Linkungan   2021/11/02 15:4 WIB

Gaya Hidup 'Mewah' Juga Boros Karbon, Bagaimana bisa Ikut Menguranginya?

Gaya Hidup 'Mewah' Juga Boros Karbon, Bagaimana bisa Ikut Menguranginya?

LINGKUNGAN - Orang-orang terkaya di dunia berkontribusi besar pada perubahan iklim melalui gaya hidup yang boros karbon. Bagaimana kita bisa mengurangi emisi dari orang kaya?

Pada tahun 2018, Stefan Gössling dan timnya menghabiskan berbulan-bulan untuk menjelajahi profil media sosial beberapa selebritas terkaya di dunia, dari Paris Hilton hingga Oprah Winfrey.

Sang profesor pariwisata dari Universitas Linnaeus di Swedia hendak mencari tahu seberapa sering mereka menggunakan pesawat terbang.

Menurut perhitungan Gössling, Bill Gates - salah satu pecinta lingkungan paling terkenal di dunia - terbang 59 kali pada tahun 2017, menempuh jarak sekitar 343.500km - lebih dari delapan kali keliling dunia - dan menghasilkan lebih dari 1.600 ton gas rumah kaca (setara dengan rata-rata emisi tahunan 105 orang Amerika).

Penelitian Gössling tentang gaya hidup orang-orang super kaya bertepatan dengan perkembangan gerakan lingkungan, dipelopori oleh aktivis Greta Thunberg, yang menyoroti akuntabilitas pribadi.

Penggunaan pesawat terbang, salah satu bentuk konsumsi yang paling intensif karbon, menjadi simbol akuntabilitas baru ini. "Semakin besar jejak karbon Anda, semakin besar kewajiban moral Anda," tulis Thunberg di surat kabar Guardian pada 2019.

Isu kesetaraan menjadi sorotan dalam beberapa dekade terakhir. Dari krisis keuangan pada 2008, hingga pandemi dan dampak perubahan iklim - kelompok masyarakat paling miskin cenderung menjadi yang paling awal dan paling parah merasakan dampak bencana.

Namun dalam perdebatan tentang cara mengatasi ketidaksetaraan, konsumsi berlebihan kerap diabaikan. "Setiap kali seseorang mengonsumsi lebih dari yang seharusnya, berarti ada orang lain harus kehilangan sesuatu," kata Lewis Akenji, direktur pelaksana Hot or Cool Institute, lembaga kajian yang berbasis di Berlin.

Akibatnya, jejak karbon yang sangat besar dari masyarakat terkaya membuat kesenjangan semakin lebar dan mengancam kemampuan dunia untuk mencegah bencana perubahan iklim.

Siapakah yang dimaksud dengan 'orang kaya'?

Ketika kita memikirkan "orang kaya", kita mungkin memikirkan jutawan dan miliarder yang memiliki jet pribadi dan banyak rumah mewah.

Akan tetapi, penghasilan $38.000 (Rp539 juta) per tahun sudah cukup untuk menempatkan seseorang dalam 10% orang terkaya di dunia, dan $109.000 (Rp1,5 miliar) per tahun menempatkan mereka di 1% teratas.

Statistiknya mengejutkan: 10% orang terkaya di dunia bertanggung jawab atas sekitar setengah dari emisi global pada tahun 2015, menurut laporan Oxfam dan Stockholm Environment Institute pada 2020.

Adapun 1% orang terkaya di dunia bertanggung jawab atas 15% emisi, hampir dua kali lipat 50% penduduk termiskin, yang hanya bertanggung jawab atas 7% dan akan menanggung dampak iklim meskipun mereka mempunyai andil paling sedikit dalam menyebabkannya.

Seiring orang-orang kaya berlomba-lomba menghabiskan sisa "anggaran karbon" - jumlah gas rumah kaca yang mungkin dikeluarkan tanpa mendorong pemanasan global melampaui 1,5C pada akhir abad ini - mereka "tidak memberi ruang bagi 50% terbawah populasi untuk meningkatkan emisi mereka ke titik di mana mereka benar-benar dapat memenuhi kebutuhan mereka", kata Emily Ghosh, staf ilmuwan di Institut Lingkungan Stockholm.

Dario Kenner, penulis Carbon Inequality: The Role of the Richest in Climate Change, menciptakan istilah "pencemar elit" untuk menjabarkan orang-orang terkaya di masyarakat yang menaruh investasi besar dalam bahan bakar fosil, serta memberikan dampak iklim yang kuat dengan gaya hidup boros karbon mereka.

Tetapi sementara para pencemar elit memberi dampak yang tidak proporsional, orang-orang terkaya di dunia mencakup bagian yang lebih luas dalam populasi.

Saat ini, kebanyakan orang di negara-negara kaya mengonsumsi dengan cara yang mempercepat bencana iklim.

Ketika Anda memperhitungkan emisi dari barang-barang impor, rata-rata warga Inggris mengeluarkan 8,5 ton karbon per tahun, menurut Hot or Cool Institute.

Angka tersebut naik menjadi 14,2 ton di Kanada, negara dengan emisi tertinggi di antara negara-negara yang disurvei lembaga tersebut.

Supaya pemanasan global tidak lebih dari 1,5C, angka tersebut harus turun drastis menjadi 0,7 ton per orang pada tahun 2050.

Konsumsi pribadi adalah topik yang sulit untuk dibahas.

Pembicaraan tentang konsumsi pribadi dapat segera berkembang menjadi perdebatan usang mengenai apakah mengatasi perubahan iklim bergantung pada tindakan individu atau perubahan sistemik dari pemerintah dan perusahaan.

"Ini adalah dikotomi yang keliru," kata Akenji. "Gaya hidup tidak ada dalam ruang hampa, tapi dibentuk oleh konteks."

'Gaya hidup boros karbon yang didambakan'

Orang-orang menjalani kehidupan mereka dalam sistem politik dan ekonomi yang sebagian besar tidak berkelanjutan.

Namun, tanpa membahas gaya hidup orang-orang terkaya dan paling menghasilkan berpolusi di masyarakat, dan kekuatan yang mereka miliki, kita tidak akan mampu mengatasi perubahan iklim.

"Orang kaya menetapkan suatu standar pola konsumsi yang diinginkan semua orang. Di situlah efek toksiknya," kata Halina Szejnwald Brown, profesor emerita ilmu lingkungan dan kebijakan di Universitas Clark di AS.

Sebut saja penerbangan. "Begitu Anda terbang, Anda menjadi bagian dari elit global," kata Gössling. Lebih dari 90% orang tidak pernah terbang dan hanya 1% populasi dunia bertanggung jawab atas 50% emisi dari penerbangan.

Dari elit bisnis yang hobi keliling dunia hingga selebritas yang menjadikan melancong sebagai bagian dari personal brand, perilaku mereka telah membantu menjadikan gaya hidup boros karbon menjadi sesuatu yang didambakan banyak orang, kata Gössling.

Mobil SUV yang mengangkut presiden, pemimpin bisnis, dan selebritas - dan semakin banyak keluarga kelas menengah di kota-kota - juga sudah menjadi simbol status, terlepas dari dampak lingkungannya.

Mencakup 42% dari total penjualan mobil di dunia pada 2019, SUV adalah satu-satunya sektor yang mengalami kenaikan emisi pada tahun 2020. Peningkatan orang yang membeli SUV tahun lalu praktis membatalkan pengurangan emisi akibat mobil listrik.

Rumah yang lebih besar adalah hotspot konsumsi lainnya. "Pilihan perumahan menandakan prestise dan status sosial," tulis Kimberly Nicholas, ilmuwan di Universitas Lund, dan salah satu peneliti dalam studi terbaru tentang peran orang kaya dalam mendorong perubahan iklim.

Di Eropa, hampir 11% emisi dari perumahan berasal dari 1% orang-orang terkaya yang memiliki rumah besar - dan seringkali lebih dari satu.

Apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi jejak karbon?

Bagaimanapun, dalam beberapa tahun terakhir, norma-norma sosial mulai bergeser. Di Swedia, aktivisme Thunberg membantu menginspirasi gerakan flygskam ("malu terbang" dalam bahasa Swedia), sebuah konsep yang membuat orang mempertanyakan seberapa sering mereka terbang.

Gerakan ini dikaitkan dengan penurunan 4% dalam jumlah orang yang terbang dari bandara Swedia pada 2018 - penurunan yang jarang terjadi pada saat jumlah penumpang meningkat secara global.

Covid-19, yang secara dramatis membatasi perjalanan bisnis, membuktikan bahwa panggilan video dapat menggantikan pertemuan tatap muka.

Sebuah survei dari Bloomberg menemukan bahwa 84% bisnis berencana untuk mengurangi perjalanan kerja setelah pandemi.

Orang-orang juga mulai mempertimbangkan dampak dari pola makan mereka, yang mengarah pada kemunculan banyak perusahaan daging dan susu nabati.

"Mereka tidak muncul karena kebijakan pemerintah," kata Peter Newell, seorang profesor hubungan internasional di University of Sussex. "Itu hanya bisnis yang melihat, ke situlah pasar mulai bergeser."

Tetapi perubahan ini terlalu lamban untuk mengatasi keadaan darurat yang kita alami, kata Kenner: "Kita melewati titik kritis iklim dan banyak spesies akan punah." Masalahnya adalah tentang kecepatan, dan untuk itu tindakan pemerintah diperlukan, katanya.

Pajak bagi perilaku yang tidak berkelanjutan, seperti sering terbang dan konsumsi daging berlebihan, dapat membantu mendorong orang-orang ke perilaku rendah karbon lebih cepat, kata Newell, terutama jika ada kaitan langsung antara hukuman bagi perilaku penghasil polusi dan investasi yang menguntungkan banyak orang.

Misalnya, hasil dari pajak frequent flyer dapat diinvestasikan ke dalam sistem transportasi umum yang lebih murah atau bahkan gratis, dan uang dari "pajak rumah" dapat digunakan untuk menyekat rumah, sehingga mengurangi kebutuhan penghangat.

Namun masalahnya ialah apakah orang kaya dapat dengan mudah menyerap biaya ini dan meneruskan gaya hidup mereka.

Gagasan yang lebih radikal adalah jatah karbon pribadi (Personal Carbon Allowance, PCA), di mana setiap individu dialokasikan jatah karbon yang setara dan dapat diperjualbelikan.

Jika seseorang ingin mengeluarkan lebih banyak karbon, mereka harus membeli jatah orang lain yang tidak terpakai.

Versi PCA telah diuji coba di Irlandia, Prancis, dan California. Pada tahun 2018, pemerintah Inggris menganalisis kelayakannya tetapi menyimpulkan bahwa PCA akan terlalu mahal, sulit untuk dikelola, dan tidak mungkin diterima secara sosial.

Tetapi dalam konteks darurat iklim dan pandemi, yang sudah memaksa banyak orang untuk menerima pembatasan individu demi manfaat kolektif, itu mungkin merupakan kebijakan yang layak dipertimbangkan kembali, menurut analisis baru-baru ini.

PCA menarik pada satu level, kata Newell, "karena membuatnya sangat jelas apa hak kita per kapita." Namun, ia menambahkan, "ini adalah versi ekstrem dari pembagian tanggung jawab." Ini dapat dengan tidak adil merugikan orang-orang yang, misalnya, tinggal di daerah dengan sedikit pilihan transportasi umum.

Ide kebijakan lain yang semakin populer adalah "pembatasan pilihan", di mana pemerintah membatasi produk-produk boros karbon - seperti jet pribadi atau kapal pesiar besar - yang masuk ke pasar sejak awal. Diharapkan, pilihan-pilihan rendah karbon akan mengisi celah tersebut.

Pembatasan pilihan mungkin terdengar radikal tetapi itu bukan hal baru, kata Akenji.

Pemerintah Inggris, misalnya, sudah melakukannya dengan alasan keamanan publik untuk melarang penjualan senjata atau mobil tanpa sabuk pengaman.

"Menghentikan perilaku yang tidak berkelanjutan jauh lebih sulit daripada mencegah produk yang tidak berkelanjutan masuk ke pasar sejak awal," menurut kesimpulan sebuah laporan tentang perubahan perilaku yang ditulis oleh Newell dan rekan,

Tetapi seiring waktu mulai habis untuk mengatasi perubahan iklim, banyak pemerintah menolak kebijakan perubahan perilaku karena khawatir kebijakan tersebut akan menjadi racun politik bagi pemilih dan tidak menyenangkan bagi orang kaya.

Kontrol orang-orang terkaya atas pemerintah melalui lobi dan sumbangan besar memberi mereka pengaruh besar untuk melemahkan aksi iklim dan membentuk pilihan yang tersedia untuk semua orang, kata Kenner. "Ada masa depan lain, masa depan alternatif, yang ditolak setiap hari," katanya.

Untuk semua kebijakan yang menargetkan perilaku konsumen, pada akhirnya, sangat sulit untuk menurunkan emisi jika tidak tersedia infrastruktur bagi masyarakat untuk menjalani kehidupan yang rendah karbon.

"Ada banyak hal yang perlu dilakukan untuk membangun masyarakat yang lebih berkelanjutan dan itu lebih dari sekadar mengurangi jet pribadi dan kapal pesiar mewah," kata Ghosh.

'Pemerintah perlu merombak infrastruktur'

Beberapa pemerintah sudah membuat perubahan besar. Pemerintah Welsh menangguhkan investasi dalam pembangunan jalan baru untuk memenuhi target emisi, Belanda mengusulkan pengurangan jumlah ternak sebesar 30% untuk mengurangi polusi dan dewan di kota-kota Inggris seperti Norwich dan Exeter mulai membangun perumahan sosial yang hemat energi.

Pemerintah lainnya mempertimbangkan peran iklan dalam mendorong konsumsi yang tidak berkelanjutan. "Orang-orang berusaha mendapatkan tempat mereka di masyarakat dengan membedakan diri mereka dari orang-orang yang berada di bawah mereka," kata Brown, dan iklan "membangun seluruh industrinya di atas rasa tidak aman ini."

Pada tahun 2021, Amsterdam melarang iklan untuk produk-produk intensif emisi termasuk SUV dan penerbangan jarak pendek yang murah, mengikuti jejak kota-kota seperti São Paulo dan Chennai, yang telah melarang atau sangat membatasi iklan-iklan billboard.

"Tapi ini sangat tidak cukup," kata Akenji. Langkah-langkah tersebut terlalu lambat dan dunia hampir kehabisan waktu. Pemerintah perlu merombak infrastruktur, ujarnya, dan menempatkan keberlanjutan pada jantung kebijakan.

Itu berarti menciptakan jaringan transportasi umum yang cepat, luas dan terjangkau; dekarbonisasi listrik; membangun perumahan yang lebih padat dan terisolasi dengan baik; pelarangan penggunaan mobil berbahan bakar fosil; dan mempertimbangkan langkah-langkah seperti menerapkan empat hari kerja dalam seminggu.

Pemerintah dan orang kaya, dengan peran besar mereka dalam mempengaruhi norma-norma sosial, juga dapat membantu mengubah narasi bahwa aksi ramah iklim adalah tentang hilangnya kebebasan pribadi dan kualitas hidup.

"Hal yang menyedihkan tentang ini ialah bahwa hal-hal yang sudah terbukti lebih berkelanjutan bagi lingkungan hampir selalu lebih baik bagi kesejahteraan dan kohesi sosial kita sendiri," kata Akenji.

Makan lebih sedikit daging bermanfaat bagi kesehatan. Memiliki lebih sedikit SUV dan mobil berbahan bakar fosil meningkatkan kualitas udara dan mengurangi kematian akibat polusi udara.

Dan waktu kerja empat hari seminggu dapat memungkinkan keseimbangan kehidupan-kerja yang lebih baik, lebih banyak waktu keluarga, dan lebih sedikit biaya perawatan anak bagi para orang tua.

"Tidak ada yang bangun di pagi hari dan berkata, 'Saya akan merusak lingkungan'," kata Akenji. Orang mengonsumsi karena berbagai alasan: untuk memenuhi kebutuhan mereka, untuk menunjukkan kasih sayang, untuk merasa baik atau karena mereka merasa tertekan oleh iklan atau ekspektasi sosial.

Sangat sedikit orang yang benar-benar mempertanyakan konsumsi mereka, kata Brown.

"Ini adalah pertanyaan yang cukup mendalam: 'Siapa saya dan apa yang saya butuhkan untuk kehidupan yang baik?' Maksud saya, berapa banyak orang yang ingin duduk merenung dan menjawab pertanyaan itu?"

Aksi individu tidak akan cukup untuk mengatasi perubahan iklim, kata Akenji, dan rasa bersalah serta rasa malu tidak akan membantu. Tetapi pilihan dan tindakan memang penting.

"Saya pikir kita semua harus menjadi aktivis politik dalam satu atau lain cara," katanya. "Apa yang akan kita lakukan adalah dengan sangat sengaja dan tegas mengawasi pemerintah kita dan meminta mereka untuk memenuhi komitmen mereka". (*)

Tags : Perubahan iklim, Lingkungan, Gaya Hidup Mewah Boros Karbon,