pun saya terima,” kata Putut menirukan ucapan Dokter Lo saat itu.

Pada kerusuhan Mei 1998 itu, kata Putut, Dokter Lo membuka kliniknya hingga malam. Sebuah ambulans yang dikirim aparat keamanan datang untuk mengevakuasi sang dokter.

Namun Dokter Lo, kata Putut, menolak bantuan itu. Dia memilih bertahan di rumah bersama istrinya.

“Dokter Lo tidak mau dievakuasi karena dia lebih percaya dengan masyarakat sekitar rumahnya. Hubungan kami baik sekali. Ada ikatan emosional,” ujar dia. (*)

Tags : Obat, Hak perempuan, Sejarah, Indonesia, Kemiskinan, Kesehatan perempuan, Anak-anak, Kesehatan, Perempuan, Sains,