AGAMA - Dugaan penganiayaan berujung kematian dialami Santri di bawah umum kembali terjadi di Kediri, Jawa Timur [Jatim].
Dugaan penganiayaan berujung kematian seorang santri di bawah umur di sebuah pesantren di Kediri, Jatim, tidak dapat dilepaskan dari lemahnya sistem pengawasan terhadap pesantren yang tidak berizin, kata pengamat.
Akibatnya, kasus-kasus kekerasan di pesantren - terutama yang tidak berizin - berpotensi terus terjadi di masa yang akan datang.
Untuk itulah, Kementerian Agama dituntut segera melakukan perbaikan dalam tata kelola pesantren.
Mengapa terulang lagi kekerasan di pesantren?
Salah satu caranya, menurut Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Sarmidi Husna adalah dengan mewajibkan setiap pesantren memiliki izin operasional dari Kementerian Agama (Kemenag).
”Kalau diistilahkan pesantren tidak punya izin itu seperti nikah sirih, nikah tidak terdaftar. Pemerintah tidak bisa masuk memberikan pengawasan, dan kalau ada apa-apa [pesantren] tidak bisa diminta pertanggungjawaban,” kata Sarmidi Husna kepada wartawan, Rabu (28/02).
Sebelumnya, seorang santri bernama Bintang Balqis Maulana (14 tahun) meninggal diduga akibat penganiayaan di Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanifiyyah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
PPTQ Al Hanifiyyah, menurut Kemenag Jawa Timur, tidak memiliki izin operasional sebagai tempat pondok pesantren.
Kepolisian pun telah menetapkan empat pelaku sebagai tersangka, di mana salah satunya disebut masih kerabat korban.
‘Muka hancur, mata bengkak, sundutan rokok’
Bintang Balqis Maulana adalah warga dari Desa Karangharjo, Banyuwangi. Dia merantau ke Kediri untuk bersekolah.
Bintang tinggal di asrama (dikenal dengan mondok) di PPTQ Al Hanifiyyah. Sementara, dia bersekolah di MTs Sunan Kalijogo, Pondok Pesantren (Ponpes) Al Islahiyyah.
Dua pesantren ini jaraknya berdekatan.
Bintang diduga tewas akibat penganiayaan yang dilakukan para seniornya di PPTQ Al Hanifiyyah.
Pada Sabtu (24/02), jenazah Bintang yang diantar oleh pihak pesantren dan terduga pelaku tiba di rumah keluarganya di Banyuwangi.
Kakak korban Mia Nur Khasanah (22 tahun) mengatakan saat mengantar jenazah adiknya, pihak pesantren mengatakan bahwa Bintang terjatuh di kamar mandi.
Namun, saat jenazah diangkat terdapat ceceran darah keluar dari keranda korban. Keluarga pun meminta agar kain kafan dibuka untuk melihat jenazah korban.
"Astaghfirullah. Luka lebam di sekujur tubuh ditambah ada luka seperti jeratan leher. Hidungnya juga terlihat patah. Tak kuasa menahan tangis. Ini sudah pasti bukan jatuh, tapi dianiaya," tegas Mia.
Senada ibu korban, Suyanti mengaku syok melihat kondisi anaknya.
"Saya ingin mencium anak saya, ternyata mukanya udah hancur, matanya udah bengkak, ini [eher] seperti berlubang, sekujur tubuhnya dan paha banyak sundutan rokok, tangannya lebam-lebam," ungkap Suyanti.
Keluarga pun melaporkan kematian anaknya ke Polsek Glenmore. Polres Kediri Kota lalu menetapkan empat tersangka.
Mereka adalah MN (18 tahun), MA (18 tahun), AK (17 tahun) dan AF (16 tahun, sepupu korban) yang merupakan senior korban di ponpres yang sama.
"Minggu malam kami telah mengamankan empat orang dan kita tetapkan sebagai tersangka dan kita lakukan penahanan untuk proses penyidikan lebih lanjut," ujar Kapolres Kediri Kota AKBP Bramastyo Priaji, Senin (26/02).
Beberapa terduga pelaku berusia di bawah 18 tahun.
Dalam istilah hukum, mereka disebut dengan istilah ‘anak yang berkonflik dengan hukum (ABH), yaitu anak yang telah berusia 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
‘Sini jemput Bintang.. Aku takut’
Beberapa hari sebelum hembusan nafas terakhir, Bintang mengirimkan pesan kepada ibunya Suyanti untuk minta dijemput pulang lewat aplikasi WhatsApp.
“Sini jemput Bintang… Cepet sini. Aku takut maaa… Maaa tolonggh… Sini cpettt jemput,” pinta Bintang berkali-kali ke ibunya.
Suyanti mencoba menenangkan anaknya untuk bertahan. Mulai dari berjanji akan menjemputnya usai Ramadan hingga memberikan sepeda motor jika lulus sekolah.
Namun, Bintang tetap meminta untuk dijemput pulang. Keluarga tak menduga itu adalah pesan terakhirnya.
Suyatni mengatakan salah satu terduga pelaku adalah keponakannya, berinisial AF .
"Iya, AF memang sepupu Bintang. Saya juga kalau meminta tolong agar Bintang dijaga dan uang jajan anak saya juga kepada dia… Yang saya gak habis pikir. Apa salah anak saya, kok sampai tega dianiaya seperti itu," kata Suyatni.
Pengasuh PPTQ Al Hanifiyyah Mayan Mojo, Fatihunada mengaku awalnya mendapat kabar tewasnya korban karena terpeleset di kamar mandi pada Jumat (23/02).
Dia menegaskan bukan karena penganiayaan.
"Saya dikabari saat baru bangun tidur, bahwa Bintang meninggal dunia. Kemudian saya tanya saudaranya FT, bahwa korban terpeleset di kamar mandi," kata Fatih, Senin (26/02).
Penasehat hukum keempat terduga pelaku, Rini Puspita Sari mengakui bahwa kliennya melakukan pemukulan kepada Bintang, yaitu ke wajah, punggung, dan dada.
Berdasarkan pengakuan terduga pelaku, kata Rini, pemukulan dilakukan karena korban tidak melakukan beberapa aturan, seperti mengikuti salat berjemaah dan piket.
“Pelaku ini mengingatkan jangan begitu, tapi korban saat ditegur menjawabnya tidak sinkron. Akhirnya emosi dan spontanitas melakukan pemukulan,” kata Rini.
Al Hanifiyyah tidak memiliki izin
Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur menyebut bahwa PPTQ Al Hanifiyyah tidak memiliki izin operasional sebagai tempat pondok pesantren.
Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Jatim Mohammad As'adul Anam mengatakan, karena tidak memiliki izin maka pihaknya tidak bisa melakukan tindakan secara administrasi.
"Kanwil dalam hal ini sangat menghormati proses hukum yang berlaku. Kalau penutupan, mohon maaf, karena sekolah, madrasah dengan ponpes itu entitas yang berbeda. Kalau ponpes ini rata-rata tidak didirikan pemerintah, semuanya didirikan kiai. Kalau pesantren dicabut izinnya, kegiatan ngajinya tetap, karena sifatnya informal," kata Anam.
Berdasarkan penelusuran Kanwil Kemenag Jatim, PPTQ Al-Hanifiyyah mulai menjalankan kegiatan belajarnya sejak tahun 2014.
Saat ini, jumlah santri Al Hanifiyyah sebanyak 93 orang, terdiri dari 19 santri dan 74 orang santriwati.
Mengapa kekerasan kerap terjadi di pesantren?
Pengamat pesantren dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Prof. Dr. Muhammad Tohir menyebut tindak kekerasan yang menewaskan santri di Kediri disebabkan karena keteledoran. Pasalnya, kasus serupa pernah terjadi di pesantren lain.
Tohir juga menyebut tidak ada sistem di pesantren yang bisa memantau, memonitor dan bisa memitigasi terjadinya kekerasan.
”Namanya teledor, tidak ada persiapan, mitigasi, tidak ada upaya pencegahan,” kata Muhammad Tohir, Rabu (28/02).
Relasi kepatuhan santri kepada seniornya juga disebut memberikan peluang untuk terbukanya tindakan-tindakan yang bisa dianggap sebagai kekerasan.
”Maka, menurut saya sudah sepatutnya pesantren, semua lembaga sekolah punya semacam layanan untuk ramah santri,” katanya.
Problem lainnya yang bisa memicu terjadinya kekerasan, ujarnya, karena banyak pesantren yang tidak memiliki izin dari Kemenag. Kondisi itu menyebabkan pengawasan menjadi lemah.
Tohir mengungkapkan bahwa banyak pesantren di Jawa Timur yang belum tercatat atau mendapatkan izin dari pemerintah.
”Karena kalau tidak berizin, maka biasanya, kontrol, standarisasi itu tidak bisa dieksekusi, kan tidak ada datanya di sistem data Kemenag,” jelasnya.
Namun, untuk mendorong agar pesantren mau mengurus izin juga menjadi masalah yang lain. Dia mengatakan banyak pimpinan pesantren yang enggan mendaftarkan lembaganya karena dianggap sebagai milik pribadi.
”Saya kira butuh semacam pencerahan begitu kepada para pengurus, pengasuh bahwa tidak seperti itu sebenarnya, kalau sudah didaftarkan kemudian jadi milik pemerintah, tidak."
”Justru dengan kita mendaftarkan, kita ada mitra kolaborasi, bekerjasama dengan eksternal untuk bisa membangun pesantren lebih baik dan lebih bermartabat yang bisa menjadi pilihan masyarakat,” tegasnya.
Senada Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Sarmidi Husna mengatakan merujuk pada aturan, setiap pesantren harus memiliki izin.
”Pesantren tidak punya izin itu ilegal. Jika diistilahkan seperti nikah sirih, nikah tidak terdaftar. Pemerintah tidak bisa masuk memberikan pengawasan, dan kalau ada apa-apa [pesantren] tidak bisa diminta pertanggungjawaban,” kata Sarmidi Husna, Rabu (28/02).
Perizinan, kata Sarmidi, dapat meminimalisir terjadinya kekerasan di dalam pesantren.
Untuk itu, Sarmidi Husna mengatakan perlu dilakukan sosialisasi agar setiap pesantren mengurus izin operasional dari Kemenag.
Orang tua harus selektif
Sarmidi mengatakan, di Indonesia terdapat banyak pesantren yang tidak memiliki izin. Walau tak berizin, katanya, banyak santri yang belajar di sana.
Apa faktor penyebabnya?
Pertama, katanya, adalah faktor kepercayaan wali santri kepada pengasuh pesantren, tanpa melihat ada tidaknya izin operasional yang dimiliki.
“Kedua faktor bahwa pesantren itu sering memberikan biaya gratis atau beasiswa. Memikat masyarakat ke pesantren meskipun tidak terdaftar.”
Untuk itu, ujarnya, setiap orang tua harus selektif dalam memilih pesantren bagi anak mereka, yaitu yang “nyaman, aman, legal atau terdaftar, sehingga bisa mencegah hal yang tidak diinginkan,” kata Sarmidi.
Rangkaian kekerasan berujung kematian di pesantren
Apa yang dialami Bintang bukan yang pertama. Dalam dua tahun terakhir, terdapat kasus kekerasan berujung kematian yang terjadi di dalam pesantren terungkap ke publik.
Awal Desember 2023, seorang santri Ponpes Husnul Khotimah di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, berinisial H (18), meninggal dunia. Ia diduga menjadi korban penganiayaan teman seangkatannya. Polisi menetapkan 18 orang tersangka dalam kasus ini.
September 2023, seorang santri di Ponpes Sirajurrokhim di Pringsurat, Temanggung, Jawa Tengah, meninggal akibat diduga dikeroyok oleh delapan santri lain.
November 2022, seorang santri tewas setelah diduga dianiaya seniornya di Ponpes Ta’mirul Islam Kampus Masaran di Kecamatan Masaran, Sragen, Jawa Tengah.
Agustus 2022, seorang santri di Pondok Modern Darussalam Gontor 1, Ponorogo, Jawa Timur tewas dikeroyok dua rekannya.
Masih di bulan yang sama, seorang santri di Kabupaten Tangerang tewas diduga dianiaya oleh teman seangkatannya. (*)
Tags : Islam, Muslim, Pemolisian, Kekerasan terhadap anak, Hak asasi, Kejahatan, Hukum, Indonesia, Kekerasan, Pendidikan, Agama, Pendidikan,